Sebutkan 5 Permasalahan transportasi laut di Indonesia

Jakarta - Pengamat Transportasi Darmaningtyas menilai pemerintah masih kurang dalam memberi perhatian kepada manajemen dan penegakan aturan transportasi air. Hal ini diungkapkan Darmaningtyas menanggapi kecelakaan pelayaran yang terjadi dalam waktu dekat.

"Ya memang harus diakui bahwa perhatian terhadap angkutan laut itu selama ini kurang," ujar Darmaningtyas kepada detikcom, Selasa (3/7/2018).

Menurutnya, pemerintah saat ini masih terfokus pada pelayaran berskala besar dalam program tol laut. Namun pemerintah kurang memperhatikan pelayaran rakyat yang justru beroperasi di luar standar opersional. "Pemerintah sekarang baru memulai yang besar-besar dengan Tol Laut, sementara yang kasus-kasus seperti yang Kapal Arista 13 Juni lalu, terus (KM Sinar Bangun) di Danau Toba, itu kan pelayaran rakyat. Nah yang kurang, atau belum mendapat perhatian itu pelayaran rakyat," katanya.Darminingtyas mengungkapkan, masih banyak permasalahan dalam pelayaran rakyat tidak memperoleh perhatian pemerintah. Salah satunya ketersediaan dermaga yang memadai di seluruh pulau-pulau. "Menurut saya tahun 2019 itu pemerintah sudah harus mengarahkan perhatiannya terhadap pelayaran rakyat. Tapi kan jumlahnya banyak itu, karena kan pulau-pulau kita ini kan jumlahnya 17.000 lebih, itu kan berarti setiap pulau kan minimal ada dua dermaga. Jadi paling tidak minimal itu ada 34.000 dermaga, untuk membangun itu kan membutuhkan dana besar," ungkapnya.Direktur Eksekutif Institut Studi Transportasi (Instran) itu pun menjelaskan, meski kecelakaan terjadi di tengah perairan, namun faktor dermaga turut mempengaruhi. Hal ini karena kecelakaan pelayaran yang terjadi sebagai akibat dari dampak sistemik aturan yang tidak ditegakkan."Itu sistemik, kenapa saya katakan sistemik, karena kan misalnya yang Kapal Arista yang tanggal 13, itu konon kan kapalnya kapal barang, berangkatnya dari pelabuhan ikan, bukan dari dermaga pelabuhan penumpang," jelasnya."Jadi kapalnya sudah tidak memenuhi standar, pelabuhannya tidak memenuhi standar, lalu tidak ada pelampung dan sebagainya, tidak ada manifes penumpang, jadi sistemik. Faktor cuaca itu kan sebetulnya (berhubungan) dengan teknologi sekarang, dengan peran BMKG," imbuhnya.Untuk itu, faktor cuaca dikatakan Darmaningtyas tidak dapat sepenuhnya disebut menjadi penyebab kecelakaan pelayaran. Jika ada koordinasi yang baik dengan BMKG, maka kapal dapat dilarang berlayar karena cuaca buruk."Kan kalau sistemnya (koordinasi dengan BMKG) jalan bisa diketahui, apakah ini memungkinkan untuk berlayar atau tidak, kan begitu. Kalau zaman sekarang hampir tidak ter-update informasi dari BMKG, berarti kan teknologinya belum dimanfaatkan," tuturnya.Darmaningtyas pun kembali menegaskan, kecelakaan pelayaran yang terjadi karena faktor sistemik. Banyak standar dan prosedur yang belum dijalankan dengan baik di pelayaran rakyat.

"Sistemik itu kapalnya belum memenuhi standar keselamatan, pelabuhannya atau dermaganya juga tidak memenuhi keselamatan, standar operasional prosedurnya itu juga nggak memenuhi standar keselamatan. Standar operasional prosedur keselamatan itu misalnya, sebelum naik penumpang diberi tahu di mana letak jaket pelampungnya, di mana menghadapi situasi darurat di air, itu standar operasional prosedur, nah itu tidak ada di pelayaran rakyat," ucapnya. (nvl/zak)

(Jakarta, 25/2/2014) Transportasi laut memiliki peran yang sangat penting bagi negara kepulauan. Indonesia yang memiliki 17.000 pulau dan disatukan lautan yang luas, transportasi laut menjadi " Urat Nadi" bagi perekonomian Indonesia.Mengingat sangat  vitalnya transportasi bagi perekonomian, maka transpotasi laut harus dikembangkan dengan baik dan benar untuk menunjang pertumbuhan perekonomian."Transportasi laut merupakan salah satu urat nadi perekonomian Indonesia. Jika transportasi laut terganggu, maka perekonomian nasional juga terganggu," ujar Wakil Menteri Perhubungan Bambang Susantono ketika membuka Rapat Kerja Direktorat Jendral Perhubungan Laut " Dengan Semangat Reformasi Birokrasi, Kita Laksanakan Revitalisasi Kinerja Aparatur Direktorat Jendral Laut Guna Terwujudnya Peningkatan Pelayanan, Integritas dan Keselamatan" di Kantor Kementerian Perhubungan Jakarta, Selasa.Bambang mengatakan, tantangan pembangunan transportasi sangat kompleks termasuk transportasi laut sebagai dampak perkembangan ekonomi global dalam beberapa tahun terakhir. Karena itu, pembangunan transportasi laut tidak boleh hanya berorientasi pada skala nasional saja, namun juga harus berorientasi pada skala regional dan internasional.Indonesia kata Wamenhub memiliki 2.392 pelauhan resmi dan lebih banyak lagi pelabuhan tidak resmi. " Setiap 40 kilo meter panjang terdapat satu pelabuhan. Hal itu sah - sah saja karena memang Indonesia merupakan negara kepulauan," kata Wamenhub.Untuk mengantisipasi tantangan transportasi laut yang cukup berat, Wamenhub berpesan kepada peserta Raker sebagai aparatur Kementerian Perhubungan dituntut untuk mampu beradaptasi dan melakukan perubahan ke arah yang lebih." Dari Raker ini saya berharap ada masukan - masukan baik yang buttom up maupun top down, untuk perbaikan transportasi laut.Pada kesempatan tersebut, Wamenhub menyinggung tentang pejabat yang tidak ada di tempat pada waktu kerja.

" Kalau hal itu karena tugas tidak masalah. Tetapi kalau karena hal-hal yang tidak ada kaitan dengan kerja, tentu memberi contoh yang tidak baik," tegas Wamenhub.(SNO).


 

Oleh: Tedy Herdian, S.Kom, M.M.
Deputy Port Facility Security Officer | TPK Koja
Dosen | Institut Transportasi dan Logistik Trisakti

Indonesia merupakan negara maritim yang terdiri dari pulau-pulau yang terbentang dari Sabang sampai Merauke, dengan jumlah pulau sebanyak 17.508. Jarak antarpulau tersebut tentunya memerlukan konektivitas pendukung untuk menunjang stabilitas perekonomian bangsa secara merata.

Berdasarkan data Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, Indonesia memiliki luas wilayah 5,180,053 km² dengan luas daratan 1,922,570 km² (37.11%) dan luas perairan 3,257,483 km² (62.89%). Data tersebut jelas memperlihatkan bahwa sebagian besar wilayah Indonesia terdiri dari perairan. Melihat hal tersebut, konektivitas sangat diperlukan mengingat kondisi geografis Indonesia yang sebagian besar adalah perairan.

Konektivitas antarpulau di Indonesia salah satunya ditunjang dengan ketersediaan pelabuhan. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 17 tahun 2008 tentang Pelayaran, Pelabuhan: tempat yang terdiri atas daratan dan/atau perairan dengan batas-batas tertentu  sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan pengusahaan yang dipergunakan sebagai tempat kapal bersandar, naik turun penumpang dan/atau bongkar muat barang, berupa terminal dan tempat berlabuh kapal yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan dan keamanan pelayaran dan kegiatan penunjang pelabuhan serta sebagai tempat perpindahan intra dan antarmoda transportasi.

Pengertian kepelabuhanan yaitu segala sesuatu yang berkaitan dengan kegiatan penyelenggaraan pelabuhan dan kegiatan lainnya dalam melaksanakan fungsi pelabuhan untuk menunjang kelancaran, keamanan, dan ketertiban arus lalu lintas kapal, penumpang, dan/atau barang, keselamatan berlayar, serta tempat perpindahan intra dan/atau antar moda transportasi.

