Pesan moral apa yang dapat kita gali dari perdebatan panjang para pendiri bangsa sampai akhirnya menuju pada satu kesepakatan Pancasila yang kita kenal saat ini?

Rangkuman PPKn Kelas 11 Bagian 1 Pancasila: Unit 1 Peta Pemikiran Pendiri Bangsa tentang Pancasila ~ sekolahmuonline.com. Pembaca Sekolahmuonline, berikut ini Sekolahmuonline sajikan Rangkuman atau Ringkasan mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) Kelas XI SMA/SMK Bagian 1 Pancasila: Unit 1 yang membahas tentang Peta Pemikiran Pendiri Bangsa tentang Pancasila.

Rangkuman PPKn kelas 11 SMA/SMK di bawah ini adalah rangkuman yang ada pada materi PPKn kelas XI Kurikulum Merdeka (Merdeka Belajar). Selamat membaca dan mempelajari, semoga memudahkan Anda dalam belajar. 

a. Dalam sidang BPUPK, teradapat perbedaan pendapat di antara para pendiri bangsa mengenai pandangan terhadap agama dan dasar negara. Soerkarno dan Hatta setuju untuk memisahkan agama dan negara. Sementara itu, beberapa tokoh lainnya, seperti Moh. Natsir, Ki Bagus Hadikusumo, dan KH. Wahid Hasyim memandang bahwa Islam harus menjadi dasar negara.

b. Perdebatan antar-pendiri bangsa tentang posisi agama Islam sebagai dasar negara, sempat berpotensi penyebab terjadinya perpecahan.

c. Bagi kelompok nasionalis-sekuler, agama dipandang sebagai permasalahan individu yang tidak dapat dijadikan patokan untuk bernegara meskipun Indonesia memiliki masyarakat muslim sebagai mayoritas.

d. Di lain sisi, kelompok nasionalis-Islam berargumentasi bahwa nilai-nilai di Islam mencakup moral, sosial, dan politik sehingga baik diterapkan di Indonesia yang kebetulan mayoritas masyarakatnya adalah muslim

a. Apakah yang menjadi persamaan pemikiran para pendiri bangsa mengenai dasar negara Indonesia?

b. Apakah yang menjadi perbedaan cara pandang para pendiri bangsa mengenai dasar negara Indonesia?

c. Bagaimana kaitan antara agama dan negara dalam penentuan dasar negara Indonesia?

d. Bagaimana argumentasi para pendiri bangsa untuk menempatkan ajaran syariat Islam sebagai bagian dari dasar negara?

e. Apa yang menjadi alasan kuat untuk tidak menjadikan syariat Islam sebagai dasar negara Indonesia?

f. Pesan moral apa yang dapat kalian gali dari perdebatan panjang para pendiri bangsa, sampai akhirnya menuju pada satu kesepakatan Pancasila yang kita kenal sampai saat ini?

Demikian postingan Sekolahmuonline yang menyajikan Rangkuman atau Ringkasan mata pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan PPKn Kelas 11 semester 1 (semester ganjil) Bagian 1 Pancasila: Unit 1 Peta Pemikiran Pendiri Bangsa tentang Pancasila. Semoga bermanfaat. Silahkan baca-baca postingan Sekolahmuonline lainnya.

Rangkuman atau ringkasan PPKn Kelas 11 SMA/SMK Bagian 1:

Oleh: Prof. Al Makin (Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)

Jika bangsa ini tengah galau, atau ingin sejenak merenung, tiada tempat lain untuk kembali kecuali melihat langkah awal dari perjalanan menuju bangsa. Pada saat pembentukan jiwa patriotisme, saat lahirnya cinta tanah air, dan sentimen kemerdekaan disatukan yang melahirkan bangsa ini, sumber moral bangsa menjadi bahan debat lama dan pelik.

Kemana kembali dan atas dasar apa fondasi moral itu didasarkan. Moral sebagai landasan berbangsa dan acuan berkebangsaan. Selain tokoh-tokoh kemerdekaan yang tiada pernah berhenti memikirkan ini, seperti Sukarno yang selalu menulis dan berdiskusi, ada banyak kolega-kolega dalam berbagai lingkaran yang juga ikut memikirkan.

