Sebutkan perilaku K.H. Ahmad Dahlan yang Amar ma ruf Nahi Munkar

tirto.id - Nama aslinya Muhammad Darwis. Pada 1883 ia berangkat ke Makkah untuk memperdalam ilmu agama. Menjelang kepulangannya ke tanah air, seperti lazimnya tradisi masa itu, ia menemui seorang ulama yang akan memberikan nama Arab sebagai pengganti nama lama.

Ahmad Dahlan adalah nama barunya. Sosok ini adalah pendiri Muhammadiyah pada 1912 di Yogyakarta. Ia beberapa kali mukim di Makkah. Pada keberangkatannya yang kedua tahun 1903, di tanah suci ia belajar kepada sejumlah guru, salah satunya kepada Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Mufti Mazhab Syafi’i di Masjidil Haram.

Ia juga mempelajari gerakan-gerakan pembaruan Islam yang saat itu tengah populer di beberapa negara. Ahmad Dahlan belajar dan mengkaji pemikiran tokoh-tokoh pembaruan seperti Jamaluddin al-Afghani, Ibnu Taimiyah, Muhammad Abduh, dan Muhammad Rasyid Rida.

“Ahmad Khatib [al-Minangkabawi] membela mazhab Syafi’i, tetapi dia memperkenankan murid-muridnya membaca karya-karya kaum modernis," tulis M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (2008).

Gagasan pembaruan agama sampai juga ke tanah air lewat sejumlah majalah dan jurnal seperti Al Urwatul Wustqa dan Al-Manar, yang dibawa jemaah haji Indonesia yang kembali dari tanah suci.

Gerakan pembaruan yang menarik minatnya membuat ia secara khusus menemui Muhammad Abduh dan Rasyid Rida untuk mendiskusikan esensi gerakan pembaruan.

Selain mempelajari pemikiran pembaruan agama dari ulama-ulama Timur Tengah, Ahmad Dahlan juga belajar kepada Ahmad Surkati, ulama keturunan Sudan yang telah lama menetap di Jawa.

“Pertemuan mereka menghasilkan kesepakatan bahwa Kiai Haji Ahmad Dahlan akan mendirikan Muhammadiyah untuk menampung masyarakat bumi putera, sedang Ali [Ahmad] Soorkati mendirikan Al-Irsyad untuk mewadahi masyarakat Arab," tulis Abdul Mu’thi dan kawan-kawan dalam K.H. Ahmad Dahlan (1868-1923).

Baca juga: Syekh Ahmad Khatib, Guru Para Guru & Ulama yang Tak Gentar Berdebat

Pembaru Bukan Berarti Kaku

Gerakan pembaruan agama yang dijalankan Muhammadiyah tentu bertolak belakang dengan kaum tradisional yang masih berpegang atau setidaknya menoleransi hal-hal yang bersumber dari tradisi, bukan dari Islam.

Meski demikian, Ahmad Dahlan justru terkenal sebagai sosok yang sangat toleran dengan praktik keagamaan di zamannya sehingga mudah diterima semua golongan. Hal ini dijelaskan Abdul Mu’thi dan kawan-kawan dalam K.H. Ahmad Dahlan (1868-1923). Hubungan antara Ahmad Dahlan dengan keraton Yogyakarta, sebagai pusat kekuasaan dan budaya yang kental dengan tradisi kejawen, cukup harmonis.

Meski ia adalah seorang yang tak pernah jemu melancarkan kritik atas praktik takhayul, perdukunan, gugon-tuhon (jimat dan kesaktian mistik), tak pernah ada berita tentang konflik antara dirinya dengan penguasa keraton.

Perubahan hubungan antara Muhammadiyah dengan keraton terjadi seiring dengan menguatnya ortodoksi fikih atau hukum legal syariah dalam perjalanan Muhammadiyah setelah Ahmad Dahlan—yang menurut Farid Ma’ruf (pengurus Muhammadiyah) sebagai sosok yang mencerminkan sufi model Ghazalian—meninggal pada 1923.

“Penguatan ajaran fikih bukan saja menempatkan pelbagai bentuk ajaran sufi sebagai sasaran kritik, tapi juga penempatan gerakan Islam sebagai kekuatan yang berhadap-hadapan dengan kekuasaan, baik kerajaan maupun penguasa kolonial," tulis Abdul Mu'thi.

Keluwesan Ahmad Dahlan dalam mengusung semangat pembaruan agama bukan saja dengan pihak kekuasaan, ia juga, sebagaimana dicatat Abdul Munir Mulkan dalam Marhaenis Muhammadiyah (2010), dapat membaur dengan semua golongan. Ahmad Dahlan dekat dengan dengan Boedi Oetomo yang cenderung sekuler atau abangan. Ia juga tak segan menjadi pengurus Boedi Oetomo dan mengajar agama untuk murid-murid Kweekshool.

Warsa 1914, berkat keluwesannya dalam bergaul, kawan-kawannya di Boedi Oetomo meminjaminya sejumlah uang untuk mendirikan sekolah Muhammadiyah Karangkajen, Yogyakarta. Kawan-kawannya itu bahkan menjadi penjamin agar ia dapat meminjam uang dari bank.

“[Meski demikian] orang hanya mengingatnya sebagai tokoh pemurnian Islam yang konsekuen dengan gagasannya," catat Munir Mulkhan.

Munir Mulkan menambahkan saat itu Muhammadiyah yang dipimpin Ahmad Dahlan menghadapi tiga front, yaitu modernisme, tradisionalisme, dan Jawaisme.

Tantangan pertama ia jawab dengan mendirikan sejumlah sekolah modern, kepanduan, dan pemberlakuan pengajaran sejumlah ilmu umum seperti bahasa Melayu, berhitung, ilmu bumi, ilmu hayat, dan baca-tulis Latin.

Sementara untuk menghadapi tradisionalisme, ia menggunakan tablig (penyampaian) dengan mengunjungi murid-muridnya, lebih daripada menunggu mereka datang, yang waktu itu masih tabu dilakukan seorang guru.

Apalagi Ahmad Dahlan waktu itu merupakan Ketua Hoofd-Bestuur Muhammadiyah, pernah bermukim di Makkah, khatib Masjid Besar Kesultanan, anggota pengadilan agama Kesultanan, dan penasihat agama Central Sarekat Islam. Artinya, ia sudah berhak menjadi guru yang didatangi murid.

“Tetapi tidak, ia memilih mengunjungi para muridnya. Penampilannya tidak lebih dari guru mengaji masa kini […] pada 8 September 1915 ia [juga] dikabarkan mengantar murid-murid berekreasi di Sri Wedari," imbuh Munir Mulkan.

Dalam konteks waktu itu, tambahnya, tablig yang dilakukan Ahmad Dahlan mempunyai dua implikasi, yakni perlawanan tak langsung terhadap idolatry (pemujaan tokoh) ulama dan perlawanan tak langsung terhadap mistifikasi agama.

Dan dalam menghadapi Jawaisme, ia menggunakan metode dengan mengedepankan amar makruf daripada nahi munkar. Ahmad Dahlan menyebut keberuntungan adalah semata-mata karena kehendak Allah dan salat sunah adalah salah satu jalan untuk meraihnya

Ia hendak menekankan keberuntungan tidak bersumber dari pesugihan, minta-minta di kuburan keramat, dan hal takhayul lainnya, tapi ia menyampaikannya dengan cara tidak langsung. Dakwahnya itu lambat laun diterima banyak orang.

Baca juga: Mula dan Akhir Perjalanan K.H. A. Wahid Hasjim

Semangat Mengamalkan Surat al-Maun (adsbygoogle = window.adsbygoogle || []).push({});

Kisah populer yang menggambarkan visi pergerakan amal usaha Muhammadiyah dalam melayani umat adalah ketika Ahmad Dahlan terus-menerus mengajarkan surat al-Maun kepada murid-muridnya sehingga mereka bosan. Begini terjemahan suratnya:

Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?/Maka itulah orang yang menghardik anak yatim/dan tidak mendorong memberi makan orang miskin/Maka celakalah orang yang salat/(yaitu) orang-orang yang lalai terhadap salatnya/yang berbuat ria/dan enggan (memberikan) bantuan."

Mereka pun bertanya kepada gurunya mengapa tidak beranjak mengajarkan surat yang lain. Ahmad Dahlan kemudian bertanya kepada murid-muridnya apakah mereka sudah mengamalkan surat al-Maun atau belum. Para murid menjawab, mereka sudah mengamalkan, bahkan sudah menjadikan al-Maun sebagai bacaan pada setiap salat.

“Kalian sudah hafal surat al-Maun, tapi bukan itu yang saya maksud. Amalkan! Diamalkan, artinya dipraktekkan, dikerjakan! Rupanya, saudara-saudara belum mengamalkannya," ucap Ahmad Dahlan seperti dikutip Junus Salam dalam K.H. Ahmad Dahlan: Amal dan Perjuangannya (2009).

Selanjutnya ia menyuruh murid-muridnya untuk berkeliling mencari orang miskin dan membawanya pulang, lalu dimandikan dengan sabun, diberi pakaian yang bersih, diberi makan dan minum, serta disediakan tempat tidur yang layak.

Sebutkan perilaku K.H. Ahmad Dahlan yang Amar ma ruf Nahi Munkar

undefined

Zuly Qodir dalam Muhammadiyah Studies: Reorientasi Gerakan dan Pemikiran Memasuki Abad Kedua (2010) menerangkan perspektif surat al-Maun yang terus-menerus diulang Ahmad Dahlan kepada para muridnya adalah spirit Muhammadiyah sebagai organisasi Islam yang populis, kerakyatan, dan bukan borjuis.

Ahmad Dahlan merasa tak cukup jika persoalan agama sekadar menjadi teks doktrinal yang dihafalkan tanpa praktik nyata untuk mengentaskan pelbagai persoalan umat. Maka sampai sekarang dapat kita lihat betapa banyak lembaga sosial dan pendidikan di bawah naungan Muhammadiyah yang melayani umat.

“Pengulangan itu dimaksudkan agar para santri memahami pesan ayat-ayat sosial dalam surat al-Maun itu. Artinya, surat pendek itu harus diinternalisasikan secara sungguh-sungguh ke setiap pribadi Muslim," tulis M. Alfan Alfian dalam Menjadi Pemimpin Politik (2009) mengutip pernyataan K.H. A.R. Fachruddin, Ketua PP Muhammadiyah terlama.

Sementara Abdul Khamil dan Sony Bakhtiar dalam Dahsyatnya Memberi untuk Negeri (2018) menerangkan teologi al-Maun yang dijadikan Ahmad Dahlan untuk bergerak membantu umat didasari dari keprihatinannya pada kondisi umat yang berada dalam kebodohan, kemiskinan, dan keterbelakangan.

Lebih lanjut Khamil dan Bakhtiar menambahkan spirit yang memancar dari surat tersebut adalah energi untuk menggerakkan murid-murid Ahmad Dahlan untuk bersama-sama mengangkat harkat martabat umat melalui bantuan-bantuan sosial dan pendidikan.

Dalam menggerakkan Muhammadiyah sebagai organisasi Islam yang fokus pada pengentasan permasalahan sosial dan pendidikan umat, Ahmad Dahlan sempat menyampaikan sebuah pesan yang sangat populer: “Hidup-hidupilah Muhammadiyah dan jangan cari penghidupan di Muhammadiyah."

==========

Sepanjang Ramadan hingga lebaran, kami menyuguhkan artikel-artikel yang mengetengahkan pemikiran para cendekiawan Muslim Indonesia di paruh pertama abad ke-20. Kami percaya bahwa pemikiran mereka telah berjasa membentuk gagasan tentang Indonesia dan berkontribusi penting bagi peradaban Islam. Artikel-artikel tersebut ditayangkan dalam rubrik "Al-Ilmu Nuurun" atau "ilmu adalah cahaya".

Baca juga artikel terkait AL-ILMU NUURUN atau tulisan menarik lainnya Irfan Teguh
(tirto.id - irf/ivn)


Penulis: Irfan Teguh
Editor: Ivan Aulia Ahsan

Subscribe for updates Unsubscribe from updates