Presiden Indonesia yang mengakhiri jabatannya dengan tidak hormat adalah

Pengunduran diri Soeharto 21 Mei 1998. ©2016 Merdeka.com

Merdeka.com - Kamis, 21 Mei 1998 tepat pukul 09.00 WIB menjadi sejarah untuk Bangsa Indonesia. Presiden Soeharto resmi mengundurkan diri dari kursi presiden setelah berkuasa selama 32 tahun. Soeharto mundur digantikan oleh BJ.Habibie.

“Saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden RI terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini pada hari Kamis, 21 Mei 1998," kata Soeharto dalam pidato terakhirnya sebagai presiden Indonesia.

Sebelum Soeharto memutuskan mengundurkan diri, banyak peristiwa penting terjadi. Berikut rangkumannya:

2 dari 6 halaman

Pengunduran diri Soeharto 21 Mei 1998. ©2016 Merdeka.com

Krisis moneter yang melanda seluruh Dunia berimbas kepada Indonesia. Krisis itu menjadi titik awal gerakan reformasi di Indonesia.

Tercatat pada akhir Januari 1998, nilai rupiah terpuruk di angka Rp 11.050. Krisis bahan pokok juga terjadi. Pengangguran pun makin meningkat, dari 4,68 juta pada 1997 menjadi 5,46 juta pada 1998. Krisis itu juga yang menyebabkan rakyat menuntut perubahan kepemimpinan.

3 dari 6 halaman

Peringatan Tragedi 98. ©2013 Merdeka.com/M. Luthfi Rahman

Gerakan ini mendapatkan momentumnya saat terjadinya krisis moneter pada pertengahan tahun 1997. Saat itu harga-harga kebutuhan melambung tinggi, daya beli masyarakat berkurang. Tuntutan mundurnya Soeharto menjadi agenda nasional gerakan mahasiswa. Ibarat gayung bersambut, gerakan mahasiswa dengan agenda reformasi mendapat simpati dan dukungan dari rakyat.

Mahasiswa pun melakukan aksi demonstrasi besar-besaran ke gedung DPR/MPR, termasuk mahasiswa Universitas Trisakti. Mereka melakukan aksi damai dari kampus Trisakti menuju Gedung Nusantara pada pukul 12.30 WIB. Namun aksi mereka dihadang oleh blokade dari Polri dan militer.

Demo besar menelan korban. Empat mahasiswa Trisakti tewas akibat tertembak.

4 dari 6 halaman

Kerusuhan Mei 1998. ©REUTERS

Sementara itu kerusuhan, pembakaran dan penjarahan, di ibukota dan di sejumlah daerah terjadi pada 13-14 Mei 1998. Contohnya terjadi di Yogya Plaza yang sekarang dikenal Mall Citra Klender dibakar. 400 Orang dikabarkan tewas pada Mei 1998.

Mal Yogya di Klender terbakar hebat pada 15 Mei setelah dua hari berturut-turut menjadi target penjarahan warga. Tidak ada yang tahu bagaimana api bisa menyebar ketika masih ada ratusan orang mengambil barang di lantai dua dan tiga.

5 dari 6 halaman

Kerusuhan Mei 1998. ©REUTERS

18 Mei 1998, sore sekitar pukul 15.30 WIB, Harmoko di Gedung DPR, yang dipenuhi ribuan mahasiswa, menyatakan bahwa demi persatuan dan kesatuan bangsa, pimpinan DPR, baik Ketua maupun para Wakil Ketua, mengharapkan Presiden Soeharto mengundurkan diri secara arif dan bijaksana.

Pidato Harmoko saat itu disambut gembira oleh ribuan mahasiswa yang mendatangi Gedung DPR. Namun kebahagiaan itu tidak berlangsung lama, karena pada malam harinya, pukul 23.00 WIB Menhankam/ Panglima ABRI Jenderal TNI Wiranto menyebut bahwa pernyataan Harmoko itu merupakan sikap dan pendapat individual, karena tidak dilakukan melalui mekanisme rapat DPR.

6 dari 6 halaman

Pengunduran diri Soeharto 21 Mei 1998. ©2016 Merdeka.com

Presiden Soeharto mengemukakan akan segera mengadakan reshuffle Kabinet Pembangunan VII, dan sekaligus mengganti namanya menjadi Kabinet Reformasi, tapi kabar mengejutkan datang dari empat belas menteri di Kabinet Pembangunan ke-VII, yang menyatakan untuk mengundurkan diri secara bersama-sama dari jabatan mereka.

Ke empat belas menteri yang menandatangani 'Deklarasi Bappenas' tersebut antara lain adalah Akbar Tandjung, AM Hendropriyono, Ginandjar Kartasasmita, Giri Suseno Hadihardjono, Haryanto Dhanutirto, Justika S. Baharsjah, Kuntoro Mangkusubroto, Rachmadi Bambang Sumadhijo, Rahardi Ramelan, Subiakto Tjakrawerdaya, Sanyoto Sastrowardoyo, Sumahadi, Theo L. Sambuaga, dan Tanri Abeng. [has]

Baca juga:
Orang yang hilang misterius saat tragedi 98
Penjarahan dan bentrokan paling mengerikan saat tragedi '98, semoga tak terulang
Kesaksian penggali kubur saat Mozes Gatutkaca dimakamkan
Kehidupan pribadi Mozes Gatutkaca
Nama jalan yang selalu dikenang

KH Abdurrahman Wahid (Dok. Pojok Gus Dur) KH Abdurrahman Wahid (Dok. Pojok Gus Dur)

KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dilengserkan secara politis oleh parlemen melalui Sidang Istimewa (SI) MPR RI pada 23 Juli 2001. Sebelum pelaksanaan sidang, Gus Dur melawan dengan mengeluarkan Dekrit Presiden. Perlawanan tersebut bukan untuk mempertahankan jabatannya sebagai presiden, tetapi menolak langkah parlemen yang menurutnya inkonstitusional. Sejumlah tuduhan yang diarahkan kepadanya juga tidak terbukti secara hukum.


Kompas pada 1 Agustus 2001 melaporkan bahwa menjelang tengah malam pada tanggal 22 Juli 2001, Gus Dur sempat mengadakan pertemuan bersama salah seorang Wakil Sekjen PBNU Masduki Baidlawi dan tujuh ulama sepuh di Istana Negara.


Mereka menyampaikan kepada Gus Dur perihal kondisi politik mutakhir yang berujung pada rencana percepatan SI MPR keesokan harinya, yaitu pada 23 Juli 2001. Kondisi pertemuan di Istana Negara kala itu dilaporkan berlangsung khidmat dan penuh keharuan.


Gus Dur tak kuasa menahan air mata. Ia meminta maaf berkali-kali karena merasa tidak berterus terang kepada para ulama mengenai situasi politik yang dihadapinya. Dengan dorongan para ulama dan pengurus pondok pesantren, lewat tengah malam pada tanggal 23 Juli 2001, Gus Dur mengeluarkan dekrit presiden.


Dekrit itu secara garis besar berisi penolakan terhadap keputusan Sidang Istimewa yang akan diselenggarakan beberapa jam mendatang oleh MPR yang dipimpin Amien Rais. Hingga saat ini tidak ada satu pun keputusan hukum yang memvonis Gus Dur melakukan kesalahan seperti yang dituduhkan sejumlah orang, baik kasus Buloggate dan Bruneigate.


Tangis Gus Dur pecah bukan karena kelemahan dirinya menghadapi situasi politik saat itu, tetapi memikirkan para ulama dan pendukungnya yang mempunyai komitmen kuat untuknya. Bahkan di sejumlah daerah dengan tegas membentuk pasukan berani mati jika Gus Dur dilengserkan.


Gus Dur menahan ratusan ribu orang yang ingin berangkat ke Jakarta. Ia tidak mau ada kerusuhan dan pertumpahan sesama anak bangsa. Laporan Kompas menyebut bahwa 300.000 relawan berani mati siap berangkat ke Jakarta untuk membela Gus Dur dari upaya pelengseran oleh parlemen.


Namun, jauh-jauh hari Gus Dur menyambangi sejumlah ulama di beberapa pesantren. KH Muhammad Yusuf Chudlori Tegalrejo, Magelang dalam Gus! Sketsa Seorang Guru Bangsa (2017) mengungkapkan pesan Gus Dur berupa satu kalimat yang menurutnya terus terngiang di telinga, membekas di hati, dan tidak akan pernah hilang.


Gus Dur berkata, “Kalau tawakal, Anda berani dan layak hidup”. Pesan tersebut disampaikan Gus Dur kepada para kiai menjelang pelengseran dirinya sebagai presiden. Kalimat tersebut seperti diuji dan benar-benar jitu menjadi pembuktian bagi Gus Dur setelah lengser. Tawakal menjadi sumber kekuatan Gus Dur yang semakin berani menjalani kehidupannya untuk kepentingan bangsa Indonesia.


Saat itu, dalam pertemuan dengan sejumlah ulama yang salah satunya terjadi pada peringatan 100 Tahun Berdirinya Pondok Pesantren Futuhiyah di Mranggen, Demak, Jawa Tengah, Gus Dur berpesan agar ulama tidak terpancing amarahnya atas nama solidaritas umat Muslim.


"Sesama orang Islam itu bersaudara. Kenyataan ini harus dipahami bahwa tindakan kekerasan tidak menyelesaikan persoalan. Jika banyak warga NU ke Jakarta, kemudian membuat gegeran malah akan menambah keributan di Jakarta," ujar Gus Dur dilansir Tirto.


Pada kesempatan yang sama, Gus Dur juga berujar bahwa dirinya masih bisa mengatasi persoalan di ibu kota secara diplomatis. Ketua Umum Tanfidziyah PBNU (1984-1999) itu juga mengingatkan pentingnya solidaritas umat Muslim dalam tradisi pondok pesantren.


"Ada beda antara keras dan tegas. Ibarat pepatah nenek moyang, pohon tinggi harus berani menentang angin yang bertiup keras. Nanti kalau saya tidak lagi sanggup mengatasi persoalan itu, saya kan bisa bengok-bengok (teriak minta tolong) sama ulama. Ke mana lagi kalau tidak minta tolong ke ulama, itu kan juga tradisi orang pondok pesantren," tegas Gus Dur.


Romo Magnis merupakan salah seorang sahabat Gus Dur yang menyarankannya untuk mundur dari kursi presiden ketika dirinya didera politisasi kekuasaan dengan berbagai macam tuduhan tersebut. Namun, bukan Gus Dur namanya jika tidak mempunyai keteguhan pendirian. Apalagi posisi Gus Dur tidak terbukti bersalah secara hukum terhadap kasus yang menderanya.


Saat situasinya benar-benar diujung tanduk, Romo Magnis (2017) kala itu diminta sejumlah tokoh yang juga kawan-kawan Gus Dur untuk memberikan masukan dan pandangan untuknya mengenai situasi politik yang dihadapi. Empat minggu sebelum Gus Dur dilengserkan, delapan orang kawan mendatangi Gus Dur di istana.


Di istana ada putri Gus Dur yang senantiasa setia mendampingi ayahnya, Yenny Wahid. Romo Magnis berbicara apa adanya kepada Yenny bahwa Gus Dur sebaiknya mundur ketimbang diturunkan. Mendengar aspirasi tersebut, Yenny mewanti-wanti mungkin Gus Dur bakal marah. Tetapi Yenny tetap mempersilakan Romo Magnis dan kawan-kawan untuk menyampaikan langsung saran tersebut kepada Gus Dur.


Mendengar saran untuk mundur, ternyata Gus Dur tidak marah di tengah situasi yang serba panas kala itu. Dengan tenang Gus Dur menjelaskan kepada kawan-kawannya yang aktif di Forum Demokrasi mengapa dirinya tidak mau melakukan pengunduran diri. Intinya, apa yang dia lakukan benar. Justru DPR dan MPR-lah yang inkonstitusional.


Di tengah ketegangan politik yang menginginkannya untuk mengundurkan diri itu, Gus Dur justru sempat menanggapinya dengan humor: “Saya disuruh mundur? Maju saja dituntun?” kata Gus Dur disambut tawa renyah kawan-kawan yang mengelilinginya.


Dalam sejumlah kesempatan Gus Dur menyatakan bahwa persoalan yang menimpa dirinya merupakan murni persoalan politik kekuasaan yang dimanfaatkan oleh sejumlah orang. Sebab secara hukum, Gus Dur tidak pernah terbukti bersalah sehingga upaya pelengseran dirinya merupakan tindakan inkonstitusional. (Fathoni)

Berita seputar Forum R20

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA