Sebutkan tiga tokoh yang menyebarkan islam di sulawesi selatan pada abad ke-16 masehi

etelah Sultan Alauddin menjadi Muslim, Islam menjadi agama kerajaan.

Youtube

Balla Lompoa atau istana Kerajaan Gowa

Red: Agung Sasongko

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di wilayah timur nusantara ada pula kerajaan besar, yakni Kerajaan Gowa. Berdiri pada 1300-an, kerajaan ini memainkan peran penting terkait masuknya Islam di tanah Sulawesi, utamanya pada masa pemerintahan Raja Gowa XIV bernama I Manga’rangi Daeng Manrabbia.

Ia adalah raja pertama Kerajaan Gowa yang menerima Islam dan membiar kan Islam berkembang di Sulawesi Selatan untuk menggantikan animisme, kepercayaan yang dianut masyarakat setempat sebelum Islam hadir.

Berkuasa pada 1593-1639 M, I Manga’rangi Daeng Manrabbia akhirnya memeluk Islam. Ia pun menjadi raja Gowa pertama yang memeluk agama Allah dan mendapat gelar Islam, yakni Sultan Alauddin. Belakangan, perdana menteri dan pejabat kerajaan lainnya mengikuti jejak sang sultan memeluk Islam.

Setelah menyandang gelar sultan, dalam menjalankan pemerintahan, Sultan Alauddin dibantu sebuah dewan yang disebut Kasuwiyang Salapanga (Majelis Sembilan) atau Bate Salapanga. Sedangkan, dalam menjalankan undang-undang pemerintahan, ia diawasi oleh paccalaya (hakim).

Dalam struktur pemerintahan Islam Kerajaan Gowa dikenal pula jabatan mangkubumi, pegawai tinggi urusan istana, panglima tertinggi (laksamana), bendahara kerajaan yang bertugas mengurus perdagangan dan hubungan luar negeri, serta pejabat khusus bidang keagamaan yang disebut kadhi. Untuk menyelenggarakan kegiatan dan pendidikan di bidang keagamaan, kadhi dibantu oleh imam, khatib, dan bilal.

Setelah Sultan Alauddin menjadi Muslim, Islam pun ditahbiskan menjadi agama resmi kerajaan. Hal ini menimbulkan konsekuensi, kerajaan-kerajaan taklukan Gowa pun wajib memeluk Islam. Sementara, kerajaan-kerajaan yang tidak mau memeluk Islam dianggap tak mematuhi pesan Sultan Alauddin yang juga adalah kakek dari Sultan Hasanuddin.

Sebelum Islam masuk, para raja di Sulawesi Selatan pernah membuat perjanjian yang isinya, “Siapa yang menemukan suatu jalan yang lebih baik, berjanji untuk memberitahu kan tentang jalan itu kepada raja-raja lainnya”. Namun nyatanya, perjanjian itu cenderung disepelekan oleh raja-raja itu. Sultan Alauddin yang menjadikan Gowa sebagai pusat penyebaran Islam di wilayah timur nusantara ini terus mengembangkan Islam, baik secara damai maupun perang.

Beberapa kerajaan di daerah Bugis, seperti Bone, Wajo, Soppeng, Sidenreng, dan lainnya menolak keras ajakan Raja Gowa. Akibat penolakan itu, Raja Gowa terpaksa angkat senjata dan mengirim bala tentara ke daerah itu.

Pada 1608, beberapa pasukan gabungan Kerajaan Bugis itu mengalahkan Gowa, tetapi pada tahun berikutnya semuanya berhasil ditundukkan dan bersedia menerima Islam sebagai agama kerajaan. Sidenreng dan Soppeng pada 1609, Wajo pada 1610, dan Bone pada 1611. Perang Islam di tanah Bugis saat itu disebut Musu Assalengeng (Perang Islam). Penerimaan Islam oleh para raja itu kemudian diikuti masing-masing rakyatnya.

Saat Sultan Alauddin berkuasa, tak pelak Islamisasi terjadi besar-besaran di Sulawesi Selatan. Selain melalui gerakan penaklukan, Sultan Alauddin juga melakukan upaya lain untuk menyebarkan ajaran Islam di wilayah ini. Upaya itu adalah mendatangkan tiga ulama dari Sumatra, yakni Khatib Tunggal Abdul Makmur yang mendapat gelar Dato’ri Bandang, Khatib Sulaiman (Dato’ri Pattimang) yang ber perang besar dalam menyebarkan Islam di Kerajaan Luwu), dan Khatib Bungsu (Dato’ri Tiro) yang aktif menyebarkan Islam di daerah Bulukumba.

Pusat penyebaran Islam

Derap penyebaran Islam yang dijalankan Sultan Alauddin menjadikan Kerajaan Gowa sebagai motor penyebaran Islam. Pada masa itu, hampir seluruh kerajaan di Sulawesi Selatan memeluk agama Islam, kecuali Tana Toraja. Makassar pun menjadi pusat penyebaran Islam di nusantara bagian timur. Dari Makassar, agama Islam menyebar sampai Kalimantan Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur.

Meski berjuang menyebarkan Islam, Sultan Alauddin dan beberapa raja penggantinya tak melarang umat Katolik untuk mendirikan gereja di Makassar. Kehadiran misionaris Katolik di Pelabuhan Makassar yang ramai dikunjungi para pedagang dari seluruh dunia pada waktu itu tidak ditolak. Gereja tua yang dibangun sejak Sultan Alauddin berkuasa masih bisa disaksikan hingga saat ini.

Sultan Alauddin wafat pada 15 Juni 1639. Ia diberi gelar “Tumenanga ri Gaukanna” atau yang mangkat dalam kebesaran ke kua saannya. Sedangkan, sumber lainnya menya takan, Sultan Alaud din di beri gelar “Tumenanga ri Agamana” atau yang mangkat dalam aga manya. berbagai sumber

  • kerajaan gowa
  • sultan alaudin
  • islam di sulawesi

Sebutkan tiga tokoh yang menyebarkan islam di sulawesi selatan pada abad ke-16 masehi

sumber : Dialog Jumat Republika

Datuk Ri Bandang yang bernama asli Abdul Makmur dengan gelar Khatib Tunggal adalah seorang ulama dari Koto Tangah, Minangkabau yang menyebarkan agama Islam ke kerajaan-kerajaan di wilayah timur nusantara, yaitu Kerajaan Luwu, Kerajaan Gowa, Kerajaan Tallo dan Kerajaan Gantarang (Sulawesi) serta Kerajaan Kutai (Kalimantan) dan Kerajaan Bima (Nusa Tenggara). Datuk ri Bandang bersama dua orang saudaranya yang juga ulama, yaitu Datuk Patimang yang bernama asli Datuk Sulaiman dengan gelar Khatib Sulung dan Datuk Ri Tiro yang bernama asli Nurdin Ariyani dengan gelar Khatib Bungsu dan seorang temannya, Tuan Tunggang Parangan melaksanakan syiar Islam sejak kedatangannya pada penghujung abad ke-16 hingga akhir hayatnya ke kerajaan-kerajaan yang ada di timur nusantara pada masa itu.[1][2]

Sebutkan tiga tokoh yang menyebarkan islam di sulawesi selatan pada abad ke-16 masehi
Datuk ri BandangLahirAbdul Makmur
Abad 16
Koto Tangah, MinangkabauMeninggalAbad 17
Tallo, Kerajaan Tallo, SulawesiNama lainKhatib TunggalPekerjaanUlamaDikenal atasPenyebar Islam di Luwu, Gowa, Tallo, Kerajaan Gantarang (Sulawesi), Kutai (Kalimantan) dan Kerajaan Bima (Nusa Tenggara)

 

Bangunan makam Datuk ri Bandang di Makassar

Pada awalnya, Datuk Ri Bandang berdakwah ke Kutai (Kerajaan Kutai, Kalimantan Timur, tetapi karena situasi masyarakat yang belum memungkinkan dia pergi ke Makassar (Kerajaan Gowa, Sulawesi), dan melaksanakan syiar Islam bersama temannya, Tuan Tunggang Parangan di kerajaan tersebut. Temannya, Tuan Tunggang Parangan tetap bertahan di Kutai, dan akhirnya berhasil mengajak Raja Kutai (Raja Mahkota) beserta seluruh petinggi kerajaan masuk Islam.

Setelah kembali lagi ke Makassar, Datuk Ri Bandang bersama dua saudaranya Datuk Patimang dan Datuk Ri Tiro menyebarkan agama Islam dengan cara membagi wilayah syiar mereka berdasarkan keahlian yang mereka miliki dan kondisi serta budaya masyarakat Sulawesi Selatan atau Bugis/Makassar ketika itu. Datuk Ri Bandang yang ahli fikih berdakwah di Kerajaan Gowa dan Tallo, sedangkan Datuk Patimang yang ahli tentang tauhid melakukan syiar Islam di Kerajaan Luwu, sementara Datuk Ri Tiro yang ahli tasawuf di daerah Tiro dan Bulukumba[3]

Pada mulanya Datuk ri Bandang bersama Datuk Patimang melaksanakan syiar Islam di wilayah Kerajaan Luwu, sehingga menjadikan kerajaan itu sebagai kerajaan pertama di Sulawesi Selatan, Tengah dan Tenggara yang menganut agama Islam. Kerajaan Luwu merupakan kerajaan tertua di Sulawesi Selatan dengan wilayah yang meliputi Luwu, Luwu Utara, Luwu Timur serta Kota Palopo, Tana Toraja, Kolaka (Sulawesi Tenggara) hingga Poso (Sulawesi Tengah).

Dengan pendekatan dan metode yang sesuai, syiar Islam yang dilakukan Datuk ri Bandang dan Datuk Patimang dapat diterima Raja Luwu dan masyarakatnya. Bermula dari masuk Islam-nya seorang petinggi kerajaan yang bernama Tandi Pau, lalu berlanjut dengan masuk Islam-nya raja Luwu yang bernama Datu' La Pattiware Daeng Parabung pada 4-5 Februari 1605, beserta seluruh pejabat istananya setelah melalui dialog yang panjang antara sang ulama dan raja tentang segala aspek agama baru yang dibawa itu. Setelah itu agama Islam-pun dijadikan agama kerajaan dan hukum-hukum yang ada dalam Islam-pun dijadikan sumber hukum bagi kerajaan.[4]

 

Batu nisan berjenis batu Aceh pada makam Datuk ri Bandang

Setelah Raja Luwu dan keluarganya beserta seluruh pejabat istana masuk Islam, Datuk ri Bandang pergi dari Kerajaan Luwu menuju wilayah lain di Sulawesi Selatan dan kemudian menetap di Makassar sambil melakukan syiar Islam di Gowa, Takalar, Jeneponto, Bantaeng. Dakwah Islam yang dilaksanakan Datuk ri Bandang akhirnya juga berhasil mengajak Raja Gowa, I Manga'rangi Daeng Manrabia dan Raja Tallo, I Malingkang Daeng Manyonri beserta rakyatnya masuk Islam. Dikemudian hari sang ulama itu-pun akhirnya wafat dan dimakamkan di wilayah Tallo.

Sementara itu Datuk Patimang menetap di Kerajaan Luwu dan meneruskan syiar Islamnya ke rakyat Luwu, Suppa, Soppeng, Wajo dan lain-lain yang masih banyak belum masuk Islam. Dikemudian hari sang penyebar Islam itu-pun akhirnya wafat dan dimakamkan di Desa Patimang, Luwu. Sedangkan Datuk ri Tiro melakukan syiar Islam di wilayah selatan, yaitu Tiro, Bulukumba, Bantaeng dan Tanete, yang masyarakatnya masih kuat memegang budaya sihir dan mantra-mantra. Datuk ri Tiro yang kemudian berhasil mengajak raja Karaeng Tiro masuk Islam dikemudian hari juga wafat dan dimakamkan di Tiro atau sekarang Bontotiro.

  1. ^ "Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho Notosusanto, Sejarah nasional Indonesia, Volume 3". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-01-19. Diakses tanggal 2013-01-23. 
  2. ^ http://www.wisatanews.com Tradisi Hanta Ua Pua, Bentuk Penghormatan Atas Rasulullah dan Ulama
  3. ^ Ahmad M. Sewang, Islamisasi Kerajaan Gowa: abad XVI sampai abad XVII
  4. ^ http://www.seputar-indonesia.com JEJAK ULAMA DI SULSEL - Datuk Sulaiman, Penyebar Islam di Luwu

  • Tiga Datuk Minangkabau Menyebar Islam Ke Tanah Bugis
  • Gantarang Lalan Bata, Jejak Pertama Datuk Ri Bandang di Pulau Selayar[pranala nonaktif permanen]
 

Artikel bertopik biografi Indonesia ini adalah sebuah rintisan. Anda dapat membantu Wikipedia dengan mengembangkannya.

  • l
  • b
  • s

Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Datuk_ri_Bandang&oldid=20542969"