Fungsi pelabuhan di Indonesia menjadi sangat penting seiring dengan berkembangnya industri yang berorientasi ekspor, karena pelabuhan menjadi salah satu unsur penentu dalam aktivitas perdagangan. Keberadaan pelabuhan pada hakikatnya adalah untuk memfasilitasi pemindahan barang antara moda transportasi darat (inland transport) dan moda transportasi laut (maritime transport) serta menyalurkan barang masuk dan keluar daerah pabean secepat dan seefisien mungkin.

Menurut Lestariono, pelabuhan laut mempunyai kedudukan yang strategis bagi pertumbuhan ekonomi dari suatu negara, mengingat:

  1. Pelabuhan laut dapat menyediakan suatu akses langsung ke pasaran dunia yang merupakan kesempatan baik bagi negara sedang berkembang untuk berdagang dengan banyak negara tanpa biaya perantara;
  2. Pelabuhan laut juga dapat merupakan sumber untuk mendapatkan mata uang asing (devisa) melalui barang atau komoditi yang diekspor;
  3. Suatu pelabuhan laut yang besar dapat menjamin ketidaktergantungan ekonomi atau politik kepada negara lain; dan
  4. Kegiatan mengimpor barang-barang konsumsi, bahan baku, dan modal dari negara industri (negara maju) melalui pelabuhan laut.

Permasalahan dalam Aktivitas Pelabuhan
Efisiensi dan efektivitas kegiatan kepelabuhanan masih terkendala oleh beberapa permasalahan yang ada. Masalah kepelabuhanan adalah hal-hal yang menyangkut hubungan antara kapal, muatan, dan jasa pelabuhan. Kapal memerlukan tempat bersandar di dermaga dan memerlukan berbagai pelayanan selama di pelabuhan. Muatan memerlukan jasa terminal di pelabuhan dalam proses peralihan dari kapal ke angkutan darat. Pelabuhan menyediakan jasa-jasa bagi kapal dan muatan agar tidak terjadi hambatan dalam pelayaran kapal dan arus barang serta arus penumpang. Kegiatan pelayanan di pelabuhan ditunjang oleh beberapa prasarana, di antaranya: dermaga, terminal, gudang, lapangan penimbunan, navigasi dan telekomunikasi, peralatan bongkar muat, dan perkantoran (Nasution, 2004).

Beberapa permasalahan dalam aktivitas di pelabuhan di antaranya:

  1. Dwelling time dan waiting time
    Dwelling time merupakan sebuah proses yang dibutuhkan sejak barang/petikemas turun dari kapal atau barang/petikemas ditumpuk di lapangan penumpukan hingga barang/petikemas keluar dari terminal/pelabuhan. Terdapat tiga proses utama yang terjadi saat dwelling time di antaranya adalah pre-clearance, customs-clearance dan post-clearance. Dwelling time pada proses ekspor barang/petikemas terhitung lebih cepat dibandingkan kegiatan impor.

    Waiting time adalah waktu tunggu kapal untuk dapat bersandar di dermaga dan melakukan proses bongkar-muat barang. Semakin kecil atau nol waiting time-nya maka kinerja bongkar muat di terminal/pelabuhan semakin baik. Sebaliknya, jika waiting time-nya semakin besar, maka akan berdampak pula pada kinerja terminal/pelabuhan.

    Faktor-faktor yang mempengaruhi waiting time di antaranya adalah ketersediaan fasilitas (kecukupan) dermaga, peralatan bongkar muat yang memadai serta fasilitas pendukung lainnya seperti lapangan penumpukan dan peralatan angkat dan angkut yang digunakan untuk kegiatan trucking, serta lift on dan lift off di lapangan penumpukan. Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah kinerja atau produktivitas bongkar muat yang dilakukan oleh crane di dermaga (//www.republika.co.id).

  1. Demurrage
    Salah satu permasalahan yang terjadi di Pelabuhan Indonesia adalah adanya demurrage. Demurrage adalah batas waktu pemakaian peti kemas di dalam pelabuhan (container yard). Batas waktu untuk barang impor dihitung sejak proses bongkar peti kemas (discharges) dari sarana pengangkut/kapal hingga peti kemas keluar dari pintu pelabuhan (get out), sedangkan untuk barang ekspor, batas waktu pemakaian peti kemas dihitung mulai dari pintu masuk pelabuhan (get in) sampai peti kemas dimuat (loading) ke atas sarana pengangkut/kapal. Seringkali, waktu tunggu untuk berlabuh jauh lebih lama daripada waktu untuk berlayar (//www.beacukai.go.id).

    Free time demurrage diberikan kepada penyewa apabila dapat mengembalikan peti kemas yang sudah dalam keadaan kosong kepada pihak pelayaran (shipping line) selama berada dalam batas waktu yang diberikan, jika terlambat maka penyewa harus membayar denda kepada perusahaan pelayaran.

  1. Peralatan penunjang aktivitas pelabuhanPeralatan bongkar muat sangat dibutuhkan untuk menunjang kegiatan di pelabuhan. Permasalahan yang kerap terjadi adalah minimnya peralatan sehingga mengakibatkan terlambatnya aktivitas bongkar muat di pelabuhan. Hal tersebut menyebabkan keterlambatan kapal yang bersandar di pelabuhan sehingga harga sewa yang dibayarkan oleh pihak ekspedisi akan lebih besar dan akan berdampak pada harga jual barang yang ditawarkan.

    Permasalahan kekurangan peralatan seperti crane dan forklift masih terjadi di beberapa pelabuhan Indonesia, salah satunya di pelabuhan Nusantara Waingapu, Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT). Aktivitas bongkar muat di pelabuhan Waingapu untuk satu kapal peti kemas membutuhkan waktu dua sampai tiga hari, sementara kapal barang curah tanpa peti kemas membutuhkan waktu tiga hingga empat hari. Jika ada tambahan peralatan, maka waktu yang dibutuhkan untuk bongkar muat berpotensi dapat diselesaikan dalam waktu hanya satu hari (//www.nttonlinenow.com).

  1. Sumber Daya Manusia (SDM)
    Meningkatnya kegiatan bongkar muat dan aktivitas perdagangan baik luar negeri maupun domestik berkorelasi dengan peningkatan kualitas pelayanan pelabuhan agar semakin efektif dan efisien. Upaya meningkatkan kualitas pelayanan pelabuhan tersebut salah satunya ditunjang oleh ketersediaan SDM yang andal dan memiliki keterampilan teknis dalam kegiatan operasional pelabuhan.

Referensi:

  • //www.beacukai.go.id/berita/mengenal-biaya-demurrage-saat-impor-dan-ekspor.html diakses pada Senin, 25 Juli 2019, pukul 11.00 WIB
  • //www.nttonlinenow.com/new-2016/2017/09/13/minimnya-alat-terlambatnya-bongkar-muat-di-pelabuhan-waingapu/ diakses pada Selasa, 30 Juli 2019, pukul 10.15 WIB
  • //www.republika.co.id/berita/jurnalisme-warga/wacana/16/09/18/odop0u396-dwelling-time-dan-problematikanya diakses pada Kamis, 25 Juli 2019, pukul 10.00 WIB
  • //www.topbusiness.id diakses pada Senin, 29 Juli 2019 pukul 11.00 WIB
  • Lestariono, Adam. Tinjauan dan Permasalahan Indikator Kinerja Pelabuhan, Seminar Sehari: Tolok Ukur Kinerja Fasilitas Pelabuhan, Fakultas Teknologi Kelautan ITS Kerjasama dengan DepHub, Surabaya, hlm. III-2
  • Undang-Undang Republik Indonesia No 17 tahun 2008 tentang Pelayaran
  • Nasution (2004). Manajemen Transportasi, //dspace.uii.ac.id/bitstream/handle/123456789/8930/khirur%20fix.pdf?sequence=1&isAllowed=y diakses pada Senin, 29 Juli 2019 pukul 10.00 WIB

*Isi artikel merupakan pemikiran penulis dan tidak selalu mencerminkan pemikiran atau pandangan resmi Supply Chain Indonesia.

Download artikel ini:

  SCI - Artikel Permasalahan dalam Aktivitas Pelabuhan di Indonesia (808.0 KiB, 940 hits)

Komentar

comments

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA