Salah satu ciri lembaga pendidikan yang dikembangkan oleh daulah Ayyubiyah adalah

PERKEMBANGAN PERADABAN ISLAM PADA MASA DINASTI AYYUBIYAH “ Makalah Ini Disusun dalam Rangka Tugas Mata Pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam “ Guru Pembimbing : Siti Zubaidah S. SOS. I Disusun Oleh  NAMA  KELAS : WAHYU SYARIEF : 8.7( IPTEK ) MADRASAH TSANAWIYAH DAARUL HIKMAH PAMULANG TAHUN AJARAN 2019 @Wahyu.syrf_ Materi Pembahasan      Bidang pendidikan Bidang ekonimi dan perdagangan Bidang militer dan sistem pertahanan Bidang sejarah pertumbuhan dan perkembangan Al-Azhar Bidang Al-Azhar pada masa dinasti Ayyubiyah Pembahasan 1.Bidang Pendidikan Pemerintahan Dinasti Ayyubiyah berhasil menjadikan Damaskus sebagai kota pendidikan, terutama pada masa kekuasaan Nuruddin dan Salahuddin. Damaskus, ibu kota Suriah, masih menyimpan jejak arsitektur dan pendidikan yang dikembangkan kedua tokoh tersebut. Nuruddin berhasil merenovasi dinding-dinding pertahanan kota, menambahkan beberapa pintu gerbang dan menara, membangun gedunggedung pemerintahan yang masih bias digunakan hingga kini, juga mendirikan madrasah pertama di Damaskus terutama untuk pengembangan Ilmu Hadis. Madrasah ini terus berkembang dan menyebar ke seluruh pelosok Suriah. Madrasah yang didirikan Nuruddin di Aleppo (Halb), Emessa, Hamah, dan Ba’labak mengikuti mazhab Syafi’i. Madrsah tersebut merupakan bagian yang tak terpisahkan dari masjid atau disebut sekolah masjid. Namun demikian, madrasah ini secara formal, yaitu menerima murid-murid dan mengikuti model madrasah yang dikembangkan masa Dinastu Nizamiyah. Nuruddin juga membangun rumah sakit yang terkenal dengan memakai namanya sendiri, yaitu Rumah Sakit al-Nuri. Ini menjadi rumah sakit kedua di Damaskus setelah Rumah Sakit al-Walid. Fungsinya pun tidak hanya sebagai tempat pengobatan, tetapi juga sebagai sekolah kedokteran. Pada bangunan monumen-monumen, Nuruddin menorehkan seni menulis indah (kaligrafi). Prasasti-prasasti yang ditulisnya menjadi daya tarik para ahli paleografi (ilmu tulisan kuno) Arab. Sejak saat itu, diperkirakan seni kaligrafi Arab bergaya Kufi muncul dan berkembang. Kaligrafi gaya Kufi kemudian diperbaharui dan melahirkan gaya kaligrafi Naskhi. Salah satu Prasasti yang masih biasa dilihat dan dibaca sampai saat ini terdapat ddi menara Benteng Aleppo. Menurut catatan orang Suriah dan Hittiyah, benteng pertahanan tersebut merupakan mahakarya arsitektur Arab kuno. Berkat jasa Nuruddin, keberadaannya terus dipertahankan, dipelihara, dan direnovasi hingga sekarang. Makam Nuruddin sendiri yang terletak di akademi Damaskus al-Nuriyah, hingga kini juga masih dihormati dan diziarahi. Pada masa Nuruddin, fungsi masjid dikembangkan sebagai lembaga pendidikan atau sekolah di Suriah. Bahkan pada pemerintahan selanjutnya, lahir suatu tradisi baru yaitu pemakaman para pendiri sekolah masjid di bawah kubah kuburan yang mereka dirikan, baik masa Dinasti Ayyubiah maupun masa Pemerintahan Dinasti Mamluk. Salahuddin al-Ayyubi juga mencurahkan perhatian pada bidang pendidikan dan arsitektur. Ia memperkenalkan pendidikan madrasah ke berbagai wilayah yang dikuasainya, seperti ke Yerusalem, Mesir dan lainlain. Ibnu Jubayr (1145-1217 M), seorang ahli geografi menyebutkan bahwa terdapat beberapa madrasah di kota Iskandariah. Madrasah terkemuka dan terbesar berada di Kairo yang memakai namanya sendiri, yaitu Madrasah al-Salahiyah Hanya saja, madrasah bersejarah tersebut tidak bisa ditemukan lagi saat ini, namun sisa-sisa arsitekturnya masih bisa dilihat. Pada tahun-tahun berikutnya, gaya arsitektur Arab ini melahirkan beberapa monumen bersejarah di Mesir. Salah satunya yang terindah adalah Madrsah Sultan Hasan di Kairo. Di samping mendirikan sejumlah madrasah, Salahuddin Yusuf alAyyubi juga membangun dua rumah sakit di Kairo. Rancangan bangunannya mengikuti model Rumah Sakit Nuriyah di Damaskus. Ciri khasnya adalah tempat pengobatan yang sekaligus dijadikan sekolah kedokteran. Salah seorang dokter terkenal yang menjadi dokter pribadi Salahuddin bernama Ibnu Maymun, meskipun ia beragama Yahudi. Pada masa Salahuddin Al-Ayyubi, umat Islam mulai mengenal perayaan hari lahir Nabi Muhammad Saw. Di Indonseia, perayaan tersebut dikenal dengan istilah Maulid Nabi. 2.Bidang ekonomi dan perdagangan Dalam hal perekonomian, Dinasti Ayyubiah bekerja sama dengan penguasa Muslim di wilayah lain, membangun perdagangan dengan kotakota di Laut Tengah dan Laut Hindia, juga menyempurnakan sistem perpajakan. Saat itu, jalur perdagangan Islam dengan dunia internasional semakin ramai, baik melalui jalur darat maupun jalur laut. Hal itu juga membawa pengaruh bagi negara Eropa dan negara-negara yang dikuasainya. Selain itu, dunia perdagangan sudah menggunakan mata uang yang terbuat dari emas dan perak (dinar dan dirham), termasuk pengenalan mata uang dari tembaga yang disebut fulus. Percetakan fulus dimulai pada masa pemerintahan Sultan Muhammad al-Kamil bin al-'Adil al-Ayyubi. Fulus disediakan sebagai alat tukar untuk barang yang nilainya kecil. Ketika itu, setiap 1 dirham setara dengan 48 fulus. Dalam bidang industri, masa Ayyubiyah sudah membuat kincir hasil ciptaan orang Syiria. Kincir tersebut lebih canggih dibanding buatan orang Barat saat itu. Di zaman Ayyubiyah juga sudah dibangun pabrik karpet, pabrik kain, dan pabrik gelas . 3.Bidang militer dan sistem pertahanan Pada masa pemerintahan Salahuddin, kekuatan militernya terkenal sangat tangguh. Pasukannya bahkan diperkuat oleh pasukan Barbar, Turki, dan Afrika. Mereka sudah menciptakan alat-alat perang, pasukan berkuda, pedang, dan panah. Dinasti ini juga memiliki burung elang sebagai mata-mata dalam peperangan. Salahuddin telah membangun monumen berupa tembok kota di Kairo dan Muqattam, yaitu Benteng Qal'al Jabal atau lebih dikenal dengan Benteng Salahuddin al-Ayyubi, yang sampai hari ini masih berdiri dengan megahnya. Benteng ini terletak disekitar Bukit Muqattam, berdekatan dengan Medan Saiyyidah Aisyah. Ide pembangunan benteng merupakan hasil pemikirannya sendiri yang terwujud tahun 1183 M. Bahkan untuk pondasi benteng diambilkan dari bebatuan pada Piramid di Giza. Benteng ini bahkan dikelilingi pagar yang tinggi dan kokoh. Benteng Qa'al Jabal memiliki beberapa pintu utama, diantaranya pintu Fath, pintu Nasr, pintu Khalk, dan pintu Luq. Di benteng ini terdapat pula saluran air yang berasal dari sungai Nil. Saluran air itu pernah menjadi tempat minum para tentara. Di bagian utara benteng terdapat Masjid Muhammad Ali Pasha yang terbuat dari marmar dan granit. Dalam kawasan benteng, terdapat juga Muzium Polis, Qasrul Jawhara (Muzium permata) yang menyimpan perhiasan raja-raja Mesir. Sementara itu, Mathaf al-Fan al-Islami (Muzium Kesenian Islam) yang terletak di pintu Khalk, menyimpan ribuan barang yang melambangkan kesenian Islam semenjak zaman Nabi Muhammad Saw, termasuk surat Rasulullah Saw kepada penguasa Mesir bernama Maqauqis untuk memeluk Islam. Demikianlah kemajuan-kemajuan yang dicapai pada masa Dinasti Ayyubiah, semoga kita bisa mengambil pelajaran dari tulisan tersebut dan mudah-mudahan bermanfaat. Amiin. 4.Bidang sejarah pertumbuhan dan perkembangan Al-Azhar Al – Azhar, nama yang tak lagi asing di telinga kita. Perguruan tinggi yang menjadi refrensi perkuliahan di seantero jagat, bukan hanya dunia islam ini menawarkan kepada kita pesona keilmuan yang sangat istimewa. Tempat ini tak hanya menghasilkan generasi ulama saja, lebih dari itu Al – Azhar menghasilkan generasi intelektual berjiwa ulama yang menjadi tokoh berpengaruh di seantero bumi, bukan hanya dalam lingkup Islam. Al – Azhar dan Kota Kairo ibarat 2 sisi koin yang tak dapat dipisahkan. Pembangunan Al – Azhar sendiri dilakukan setelah rampungnya pembangunan megah di Kota Kairo. Awalnya, Al – Azhar hanyalah sebuah masjid belaka yang didirikan pada masa berkuasanya Dinasti Fatimiyyah oleh Jauhar As – Siqiliy. Proses pendirian Al – Azhar dilakukan kurun waktu antara 970 – 972 Masehi. Menilik perkembangan zaman yang menuntut berkembangnya ilmu pengetahuan agar dapat bersaing dengan bangsa sekitar Mesir. Maka, Al – Azhar diperluas cakupan penggunaannya sebagai pusat pengembangan dan riset ilmu pengetahuan atau bisa dikatakan sebuah universitas. Perluasan penggunaan Al – Azhar ini dilakukan oleh Khalifah Fatimiyyah yang kelima, yaitu Abu alManshur Nizar al-Aziz (975 M-996 M). Penamaan Al – Azhar sendiri memiliki makna historis tersendiri. Ada 2 pendapat kuat yang diyakini kebenarannya. Kedua pendapat ini muncul dari kalangan internal Al – Azhar sendiri. Pertama, menurut Dr. Ahmad Mahmud, Guru Besar Sejarah Islam di Universitas Kairo menjelaskan bahwa kata Azhar diambil dari kata al-Zahra, nama dari Sayyidah Fatimah al-Zahra binti Rasulullah Shallallahu `Alaihi wa Sallam. Istri dari Sayidina Ali bin Abi Thalib, ibu dari Sayidina Hasan dan Husain. Hal ini diyakini kebenarannya dikarenakan Dinasti Fathimiyyah meletakkan Syiah sebagai acuan agama. Dalam ajaran Syiah sendiri, para Ahlul Bait/famili Rasulullah saw. memiliki tempat istimewa dalam benak mereka. Utamanya, Khalifah Ali bin Abi Thalib ra. dan Fatimah Az – Zahra beserta kedua anaknya Kedua, menurut Dr. Mina Sya`ir, Guru Besar Sejarah Islam di Universitas al-Azhar menjelaskan bahwa kata al-Azhar juga konon diambil dari nama sebuah istana yang dibangun pada masa Khalifah al-`Aziz billah. Masjid Al – Azhar sendiri bukan hanya dijadikan tempat mengadakan ritual keagamaan saja, lebih dari itu pada mulanya ia didesain sebagai pusat penyebaran dan pelestarian Syiah yang menjadi mazhab resmi Dinasti Fathimiyah. Masjid al-Azhar menjadi masjid resmi miliki Negara, ia menjadi tempat para pemimpin Dinasti Fatimiyah berkhutbah, dan juga menjadi cerminan dari setiap kebijakan dan keputusan Negara. Pada mulanya, proses pendidikan di Al – Azhar dimulai dari sebuah Majelis yang diisi oleh Al – QadhiAbu Hasan al-Nu`man pada bulan Safar 365 H (976 M), dan kitab yang dikaji saat itu adalah kitab al-Iqtishar, kitab fikih mazhab Syiah Ismailiyah. Sistem pendidikan yang diterapkan dalam universitas ini terbagi menjadi empat kategori. Peertama, kelas umum, yakni kelas yang diperuntukkan bagi kaum Muslim yang datang ke Al-Azhar untuk mempelajari Alquran dan metode penafsirannya. Kedua, kelas untuk kaum Muslim yang ingin mengkaji permasalahan keislaman bersama para tutor atau pembimbing kala itu. Ketiga, kelas darul hikam. Dalam kelas ini, kuliah diberikan oleh para mubaligh. Selain kalangan pelajar, kelas darul hikam juga diperuntukkan bagi masyarakat umum saat itu. Keempat, kelas nonformal, yakni kelas yang disediakan untuk kalangan Muslimah yang juga hendak menimba ilmu-ilmu keislaman. Pada mulanya, semua pihak yang ingin menimba ilmu di Al – Azhar tidak diperkenankan mempelajari aliran selain syi’ah. Hal ini dilatar belakangi seperti yang telah sempat penulis kemukakan sebelumnya, yaitu landasan agama Dinasti Fatimiyyah adalah Syi’ah. Setelah takluknya Dinasti Fatimiyyah dihadapan Shalahuddin Al – Ayyubi pada tahun 1171 Masehi atau 576 Hijriyah, kegiatan belajar mengajar (KBM) di Al – Azhar sempat dihentikan karena Shalahuddin ingin memutus mata rantai hegemoni perkembangan Syiah di Jazirah Mesir. Setelah dianggap aman, Al – Azhar pun kembali difungsikan sebagai lembaga pendidikan yang beraliran Sunni/ Ahlus Shunnah Wal Jamaah. Pada kemudian hari, Al – Azhar tidak hanya fokus dalam kajian keislaman saja, tapi juga telah merambah kajian ilmu pengetahuan umum, seperti ekonomi, psikologi, kedokteran, matematika, teknik, dan lainnya. Hingga kini, Al – Azhar telah melahirkan ribuan lulusan yang tersebar seantero dunia, bukan hanya sebagai ulama besar saja tapi juga melahirkan generasi intelektual muslim yang selaras dengan perkembangan zaman. 5.Bidang Al-Azhar pada masa dinasti ayyubiyah Setelah Sholahuddin Al-Ayyubi menguasai Mesir dan menjatuhkan dinasti Fatimiyyah, kegiatan keilmuan di al-Azhar harus terhenti. Karena Sholahuddin al-Ayyubi adalah penganut faham Sunni, ia menutup al-Azhar baik untuk shalat jumat maupun sebagai universitas. Al-Azhar tidak lagi menjadi penyelenggara pendidikan islam yang membanggakan. Kendati al-Azhar ditutup sebagai lembaga pendidikan, perkuliahan beralih ke madrasah-madrasah dan lembaga kuliah setingkat universitas, yang jumlahnya hinga mencapai 25 lembaga di Kairo. al-Azhar juga sering mendapat kunjungan ulama-ulama terkenal yang juga memberikan kuliah. Pada tahun 589 H Abd Latif al_baghdadi berkunjung ke Mesir, pada masa al-Malik al-Aziz Imad al-Din Utsman anak Sholah al-Din. Pada kunjungannya ini ia sempat mengajar mantiq dan al-Bayyan di al-Azhar. Setelah Daulah Fatimiyah jatuh ke tangan Shalahuddin al- ayyubi pada tahun 567 H (1171 M), maka ia mengambil kebijakan baru untuk menghilangkan aliran Syi’ah yangtelah tumbuh dan berkembang sekian lama. Terutama melalui sarana al-Azhar untuk digantinya dengan aliran Sunni. Beberapa peristiwa penting yang terjadi pada masa Sholahuddin adalah: a. Pembekuan kegiatan khutbah di al-Azhar selama hampir seratus

tahun sampai masa Sultan al-Mamluki al-Dzahir pada tahun 665 H/1226 M. b. Melakukan renovasi pembangunan al-Azhar oleh Amir Edmir dan Sultan Berbes atau Sultan al-Dzohir Berbes. c. Al-Azhar menjadi pusat studi islam yang amat penting, terutama ketika Kairo menjadi kiblat para ulama, fuqaha, dan mahasiswa. Demikian makalah di susun oleh wahyu syarief , jika ada kesalahan maka dibukakan lah pintu maaf yang sebesar besarnya karena kebenaran datang nya dari Allah SWT.Dan kesalahan datangnya dari diri saya sendiri.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA