Secara umum ada tiga motif atau alasan yang melatarbelakangi lahirnya NU 31 Januari 1926 antara lain

Setibanya di Tebuireng, santri As’ad (KHR As’ad Syamsul Arifin Situbondo) menyampaikan tasbih yang dikalungkan oleh dirinya dan mempersilakan KH Muhammad Hasyim Asy’ari untuk mengambilnya sendiri dari leher As’ad. Bukan bermaksud As’ad tidak ingin mengambilkannya untuk Kiai Hasyim Asy’ari, melainkan As’ad tidak ingin menyentuh tasbih sebagai amanah dari KH Cholil Bangkalan kepada KH Hasyim Asy’ari.


Sebab itu, tasbih tidak tersentuh sedikit pun oleh tangan As’ad selama berjalan kaki dari Bangkalan ke Tebuireng. Setelah tasbih diambil, Kiai Hasyim Asy’ari bertanya kepada As’ad: “Apakah ada pesan lain lagi dari Bangkalan?” Kontan As’ad hanya menjawab: “Ya Jabbar, Ya Qahhar”, dua asmaul husna tarsebut diulang oleh As’ad hingga tiga kali sesuai pesan sang guru. Setelah mendengar lantunan itu, Kiai Hasyim Asy’ari kemudian berkata, “Allah SWT telah memperbolehkan kita untuk mendirikan jam’iyyah”. (Choirul Anam, 2010: 72)


Riwayat tersebut merupakan salah satu tanda atau petunjuk di antara sejumlah petunjuk berdirinya Nahdlatul Ulama (NU). Akhir tahun 1925 santri As’ad kembali diutus Mbah Cholil untuk mengantarkan seuntai tasbih lengkap dengan bacaan Asmaul Husna (Ya Jabbar, Ya Qahhar. Berarti menyebut nama Tuhan Yang Maha Perkasa) ke tempat yang sama dan ditujukan kepada orang sama yaitu Mbah Hasyim.


Petunjuk sebelumnya, pada akhir tahun 1924 santri As’ad diminta oleh Mbah Cholil untuk mengantarkan sebuah tongkat ke Tebuireng. Penyampaian tongkat tersebut disertai seperangkat ayat Al-Qur’an Surat Thaha ayat 17-23 yang menceritakan Mukjizat Nabi Musa as.


Awalnya, KH Abdul Wahab Chasbullah (1888-1971) sekitar tahun 1924 menggagas pendirian Jam’iyyah yang langsung disampaikan kepada Kiai Hasyim Asy’ari untuk meminta persetujuan. Namun, Kiai Hasyim tidak lantas menyetujui terlebih dahulu sebelum ia melakukan sholat istikharah untuk meminta petunjuk kepada Allah SWT.


Sikap bijaksana dan kehati-hatian Kiai Hasyim dalam menyambut permintaan Kiai Wahab juga dilandasi oleh berbagai hal, di antaranya posisi Kiai Hasyim saat itu lebih dikenal sebagai Bapak Umat Islam Indonesia (Jawa). Kiai Hasyim juga menjadi tempat meminta nasihat bagi para tokoh pergerakan nasional. Peran kebangsaan yang luas dari Kiai Hasyim Asy’ari itu membuat ide untuk mendirikan sebuah organisasi harus dikaji secara mendalam.


Hasil dari istikharah Kiai Hasyim Asy’ari dikisahkan oleh KH As’ad Syamsul Arifin. Kiai As’ad mengungkapkan, petunjuk hasil dari istikharah Kiai Hasyim Asy’ari justru tidak jatuh di tangannya untuk mengambil keputusan, melainkan diterima oleh KH Cholil Bangkalan, yang juga guru Mbah Hasyim dan Mbah Wahab.


Dari petunjuk tersebut, Kiai As’ad yang ketika itu menjadi santri Mbah Cholil berperan sebagai mediator antara Mbah Cholil dan Mbah Hasyim. Ada dua petunjuk yang harus dilaksanakan oleh Kiai As’ad sebagai penghubung atau washilah untuk menyampaikan amanah Mbah Cholil kepada Mbah Hasyim.


Dari proses lahir dan batin yang cukup panjang tersebut menggamabarkan bahwa lika-liku lahirnya NU  tidak banyak bertumpu pada perangkat formal sebagaimana lazimnya pembentukan organisasi. NU lahir berdasarkan petunjuk Allah SWT. Terlihat di sini, fungsi ide dan gagasan tidak terlihat mendominasi. Faktor penentu adalah konfirmasi kepada Allah SWT melalui ikhtiar lahir dan batin.


Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa berdirinya NU merupakan rangkaian panjang dari sejumlah perjuangan. Karena berdirinya NU merupakan respons dari berbagai problem keagamaan, peneguhan mazhab, serta alasan-alasan kebangsaan dan sosial-masyarakat.


Digawangi oleh KH Wahab Chasbullah, sebelumnya para kiai pesantren telah mendirikan organisasi pergerakan Nahdlatul Wathon atau Kebangkitan Tanah Air pada 1916 serta Nahdlatut Tujjar atau Kebangkitan Saudagar pada 1918.


Kiai Wahab Chasbullah sebelumnya, yaitu 1914 juga mendirikan kelompok diskusi yang ia beri nama Tashwirul Afkar atau kawah candradimuka pemikiran, ada juga yang menyebutnya Nahdlatul Fikr atau kebangkitan pemikiran. Dengan kata lain, NU adalah lanjutan dari komunitas dan organisasi-organisasi yang telah berdiri sebelumnya, namun dengan cakupan dan segmen yang lebih luas.

Embrio lahirnya NU juga berangkat dari sejarah pembentukan Komite Hijaz. Problem keagamaan global yang dihadapi para ulama pesantren ialah ketika Dinasti Saud di Arab Saudi ingin membongkar makam Nabi Muhammad SAW karena menjadi tujuan ziarah seluruh Muslim di dunia yang dianggap bid’ah. Selain itu, Raja Saud juga ingin menerapkan kebijakan untuk menolak praktik bermazhab di wilayah kekuasaannya. Karena ia hanya ingin menerapkan Wahabi sebagai mazhab resmi kerajaan.


Rencana kebijakan tersebut lantas dibawa ke Muktamar Dunia Islam (Muktamar ‘Alam Islami) di Makkah. Bgai ulama pesantren, sentimen anti-mazhab yang cenderung puritan dengan berupaya memberangus tradisi dan budaya yang berkembang di dunia Islam menjadi ancaman bagi kemajuan peradaban Islam itu sendiri.


Choirul Anam (2010) mencatat bahwa KH Abdul Wahab Chasbullah bertindak cepat ketika umat Islam yang tergabung dalam Centraal Comite Al-Islam (CCI)--dibentuk tahun 1921--yang kemudian bertransformasi menjadi Centraal Comite Chilafat (CCC)—dibentuk tahun 1925--akan mengirimkan delegasi ke Muktamar Dunia Islam di Makkah tahun 1926.


Sebelumnya, CCC menyelenggarakan Kongres Al-Islam keempat pada 21-27 Agustus 1925 di Yogyakarta. Dalam forum ini, Kiai Wahab secara cepat menyampaikan pendapatnya menanggapi akan diselenggarakannya Muktamar Dunia Islam. Usul Kiai Wahab antara lain: “Delegasi CCC yang akan dikirim ke Muktamar Islam di Makkah harus mendesak Raja Ibnu Sa’ud untuk melindungi kebebasan bermazhab. Sistem bermazhab yang selama ini berjalan di tanah Hijaz harus tetap dipertahankan dan diberikan kebebasan”.


Kiai Wahab beberapa kali melakukan pendekatan kepada para tokoh CCC yaitu W. Wondoamiseno, KH Mas Mansur, dan H.O.S Tjokroamonoto, juga Ahmad Soorkatti. Namun, diplomasi Kiai Wahab terkait Risalah yang berusaha disampaikannya kepada Raja Ibnu Sa’ud selalu berkahir dengan kekecewaan karena sikap tidak kooperatif dari para kelompok modernis tersebut.


Hal ini membuat Kiai Wahab akhirnya melakukan langkah strategis dengan membentuk panitia tersendiri yang kemudian dikenal dengan Komite Hijaz pada Januari 1926. Pembentukan Komite Hijaz yang akan dikirim ke Muktamar Dunia Islam ini telah mendapat restu KH Hasyim Asy’ari.


Perhitungan sudah matang dan izin dari KH Hasyim Asy’ari pun telah dikantongi. Maka pada 31 Januari 1926, Komite Hijaz mengundang ulama terkemuka untuk mengadakan pembicaraan mengenai utusan yang akan dikirim ke Muktamar di Mekkah. Para ulama dipimpin KH Hasyim Asy’ari datang ke Kertopaten, Surabaya dan sepakat menunjuk KH Raden Asnawi Kudus sebagai delegasi Komite Hijaz.


Namun setelah KH Raden Asnawi terpilih, timbul pertanyaan siapa atau institusi apa yang berhak mengirim Kiai Asnawi? Maka lahirlah Jam’iyah Nahdlatul Ulama (nama ini atas usul KH Mas Alwi bin Abdul Aziz) pada 16 Rajab 1344 H yang bertepatan dengan 31 Januari 1926 M.


Riwayat-riwayat tersebut berkelindan satu sama lain, yaitu ikhtiar lahir dan batin. Peristiwa sejarah itu juga membuktikan bahwa NU lahir tidak hanya untuk merespons kondisi rakyat yang sedang terjajah, problem keagamaan, dan problem sosial di tanah air, tetapi juga menegakkan warisan-warisan kebudayaan dan peradaban Islam yang telah diperjuangkan oleh Nabi Muhammad dan para sahabatnya.


Tepat pada 31 Januari 2020, Nahdlatul Ulama berusia 94 tahun dalam hitungan tahun masehi. Sedangkan pada 16 Rajab 1441 mendatang, NU menginjak umur 97 tahun. Selama hampir satu abad tersebut, NU sejak awal kelahirannya hingga saat ini telah berhasil memberikan sumbangsih terhadap kehidupan beragama yang ramah di tengah kemajemukan bangsa Indonesia. Setiap tahun, Harlah NU diperingati dua kali, 31 Januari dan 16 Rajab.


Penulis: Fathoni Ahmad

Editor: Abdullah Alawi

Lahirnya NU_Pada kesempatan kali ini, kita akan belajar mengenai sejarah tentang bagaimana proses lahirnya NU, khususnya di Indonesia. NU sendiri merupakan organisasi islam (ORMAS) terbesar di Indonesia, setidaknya ada 3 (tiga) alasan atau motif lahirnya Nahdlatul Ulama. Berikut penjelasannya :

3 (tiga) alasan atau motif lahirnya NU (Nahdlatul Ulama)

1. Motif Agama

Kondisi Nusantara sebelum NU dan organisasi-organisasi Islam lainnya lahir berada dalam masa penjajahan kolonial Belanda dan Pemerintahan Hindia Belanda. Selain mempunyai tujuan menguasai dan mengeruk kekayaan alam Indonesia, mereka juga memiliki misi khusus yaitu kristenisasi atau kebijakan menasranikan rakyat Indonesia. Sebagaimana dikatakan oleh Gubernur Jendral Belanda pada waktu itu yakni Alexander Willem Frederik Idenburg (1909-1016). Dari kebijakan itu muncullah tindakan nyata dari pemerintah Hindia Belanda, yaitu dengan memberikan bantuan secara besar-besaran kepada misi Katolik dan Zending Protestan (Sekolah Katolik). Bantuan pemerintah Hindia Belanda tersebut diwujudkan dalam bentuk bangunan-bangunan sekolah, santunan sosial dan perhatian kesehatan masyarakat yaitu dengan cara mendirikan rumah sakit. Dengan demikian para pemimpin umat Islam atau para ulama merasa prihatin dan terpanggil untuk melawan penjajahan Belanda. Semakin keras kemauan perintah Hindia Belanda memberlakukan politik kristenisasi, semakin kuat pula semangat para ulama-ulama atau pemimpin umat Islam untuk melawannya. Sejarah mencatat bahwa gerakan organisasi Islam yang kemudian muncul adalah NU (Nahdlatul Ulama), yang lahir di Surabaya pada 31 Januari Tahun 1926 M. Dan di tahun-tahun sebelumnya juga sudah lahir beberapa organisasi-organisasi Islam, diantaranya adalah :
  • Syarikat Islam (Syarikat Dagang Islam) di Solo pada tahun 1905 M.
  • Muhammadiyah di Yogyakarta pada tahun 1912 M.
  • Al Irsyadiyah di Jakarta pada tahun 1914 M. Dan organisasi Islam yang lahir setelah NU seperti :
  • PERTI (Pergerakan Tarbiyah Islamiyah) di Bukit Tinggi Sumatra Barat pada tahun 1928 M.
  • Jami'iyyah Washliyah di Medan pada Tahun 1930 M.

2. Motif Membangun Nasionalisme

KH. Abdul Wahab H.

Ulama Ahlussunnah Wal Jamaah berusaha membangun semangat nasionalisme melalui kegiatan keagamaan dan pendidikan. Salah satu tokoh yang ikut andil dalam kegiatan pembangunan ini adalah Abdul Wahab Hasbullah setelah pulang menuntut ilmu di Mekah. Beliau mendirikan perguruan "Nahdlatul Wathon" pada tahun 1916 M. Perguruan ini resmi berbadan hukum dengan susunan kepengurusan : (1) Direktur : KH. Abdul Kahar. (2) Dewan Guru : KH. Wahab Hasbullah. (3) Kepala Madrasah : KH. Mansyur. (4) Pembantu : KH. Ridwan Abdullah.

Sejat itu, Nahdlatul Wathon dijadikan sebagai markas pengembangan ilmu bagi pemuda-pemuda. Mereka dididik untuk menjadi pemuda yang berilmu dan mencintai tanah airnya. Setiap hendak memulai kegiatan belajar mengajar, para murid diharuskan terlebih dahulu menyanyikan lagu perjuangan dalam syair bahasa Arab.

Perkembangan selanjutnya, KH. Abdul Wahab Hasbullah juga menjalin hubungan dengan ulama-ulama lainnya, diantaranya adalah KH. Ahmad Dahlan Pengasuh pondok pesantren Kebon Dalem Surabaya. Bersama beliau, KH. Hasbullah mendirikan madrasah "Taswirul Afkar" pada tahun 1919 M. Taswirul Afkar mula-mulanya hanyalah sebuah forum diskusi yang membahas mengenai berbagai masalah keagamaan dan kemasyarakatan. Selanjutnya menjadi pusat pendidikan dan penanaman nilai-nilai nasionalisme. Taswirul Afkar di bawah kepemimpinan KH. Ahmad Dahlan yang berpusat di Ampel Suci (dekat Masjid Ampel) semakin hari bertambah maju dan bertambah muridnya. Baca juga :

Meskipun KH. Wahab Hasbullah bersama ulama-ulama lainnya telah melakukan banyak perjuangan melalui pendidikan dan penanaman nasionalisme, namun beliau masih memiliki keinginan untuk mendirikan sebuah organisasi yang lebih tertata dengan baik. Maka dari itu, pada tahun 1924 M, KH. Abdul Wahab Hasbullah mengajukan ide untuk mendirikan perkumpulan ulama kepada KH. Hasyim Asy'ari yang merupakan guru dan sepenuhnya. KH. Hasyim Asy'ari yang pada saat itu dikenal sebagai panutan ulama-ulama pesantren di Jawa Madura, belum Merestui usulan dari KH. Abdul Wahab Hasbullah. Alasannya karena untuk mendirikan sebuah organisasi Islam perlu pemikiran yang mendalam dan perlu berkonsultasi langsung kepada para Masyayikh atau sesepuh agama, salah satunya kepada KH. Muhammad Kholil Bangkalan Madura.

Ibnu Saud

Kemenangan Ibnu Saud atas raja Syarif Husein di tanah Hijaz membawa dampak yang besar terhadap perkembangan Islam di dunia, termasuk di Indonesia. Ibnu Saud adalah murid Setia Muhammad bin Abdul Wahab, yaitu tokoh pendiri paham Wahabi. Suasana di negeri Hijaz utamanya di Mekkah dan Madinah muncul larangan-larangan terkait dengan praktik ibadah seperti larangan bermazhab, larangan berziarah ke makam-makam Pahlawan Islam dan larangan praktek ibadah haji sesuai mazhab 4. Hal tersebut membuat para ulama Ahlussunnah Wal Jamaah di tanah air termasuk KH. Abdul Wahab Hasbullah menjadi prihatin. Dan akhirnya, beliau bersama KH. Hasyim Asy'ari membentuk Komite Hijaz . Tugas utama komite ini adalah mempersiapkan pengiriman delegasi Islam di Mekkah dan menghubungi para ulama-ulama terkemuka di Jawa dan Madura. Para ulama-ulama yang dipimpin oleh KH, Hasyim Asy'ari tersebut bersama-sama datang ke daerah kertopaten Surabaya dan membuat keputusan bahwa yang menjadi delegasi komite Hijaz adalah KH.  Raden Asnawi Kudus sebagai delegasi komite Hijaz. Setelah terpilihnya KH. Raden Asnawi Kudus, kemudian timbul pertanyaan, siap yang berhak mengirim KH.  Raden Asnawi dan atas nama apa?

KH. Asnawi Kudus

Dan pada forum itu telah disepakati bahwa delegasi tersebut di atas namakan Jami'iyyah Nahdlatul Ulama. Nama ini atas usulan KH. Mas Alwi. Hari bersejarah tersebut jatuh pada tanggal 16 Rajab tahun 1344 Hijriyah atau bertepatan dengan 31 Januari 1926 M yang suratnya dikenang dan diperingati sebagai hari lahirnya Nahdlatul Ulama.

Namun demikian, KH. Raden Asnawi Kudus selaku utusan komite Hijaz tidak sampai ke tanah suci karena Tertinggal kapal laut. Pada akhirnya yang kemudian berangkat adalah KH. Abdul Wahab Hasbullah dan Syekh Ghonaim Al-Misri dan berhasil bertemu dengan raja Ibnu Saud. 

Misi utama delegasi Jami'iyyah Nahdlatul Ulama ini di antaranya adalah:

  • Meminta kepada raja Ibnu Saud untuk tetap memberlakukan kebebasan bermadzhab 4 yaitu Hanafi Maliki Syafi'i dan Hambali
  • Memohon tetap diperbolehkan mengunjungi situs-situs bersejarah Islam, karena tempat-tempat tersebut telah diwakafkan untuk masjid, seperti tempat kelahiran Siti Fatimah dan lain sebagainya.
  • Memohon agar disebarluaskan ke seluruh dunia setiap tahun sebelum jatuh musim Haji dan mengenai Urusan Haji seperti ongkos haji, ongkos perjalanan sekitar Mekkah Madinah.

Jadi selain alasan keagamaan dan nasionalisme, lahirnya Nahdlatul Ulama juga didorong oleh semangat untuk mempertahankan dan mengembangkan Islam yang berhaluan Ahlussunnah Wal Jamaah.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA