Sejarah — pada masa feodalisme masyarakat Eropa pada Abad Pertengahan tidak ada perbedaan antara ruang publik dan ruang privat. Kekuasan menjadi wujud representasi ruang publik yang dapat digunakan untuk membuat simbol-simbol kedaulatan kenegaraan, seperti materai perangko (gambar raja, presiden, perdana mentri, piramida, dsb) untuk tanda pengiriman surat melalui pos. Melalui simbol ini, penguasa (kaum borjuis) merepresentasikan kekuatan rakyat (bukan wakil rakyat). Dalam kekuasan (raja dan bangsawan) dan agama (gereja), ruang publik ini berfungsi sebagai ruang privat yang menjadi wilayah kekuasaannya (bersifat otonom), badan publik hanya dapat digunakan untuk kelompoknya. Terkait dengan anggaran negara, pemanfaatan ruang publik tergantung pada otoritas pemilik badan publik lebih bersifat independen, misalnya lembaga parlemen, birokrasi, hukum, dan militer, baik yang di pusat pemerintahan maupun di daerah. Hal tersebut merepresentasikan bahwa ruang publik menghasilkan bidang baru “otoritas publik” sesuai dengan wilayah teritorial suatu negara. Untuk sekarang ini, ruang publik sudah menjadi komoditas dan informasi. Artinya bahwa pemanfaatan ruang publik dapat dimonopoli oleh pribadi atau kelompok tertentu dan hal tersebut diperbolehkan oleh aturan hukum. Kaum borjuis dapat berinvestasi modal untuk membangun perusahaan (swasta) dengan alasan meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat. Dalam privatisasi ruang publik ini, pemerintah dan borjuis dapat saling mengontrol satu sama lain untuk kepentingan publik yang lebih besar.
Model liberal dari ruang publik — kasus di Inggris, adanya negosiasi dari pihak borjuis (swasta) ke penguasa (pemerintah) misalnya terkait kasus pengelolaan tanah perkebunan, ratu/pengeran-lah yang memiliki wewenang dan kuasa untuk menangani hal tersebut. Mereka memiliki kekuasan penuh atas tanah perkebunan di negaranya, sehingga kaum bangsawan dan borjuis harus mematuhi keputusan penguasa. Tidak adanya negosiasi dalam kasus ini sehingga tidak bersifat politis. Keputusan penguasa ini kemudian diumumkan ke publik secara legal dan terbuka dan disinilah peran penguasa dalam media untuk merepresentasikan eksistensi kekuasannya dalam sektor ekonomi. Berbeda dengan era konstitusi modern pertama, di mana model liberal ruang publik telah menjamin hak-hak setiap individu dan masyarakat dalam pemanfaatan ruang publik, bahkan diberikan ruang otonomi dan otoritasisasi untuk menjalankan fungsinya sebagai badan publik. Kaum borjuis diberi kesempatan untuk berperan dalam membantu kebutuhan masyarakat serta membantu mentransformasikan politik negara secara “rasional” untuk melayani kepentingan rakyat. Kaum borjuis dapat menyediakan layanan kebutuhan komoditas ekonomi masyarakat secara gratis melalui mekanisme dan aktivitas pasar tanpa adanya tekanan sosial dan politik di ruang publik. Contoh lain pada bidang jurnalisme, pada abad ke-18 surat kabar politik memiliki pengaruh besar dalam kehidupan masyarakat—Karl Bücher mengatakan bahwa “surat kabar dapat membangun opini publik dan hal ini menjadi ‘senjata’ bagi partai politik untuk mempengaruhi masyarakat”. Pemberitaan di surat kabar ini telah menjadi cara dan sekaligus media untuk mempengaruhi budaya dan opini publik konsumen. Pada masa revolusi di Paris tahun 1789, kelompok dan organisasi politik memiliki media surat kabar untuk mengabarkan dan mendokumentasikan kegiatannya ke publik, kemudian pada tahun 1848, para politisi terkemuka mengatur berita yang dimuat di surat kabar, jumlah cetak/terbit, dan siapa saja pembacanya. Mereka menganggap bahwa media surat kabar ini merupakan media strategis untuk mengaspirasikan kebebasan politik mereka bahkan untuk mengkampanyekan program dan mencari pengikut/massa sebanyak-banyaknya. Sejak tahun 1830-an, di Inggris, Prancis, dan Amerika Serikat, jurnalisme sebagai komoditas politik dan ekonomi telah menjadi perhatian pemerintah dan kaum borjuis setelah transisi dari jurnalisme sastra.
Ruang publik di negara demokrasi yang berkesejahteraan sosial (persemakmuran) — meskipun model liberal dari ruang publik masih bersifat instruktif-normatif bahwa informasi dapat diakses oleh publik, namun konsep tersebut tidak dapat diterapkan pada kondisi aktual pada sebuah negara demokrasi yang sudah maju secara ekonomi. Sebagian negara telah memasukkan aspek liberalisasi-ideologi untuk prasyarat kehidupan sosial masyarakatnya. Misalnya gerakan Chartist di Inggris dan revolusi di Perancis telah merubah hak-hak pemanfaatan ruang publik untuk kaum liberal. Mereka mempropagandakan isu agar badan publik lebih dapat berkembang bersama perusahaan milik kaum borjuis. Kaum borjuis dapat menerapkan sistem badan sosial dengan standar pendidikan yang relatif tinggi. Pemerintah perlu menerbitkan regulasi (UU) untuk mengatur privatisasi ruang publik di sektor ekonomi, agar tidak menimbulkan konflik kepentingan. Pemerintah dapat bekerjasama dengan organisasi sosial dan partai politik untuk merumuskan regulasi yang tepat untuk mengatur privatisasi ruang publik pada sektor ekonomi, baik pertukaran komoditas, sistem kerja, kompetensi tenaga kerja, dan upah tenaga kerja yang berkeadilan sosial. Upaya pemerintah dalam membangun kekuatan sosial menjadi kekuatan politik ini dapat disebut sebagai tindakan “refeudalization” dari ruang publik. Ruang publik politik negara berkesejahteraan sosial ditandai dengan melemahnya fungsi-fungsi kritisnya, dan konsep ruang publik ini disebut sebagai “public relations work”. Gagasan ruang publik dalam konsep sistem demokrasi negara berkesejahteraan sosial sangat menyerukan bahwa rasionalisasi kekuasaan secara penuh melalui media diskusi publik untuk kepentingan individu atau swasta akan mengubah dan mengancam truktur dan fungsi pemanfaatan ruang publik itu sendiri. Pemerintah harus melakukan reorganisasi dengan membangun kekuatan sosial dan politik untuk menjalin hubungan dengan kaum borjuis, serta memastikan mereka untuk komitmen memanfaatkan ruang publik untuk melayani kepentingan umum.
Catatan:
- Negara dan ruang publik tidak tumpang tindih. Habermas menjelaskan ranah ruang publik sebagai ruang privat pada masa kuno—yakni ranah pembuatan opini dari non-pemerintah.
- Prinsip pemanfaatan ruang publik antar-lembaga berbeda-beda tergantung dari sejarah sosial dari keberadaan ruang publik itu sendiri. Habermas mengusulkan perlu adanya suatu model, norma, dan mode perilaku dalam membangun opini publik, yang mencakup: a) aksesibilitas umum, b) penghapusan semua hak istimewa, dan c) pemberlakuan norma umum dan legitimasi rasional.
- Adanya ekspresi “menampilkan diri sendiri” kaum feodal/borjuis menjadi sejarah penciptaan ruang publik sebagai tempat berkumpul, berdiskusi, dan menyuarakan hak-hak politik-ekonomi mereka ke pemerintah. Habermas
- Habermas membedakan antara konsep tentang “membuat proses publik” [Publizität] dan “ruang publik” [Öffentlichkeit]. Istilah Publizität menggambarkan tingkat efek publik yang dihasilkan oleh tindakan publik. Dengan demikian, sebuah situasi dapat muncul di mana bentuk pembuatan opini publik dipertahankan, sementara substansi ruang publik telah lama dirusak.
Referensi:
Jürgen Habermas. 1989. “Ruang publik: Artikel ensiklopedia.” Dalam Stephen Eric Bronner dan Douglas M. Kellner (eds.), Teori dan Masyarakat Kritis: A Reader, hal. 136–42. Diterjemahkan oleh Sara Lennox dan Frank Lennox. New York dan London: Routledge, 1989
Academia.edu no longer supports Internet Explorer.
To browse Academia.edu and the wider internet faster and more securely, please take a few seconds to upgrade your browser.