Saya jual barang ini dengan harga sekian pembeli menjawab Baiklah saya beli disebut

Segala puji hanya milik Allah Ta’ala, shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepada nabi Muhammad, keluarga dans ahabatnya.

Hubungan interaksi antara dua orang, terlebih-lebih akad perniagaan, biasanya diungkapkan dengan rangkaian kata-kata, yang disebut dengan ijab dan qabul. Ijab-qabul tersebut berfungsi untuk mengekspresikan akan maksud dan keinginan kedua belah pihak.

Ijab ialah perkataan yang diucapkan oleh penjual, atau yang mewakilinya dalam mengutarakan kehendak hatinya yang berkaitan dengan akad yang dijalin

Sedangkan Qabul ialah perkataan yang diucapkan oleh pembeli atau yang mewakilinya sebagai ekspresi dari kehendaknya berkaitan dengan akad tersebut.

Transaksi jual-beli dapat berlangsung dengan segala ucapan yang menunjukkan kepadanya, misalnya: saya jual kepadamu barang ini, saya berikan kepadamu barang ini, milikilah barang ini, singkatnya tidak ada ucapan tertentu yang harus diucapkan dalam transaksi jual-beli, sehingga ucapan apa saja yang menunjukkan akan jual-beli, maka terjalinlah dengannya transaksi jual-beli.

Imam An Nawawi rahimahullah berkata: “Pendapat inilah yang secara dalil lebih kuat, dan itulah  yang saya pilih, karena dalam syari’at tidak ada dalil yang mensyaratkan ucapan tertentu, sehingga kita harus mengikuti tradisi yang berlaku, sebagaimana hal-hal lainnya.”([1])

Dan praktek masyarakat sejak zaman dahulu, mereka menggunakan berbagai ucapan dalam menjalankan akad jual-beli, ada yang dengan kata: “kirimkan”, ada pula yang dengan kata: “beri saya beras sekian kilo”, misalnya, ada yang dengan kata: “minta minyak goreng sekian liter”, misalnya, dst. Dan dengan berbagai ucapan ini, dan masing-masing dari penjual dan pembeli memahami dan tidak ada perbedaan sedikitpun bahwa yang dimaksud dari berbagai ucapan ini adalah akad jual-beli.

Bila ada yang bertanya: Apakah pendapat ini berlaku pada seluruh transaksi (akad)?

Permasalahan ini diperselisihkan oleh para ulama’:

Pendapat pertama: Sebagian ulama’ ada yang mensyaratkan bagi sebagian akad teks-teks tertentu, yang harus diucapkan padanya, misalnya akad nikah, mereka berpendapat bahwa pada akad ini harus digunakan kata-kata: (زوجتك/ saya nikahkan/kawinkan anda), dan pihak kedua menjawab dengan berkata: Saya terima.

Pendapat kedua: Sebagian lagi, ada yang berpendapat bahwa setiap akad/ transaksi dapat terjalin dan sah dengan ucapan apa saja yang biasa digunakan oleh masyarakat guna menjalankan akad tersebut.

Pendapat kedua inilah yang rajih (lebih kuat) dan yang semestinya untuk dianut. Pendapat ini adalah pendapat yang dipilih oleh Syeikhul Islam Ibnu taimiyyah rahimahullah.([2])

Permasalahan mu’amalat (interaksi sesama manusia) tidaklah termasuk amalan ibadah sehingga harus seratus persen sesuai dengan yang dicontohkan. Mu’amalat hanyalah hubungan sesama manusia, sehingga apa saja yang mereka anggap sebagai transaksi jual-beli, maka itu dikatakan jual-beli. Apa saja yang mereka anggap sebagai akad pegadaian, maka itu adalah pegadaian, Apa saja yang mereka anggap sebagai wakaf, maka itu adalah wakaf. Dapa saja yang mereka anggap sebagai akad pernikahan, maka itu adalah pernikahan.

Tidak pernah ada satu dalilpun atau satu riwayatpun, baik dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam atau para sahabatnya yang dapat dijadikan dalil guna menggariskan definisi akad jual-beli.

Ibnu Taimiyyah berkata: Berbagai nama dan istilah ini telah disebutkan dalam Al Qur’an dan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beserta berbagai hukum yang terkait dengannya. Dan setiap nama pasti memiliki definisi tersendiri.

Sebagian definisi nama-nama tersebut dapat diketahui melalui ilmu bahasa, semisal sebutan matahari, bulan, gandum, laut, langit, dan bumi.

Sebagian lainnya hanya dapat diketahui melalui wahyu (syari’at), semisal sebutan: mukmin, kafir, munafiq, shalat, zakat, puasa, dan haji.

Sedangkan nama atau sebutan yang tidak ditemukan definisinya dalam ilmu bahasa atau wahyu (syari’at), maka anda harus merujuk kepada tradisi masyarakat setempat. Misalnya sebutan al qabdhu (serah-terima) yang disebutkan pada sabda nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut: 

من ابتاع طعاما فلا يبعه حتى يقبضه

“Barang siapa yang membeli bahan makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali hingga ia selesai menerimanya.”

Telah diketahui bahwa Allah dan Rasul-Nya tidak pernah menyebutkan definisi jual-beli, sewa-menyewa, hibah dan yang serupa, baik  dalam Al Qur’an atau As sunnah. Sebagaimana tidak pernah diriwayatkan dari seorang sahabat, atau tabi’inpun, bahwa ia menentukan ucapan tertentu guna menjalankan akad ini. Juga tidak pernah ditemukan satu ucapan yang dapat mengarah kepada pemahaman bahwa suatu akad tidak sah, kecuali bila dijalin dengan ucapan-ucapan tertentu.

Sebaliknya, sebagian ulama’ menegaskan bahwa anggapan semacam ini nyata-nyata menyelisihi kesepakatan ulama’ zaman dahulu, sehingga dapat dikatagorikan sebagai bid’ah. Bila suatu hal tidak memiliki definisi dalam syari’at, tidak juga dalam ilmu bahasa, maka rujukannya adalah tradisi masing-masing masyarakat.

Pendek kata: apa saja yang oleh masyarakat disebut sebagai jual-beli maka itulah jual-beli. Dan apa saja yang mereka sebut sebagai hibah, maka itulah hibah. (Majmu’ Fatwa Ibnu Taimiyyah 29/16)

Pada kesempatan lain beliau berkata: “Pendapat yang benar, bahwa kedua pihak bila telah saling mengetahui maksud lawan transaksinya, maka dengan ucapan apa saja mereka menjalankan suatu akad, akad antara mereka berdua adalah sah. Dan ini berlaku umum pada seluruh jenis transaksi. Dikarenakan Allah dan rasul-Nya tidak pernah memberikan batasan dalam hal ucapan akad. Akan tetapi Allah Ta’ala dan rasul-Nya menyebutkannya tanpa ada batasan. Sebagaimana transaksi dapat dijalin dengan bahasa Persia, Romawi atau lainnya, maka transaksi boleh dijalin dengan ucapan apa saja dalam bahasa Arab yang menunjukkan akan transaksi tersebut.”

Kesimpulan beliau ini didukung oleh kaedah ilmu fiqih yang berbunyi:

العادة محكمة

“Adat-istiadat itu memiliki kekuatan hukum.”

Yang dimaksud dengan adat-istiadat disini ialah adat-istiadat yang telah berlaku dan dijalankan oleh setiap orang dan tidak menyelisihi syari’at.

Dan kaedah berikut juga menguatkan kesimpulan beliau di atas:

الأصل في العادة الإباحة

“Hukum asal pada setiap masalah yang tercakup dalam adat kebiasaan, adalah boleh.” Dan akad jual-beli, sewa-menyewa, pernikahan dan yang serupa adalah sebagian dari bentuk adat istiadat, dan bukan peribadahan. Dengan demikian, semua akad ini tercakup oleh keumuman kaedah tersebut.

“Bila ada yang berkata: Akad nikah, disebutkan oleh Allah dengan kata-kata nikah, sehingga pada akadnya harus menggunakan kata-kata: menikahkan. Maka kita jawab: begitu juga halnya dengan (البيع/ jual-beli beli), Allah sebutkan dengan kata (البيع/jual-beli), apakah anda juga akan berpendapat bahwa ketika anda bertransaksi jual-beli anda harus menggunakan kata: (بعت) saya jual? Jawabannya pasti: tidak. Bila demikian, akad jual-beli beli dapat terjalin dengan ucapan apa saja yang biasa digunakan ketika menjual (ijab) dan begitu juga ketika membeli (kabul).”([3])

Ditambah lagi, ternyata akad nikah dalam hadits-hadits nabi tidak hanya disebutkan dengan kata nikah. Akan tetapi disebut pula dengan kata lainnya.

اذْهَبْ فَقَدْ مَلَّكْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ. متفق عليه

“Silahkan engkau membawanya pulang, aku telah menjadikannya milikmu dengan mas kawin surat-surat Al Qur’an yang telah engkau hafal.” (Muttafaqun ‘alaih)

Anda bisa bayangkan, betapa susahnya hidup anda, bila setiap transaksi yang anda jalankan harus diutarakan dan diucapkan. Bila demikian adanya, maka anda tidak akan bisa berbelanja di supermarket, atau tempat-tempat serupa.

Hukum Jual Beli Dengan Metode Mu’athah

Dan di antara metode jual-beli yang dibenarkan dalam syari’at ialah dengan cara saling menyerahkan barang yang dimaksud, pembeli menyerahkan uang pembayaran, dan penjual menyerahkan barang yang dibeli oleh pembeli  tanpa ada satu katapun dari kedua belah pihak (metode mu’athah). Hal ini sebagaimana yang lazim terjadi di pusat-pusat perbelanjaan, seperti supermarket, dan yang serupa.

Alasannya: Allah Ta’ala melalui Al Qur’an dan As Sunnah An Nabawiyyah  hanya mensyaratkan dalam perniagaan adanya taradhi (suka sama suka), dan hal ini letaknya dalam hati setiap orang. Sebagaimana ucapan ijab dan qabul dianggap sebagai bukti adanya rasa suka sama suka dalam hati, begitu juga perbuatan saling menyerahkan, dapat menjadi bukti adanya rasa suka sama suka yang dimaksudkan. Dan praktek masyarakat sejak zaman dahulu menunjukkan akan hal ini. Inilah pendapat yang lebih kuat dalam permasalahan ini.([4]) 

Ibnu Qudamah berkata: “Sesungguhnya Allah telah menghalalkan transaksi jual-beli, dan Allah tidak pernah menjelaskan kepada kita tentang metodenya, sehingga wajib atas kita untuk mengikuti tradisi yang telah berlaku, sebagaimana tradisi telah dijadikan standar/pedoman dalam penentuan metode penyerah-terimaan barang yang diperjual-belikan, dan juga dalam batasan perpisahan dalam akad. Dan seperti inilah praktek kaum muslimun di pasar-pasar dan dalam setiap perniagaan mereka. Karena perniagaan telah ada sejak zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan telah dikenal sejak zaman dahulu, akan tetapi Allah dan Rasul-Nya hanya menentukan beberapa hukum dengan peniagaan tersebut, dan tetap membiarkannya seperti yang telah berjalan di masyarakat, sehingga tidak boleh bagi kita untuk merubah yang telah berlaku hanya berdasarkan akal-pikiran dan seenak sendiri. Dan tidak pernah diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga tidak dari para sahabatnya –padahal mereka seering melakukan perniagaan- penggunaan kata ijab dan qabul. Dan seandainya mereka menggunakan ijab dan qabul dalam perniagaan mereka, niscaya akan diriwayatkan secara mutawatir. Dan seandainya ijab dan qabul adalah syarat dalam setiap  perniagaan, niscaya hukumnya wajib untuk diriwayatkan, dan tidak mungkiun para ulama’ melupakannya, karena perniagaan adalah hal yang telah memasyarakat…”([5])

Dengan demikian, akad jual-beli dapat dilakukan dengan metode ucapan lisan dan metode perbuatan

Metode ucapan lisan, yaitu dengan adanya ucapan ijab dari penjual dan kabul dari pembeli.

Metode perbuatan, yaitu yang diistilahkan dengan al mu’athah, yaitu dengan saling menyerahkan barang yang dimaksudkan oleh masing-masing dari yang menjalankan akad jual-beli, tanpa adanya ucapan ijab atau qabul dari keduanya, atau dari salah satunya:

Ini semua menunjukkan kepada kita bahwa urusan transaksi itu mudah, pedomannya ialah tradisi masyarakat, dan seluruh masyarakat telah menganggap metode jual-beli dengan perbuatan semacam ini sebagai akad jual-beli yang jelas dan sah.

Semoga apa yang dipaparkan di sini bermanfaat bagi kita semua, wallahu a’alam bisshawab.

***

Penulis: Ustadz Muhammad Arifin Badri, M.A.
Artikel www.pengusahamuslim.com

[1] ) Raudhatut Thalibin, oleh Imam An Nawawi 3/337

[2] ) Ini adalah pendapat yang dianut dalam mazhab Maliky.
Syeikhul Islam berkata dalam kitab al Ikhtiyaraat, hal (121): “Dan setiap transaksi yang dianggap oleh masyarakat sebagai transaksi jual-beli, atau hibah, baik secara berkesinambungan (antara ucapan ijab dan kabulnya) atau terjadi tenggang waktu antara keduanya, baik berupa ucapan atau perbuatan, maka terjalinlah (telah sah-lah) transaksi jual-beli dan hibah.”

[3] ) Syarhul Mumti’ 8/115.

[4] ) Sebagian ulama’, diantaranya Imam As Syafi’i dan kebanyakan para pengikutnya mensyaratkan adanya ijab dan qabul dalam akad jual-beli, sehingga menurut mereka jual-beli tidak sah bila tidak ada ada ijab dari penjual dan qabul dari pembeli. Baca: Raudhatut Thalibin 3/336, Tafsir Ibnu Katsir, 1/479, Kifayatul Akhyar, 1/239, Subulus Salaam, 3/4.

[5] ) Al Mughny Oleh Ibnu Qudamah 6/8.

Saya jual barang ini dengan harga sekian pembeli menjawab Baiklah saya beli disebut

KLIK GAMBAR UNTUK MEMBELI FLASHDISK VIDEO BELAJAR IQRO, ATAU HUBUNGI: +62813 26 3333 28