Apa yang dilakukan Muhammad Yamin menarik. Sama dengan Sukarno, Muhammad Yamin menggali masa lalu, sejarah dan peninggalan pra-kolonial Nusantara. Yamin memilih Majapahit, kerajaan yang tepatnya adalah emporium di Jawa Timur.

Inilah sumber moral, sumber kekuatan untuk menjadi bangsa yang besar, dan simbol persatuan pulau-pulau itu dengan patihnya Gajah Mada. Sumpah Palapa yang diucapkannya, walaupun sempat dicemooh oleh pejabat yang lain waktu itu, menjadi bahan dasar penyatuan dan inspirasi bagi persatuan berbagai perbedaan.

Dua buku utama era Majapahit Negara Kertagama dan Sutasoma dikaji dalam banyak kesempatan oleh kaum cerdik cendikia. Salah satu buktinya adalah mantra Bhinneka Tunggal Ika yang ada di pita di cengekeraman burung Garuda berasal dari kitab era Majapahit itu.

Ijtihad para tokoh kemerdekaan untuk memberi dasar moral adalah sejarah bangsa, perjalanan jauh ke belakang, sebelum bangsa Eropa menapakkan kaki di Nusantara. Bagaimana dan keemasan apa yang telah dicapai ketika bangsa-bangsa Eropa belum mengatur para sultan, sebelum turut campur dalam banyak urusan politik kerajaan, dan sebelum menjadikan para penguasa lokal tradisional sebagai agen kekuasaan bagi kolonialisme. Menurut semangat patriotisme para pendiri bangsa ini, kepulauan ini pernah jaya, bahkan pulau-pulaunya pernah bersatu dalam satu komando emperium Majapahit. Indonesia pasca Perang Dunia II, sebagai negara Republik yang mengadopsi dan mengadaptasi demokrasi modern, adalah kelahiran kembali Majapahit. Begitu kira-kira alur pikiran yang ditawarkan. Sumber moral bangsa kedua adalah kesepakatan-kesepakatan para penggagas bangsa. Kesepakatan itu banyak didasarkan pada rasionalitas dan belajar dari bangsa lain, terutama gerakan nasionalisme Eropa. Dalam banyak kesempatan Sukarno mengutip gagasan nasionalisme Eropa dengan lancarnya. Sukarno sering menghadirkan contoh Turki, sebagai negara besar bahkan kekhalifahan, yang bertransformasi menjadi negara republik modern. Khalifah sebagai simbol lama pemerintahan era agama dan tafsirnya dianggap sudah tidak lagi relevan. Negara modern berdasar moralitas rasionalisme, empirisme, dan kesepakatan-kesepakatan bersama merupakan satu-satunya pilihan yang mungkin.

Betul, bangsa Indonesia tidak semata-mata mendasarkan moralnya pada agama, tetapi menyepakati adanya banyak agama dalam naungan kesepakatan-kesepakatan manusia biasa. Kesepakatan itu bisa dilihat ulang, direvisi, difahami ulang, ditafsir ulang, bahkan diamandemen.

Moralitas, etika, dan akhlaq adalah bentuk kesepakatan yang rasional. Tingkah laku, ketaatan hukum, kelurusan administrasi dan birokrasi adalah buah moralitas rasional yang tidak selamanya termaktub dalam Kitab Suci agama-agama, tetapi ruhnya ada di sana. Moralitas bangsa Indonesia adalah moralitas rasional dengan ukuran-ukuran yang jelas pula. Itu idealnya, dan mungkin begitulah yang dibayangkan oleh para pendiri bangsa.

Debat diantara para pemimpin tidak pernah mulus dan mudah. Selalu saja ada pro dan kontra sebagaimana juga saat ini. Semua diskusi melahirkan sikap setuju, tidak setuju, netral, sedikit setuju, alternatif lain, dan berbagai dinamikanya. Selanjutnya para pemimpin melahirkan kesepakatan-kesepakatan yang didiskusikan secara rutin, kadangkala alot, sering bersitegang, dan akhirnya mencapai kompromi.

Inilah acuan moral, kesepakatan dengan cara memberi ruang kepada yang lain, dan menempatkan diri pada hal-hal yang berbeda. Dalam sejarahnya di era Sukarno, banyak kesepakatan-kesepakatan berbangsa itu terjadi pergeseran, bahkan pertentangan. Pemberontakan, kerusuhan, dan konflik internal bangsa sudah kita lalui. Akhirnya kembali lagi pada kesepakatan rasional dan perhitungan empiris nyata, apa yang bisa diperbuat, dan apa yang bisa menyembuhkan luka.

Tidak ada yang merasa menang mutlak, tidak ada pula yang merasa dikalahkan total. Semua mempunyai andil, sekaligus memberi andil bagi kelompok lain. Tidak ada yang mengambil semuanya, sekaligus tidak ada yang merasa kehilangan segalanya. Setiap kepentingan menyisakan ruang kepentingan lainnya. Itulah moral berbangsa yang sudah teruji dari satu pemerintahan ke pemerintahan yang lain.

Sekali memaksakan kehendak harganya adalah pertentangan. Sekali memaksakan kepentingan konsekwensinya adalah gesekan. Semua bisa diredam dengan cara melihat kembali kesepakatan itu. Kesepakatan bersama, dan bisa dipilah mana yang mutlak harus disepakati dan mana yang bisa ditafsir ulang.

Semangat ini tertuang dalam sila ke-empat Pancasila: “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.” Hikmat sekaligus kebijaksanaan, ini sudah sesuai dengan prinsip-prinsip filsafat lama dari Yunani, India, China hingga Nusantara.

Dalam segala sesuatu kita ambil hikmahnya, bukan mudharatnya, tetapi sisi positifnya. Permusyawaratan adalah lancarnya komunikasi dari satu masa ke masa lain, dari satu golongan dengan golongan lainnya. Tidak ada yang ditinggal, tidak pula ada yang terlalu mendominasi. Semua berhak berbahagia dalam republik ini dengan caranya masing-masing.

Artikel ini telah dimuat di RMOL.ID, 19/4/2022

Kolom Terkait

Kolom Terpopuler

Jakarta -

Nilai luhur perumusan Pancasila bagi bangsa Indonesia adalah nilai kebersamaan. Nilai kebersamaan dalam perumusan dasar negara Indonesia sudah terlihat sejak masa persiapan kemerdekaan.

Nilai luhur perumusan Pancasila bagi bangsa Indonesia ini salah satunya tampak pada rapat sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Nilai kebersamaan dapat menyatukan perbedaan pendapat yang terjadi sidang BPUPKI pertama dan kedua, seperti dikutip dari buku Pendidikan Kewarganegaraan oleh M. Masan dan Rachmat.

Contohnya, Mohammad Yamin mempunyai pandangan berbeda dengan Soekarno tentang dasar negara Indonesia merdeka. Tetapi, nilai kebersamaan dalam proses perumusan Pancasila membuat perbedaan pendapat para tokoh penggagas dasar negara ini tidak menjadi penghalang keduanya untuk tetap bersatu.

Nilai luhur proses perumusan Pancasila bagi bangsa Indonesia juga terlihat dalam sidang PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Sidang PPKI merupakan contoh bermusyawarah untuk menghasilkan mufakat.

Contohnya, para tokoh yang tidak setuju dengan isi Piagam Jakarta terutama sila pertama mengajukan keberatannya. Keberatan tersebut ditanggapi dengan serius oleh peserta rapat yang lain. Akhirnya, bunyi sila pertama pada Piagam Jakarta diubah seperti sila pertama Pancasila sekarang.

Nilai luhur dalam proses perumusan Pancasila bagi bangsa Indonesia juga terlihat pada bagaimana perbedaan pendapat tidak membuat peserta sidang PPKI terpecah belah. Alih-alih, para peserta sidang PPKI semakin mempererat tali persatuan dan kesatuan bangsa, menciptakan suasana damai, dan saling menghargai satu sama lain.

Nilai luhur dalam proses perumusan Pancasila bagi bangsa Indonesia

Nilai luhur dalam proses perumusan Pancasila bagi bangsa Indonesia yang dapat dipetik adalah sebagai berikut:

1. Mendengarkan dan menghargai pendapat orang lain

Mendengarkan dan menghargai pendapat orang lain adalah hal yang dapat dilakukan dalam percakapan sehari-hari, diskusi, atau pertemuan kelompok. Mendengarkan dan menghargai pendapat orang lain merupakan bentuk mengakui bahwa setiap orang punya derajat yang sama, sehingga harus saling menghargai dan menghormati dengan didengarkan dan dihargai pendapatnya.

Jika ada orang yang menyampaikan pendapat, anggota kelompok atau anggota rapat harus mendengarkan dengan baik. Sementara itu, orang yang menyampaikan pendapat harus bersikap sopan, berbicara dengan jelas, tidak memotong pembicaraan orang lain, tidak memaksakan pendapat pada orang lain, mengutamakan kepentingan bersama, dan mengutamakan musyawarah dan mufakat. Nilai luhur perumusan Pancasila detik.com/tag/pancasila bagi bangsa Indonesia inilah yang diajarkan dalam sidang-sidang BPUPKI dan PPKI.

2. Menerima keputusan yang diambil dalam rapat atau pertemuan

Sebuah rapat membahas sesuatu untuk menghasilkan kesepakatan atau keputusan. Keputusan yang diambil harus diterima dengan ikhlas dan terbuka, meskipun keputusan bersama itu tidak sesuai dengan pendapat pribadi.

3. Kerja keras

Dalam proses perumusan Pancasila, para tokoh berjuang keras untuk merumuskan dasar negara. Mereka mengerahkan segala kemampuannya untuk menggali nilai-nilai kebangsaan yang dapat menjadi dasar negara.

4. Rendah hati

Nilai luhur perumusan Pancasila bagi bangsa Indonesia selanjutnya adalah rendah hati. Dalam perumusan Pancasila sebagai dasar negara, para tokoh berdebat dan menyampaikan pendapat. Para tokoh negara tidak sombong dengan pendapat atau pandangannya masing-masing. Jika ada pendapat yang lebih sesuai dengan kepentingan bangsa dan negara, mereka menerimanya.

5. Mengutamakan persatuan

Meskipun berbeda pandangan, para tokoh mengutamakan persatuan dan kesatuan bangsa dan negara. Contoh, dari ketidaksetujuan wakil-wakil Kristen dan Katolik atas teks Pancasila dalam Piagam Jakarta, tokoh Islam yang berbeda pandangan dapat menerima ketidaksetujuan itu karena lebih mementingkan persatuan dan kesatuan bangsa dan negara.

6. Rela berkorban

Nilai luhur perumusan Pancasila bagi bangsa Indonesia selanjutnya adalah rela berkorban. Perumusan Pancasila membutuhkan banyak pengorbanan, baik waktu, biaya, tenaga, dan lain-lain. Tetapi, demi kepentingan bangsa dan negara, pengorbanan menjadi bermanfaat bagi masa depan bangsa dan negara. Pengorbanan merupakan bakti kepada negara.

7. Melaksanakan keputusan bersama

Melaksanakan keputusan bersama dilakukan oleh para tokoh penggagas negara. Mereka sepakat menerima dasar negara Pancasila seperti yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 untuk kepentingan bangsa dan negara.

Melaksanakan keputusan bersama dalam kelompok perlu dilatih terus-menerus sejak dini. Menerima dan melaksanakan keputusan bersama bisa dilatih di rumah, sekolah, dan masyarakat.

Nah, itu dia nilai luhur perumusan Pancasila bagi bangsa Indonesia. Yuk detikers, kita terapkan bersama!

Simak Video "Asal Usul Hari Lahir Pancasila yang Diperingati Hari Ini"


[Gambas:Video 20detik]
(twu/pal)

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA