Satu kata merujuk pada kata lain yang memperlihatkan keterkaitan disebut

A.   Pendahuluan

Wacana merupakan tataran yang paling besar dalam hierarki kebahasaan. Sebagai tataran terbesar dalam hierarki kebahasaan, wacana tidak merupakan susunan kalimat secara acak, tetapi merupakan satuan bahasa, baik lisan maupun tulis. Untuk wacana yang disampaikan secara tertulis, penyampaian isi atau informasi disampaikan secara tertulis. Hal ini dimaksudkan agar tulisan tersebut dipahami dan diinterpretasikan oleh pembaca. Hubungan antarkalimat dalam sebuah wacana tulis tersusun berkesinambungan dan membentuk suatu kepaduan. Oleh karena itu, kepaduan makna dan kerapian bentuk pada wacana tulis merupakan salah satu faktor yang penting dalam rangka meningkatkan tingkat keterbacaan.

Membina interaksi sosial yang baik antara siswa dengan guru dan antara sesama siswa harus terus dikembangkan. Apabila interaksi sosial tersebut terjalin dengan baik, hal itu akan sangat bermanfaat. Siswa akan merasa percaya, nyaman, dan hubungan dengan guru maupun siswa lain juga terjalin dengan baik. Selain itu, proses belajar mengajarpun akan berjalan dengan lancar. Untuk itu kemampuan siswa dalam berinteraksi sosial sangat penting untuk ditingkatkan.

Wacana yang baik adalah wacana yang harus memperhatikan hubungan antarkalimat. Hal ini harus selalu diperhatikan untuk memelihara keterkaitan dan keruntutan antarkalimat. Sejalan dengan pandangan bahwa bahasa itu terdiri atas bentuk (form) dan makna (meaning), hubungan dalam wacana dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu hubungan bentuk yang disebut kohesi, dan hubungan makna atau hubungan semantis yang disebut koherensi.

Wacana dapat dibagi menjadi dua macam yaitu wacana lisan dan wacana tulis. Wacana merupakan tataran yang paling besar dalam hierarki kebahasaan. Sebagai tataran terbesar dalam hierarki kebahasaan, wacana tidak merupakan susunan kalimat secara acak, tetapi merupakan satuan bahasa, baik lisan, maupun tertulis. Untuk wacana yang disampaikan secara tertulis, penyampaian isi atau informasi disampaikan secara tertulis. Ini dimaksudkan agar tulisan tersebut dapat dipahami dan diinterprestasikan oleh pembaca.

Informasi yang disampaikan melalui wacana tulis tentu mempunyai perbedaan dengan informasi yang disampaikan secara lisan. Perbedaan itu ditandai oleh adanya keterkaitan antarposisi. Keterkaitan dalam wacana tulis dinyatakan secara eksplisit yang merupakan rangkaian antarkalimat secara gramatikal. Adapun untuk bahasa lisan keterkaitan itu dinyatakan secara implisit, sedangkan kejelasan informasi akan didukung oleh konteks.

Melihat fenomena yang ada, dalam wacana tulis hubungan antarkalimat harus selalu diperhatikan untuk memelihara keterkaitan dan keruntutan antarkalimat. Keterkaitan dan kerapian bentuk dalam ilmu bahasa dinamakan kohesi dan koherensi. Kohesi dan koherensi mempunyai peran yaitu untuk memelihara keterkaitan antarkalimat, sehingga wacana menjadi padu, tidak hanya sekumpulan kalimat yang setiap kalimat mengandung pokok pembicaraan yang berbeda, melainkan satu unsur dalam teks yang harus menyatakan konsep ikatan.

Wacana dalam hal ini wacana berbentuk tertulis, menjadi bahan yang menarik untuk dikaji. Wacana-wacana yang berasal dari media seperti surat kabar, majalah, buku-buku teks, dokumen, prasasti, novel, cerpen, dan sebagainya dapat dikaji dari bentuk gramatikal, leksikal maupun dari segi konteks. Wacana-wacana tersebut mempunyai keunikan tersendiri sehingga menarik untuk dikaji.

Wacana merupakan sebuah struktur kebahasaan yang luas melebihi batasan-batasan kalimat, sehingga dalam penyusunannya hendaknya selalu menggunakan bentuk tulis yang efektif. Salah satu wujud wacana tulis adalah cerita pendek atau dalam bahasa Jawa disebut cerkak. Cerita pendek sebagai karya sastra bukan ditentukan oleh banyaknya halaman untuk mewujudkan cerita tersebut atau banyaknya tokoh yang terdapat dalam cerita, melainkan lebih disebabkan oleh ruang lingkup permasalahan yang ingin disampaikan. Jika dilihat dari bidang linguistik, dalam wacana tulis harus selalu diperhatikan kohesi dan koherensinya untuk memelihara keterkaitan antarkalimat sehingga wacana menjadi padu. Wacana tulis dalam kumpulan cerkak diduga mempunyai variasi penggunaan penanda kohesi dan koherensi. Fungsinya sebagai alat penggabung antarkalimat yang satu dengan yang lain, antarparagraf yang satu dengan yang lain sehingga membentuk keterkaitan.

B.   Wacana

1.    Konsep Wacana

Secara etimologi istilah wacana berasal dari bahasa Sansekerta wac/wak/vac, artinya berkata, berucap (Douglas dalam Mulyana 2005:3). Kata tersebut kemudian mengalami perubahan menjadi wacana. Bentuk ana yang muncul di belakang adalah sufiks (akhiran), yang bermakna membendakan (nominalisasi). Jadi, kata wacana dapat diartikan perkataan atau tuturan.

Menurut Kridalaksana (2001:231) wacana adalah satuan bahasa terlengkap, dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar. Wacana ini direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh (novel, buku, seri ensiklopedia), paragraf, kalimat, atau kata yang membawa amanat yang lengkap. Dari definisi tersebut, tampak bahwa yang menjadi titik berat wacana menurut Kridalaksana adalah wacana tertulis, bukan wacana lisan. Menurutnya pula, satuan lingual mulai dari kata, kalimat, paragraf, sampai karangan bisa merupakan wujud wacana, dengan syarat membawa amanat lengkap. Tarigan (2009:26) menyatakan wacana adalah satuan bahasa yang paling lengkap, lebih tinggi dari klausa dan kalimat, memiliki kohesi dan koherensi yang baik, mempunyai awal dan akhir yang jelas, berkesinambungan, dan dapat disampaikan secara lisan ataupun tertulis.

Dari pengertian tersebut di atas, maka dalam menyusun wacana harus selalu mempertimbangkan unsur-unsurnya sehingga terbentuk menjadi wacana yang utuh. Sedangkan menurut Sumarlam (2003:15) wacana adalah satuan bahasa terlengkap yang dinyatakan secara lisan seperti pidato, ceramah, khotbah, dan dialog, atau secara tertulis seperti cerpen, novel, buku, surat, dan dokumen tertulis, yang dilihat dari struktur lahirnya (dari segi bentuk) bersifat kohesif, saling terkait dan dari struktur batinnya (dari segi makna) bersifat koheren, terpadu.

Sebuah wacana merupakan unit bahasa yang terikat oleh suatu kesatuan. Kesatuan itu dapat dipandang dari segi bentuk dan segi maknanya. Oleh karena itu, sebuah wacana selalu direalisasikan dalam bentuk rangkaian kalimat-kalimat. Sebuah wacana dapat ditemukan dalam bentuk sebuah kalimat, bahkan dapat berupa sebuah frasa atau kata.

Dalam buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (Alwi, dkk Dekdikbud, 1993:43) dikatakan bahwa wacana adalah rentetan kalimat yang bertautan sehingga terbentuklah makna yang serasi diantara kalimat-kalimat tersebut. Mulyana (2005:1) menjelaskan bahwa wacana merupakan unsur kebahasaan yang relatif paling kompleks dan paling lengkap. Satuan pendukung kebahasaanya meliputi fonem, morfem, kata, frasa, klausa, kalimat, paragraf, hingga karangan utuh.

Secara singkat wacana adalah satuan bahasa terlengkap yang dibentuk dari rentetan kalimat yang kontiunitas, kohesif, dan koheren sesuai dengan konteks situasi. Dengan kata lain wacana adalah satuan-satuan tuturan yang merupakan realisasi bahasa dapat diwujudkan sekurang-kurangnya satu paragraf, paragraf dapat diwujudkan dalam satu kata atau lebih. Realisasi wacana dapat berupa karangan yang utuh yakni novel, buku, seri ensiklopedia dan realisasi wacana lisan adalah tuturan.

Darma (2009:13) menyatakan bahwa wacana terbentuk dari unsur segmental dan nonsegmental, namun wacana tidak menampilkan kelengkapan unsur pembentuknya tapi juga menampilkan gambaran bagaimana masyarakat pemakai bahasa menggunakan bahasa melalui rangkaian tuturan. Penelitian mengenai wacana pada hakikatnya merupakan usaha untuk memahami bahasa dalam kaitannya dengan situasi sosial pada saat memakai bahasa menggunakan bahasanya.

Tujuan penuangan wacana yaitu menyampaikan informasi, menggugah perasaan dan gabungan dari keduanya. Pendekatan wacana yang digunakan harus sesuai dengan tujuan dan fungsi wacana. Tujuan informasi dapat menggunakan pendekatan faktual. Tujuan menggugah perasaan dapat menggunakan pendekatan imajinatif atau fiksional. Sedangkan tujuan informasi dan menggugah perasaan (keduanya) dapat menggunakan pendekatan faktual-imajinatif.

Dari beberapa pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa wacana dalam realisasinya selalu berupa kumpulan kalimat. Sebuah kalimat merupakan kumpulan beberapa kata dan kata merupakan kumpulan suku kata serta kata merupakan kumpulan huruf. Realisasi wacana tulis dapat berupa karangan yang utuh, yakni novel, buku, seri ensklopedia, dan realisasi wacana lisan adalah tuturan. Singkatnya wacana adalah satuan bahasa terlengkap yang dibentuk dari rentetan kalimat yang yang kontinuitas, kohesi, dan koheren sesuai dengan konteks situasi.

Abdul Chaer dalam buku Sumarlam (2003:9), menyatakan bahwa wacana adalah satuan bahasa yang lengkap, sehingga dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar. Wacana dikatakan lengkap karena di dalamnya terdapat konsep, gagasan, pikiran, atau ide yang utuh, yang bisa dipahami oleh pembaca (dalam wacana tulis) atau oleh pendengar (dalam wacana lisan) tanpa keraguan apapun. Wacana dikatakan tertinggi atau terbesar karena wacana dibentuk dari kalimat atau kalimat-kalimat yang memenuhi persyaratan gramatikal dan persyaratan kewacanaan lainnya (kohesi dan koherensi).

Hal lain diungkapkan pula oleh Eriyanto (2001:9) tentang pengertian wacana. Wacana dimaknai sebagai teks dan konteks bersama-sama. Titik perhatian analisis wacana adalah menggambarkan teks dan konteks secara bersama-sama dalam suatu proses komunikasi. Eriyanto juga berpendapat tentang pentingnya unsur-unsur wacana yaitu konteks, partisipan, interteks, dan situasi. Wacana adalah bentuk praktik sosial, sebagai bentuk dari penerapan hubungan dialek antara kejadian yang nyata dan institusi dengan struktur sosial yang terjadi.

Sebuah wacana merupakan unit bahasa yang terikat oleh suatu kesatuan. Kesatuan itu dapat dipandang dari segi bentuk dan segi maknanya. Oleh karena itu, sebuah wacana selalu direalisasikan dalam bentuk rangkaian kalimat-kalimat. Sebuah wacana dapat ditemukan dalam bentuk sebuah kalimat, bahkan dapat berupa frasa atau kata.

Mengenai hal tersebut, Kridalaksana dalam Tarigan (1987:25) mengungkapkan pendapat yang hampir sama. Beliau mengatakan bahwa, wacana adalah satuan bahasa terlengkap dan merupakan satuan gramatikal tertinggi atau terbesar dalam hierarki gramatikal. Namun, dalam realisasinya wacana dapat berupa karangan yang utuh (novel, cerpen, buku, seri ensiklopedia, dan sebagainya), paragraf, kalimat, frasa, bahkan kata yang membawa amanat lengkap.

Crystal dalam Bambang Hartono (2000:10) mengungkapkan bahwa dalam bidang linguistik, wacana berarti rangkaian sinambung kalimat yang lebih luas daripada kalimat, sedangkan dari sudut pandang psikolinguistik, wacana merupakan suatu proses dinamis pengungkapan dan pemahaman yang mengatur penampilan orang dalam interaksi kebahasaan. Dengan demikian, yang dimaksud dengan wacana adalah satuan kebahasaan yang unsurnya terlengkap, tersusun oleh kata, frasa, kalimat atau kalimat-kalimat baik lisan maupun tulis yang membentuk suatu pengertian yang serasi dan terpadu, baik dalam pengertian maupun dalam manifestasi fonetisnya.

2.   Jenis Wacana

Menurut Tarigan (1987: 51) wacana diklasifikasikan menurut media (wacana lisan dan wacana tulis), berdasarkan pengungkapannya (wacana langsung dan tidak langsung), berdasarkan bentuk (wacana drama, wacana puisi, dan wacana prosa), dan berdasarkan penempatan (wacana penuturan dan wacana pembeberan). Mulyana (2005:47) membagi wacana berdasarkan beberapa segi, yaitu (1) bentuk, (2) media, (3) jumlah penutur, dan (4) sifat. Deengan demikian, wacana dapat diklasifikasikan berdasarkan: media penyampaian (yang digunakan), sifat atau jenis pemakaiannya, bentuk, cara dan tujuan pemaparannya.

Berdasarkan media penyampaiannya wacana dapat dipilah menjadi dua, yaitu wacana tulis dan wacana lisan. Wacana tulis adalah wacana yang disampaikan dengan bahasa tulis atau melalui media tulis, dan di dalam wacana tulis tersebut terjadi komunikasi secara tidak langsung antara penulis dengan pembaca. Wacana lisan adalah wacana yang disampaikan secara lisan atau langsung dengan bahasa verbal, dan di dalam wacana lisan terjadi komunikasi secara langsung antara pembicara dengan pendengar.

Berdasarkan sifat atau jenis pemakaiannya wacana dibagi menjadi dua, yaitu wacana monolog dan wacana dialog. Wacana monolog adalah jenis wacana yang dituturkan oleh satu orang tanpa melibatkan orang lain untuk berpartisipasi. Wacana dialog adalah jenis wacana yang dituturkan oleh dua orang atau lebih.

Berdasarkan bentuknya, wacana dapat diklasifikasikan menjadi tiga bentuk, wacana prosa, puisi, dan drama (Sumarlam, dkk 2008:17). Wacana prosa yaitu wacana yang disampaikan dalam bentuk prosa. Wacana puisi ialah wacana yang disampaikan dalam bentuk. Drama yaitu wacana yang disampaikan dalam bentuk drama, dalam bentuk dialog, baik berupa wacana tulis maupun wacana lisan.

Berdasar cara dan tujuan pemaparannya, pada umumnya wacana diklasifikasikan menjadi lima macam, yaitu wacana narasi, eksposisi, argumentasi, persuasi, dan deskripsi. Wacana narasi atau wacana penceritaan, disebut juga wacana penuturan yaitu wacana yang mementingkan urutan waktu, dituturkan oleh persona pertama atau ketiga dalam waktu tertentu. Wacana narasi memaparkan terjadinya suatu peristiwa, baik peristiwa rekaan maupun kenyataan. Berkenaan dengan peristiwa itu, dipaparkan siapa pelakunya, bagaimana perilakunya, di mana tempat peristiwa itu, kapan terjadinya, bagaimana suasana kejadiannya, bagaimana jalan ceritanya, dan siapa juru ceritanya. Wacana narasi dapat bersifat faktual maupun imajinatif seperti dongeng, novel, biografi, sketsa, dan anekdot.

Wacana eskposisi atau wacana pembeberan yaitu wacana yang tidak mementingkan waktu dan pelaku. Wacana ini berorientasi pada pokok pembicaraan, dan bagian-bagiannya diikat secara logis. Wacana eksposisi atau bahasan adalah wacana yang isinya menjelaskan sesuatu, misalnya menerangkan arti sesuatu, menerangkan apa yang telah diucapkan atau ditulis oleh orang lain, menerangkan bagaimana terjadinya sesuatu, menerangkan peristiwa yang lalu dan sekarang, menerangkan pentingnya sesuatu, dan lain-lain. Pelajaran sekolah, ceramah, laporan, tajuk rencana, bisanya disusun dalam wacana eksposisi.

Wacana argumentasi adalah wacana yang berisi ide atau gagasan yang dilengkapi dengan data-data sebagai bukti dan bertujuan meyakinkan pembaca akan kebenaran ide atau gagasannya. Pada wacana argumentasi dipaparkan alasan-alasan terhadap kebenaran atau ketidakbenaran sesuatu hal, dengan maksud agar pesapa dapat diyakinkan sehingga terdorong untuk melakukan sesuatu. Dalam mempertahankan atau menyanggah sesuatu hal tadi, dikemukakan alasan yang berdasarkan bukti, bukan berdasarkan perasaan atau hawa nafsu.

Wacana persuasi ialah wacana yang isinya bersifat ajakan atau nasihat, biasanya ringkas dan menarik, serta bertujuan untuk mempengaruhi secara kuat pada pembaca atau pendengar agar melakukan nasihat atau ajakan tesebut. Wacana deskripsi yaitu wacana yang bertujuan melukiskan, menggambarkan, atau memerikan sesuatu menurut apa adanya. Wacana deskripsi berisi gambaran penginderaan (penglihatan, penciuman, kehausan, kelelahan), perasaan, dan perilaku jiwa (harapan, ketakutan, cinta, benci, rindu, dan rasa tertekan). Penginderaan itu dilakukan terhadap suatu peristiwa, keadaan, situasi, atau masalah. Melalui wacana deskripsi, pembaca diharapkan bisa seolah-olah melihat atau merasakan apa yang dideskripsikan pada wacana tersebut.

3.   Syarat-syarat Wacana

Wacana yang ideal mengandung seperangkat proposisi yang saling berhubungan untuk menghasilkan rasa kepaduan atau rasa kohesi. Selain itu juga dibutuhkan keteraturan atau kerapian susunan yang menimbulkan rasa koherensi. Dengan perkataan lain, kohesi dan koherensi merupakan faktor penting dalam peningkatan mutu wacana (Tarigan 1987:70). Unsur yang menentukan keutuhan wacana adalah kohesi dan koherensi (Tarigan 1987:96).

Untuk membentuk sebuah wacana yang utuh ada sejumlah syarat. Syarat pertama adalah topik, kedua adanya tuturan pengungkap topik, dan ketiga adanya kohesi dan koherensi (Oka 1994:226).

a. Topik. Topik merupakan hal yang dibicarakan dalam sebuah wacana. Topik itu dapat dinyatakan dengan redaksi, tentang apa seseorang berbicara?, apa yang dikatakan seseorang?, apa yang mereka percakapkan?, dan sebagainya. Hal ini berarti topik menjiwai seluruh bagian wacana. Topiklah yang menyebabkan lahirnya wacana dan berfungsinya wacana dalam proses komunikasi.

b. Tuturan Pengungkap Topik. Syarat wacana yang kedua adalah tuturan pengungkap topik. Topik perlu dijabarkan sehingga makna yang disusun dari beberapa kalimat menjadi utuh karena wujud konkret tuturan itu adalah hubungan paragraf dengan paragraf yang lain yang membentuk teks. Teks yang dimaksud di dalam wacana tidak selalu berupa tuturan tulis, tetapi juga tuturan lisan. Karena itu, di dalam kajian wacana terdapat teks tulis dan teks lisan.

c. Kohesi dan Koherensi. Pada umumnya wacana yang baik akan memiliki kohesi dan koherensi. Kohesi dan koherensi adalah syarat wacana yang ketiga. Kohesi adalah keserasian hubungan antar unsur yang satu dengan yang lain dalam wacana sehingga terciptalah pengertian yang baik dan koheren. Kohesi merujuk pada pertautan bentuk, sedangkan koherensi merujuk pada pertautan makna. Wacana yang baik ada umumnya memiliki keduanya. Kalimat atau frasa yang satu dengan yang lainnya bertautan; pengertian yang satu menyambung dengan pengertian yang lain.

Dalam kata kohesi terkandung pengertian kepaduan, keutuhan, sedangkan dalam koherensi terkandung pengertian pertalian atau hubungan. Kohesi mengacu kepada aspek bentuk sedangkan koherensi mengacu kepada aspek makna. Dengan adanya kohesi dan koherensi dalam sebuah wacana, menjadikan wacana tersebut mudah dibaca dan dipahami. Dengan kata lain, kohesi dan koherensi menentukan tingkat keterbacaan dan keterpahaman sebuah wacana.

4.   Unsur-unsur Wacana

Secara umum, wacana memiliki dua unsur pendukung utama, yaitu unsur dalam (internal) dan unsur luar (eksternal). Unsur internal berkaitan dengan aspek formal kebahasaan, sedangkan unsur eksternal berkenaan dengan hal-hal di luar wacana itu sendiri. Kedua unsur tersebut membentuk satu kepaduan dalam suatu struktur yang utuh dan lengkap (Mulyana, 2005: 7-11).

Unsur internal wacana terdiri atas satuan kata atau kalimat. Yang dimaksud dengan satuan kata adalah kata yang berposisi sebagai kalimat, atau yang juga dikenal dengan sebutan kalimat satu kata. Untuk menjadi satuan wacana yang besar, satuan kata atau kalimat tersebut akan bertalian, dan bergabung membentuk wacana.

a. Kata dan kalimat. Kata, dilihat dalam sebuah struktur yang lebih besar, merupakan bagian kalimat. Sebagaimana dipahami selama ini, kalimat selalu diandaikan sebagai susunan yang terdiri dari beberapa kata yang bergabung menjadi satu oengertian dengan intonasi sempurna (final).

b. Teks dan koteks. Istilah teks lebih dekat pemaknaannya dengan bahasa tulis, dan wacana bahasa lisan. Dalam konteks ini, teks dapat disamakan dengan naskah. Sedangkan istilah koteks adalah teks yang bersifat sejajar, koordinatif, dan memiliki hubungan dengan teks lainnya, teks yang satu memiliki hubungan dengan teks lainnya.

Unsur eksternal (unsur luar) wacana adalah sesuatu yang menjadi bagian wacana, namun tidak nampak eksplisit. Sesuatu itu berada di luar satuan lingual wacana. Kehadirannya berfungsi sebagai pelengkap keutuhan wacana. Unsur-unsur eksternal ini terdiri atas implikatur, preuposisi, referensi, inferensi, dan konteks. Analisis dan pemahaman terhadap unsur-unsur tersebut dapat membantu pemahaman tentang suatu wacana.

a. Implikatur adalah ujaran yang menyiratkan sesuatu yang berbeda dengan yang sebenarnya diucapkan. Sesuatu yang “berbeda” tersebut adalah maksud pembicara yang dikemukakan secara eksplisit. Dengan kata lain, implikatur adalah maksud, keinginan, atau ungkapan-ungkapan hati yang tersembunyi.

b. Istilah presuposisi adalah perkiraan, persangkaan, atau rujukan. Dengan kata lain presuposisi adalah anggapan dasar atau penyimpulan dasar mengenai konteks dan situasi berbahasa yang membuatu bentuk bahasa menjadi bermakna bagi pendengar/pembicara.

c. Referensi adalah hubungan antar kata dengan benda (orang, tumbuhan, buku, sesuatu lainnya) yang dirujuknya. Referensi merupakan perilaku pembicara/penulis.

d. Inferensi berarti kesimpulan. Dalam bidang wacana inferensi berarti sebagai proses yang harus dilakukan pembaca untuk memahami makna yang secara harfiah  tidak terdapat di dalam wacana yang diungkapkan oleh pembicara/penulis.

Sebuah wacana memiliki unsur-unsur yang meliputi (1) unsur bahasa seperti kata, frasa, klausa, kalimat, dan paragraf; (2) konteks, yang terdapat di sekitar wacana; (3) makna dan maksud; (4) kohesi; (5) koherensi (Supardo dalam purwati 2003:17). Tarigan merinci unsur wacana menjadi lima, yaitu sebagai berikut.

a. Tema adalah pokok pembicaraan yang ada dalam sebuah karangan, baik karangan tulis maupun karangan lisan. Tema ini dikembangkan dengan kalimat-kalimat yang padu sehingga akan melahirkan wacana yang kohesif dan koherensif.

b.  Unsur bahasa meliputi kata, frasa, klausa, dan kalimat.

c. Konteks wacana dibentuk oleh berbagai unsur, yaitu situasi, pembicara, pendengar, waktu, tempat, adegan, topik, peristiwa, bentuk amanat, kode, saluran. Konteks wacana meliputi: 1) konteks fisik (physical context) yang meliputi tempat terjadinya pemakaian bahasa pada suatu komunitas, objek yang disajikan dalam peristiwa komunikasi itu dan tindakan atau perilaku daripada peran dalam peristiwa komunikasi itu, 2) konteks epistemis (epistemic context) atau latar belakang pengetahuan yang sama-sama diketahui oleh para pembicara maupun pendengar, 3) konteks linguistik (linguistic context) yang terdiri atas kalimat-kalimat atau tuturan-tuturan yang mendahului satu kalimat atau tuturan tertentu dalam peristiwa komunikasi, 4) konteks sosial (sosial kontext) yaitu relasi sosial dan latar yang melengkapi hubungan antara pembicara (penutur) dengan pendengar (mitra tutur).

d. Makna dan maksud. Sesuatu yang berada di dalam suatu ujaran atau bahasa disebut makna. Maksud yaitu sesuatu yang berada di luar ujaran dilihat dari segi si pengujar, orang yang berbicara.

e. Kohesi dan koherensi. Kohesi adalah keserasian hubungan antara unsur-unsur yang satu dengan yang lain dalam wacana sehingga tercipta pengertian yang baik (koheren). Koherensi adalah penyatuan secara rapi kenyataan dan gagasan, fakta, dan ide menjadi suatu untaian yang logis sehingga mudah memahami pesan yang dikandungnya (Tarigan 1978:104).

Sebagai kesatuan yang abstrak, wacana dibedakan dari teks, tulisan, bacaan, dan tuturan yang mengacu pada makna yang sama, yaitu wujud konkret yang terlihat, terbaca, atau terdengar. Pemahaman terhadap wacana akan memudahkan kita memahami bahasa secara lebih luas tidak saja dari struktur formal bahasa tetapi juga dari aspek di luar bahasa (konteks).

Wacana memiliki dua unsur pendukung utama, yaitu unsur dalam (internal) dan unsur luar (eksternal). Unsur internal berkaitan dengan aspek formal kebahasaan, sedangkan unsur eksternal berkaitan dengan hal-hal di luar wacana itu sendiri. Unsur eksternal wacana merupakan sesuatu yang menjadi bagian wacana, tetapi tidak nampak secara eksplisit. Kehadiran unsur eksternal berfungsi sebagai pelengkap keutuhan wacana. Unsur-unsur eksternal ini terdiri atas implikatur, presuposisi, referensi, inferensi, dan konteks.

C.   Kohesi dan Koherensi

1.    Kohesi

Kohesi merupakan aspek formal bahasa dalam wacana (hubungan yang tampak pada bentuk). Kohesi merupakan organisasi sintaktik, merupakan wadah-wadah kalimat disusun secara padu dan padat untuk menghasilkan tuturan. Dalam hal ini berarti pula bahwa kohesi adalah hubungan antarkalimat di dalam sebuah wacana, baik dalam strata gramatikal maupun dalam strata leksikal tertentu (Gutwinsky dalam Tarigan 1987:96).

James (dalam Tarigan 1987:97) menyebutkan bahwa suatu teks atau wacana benar-benar bersifat kohesif apabila terdapat kesesuaian secara bentuk bahasa (language form) terhadap ko-teks (situasi-dalam bahasa, sebagai lawan dari konteks atau situasi-luar bahasa). Dengan perkataan lain, ketidaksesuaian bentuk bahasa dengan koteks dan juga dengan konteks akan menghasilkan teks yang tidak kohesif. Kohesi dalam paragraf adalah tarik menarik antarkalimat dalam paragraf sehingga kalimat-kalimat itu tidak saling bertentangan, tetapi tampak menyatu dan bersama-sama mendukung pokok pikiran paragraf. Paragraf yang demikian disebut sebagai paragraf yang padu (kohesif) (Wiyanto 2004:32).

Kohesi merupakan organisasi sintaksis dan merupakan wadah kalimat-kalimat yang disusun secara padu dan padat untuk menghasilkan tuturan (Tarigan 1987:96). Kohesi adalah hubungan antar kalimat di dalam sebuah wacana baik dalam skala gramatikal maupun dalam skala leksikal tertentu. Mulyana (2005:26) mengungkapkan bahwa kohesi dalam wacana diartikan sebagai kepaduan bentuk secara struktural membentuk ikatan sintaktikal. Kohesi-kohesi pada dasarnya mengacu pada hubungan bentuk. Artinya, unsurunsur wacana (kata atau kalimat) yang digunakan untuk menyusun suatu wacana memiliki keterkaitan secara padu dan utuh. Mengenai hal tersebut, Tarigan (1987:96) mengemukakan bahwa kohesi merupakan aspek formal bahasa dalam wacana. Dengan demikian jelaslah bahwa kohesi merupakan organisasi sintaktik, merupakan wadah kalimat-kalimat yang disusun secara padu dan padat untuk menghasilkan tuturan.

Haliday dan Hassan dalam Bambang Hartono (2000:145) mengungkapkan bahwa kohesi merupakan konsep makna yang mengacu pada hubungan makna di dalam suatu wacana. Kohesi adalah kesatuan semantis antara satu ujaran dengan ujaran lainnya dalam suatu wacana. Kohesi adalah hubungan antarkalimat di dalam sebuah wacana baik dalam skala gramatikal maupun skala leksikal tertentu.

Konsep kohesi mengacu pada hubungan bentuk antar unsur-unsur wacana sehingga memiliki keterkaitan secara padu. Dengan adanya hubungan kohesif itu, suatu unsur dalam wacana dapat diinterprestasikan sesuai dengan keterkaitannya dengan unsur-unsur yang lain. Hubungan kohesif dalam wacana sering ditandai dengan penanda-penanda kohesi, baik yang sifatnya gramatikal maupun leksikal. Ramlan (1993) menguraikan sejumlah penanda hubungan antarkalimat dalam wacana bahasa Indonesia. Penanda hubungan tersebut antara lain:

1) Penanda hubungan penunjukan yaitu penggunaan kata atau frasa untuk menunjuk atau mengacu pada kata, frasa, atau satuan gramatikal yang lain dalam suatu wacana. Hubungan penunjukan dapat bersifat anaforis maupun kataforis. Sejumlah kata yang berfungsi sebagai penanda hubungan penunjukan ini yaitu: ini, itu, tersebut, berikut, dan tadi.

2) Penanda hubungan pengganti yaitu penanda hubungan antarkalimat yang berupa kata atau frasa yang menggantikan kata, frasa, atau satuan gramatikal, lain yang terletak di depannya atau secara anaforik maupun di belakangnya atau secara kataforik. Bentuk-bentuk penanda hubungan ini diantaranya adalah kata ganti persona, kata ganti tempat, klitika-nya, kata ini, begitu, begini, dan demikian.

3) Penanda hubungan pelesapan atau elipsis yaitu, menghilangkan salah satu unsur pada kalimat berikutnya, tetapi kehadiran unsur kalimat itu dapat diperkirakan.

4) Penanda hubungan perangkaian, yaitu hubungan yang disebabkan oleh adanya kata yang merangkaikan kalimat satu dengan kalimat yang lain dalam suatu paragraf. Kata atau kelompok kata yang berfungsi sebagai penanda hubungan perangkaian antara lain adalah dan, kemudian, tetapi, padahal, sebaliknya, malah, misalnya, kecuali itu, oleh sebab itu, selain dari pada itu, meskipun demikian, dan lain sebagainya.

5) Penanda hubungan leksikal yaitu hubungan yang disebabkan oleh adanya kata-kata yang secara leksikal memiliki pertalian. Penanda hubungan leksikal ini dapat dibedakan menjadi pengulangan, sinonim, dan hiponim.

Kohesi dalam wacana diartikan sebagai kepaduan bentuk secara structural membentuk ikatan sintaktikal. Anton M. Moelino ( 1988:34)  menyatakan bahwa wacana yang baik dan utuh mensyaratkan kalimat-kalimat yang kohesif. Konsep kohesif sebenarnya mengacu kepada hubungan bentuk. Artinya unsur-unsur wacana (kata atau kalimat) yang digunakan untuk menyusun suatu wacana memiliki keterkaitan secara padu dan utuh. Menurut Anton M. Moelino, dkk ( 1987:96) untuk memperoleh wacana yang baik dan utuh, maka kalimat-kalimatnya harus kohesif. Hanya dengan hubungan kohesif seperti itulah suatu unsur dalam wacana dapat di interpretasikan, sesuai dengan ketergantungannya dengan unsure-unsur lainnya. Kohesi wacana terbagi dalam dua aspek yaitu kohesi gramatikal dan kohesi leksikal.

a.    Kohesi Gramatikal

Kohesi gramatikal adalah kepaduan yang dicapai dengan menggunakan elemen dan aturan gramatikal. Kohesi gramatikal, antara lain, dapat terbentuk melalui rujukan, substitusi, dan elipsis. Hal itu dapat disimak pada contoh berikut.

Orang tua ada yang setuju bahwa siswa boleh membawa telepon seluler ke sekolah karena merela berpikir hal itu dapat memudahkan orang tua untuk dapat menghubungi anaknya. 

Ketika telepon seluler berdering ketika guru sedang mengajar di dalam kelas, meskipun hanya mode getar, guru akan kehilangan beberapa saat kesempatan mengajar karena terganggu. Hal itu akan merugikan seluruh kelas.

Berdasarkan contoh (1) tersebut, -nya pada kata anaknya, merujuk pada orang tua; sedangkan pada contoh (2) frasa hal itu merujuk pada kalimat guru akan kehilangan kesempatan mengajar. Sarana kohesi gramatikal meliputi referen, substitusi, elipsis, dan konjungsi.

1)    Referen (pengacuan)

Referensi atau pengacuan merupakan hubungan antara kata dengan acuannya. Kata-kata yang berfungsi sebagai pengacu disebut deiksis sedangkan unsur-unsur yang diacunya disebut antesedan. Referensi dapat bersifat eksoforis (situasional) apabila mengacu ke antesedan yang ada di luar wacana, dan bersifat endoforis (tekstual) apabila yang diacunya terdapat di dalam wacana. Referensi endoforis yang berposisi sesudah antesedennya disebut referensi anaforis, sedangkan yang berposisi sebelum antesedennya disebut referensi kataforis.

Referen atau pengacuan adalah salah satu jenis kohesi gramatikal yang berupa satuan lingual tertentu yang mengacu pada satuan lingual lain (atau suatu acuan) yang mendahului atau mengikutinya. Satuan lingual yang acuannya berada di dalam teks wacana disebut pengacuan endofora, sedangkan satuan lingual yang acuannya berada di luar teks wacana disebut pengacuan eksofora. Pengacuan endofora berdasarkan arah pengacuannya dibedakan menjadi dua yaitu

a)    Pengacuan Anaforis (anaphoric reference).

Pengacuan anaforis adalah jika satuan lingual mengacu pada satuan lingual lain yang mendahuluinya, mengacu anteseden di sebelah kiri. Pengacuan anaforis adalah salah satu kohesi gramatikal yang berupa satuan lingual tertentu yang mengacu pada satuan lingual lain yang mendahuluinya, atau mengacu anteseden di sebelah kiri, atau mengacu pada unsur yang telah disebut terdahulu.

b) Pengacuan Kataforis (cataphoric reference)

adalah jika satuan lingual mengacu pada satuan lingual lain yang mengikutinya, atau mengacu anteseden di sebelah kanan (Sumarlam 2003:23-24). Pengacuan kataforis merupakan salah satu kohesi gramatikal yang berupa satuan lingual tertentu yang mengacu pada satuan lingual lain yang mengikutinya, atau mengacu anteseden di sebelah kanan, atau mengacu pada unsur yang baru disebutkan kemudian. Satuan lingual tertentu yang mengacu pada satuan lingual lain ini dapat berupa persona (kata ganti orang), demonstratif (kata ganti penunjuk), dan komparatif (satuan yang berfungsi membandingkan antara unsur yang satu dengan unsur lainnya).

Pengacuan atau referensi adalah salah satu jenis kohesi gramatikal yang berupa satuan lingual tertentu yang mengacu pada satuan lingual lain (atau suatu acuan) yang mendahului atau mengikutinya (Sumarlam 2003:23). Berdasarkan tempatnya, apakah acuan itu berada di dalam atau di luar teks, maka pengacuan dibedakan menjadi dua jenis: (1) pengacuan endofora apabila acuannya (satuan lingual yang diacu) berada atau terdapat di dalam teks wacana itu, dan (2) pengacuan eksofora apabila acuannya berada atau terdapat di luar teks wacana.

Jenis kohesi yang pertama yaitu pengacuan endofora. Berdasarkan arah pengacuannya endofora dibedakan menjadi dua jenis lagi, yaitu pengacuan anaforis dan pengacuan kataforis. Pengacuan anaforis adalah salah satu kohesi gramatikal yang berupa satuan lingual tertentu yang mengacu pada satuan lingual lain yang mendahuluinya, atau mengacu anteseden di sebelah kiri, atau mengacu pada unsur yang telah disebut terdahulu. Sementara itu, pengacuan kataforis merupakan salah satu kohesi gramatikal yang berupa satuan lingual tertentu yang mengacu pada satuan lingual lain yang mengikutinya, atau mengacu anteseden di sebelah kanan, atau mengacu satuan lingual lain yang mengikutinya, atau mengacu anteseden yang baru disebutkan kemudian.

Satuan lingual tertentu yang mengacu pada satuan lingual lain itu dapat berupa persona (kata ganti orang), demonstratif (kata ganti penunjuk), dan komparatif (satuan lingual yang berfungsi membandingkan antara unsur satu dengan unsur lainnya). Dengan demikian, jenis kohesi gramatikal pengacuan tersebut diklasifikasikan menjadi tiga macam, yaitu pengacuan persona, pengacuan demonstratif, dan pengacuan komparatif.

a) Pengacuan Persona

Pengacuan persona direalisasikan melalui pronomina persona (kata ganti orang), yang meliputi persona pertama (persona 1), kedua (persona 2), dan ketiga (persona 3), baik tunggal maupun jamak. Pronomina persona tunggal ada yang berupa bentuk bebas (morfem bebas) dan ada pula yang terikat (morfem terikat). Selanjutnya ada yang berupa bentuk terikat ada yang melekat di sebelah kiri (lekat kiri) dan ada yang melekat di sebelah kanan (lekat kanan). Berikut klasifikasi pengacuan pronomina persona.

(1)   Persona 1

(a)   Tunggal: aku, saya, hamba, gua/gue, ana/ane

Terikat lekat kiri: ku–

Terikat lekat kanan: –ku

(b)   Jamak: kami, kita

(2)   Persona 2

(a)   Tunggal: kamu, anda, kau, saudara

Terikat lekat kiri: kau–

Terikat lekat kanan: –mu

(b)   Jamak: kalian, kamu semua, anda semua

(3)   Persona 3

(a)   Tunggal: dia, ia, beliau

Terikat lekat kiri: di–

Terikat lekat kanan: –nya

(b)   Jamak: mereka

b)   Pengacuan Demonstratif

Pengacuan demonstratif (kata ganti penunjuk) dapat dibedakan menjadi dua, yaitu pronomina demonstratif waktu (temporal) dan pronomina demonstratif tempat (lokasional). Pronomina demonstratif waktu ada yang mengacu pada waktu kini, lampau, akan datang, dan netral. Pronomina demonstratif tempat atau lokasi yang dekat dengan pembicara, agak jauh dengan pembicara, jauh dengan pembicara, dan menunjuk tempat secara eksplisit. Berikut klasifikasi pronomina demonstratif.

(1)   Demonstratif waktu

(a)  Kini: sekarang, hari ini, kini, sekarang, saat ini

(b)  Lampau: kemarin, dahulu, kebelakang, dulu, …yang lalu

(c)  Yang akan datang: besok, esok, kedepan, …depan, …yang akan datang

(d)  Netral: pagi, siang, sore, malam

(2)   Demonstratif tempat

(a) Dekat dengan penutur: ini, di sini, ke sini

(b) Agak dekat dengan penutur: itu, di situ, ke situ

(c)  Jauh dari penutur: sana, di sana, ke sana

(d) Eksplisit: Semarang, Demak, Sala

c)    Pengacuan komparatif (Perbandingan)

Pengacuan komparatif (perbandingan) adalah salah satu jenis kohesi gramatikal yang bersifat membandingkan dua hal atau lebih yang mempunyai kemiripan atau kesamaan dari segi bentuk/wujud, sikap, sifat, perilaku, dan sebagainya. Kata-kata yang biasa digunakan untuk membandingkan misalnya kaya, mirip, persis, meh padha, dan sebagainya.

2)    Substitusi (penyulihan)

Substitusi mengacu ke penggantian kata-kata dengan kata lain. Substitusi hampir sama dengan referensi. Perbedaan antara keduanya adalah referensi merupakan hubungan makna sedangkan substitusi merupakan hubungan leksikal atau gramatikal. Selain itu, substitusi dapat berupa proverba, yaitu kata-kata yang digunakan untuk menunjukan tindakan, keadaan, hal, atau isi bagian wacana yang sudah disebutkan sebelum atau sesudahnya juga dapat berupa substitusi klausal. Substitusi adalah salah satu jenis kohesi gramatikal yang berupa penggantian satuan lingual tertentu dengan satuan lingual yang lain dalam wacana untuk memperoleh unsur pembeda (Sumarlam 2003:28).

a)   Substitusi nominal

Substitusi nominal adalah penggantian satuan lingual yang berkategori nomina (kata benda) dengan satuan lingual lain yang juga berkategori nomina. Misalnya kata derajat, tingkat diganti dengan pangkat, kata gelar diganti dengan titel. Perhatikan contoh berikut.

Agus sekarang sudah berhasil mendapat gelar Sarjana Sastra. Titel kesarjanaannya itu akan digunakan untuk mengabdi kepada nusa dan bangsa melalui sastranya.

b)   Substitusi verbal

Substitusi verbal adalah penggantian satuan lingual yang berkategori verba (kata kerja) dengan satuan lingual lainnya yang juga berkategori verba. Misalnya, kata mengarang digantikan dengan kata berkarya, kata berusaha digantikan dengan kata berikhtiar, dan sebagainya. Perhatikan contoh berikut.

Wisnu mempunyai hobi mengarang cerita pendek. Dia berkarya sejak masih di bangku sekolah menengah pertama.

c)   Substitusi frasal

Substitusi frasal adalah penggantian satuan lingual tertentu yang berupa kata atau frasa dengan satuan lingual lainnya yang berupa frasa. Misalnya pada contoh berikut.

Maksud hati mau menengok orang tua. Mumpung hari Minggu, senyampang hari libur.

d)   Substitusi klausal

Substitusi klausal adalah penggantian satuan lingual tertentu yang berupa klausa atau kalimat dengan satuan lingual lainnya yang berupa kata atau frasa. Perhatikan contoh tuturan berikut ini.

S: Jika perubahan yang dialami oleh Anang tidak bisa diterima dengan baik oleh orang orang di sekitarnya; mungkin hal itu disebabkan oleh kenyataan bahwa orang-orang itu banyak yang tidak sukses seperti Anang.

T: Tampaknya memang begitu.

3)    Elipsis (pelesapan)

Elipsis adalah sesuatu yang tidak terucapkan dalam wacana, artinya tidak hadir dalam komunikasi, tetapi dapat dipahami. Jadi pengertian tersebut tentunya didapat dari konteks pembicaraan, terutama konteks tekstual. Sebagai pegangan, dapat dikatakan bahwa pengertian elipsis terjadi bila sesuatu unsur yang secara struktural seharusnya hadir, tidak ditampilkan. Sehingga terasa ada sesuatu yang tidak lengkap.

Hubungan kohesif elipsis/pelesapan pada dasarnya sama dengan hubungan kohesif substitusi/ penyulihan. Hanya saja pada hubungan pelesapan ini unsur penggantinya itu dinyatakan dalam bentuk kosong (zero). Sesuatu yang dinyatakan kata, frasa, atau bagian kalimat tertentu dilepaskan karena sudah disebutkan pada kalimat sebelumnya atau sesudahnya. Penamaan pelesapan biasanya dengan fungsi atau peran sintaksis. Misalnya pelesapan subjek (fungsi), dan pelesapan pelaku (peran). Perhatikan contoh berikut.

Budi seketika itu terbangun. Ø menutupi matanya karena silau, Ø mengusap muka dengan sapu tangannya, lalu Ø bertanya, “Di mana ini?”

Pelesapan dapat dibagi menjdi pelesapan lokatif, pasientif, agentif, tindakan instrumental, dan temporal.

a) Pelesapan lokatif terjadi jika unsur yang dilesapkan berupa kata yang menunjukkan tempat.

b) Pelesapan pasientif terjadi jika unsur yang dilesapkan berupa kata yang menunjukkan sasaran atau objek.

c) Pelesapan agentif terjadi jika unsur yang dilesapkan berupa pelaku atau subjek.

d) Pelesapan tindakan terjadi jika unsur yang dilesapkan berupa tindakan, perbuatan atau predikat.

e) Pelesapan instrumental terjadi jika unsur yang dilesapkan berupa kata yang menunjukkan alat.

f)  Pelesapan temporal terjadi jika unsur yang dilesapkan berupa kata yang menunjukkan waktu.

4)    Konjungsi (perangkaian)

Konjungsi (kata sambung) adalah bentuk atau satuan kebahasaan yang berfungsi sebagai penyambung, perangkai atau penghubung antara kata dengan kata, frasa dengan frasa, klausa dengan klausa, kalimat dengan kalimat, dan seterusnya. Konjungsi disebut juga sarana perangkaian unsur-unsur kewacanaan. Konjungsi mudah dikenali karena keberadaannya terlihat sebagai pemarkah formal. Beberapa jenis konjungsi antara lain adalah: a ) konjungsi adservatif (namun, tetapi), b) konjungsi kausal (sebab, karena), c) konjungsi korelatif (apalagi, demikian juga), d) konjungsi subordinatif (meskipun, kalau), dan e) konjungsi temporal (sebelumnya, sesudahnya, lalu, kemudian).

Konjungsi atau kata sambung mempunyai tugas menghubungkan dua satuan lingual. Satuan yang dimaksud adalah klausa, frasa, dan kata. Jadi, konjungsi dapat menghubungkan antarsatuan lingual sejenis atau antarsatuan lingual jenis yang satu dengan satuan lingual jenis yang lain. Dilihat dari perilaku sintaksisnya dalam kalimat, konjungsi dibagi menjadi lima yaitu sebagai berikut.

a)    Konjungsi koordinatif

Konjungsi koordinatif yaitu konjungsi yang menghubungkan dua unsur sintaksis yang memiliki status yang sama, baik unsur itu klausa, frasa, kata. Contohnya yaitu: dan, dengan, serta, atau, kemudian, lantas, terus, adapun, dan lagi,  tetapi, melainkan, padahal, dan sedangkan.

b)    Konjungsi subordinatif

Konjungsi subordinatif yaitu konjungsi yang menghubungkan dua unsur sintaksis yang berupa klausa yang tidak memiliki status yang sama. Jenis konjungsi subordinatif yaitu : penanda hubungan waktu: (sejak, semenjak, sewaktu, ketika, sementara, begitu, seraya, selagi, selama, sambi, demi, setelah, sesudah, sebelum, sehabis, hingga, sampai), penanda hubungan sebab (sebab, karena itu, karena, oleh karena, oleh sebab), pengandaian: (andaikan, seandainya, umpamanya, sekiranya), penanda hubungan syarat (jika, kalau, jikalau, asal(kan), bila, manakala), penanda hubungan tujuan: (agar, supaya, biar), penanda hubungan konsesif: biarpun, meski(pun), walau(pun),sekali(pun), sungguh(pun), kendati(pun), penanda hubungan pengandaian: (seakan-akan, seolah-olah, seperti, sebagai, laksana, laksana, ibarat), penanda hubungan hasil: (sehingga, sampai (-sampai), maka(nya) penanda hubungan alat: (dengan, tanpa), penanda hubungan cara: (dengan, tanpa), penanda hubungan komplementasi: (bahwa), penanda hubungan atribut: (yang), penanda hubungan perbandingan: (sama…dengan, lebih…dari(pada)….)

c)    Konjungsi korelatif

Konjungsi korelatif yaitu konjungsi yang terdiri atas dua bagian yang dipisahkan oleh salah satu kata, frasa atau klausa yang dihubungkan. Konjungsi korelatif bertugas menandai hubungan perlawanan dan hubungan pertingkatan. Contoh: .….. baik ….. maupun.…… tidak hanya…..tetapi juga, bukan hanya.….. melainkan juga, demikian ….. sehingga.….., sedemikian rupa sehingga, apa(kah)….atau……, entah…….entah, jangankan …….. pun

d)    Konjungsi antarkalimat

Konjungsi ini bertugas menghubungkan kalimat yang satu dengan kalimat yang lain. Konjungsi ini secara bentuk berada bersama-sama dengan suatu kalimat, sehingga menjadi bagian dari kalimat yang bersangkutan, akan tetapi secara maknawi juga terikat pada kalimat yang lain (kalimat yang berada di depannya). Contoh: biarpun demikian, sekalipun demikian, walaupun demikian, meskipun demikian, sungguhpun demikian, kemudian, sesudah itu, setelah itu, selanjutnya, tambah pula, lagipula, selain itu, sebaliknya, sesungguhnya, malah(an), bahkan, (akan) tetapi, namun, kecuali, dengan demikian, kendati demikian, oleh karena itu, oleh sebab itu.

e)    Konjungsi antarparagraf.

Konjungsi ini menghubungkan paragraf yang satu dengan paragraf yang lain. Contoh: selain itu.

5)    Inversi

Susunan yang dianggap normal dalam bahasa Indonesia ialah susunan DM (diterangkan-menerangkan). Pembalikan dilakukan karena unsur yang sama atau bersamaan yang menjadi fokus perlu didekatkan (Hartono 2012:144). Hal itu tampak pada contoh berikut ini.

Kemarin saya pergi ke Yogya. Di sana saya membeli buku.

b.    Kohesi Leksikal

Selain didukung oleh aspek gramatikal, kepaduan wacana harus didukung oleh aspek leksikal. Kohesi leksikal atau perpaduan leksikal adalah hubungan leksikal antara bagian-bagian wacana untuk mendapatkan keserasian struktur secara kohesif. Unsur kohesi leksikal terdiri dari sinonim (persamaan), antonim (lawan kata), hiponim (hubungan bagian atau isi), repetisi (pengulangan), kolokasi (kata sanding), dan ekuivalensi. Tujuan digunakannya aspek-aspek leksikal itu diantaranya ialah untuk mendapatkan efek intensitas makna bahasa, kejelasan informasi, dan keindahan bahasa lainnya. Kohesi leksikal adalah kepaduan yang dicapai melalui pemilihan kata. Kohesi leksikal itu dapat berbentuk, antara lain, dengan pengulangan, sinonim, antonim, dan hiponim.

Di samping itu, salah satu keuntungan dari penggunaan telepon seluler di sekolah adalah telepon seluler dapat digunakan sebagai alat bantu, terutama telepon seluler yang dilengkapi dengan beberapa aksesoris, seperti kalkulator, kamera, dan internet.

Di samping itu, salah satu keuntungan dari penggunaan telepon seluler di sekolah adalah telepon seluler dapat digunakan sebagai alat bantu, terutama telepon seluler yang dilengkapi dengan beberapa aksesori, seperti kalkulator, kamera, dan internet. Aplikasi ini dapat dimanfaatkan untuk membantu siswa dalam bidang akademik.

Berdasarkan contoh pertama tersebut dapat dikemukakan bahwa supaya padu, penulis mengulang kata telepon seluler beberapa kali. Sementara itu, pada contoh kedua frasa beberapa aksesoris, dan kata aplikasi ini merupakan sinonim. Kohesi leksikal hubungan anatarunsur dalam wacana secara semantis. Kohesi leksikal dapat dibedakan menjadi enam macam, sebagai berikut.

1) Repetisi (pengulangan). Repetisi adalah pengulangan satuan lingual (bunyi suku kata, kata atau bagian kalimat) yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai (Sumarlam 2003:35). Berdasarkan tempat satuan lingual yang diulang dalam baris, klausa atau kalimat, repetisis dapat dibedakan menjadi delapan macam, yaitu repetisi epizeuksis, tautotes, anafora, epistrofa, simploke, mesodiplosis, epanalepsis, dan anadiplosis.

a) Repetisi epizeuksis. Repetisi epizeuksis adalah pengulangan satuan lingual (kata) yang dipentingkan beberapa kali secara berturut-turut.

     Contoh repetisi epizeuksis.

Sebagai seorang beriman, berdoalah selagi ada kesempatan,

selagi diberi kesehatan, dan selagi diberi umur panjang.

Berdoa wajib bagi manusia.

b) Repetisi tautotes. Repetisi tautotes adalah pengulangan satuan lingual (sebuah kata) beberapa kali dalam sebuah konstruk.

    Contoh repetsi tautotes.

Aku dan dia terpaksa harus tinggal berjauhan,

tetapi aku sangat mempercayai dia,

dia pun sangat mempercayai aku.

Aku dan dia saling mempercayai.

c) Repetisi anafora. Repetisi anafora adalah pengulangan satuan lingual berupa kata atau frasa pertama pada tiap baris atau kalimat berikutnya.

     Contoh repetisi anafora.

bukan nafsu,

bukan wajahmu,

bukan kakimu,

bukan tubuhmu,

Aku mencintaimu karena hatimu.

d) Repetisi epistrofa. Repetisi epistrofa adalah pengulangan satuan lingual kata/frasa pada akhir baris (puisi) atau akhir kalimat (prosa) secara berturut-turut.

     Contoh repetisi epistrofa.

Bumi yang kaudiami, laut yang kaulayari, adalah puisi.

Udara yang kauhirup, air yang kauteguki, adalah puisi.

Kebun yang kautanami, bukit yang kaugunduli, adalah puisi.

Gubug yang kauratapi, gedung yang kautinggali, adalah puisi.

e) Repetisi simploke. Repetisi simploke adalah pengulangan satuan lingual pada awal dan akhir beberapa baris/kalimat berturut-turut.

     Contoh repetisi simploke.

Kamu bilang hidup ini brengsek. Biarin.

Kamu bilang hidup ini nggak punya arti. Biarin.

Kamu bilang nggak punya kepribdian. Biarin.

Kamu bilang nggak punya pengertian. Biarin.

f) Repetisi mesodiplosis. Repetisi mesodiplosis adalah pengulangan satuan lingual di tengah-tengah baris atau kalimat secara berturut-turut.

     Contoh repetisi mesodiplosis.

Pegawai kecil jangan mencuri kertas karbon.

Babu-babu jangan mencuri tulang-tulang ayam goreng.

Para pembesar jangan mencuri bensin.

Para gadis jangan mencuri perawannya sendiri.

g) Repetisi epanalepsis. Repetisi epanalepsis adalah pengulangan satuan lingual, yang kata/frasa terakhir dari baris/kalimat itu merupakan pengulangan kata/frasa pertama.

     Contoh repetisi epanalepsis.

Minta maaflah kepadanya sebelum dia datang minta maaf.

Kamu mengalah bukan berarti dia mengalahkan kamu.

Berbuat baiklah kepada sesama selagi bisa berbuat baik.

h) Repetisi anadiplosis. Repetisi anadiplosis adalah pengulangan kata/frasa terakhir dari baris atau kalimat itu menjadi kata/frasa pertama pada baris/kalimat berikutnya.

     Contoh repetisi anadiplosis.

dalam hidup ada tujuan

tujuan dicapai dengan usaha

usaha disertai doa

doa berarti harapan

harapan adalah perjuangan

perjuangan adalah pengorbanan

2) Sinonimi (Padan Kata). Aspek leksikal selain repetisi adalah sinonimi. Fungsi dari sinonimi adalah untuk menjalin hubungan makna yang sepadan antara satuan lingual tertentu dengan satuan lingual yang lain dalam wacana. Sinonimi merupakan salah satu aspek leksikal yang mendukung kepaduan wacana. Sinonimi adalah suatu istilah yang dapat dibatasi sebagai (1) telaah mengenai bermacam-macam kata yang memiliki makna yang sama atau (2) keadaan di mana dua kata atau lebih memiliki makna yang sama. Sebaliknya sinonim adalah kata-kata yang memiliki makna yang sama. Hubungan sinonimi bisa terbentuk antara kata dengan kata, kata dengan frasa atau sebaliknya, frasa dengan frasa, maupun klausa/kalimat dengan klausa/kalimat. Berdasarkan wujud satuan lingualnya, sinonimi dapat dibedakan menjadi lima macam, yaitu:

     a) sinonimi antara morfem (bebas) dengan morfem (terikat),

    Aku mohon kau mengerti perasaanku.

    Kamu boleh bermain sesuka hatimu.

    Dia terus berusaha mencari jatidirinya

     b) kata dengan kata,

   Meskipun sedikit, saya sudah menerima bayaran. Setahun menerima gaji 80%. SK PNS ku keluar. Gajiku naik.

     c) kata dengan frasa atau sebaliknya,

   Kota itu semalam dilanda hujan dan badai. Akibat adanya musibah itu banyak gedung yang runtuh, rumah-rumah penduduk roboh, dan pohon-pohon pun tumbang disapu badai.

     d) frasa dengan frasa,

    Tina adalah sosok wanita yang pandai bergaul. Betapa tidak. Baru pindah dua hari ke sini, dia sudah bisa beradaptasi dengan baik.

     e) klausa/kalimat dengan klausa/kalimat.

    Gunakan landasan teori yang tepat untuk memecahkan masalah tersebut. Pendekatan yang digunakan untuk menyelesaikan persoalan itu pun juga harus akurat

3) Antonimi (lawan makna). Istilah antonimi dipakai untuk menyatakan lawan makna sedangkan kata yang berlawanan disebut antonim. Antonimi adalah relasi antarmakna yang wujud logisnya sangat berbeda atau bertentangan. Antonimi disebut juga oposisi makna. Pengertian oposisi makna mencakup konsep yang betul-betul berlawanan sampai kepada yang hanya kontras.

   Antonim dapat diartikan sebagai nama lain untuk benda atau hal yang lain; atau satuan lingual yang yang maknanya berlawanan/beroposisi dengan satuan lingual yang lain. Antonimi disebut juga oposisi makna. Berdasarkan sifatnya, oposisi makna dapat dibedakan menjadi menjadi lima macam, yaitu (a) oposisi mutlak, (b oposisi kutub, (c) oposisi hubungan, (d) oposisi hirarkial, dan (e) oposisi majemuk.

     Contoh antonim mutlak

    Hidup dan matinya perusahaan tergantung dari usaha kita. Jangan hanya diam menunggu kehancuran, mari kita mencoba bergerak dengan cara lain.

     Contoh antonim kutub

   Baik orang kaya maupun orang miskin, semua orang mempunyai hak yang sama untuk mengenyam pendidikan.

     Contoh antonim hubungan

  Ibu Rini adalah seorang guru yang cantik dan cerdas, sehingga semua murid senang kepadanya.

     Pak Rahmat adalah dokter. Beliau sangat baik kepada semua pasiennya.

     Contoh antonim hirarkial

     SD >< SMP >< SMA >< PT

     Contoh antonim majemuk

    Adi berlari karena takut dimarahi ibunya. Setelah agak jauh dari ibunya, ia berjalan menuju ke rumah temannya. Samapai di rumah itu lalu ia melangkahkan kakinya ke dalam rumah. Mendadak ia berhenti dan terkejut karena ternyata yang tampak di depan mata Adi adalah ibunya sendiri.

4) Kolokasi (sanding kata). Kolokasi atau sanding kata adalah asosiasi tertentu dalam menggunakan pilihan kata yang cenderung digunakan secara berdampingan. Kata-kata yang berkolokasi adalah kata-kata yang cenderung dipakai dalam suatu domain atau jaringan tertentu (Sumarlam 2003:43). Contoh pemakaian kata-kata yang berkolokasi adalah sebagai berikut.

    Waktu aku masih kecil, ayah sering mengajakku ke sawah. Ayah adalah seorang petani yang sukses. Dengan lahan yang luas dan bibit padi yang berkualitas serat didukung sistem pengolahan yang sempurna maka panen pun melimpah. Dari hasil panen itu pula keluarga ayahku mampu bertahan hidup secara layak.

5) Hiponimi (hubungan atas-bawah). Hiponimi dapat diartikan sebagai satuan bahasa (kata, frasa, kalimat) yang maknanya dianggap merupakan bagian dari makna satuan lingual yang lain. Hiponimi adalah semacam relasi antarkata yang berwujud atas-bawah atau dalam suatu makna terkandung sejumlah komponen yang lain. Karena ada kelas atas yang mencakup sejumlah komponen yang lebih kecil dan ada sejumlah kelas bawah yang merupakan komponen-komponen yang tercakup dalam kelas atas, maka kelas kata yang berkedudukan sebagai kelas atas disebut superordinat dan kelas bawah yang disebut hiponim. Contoh penggunaan hiponimi dapat diperhatikan pada penggalan wacana berikut.

    Binatang melata termasuk ketegori hewan reptil. Reptil ada yang hidup di darat dan di air yaitu katak dan ular. Cicak adalah reptil yang biasa merayap di dinding. Adapun jenis reptil yang hidup di semak-semak dan rumput adalah kadal. Sementara itu, reptil yang dapat berubah wrna sesuai dengan lingkungannya yaitu bunglon.

6) Ekuivalensi (kesepadanan). Ekuivalensi adalah hubungan kesepadanan antara satuan lingual tertentu dengan satuan lingual yang lain dalam sebuah paradigma. Penggunaan ekuivalensi dapat dilihat pada contoh berikut.

    Baru-baru ini, Andi memperoleh predikat pelajar teladan. Dia memang tekun sekali dalam belajar. Apa yang telah diajarkan oleh guru pengajar di sekolah diterima dan dipahaminya dengan baik. Andi merasa senang dan tertarik pada semua pelajaran (Sumarlam, 2003:35-45).

Aspek formal bahasa yang berkaitan erat dengan kohesi ini melukiskan bagaimana caranya proposisi-proposisi saling berhubungan satu sama lain bagaimana caranya proposisi-proposisi yang tersirat disimpulkan untuk menafsirkan tindak ilokusi sebagai acuan koherensi. Dalam istilah kohesi tersirat pengertian kepaduan dan keutuhan. Adapun dalam koherensi tersirat pengertian pertalian atau hubungan. Bila dikaitkan dengan aspek bentuk dan aspek makna bahasa, maka kohesi merupakan aspek formal bahasa sedangkan koherensi merupakan aspek ujaran (Henry Guntur Tarigan, 1987: 96)

2.   Koherensi

Koeherensi adalah kekompakan hubungan antar kalimat dalam wacana. Koherensi juga hubungan timbal balik yang serasi antar unsur dalam kalimat Keraf (dalam Mulyana 2005: 30). Sejalan dengan hal tersebut Halliday dan Hasan (dalam Mulyana 2005: 31) menegaskan bahwa struktur wacana pada dasarnya bukanlah struktur sintaktik, melainkan struktur semantik, yakni semantik kalimat yang di dalamnya mengandung proposisi-proposisi. Sebab beberapa kalimat hanya akan menjadi wacana sepanjang ada hubungan makna (arti) di antara kalimat-kalimat itu sendiri.

Koherensi merupakan hubungan perkaitan antarproposisi, tetapi perkaitan tersebut tidak secara eksplisit atau nyata dapat dilihat pada kalimat-kalimat yang mengungkapkannya (Alwi dkk 2003:428). Harimurti Kridalaksana (dalam Mulyana 2005:32) mengemukakan bahwa hubungan koherensi wacana sebenarnya adalah hubungan semantis. Artinya, hubungan itu terjadi antarproposisi. Secara struktural, hubungan itu direpresentasikan oleh pertautan secara semantis antara kalimat (bagian) yang satu dengan kalimat lainnya. Hubungan maknawi ini kadang-kadang ditandai oleh alat leksikal, namun kadang-kadang tanpa petanda. Hubungan semantis yang dimaksud antara lain (1) hubungan sebab akibat, (2) hubungan sarana hasil, (3) hubungan alasan sebab, (4) hubungan sarana tujuan, (5) hubungan latar kesimpulan, (6) hubungan kelonggaran hasil, (7) hubungan syarat-hasil, (8) hubungan perbandingan, (9) hubungan parafrastis, (10) hubungan amplikatif, (11) hubungan aditif waktu (simultan dan berurutan), (12) hubungan aditif nonwaktu, (13) hubungan identifikasi, (14) hubungan generik spesifik, dan (15) hubungan ibarat.

Koherensi adalah kepaduan gagasan antarbagian dalam wacana, dan kohesi merupakan salah satu cara untuk membentuk koherensi. Koherensi merupakan salah satu aspek wacana yang penting dalam menunjang keutuhan makna wacana. Bila suatu ujaran tidak memiliki koherensi, hubungan semantik-pragmatik yang seharusnya ada menjadi tidak terbina dan tidak logis. Brown dan Yule (dalam Mulyana, 2005:135) menegaskan bahwa koherensi berarti kepaduan dan keterpahaman antarsatuan dalam suatu teks atau tuturan. Dalam struktur wacana, aspek koherensi sangat diperlukan keberadaannya untuk menata pertalian batin antara proposisi yang satu dengan lainnya untuk mendapatkan keutuhan. Keutuhan yang koheren tersebut dijabarkan oleh adanya hubungan-hubungan makna yang terjadi antarunsur secara semantis.

Pada dasarnya hubungan koherensi adalah suatu rangkaian fakta dan gagasan yang teratur dan tersusun secara logis. Koherensi dapat terjadi secara implisit (terselubung) karena berkaitan dengan bidang makna yang memerlukan interprestasi. Di samping itu, pemahaman hubungan koherensi dapat ditempuh dengan cara menyimpulkan hubungan antarproposisi dalam tubuh wacana itu. Kohesi dapat diungkapkan secara eksplisit, yaitu dinyatakan dalam bentuk penanda koherensi yang berupa penanda hubungan antarkalimat. Penanda hubungan itu berfungsi untuk menghubungkan kalimat sekaligus menambah kejelasan hubungan antarkalimat dalam wacana.

Beberapa bentuk atau jenis hubungan koherensi dalam wacana telah dideskripsikan oleh para ahli. D’Angelo (dalam Tarigan 1987:105) misalnya menyatakan bahwa yang termasuk unsur-unsur koherensi wacana diantaranya mencakup: unsur penambahan, repetisi, pronomina, sinonim, totalitas bagian, komparasi, penekanan, kontras, simpulan, contoh, paralelisme, lokasi anggota, dan waktu. Wohl (dalam Tarigan, 2009:100) menyatakan bahwa koherensi merupakan pengaturan secara rapi kenyataan dan gagasan, fakta, ide, menjadi suatu untaian yang logis, sehingga mudah memahami pesan yang dikandungnya. Kekoherensian sebuah wacana dapat diwujudkan secara implisit maupun eksplisit. Secara implisit hal tersebut dapat dicapai lewat konteks situasi di mana bahasa digunakan. Secara eksplisit hal tersebut dapat dicapai lewat unsur-unsur kohesi dan unsur-unsur acuannya yang berkesinambungan.

Tujuan aspek pemakaian aspek atau sarana koherensi antara lain ialah agar tercipta susunan dan struktur wacana yang memiliki sifat serasi, runtut, dan logis. Sifat serasi artinya sesuai, cocok, dan harmonis. Kesesuaian terletak pada serasinya hubungan antarproposisi dalam kesatuan wacana. Runtut artinya urut, sistematis, tidak terputus-putus, tetapi bertautan satu sama lain. Sedangkan sifat logis mengandung arti masuk akal, wajar, jelas, dan mudah dimengerti. Suatu rangkaian kalimat yang tidak memiliki hubungan bentuk dan makna secara logis, tidak dapat dikatakan sebagai wacana.

Halliday dan Hassan (1976:2) menegaskan bahwa struktur wacana pada dasarnya bukanlah struktur sintaksis, melainkan struktur semantik, yakni semantik kalimat yang di dalamnya mengandung proposisi-proposisi. Sebab beberapa kalimat hanya akan menjadi wacana sepanjang ada hubungan makna (arti) di antara kalimat-kalimat itu sendiri. Brown dan Yule (dalam Mulyana 2005:30) menegaskan bahwa koherensi berarti kepaduan dan keterpahaman antarsatuan dalam suatu teks atau tuturan. Dalam struktur wacana, aspek koherensi sangat diperlukan keberadaannya untuk menata pertalian batin antara proposisi yang satu dengan lainnya untuk mendapatkan keutuhan. Keutuhan yang koheren tersebut dijabarkan oleh adanya hubungan-hubungan makna yang terjadi antarunsur (bagian) secara semantis.

Beberapa bentuk atau jenis hubungan koherensi dalam wacana telah dideskripsikan oleh para ahli. D’Angelo (dalam Tarigan 1987:105) misalnya, menyatakan bahwa yang termasuk unsur-unsur koherensi wacana di antaranya mencakup: unsur penambahan, repetisi, pronomina, sinonim, totalitas-bagian, komparasi, penekanan, kontras, simpulan, contoh, paralelisme, lokasi-anggota, dan waktu.

Webster dalam Tarigan (1978:104) mengatakan bahwa koherensi adalah (1) kohesi yang meliputi perbuatan, atau keadaan menghubungkan, memperlihatkan, dan (2) koneksi yang meliputi hubungan yang cocok dan sesuai atau ketergantungan yang satu dengan yang lain secara rapi, seperti dalam bagian-bagian wacana atau argumen-argumen suatu rentetan penalaran. Lebih lanjut lagi Wahab dalam Tarigan (1978:104) menyatakan bahwa koherensi adalah penyatuan secara rapi kenyataan dan gagasan, fakta, dan ide menjadi suatu untaian yang logis sehingga mudah memahami pesan yang dikandungnya.

Di bidang makna dalam wacana bahasa Indonesia, Ramlan menemukan adanya sepuluh macam pertalian makna yang menghubungkan informasi dalam suatu kalimat dengan informasi dalam kalimat yang lain yang menyebabkan terbentuknya kepaduan informasi dalam paragraf. Kridalaksana (dalam Hartono 2012:151) mengemukakan bahwa hubungan koherensi wacana sebenarnya adalah hubungan semantis. Artinya hubungan itu terjadi antarposisi. Secara struktural hubungan itu direpresentasikan oleh pertautan secara semantis antara kalimat (bagian) yang satu dengan kalimat lainnya. Hubungan maknawi ini kadang-kadang ditandai oleh alat-alat leksikal, namun kadang-kadang tanda penanda.

a.    Hubungan Sebab Akibat

Koherensi ini dinyatakan dengan kalimat pertama menyatakan sebab, sedangkan kalimat berikutnya menyatakan akibat. Berikut penggunaan hubungan sebab-akibat dalam kalimat.

Ia tidak mungkin menemukan buku fiksi di perpustakaan itu. Koleksi perpustakaan itu khusus buku nonfiksi ilmiah.

b.    Hubungan Akibat Sebab

Koherensi ini dinyatakan dengan kalimat kedua menyatakan sebab terjadinya/tindakan yang dinyatakan pada kalimat pertama. Berikut penggunaan hubungan akibat-sebab dalam kalimat.

Tiba-tiba ia merasa rindu kepada anaknya. Tanpa banyak persiapan pergilah ia ke kota yang jauh itu.

c.    Hubungan Sarana Hasil

Koherensi ini dinyatakan dengan kalimat pertama menyatakan sarana untuk perolehan yang dinyatakan pada kalimat berikutnya. Berikut penggunaan hubungan sarana-hasil dalam kalimat.

Atlit bulutangkis kita akhirnya mendominasi kejuaraan Indonesia Terbuka. Kita tidak usah heran, mereka berlatih dengan ketat dan sangat disiplin.

d.    Hubungan Sarana Tujuan

Koherensi ini dinyatakan dengan kalimat kalimat kedua menyatakan syarat untuk tercapainya apa yang dinyatakan pada kalimat lain. Berikut penggunaan hubungan sarana-tujuan dalam kalimat.

Bekerjalah dengan keras. Cita-citamu menjadi orang kaya bakal kesampaian.

e.    Hubungan Alasan Tindakan

Koherensi ini dinyatakan dengan kalimat pertama menyatakan alasan bentuk tindakan yang dinyatakan pada kalimat berikutnya. Berikut penggunaan hubungan alasan-tindakan dalam kalimat.

Tahun ini mereka bertekad membangun rumah sendiri. Sudah lama sekali mereka numpang di rumah saudara.

f.     Hubungan Latar Simpulan

Koherensi ini dinyatakan dengan salah satu kalimat menyatakan simpulan atas pernyataan pada kalimat lainnya. Berikut penggunaan hubungan latar-simpulan dalam kalimat.

Mobil itu sudah tua, tetapi. Rupanya pemiliknya pandai merawatnya.

g.    Hubungan Kelonggaran Hasil

Koherensi ini dinyatakan dengan salah satu kalimatnya menyatakan kegagalan suatu usaha yang dinyatakan pada kalimat lainnya. Berikut penggunaan hubungan kelonggaran-hasil dalam kalimat.

Sudah lama aku di kota ini mencarinya. Alamat itu tak juga kutemukan.

h.    Hubungan Syarat Hasil

Koherensi ini dinyatakan dengan salah satu kalimat menyatakan syarat untuk tercapainya apa yang dinyatakan pada kalimat lainnya. Berikut penggunaan hubungan syarat-hasil dalam kalimat.

Beri bumbu dan penyadap rasa yang tepat. Masakanmu pasti enak.

i.     Hubungan Perbandingan

Koherensi ini dinyatakan dengan kalimat pertama dibandingkan dengan yang dinyatakan pada kalimat berikutnya. Berikut penggunaan hubungan sebab-akibat dalam kalimat.

Pengantin itu sangat anggun. Seperti dewa-dewi dari Khayangan.

j.     Hubungan Parafrastis

Koherensi ini dinyatakan dengan gagasan yang dinyatakan pada kalimat pertama dinyatakan secara lain dengan kalimat berikutnya. Berikut penggunaan hubungan parafrastis dalam kalimat.

Saya tidak setuju dengan penambahan anggaran untuk proyek ini, karena tahun lalu dana juga tidak habis. Sudah saatnya kita menghemat uang rakyat.

k.    Hubungan Amplikatif

Koherensi ini dinyatakan dengan gagasan yang dinyatakan pada kalimat pertama diperkuat atau ditegaskan dengan gagasan pada kalimat berikutnya. Berikut penggunaan hubungan amplikatif dalam kalimat.

Dua burung itu jangan dipisah. Masukkan dalam satu kandang saja.

l.     Hubungan Adiftif

Koherensi ini dinyatakan dengan gagasan yang dinyatakan pada kalimat pertama diikuti atau ditambah dengan gagasan pada kalimat berikutnya. Berikut penggunaan hubungan adiktif dalam kalimat.

Biar dia duduk dulu. Saya akan selesaikan pekerjaan ini (simultan).

m.   Hubungan Identifikasi

Koherensi ini dinyatakan dengan gagasan yang dinyatakan pada kalimat pertama didentifikasi dengan kalimat berikutnya. Berikut penggunaan hubungan identifikasi dalam kalimat.

Tidak bisa masuk ke universitas itu tidak berarti bodoh. Kamu tahu nggak, Einstein? Fisikawan genius itu juga pernah gagal masuk ke universitas.

n.    Hubungan Generik-Spesifik.

Koherensi ini dinyatakan dengan kalimat pertama menyatakan gagasan umum atau luas, sedangkan kalimat berikutnya menyatakan gagasan khusus atau sempit. Berikut penggunaan hubungan generik-spesiik dalam kalimat.

Gadis model itu sangat cantik. Wajahnya bersih, matanya indah, bibirnya menawan. Apalagi jalannyaa, luar biasa.

o.    Hubungan Spesifik-Generik

Koherensi ini dinyatakan dengan kalimat pertama menyatakan gagasan umum atau luas, sedangkan kalimat berikutnya menyatakan gagasan khusus atau sempit. Berikut penggunaan hubungan spesifik-generik dalam kalimat.

Saya bangun tidur pukul 05.00. Saya mandi lalu salat subuh. Setelah itu saya membantu ibu lalu makan pagi bila ada. Kemudian berangkat ke sekolah. Itulah kegiatanku setiap pagi.

p.    Hubungan Ibarat

Koherensi ini dinyatakan dengan kalimat pertama diibaratkan seperti yang dinyatakan pada kalimat berikutnya. Berikut penggunaan hubungan ibarat dalam kalimat.

Kelihaiannya mengelola bisnis sungguh piawai. Memang dia seperti belut di lumpur basah.

q.    Argumentatif (makna alasan)

Koherensi ini dinyatakan dengan kalimat kedua menyatakan argumen (alasan) bagi pendapat yang dinyatakan pada kalimat pertama. Berikut penggunaan hubungan argumentatif dalam kalimat.

Dia menang dalam pemilihan ketua RW. Dia orang yang bijaksana dan dapat bergaul dengan siapa saja.

Tujuan pemakaian aspek atau sarana koherensi antara lain ialah agar tercipta suasana dan struktur wacana yang memiliki sifat serasi, runtut, dan logis. Sifat serasi artinya sesuai, cocok, dan harmonis. Kesesuaian terletak pada serasinya hubungan antarproposisi dalam kesatuan wacana. Runtut artinya urut, sistematis, tidak terputus-putus, tetapi bertautan satu sama lain. Keruntutan artinya umumnya terjadi dalam susunan kalimat (struktur). Asas ini diperlukan untuk mengintegrasikan secara rapi unsur-unsur wacana ke dalam satu kesatuan sehingga tidak terjadi loncatan-loncatan pikiran. Sifat logis mengandung arti masuk akal, wajar, jelas, dan mudah dimengerti. Suatu rangkaian kalimat yang tidak memiliki hubungan bentuk dan makna secara logis tidak dapat dikatakan sebagai wacana (Mulyana 2005:35).

D.   Penutup

Koherensi dan kohesi merupakan unsur wacana yang penting. Kedua unsur itu digunakan untuk membangun teks yang baik. Wacana yang baik ditandai dengan adanya hubungan semantic antar unsur bagian dalam wacana. Hubungan tersebut disebut hubungan koherensi. Hubungan koherensi dapat diciptakan dengan menggunakan hubungan kohesi. Hubungan kohesi dapat dilihat dengan penggunaan piranti kohesi. Piranti kohesi ada bermacam-macam. Piranti kohesi gramatikal dan kohesi leksikal.

Wacana yang baik adalah wacana yang memiliki kohesi dan koherensi. kalimat atau kata yangt dipakai bertautan dan pengertian yang satu menyambung pengertian yang lainnya secara berturut-turut. Jadi kohesi dan koherensi menjadi aspek yang penting dan menjadi titik berat dalam suatu wacana.

Pemahaman wacana dengan baik memerlukan pengetahuan dan penguasaan kohesi yang baik pula, tidak hanya terfokus pada kaidah-kaidah bahasa tetapi juga pada realitas, pengetahuan kita dalam proses penalaran, yang disebut penyimpulan sintaktik (Van de Velde, 1984: 6). Suatu teks atau wacana benar-benar kohesi apabila terdapat kesesuaian bentuk bahasa terhadap konteks (situasi luar bahasa). Ketidaksesuaian bentuk bahasa dengan konteks akan menghasilkan teks yang tidak kohesif, (james, 1980: 102-104).

Suatu wacana dituntut memiliki keutuhan struktur. Keutuhan itu sendiri dibangun oleh komponen-komponen yang terjalin di dalam suatu organisasi kewacanaan. Organisasi inilah yang disebut sebagai struktur wacana. Sebagai sebuah organisasi, struktur wacana dapat diurai atau dideskripsikan bagian-bagiannya.

Keutuhan struktur wacana lebih dekat maknanya sebagai kesatuan maknawi (semantis) ketimbang sebagai kesatuan bentuk (sintaksis) (lihat Halliday dan Hassan, 1976 : 2). Suatu rangkaian kalimat dikatakan menjadi struktur wacana bial di dalamnya terdapat hubungan emosional antar bagian yang satu dengan bagian lainnya. Sebaliknya, suatu rangkaian kalimat belum tentu bisa disebut sebagai wacana apabila tiap-tiap kalimat dalam rangkaian itu memiliki makna sendiri-sendiri dan tidak berkaitan secara semantic.

Daftar Pustaka

Alwi, Hasan dkk. 1994. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Alwi, Hasan dkk. 1994. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Alwi, Hasan, dkk. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.

Alwi, Hasan, dkk. 2003. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Baryadi, I Praptomo. 2002. Dasar-dasar Analisis Wacana dalam Ilmu Bahasa. Jogjakarta: Pustaka Gondho Suli.

Chaer, Abdul. 1994. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.

Chaer, Abdul. 2003. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.

Darma, Yoce Aliah. 2009. Analisis Wacana Kritis. Bandung: Yrama Widya.

Djajasudarma, Fatimah. 1993. Metode Linguistik. Jakarta: Rineka Cipta.

Djajasudarma, T. Fatimah. 2006. Wacana Pemahaman dan Hubungan Antarunsur. Bandung: Refika Aditama.

Ekowardono, B. Karno. 1985. Paragraf, Kaidah, dan Latihan Penyusunannya. Semarang: FPBS IKIP Semarang.

Eriyanto.2008. Analisis Wacana. Yogyakarta: PT. LkiS Pelangi Aksara.

Gie, The Liang. 2002. Terampil Mengarang. Yogyakarta: Penerbit Andi.

Hartono, Bambang. 2000. Kajian Wacana Bahasa Indonesia. Semarang: Universitas Negeri Semarang, Semarang.

Hartono, Bambang. 2012. Dasar-dasar Kajian Wacana. Semarang: Pustaka Zaman.

Keraf, Gorys. 1996. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Keraf, Gorys. 2004. Komposisi. Semarang: Bina Putera.

Keraf, Gorys. 2009. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Kesuma, Tri Mastoyo Jati. 2007. Pengantar (Metode) Penelitian Bahasa. Yogyakarta: Carasvatibooks.

Kridalaksana, Harimurti. 1993. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Kridalaksana, Harimurti. 2001. Kamus Linguistik Edisi Ketiga. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Kurniati, Endang. 2008. Sintaksis Bahasa Jawa. Semarang: Griya Jawi.

Lubis, A. Hamid Hasan. 1991. Analisis Wacana Pragmatik. Bandung: Penerbit Angkasa.

Mohamed, Tamer Hamed. 2014. Cohesion and Coherence Interrelation: An Approach to Literary Translation-Mahfouz’s Trilogy. International Journal of Linguistics Al Obour High Institutes.

Mulyana. 2005. Kajian Wacana: Teori, Metode, & Aplikasi Prinsip-prinsip Analisis Wacana. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Pranowo. 1996. Analisis Pengajaran Bahasa untuk Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Guru Bahasa. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Praptomo Baryadi, I. 2002. Dasar-dasar Analisis Wacana dalam Ilmu Bahasa. Yogyakarta: Pustaka Gondho Suli.

Purwadi. 2009. Kamus: Jawa-Indonesia, Indonesia-Jawa. Yogyakarta: Bina Media.

Rahman, Zuhair Abdul A. A. 2013. The Use of Cohesive Devices in Descriptive Writing by Omani Student-Teachers. Jurnal Internasional Sohar University.

Rahmanu, Hasna A. 2010. Kohesi dalam Wacana Opini Media Tadulako. Jurnal FKIP Universitas Tadulako.

Ramlan, M. 1987. Sintaksis. Yogyakarta: Andi Offset.

Ramlan. 1993. Paragraf: Alur Pikiran dan Kepaduannya dalam Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Andi Offset.

Rustono. 2011. Kohesi Leksikal dan Kohesi Gramatikal Dalam Karya Ilmiah Siswa SMA Sekota Semarang. Jurnal Universitas Negeri Semarang.

Sudaryanto. 1992. Metode Linguistik, Ke Arah Memahami Metode Linguistik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Sudaryanto. 1992. Tata Bahasa Baku Bahasa Jawa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisa Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press.

Sudayat, yayat. 2009. Makna dalam Wacana. Bandung: Yrama Widya.

Sumarlam, dkk. 2003. Teori dan Praktik Analisis Wacana. Surakarta: Pustaka Cakra.

Sumarlam. 2003. Analisis Wacana: Teori dan Praktik. Surakarta: Pustaka Cakra.

Sumarlam. 2006. Analisis Wacana Tekstual dan Kontekstual. Surakarta: Universitas Sebelas Maret.

Supardo, Susilo. 1998. Bahasa Indonesia dalam Konteks. Jakarta: Depdikbud, Dirjen Dikti, L2LPTK.

Suyono. 1993. Pragmatik: Dasar-dasar dan Pengajaran. Malang: YA3 Malang.

Tarigan, Henry Guntur. 1987. Pengajaran Wacana. Bandung: Penerbit Angkasa.

Tarigan, Henry Guntur. 1993. Pengkajian Wacana. Bandung: Angkasa.

Tarigan, Henry Guntur. 2009. Pengajaran Wacana. Bandung: Angkasa Bandung.

Tiarawati, Nurbariah. 2011. Analisis Kohesi Dan Koherensi Dalam Gurindam Mutiara Hidup Karya Rendra Setyadiharja. Jurnal Universitas Maritim Raja Ali Haj.

Tito, Daniel. 2006. Panggung Sandiwara. Sragen: CV Gentamediatama.

Wiyanto, Asul. 2004. Terampil Menulis Paragraf. Jakarta: Grasindo.

Satu kata merujuk pada kata lain yang memperlihatkan keterkaitan disebut