Perkembangan antropologi di awali oleh bangsa bangsa Eropa yang berlomba lomba untuk

Cookies must be enabled in your browser

Some courses may allow guest access

Dibaca 1.449

KONSEP & PERKEMBANGAN ANTROPOLOGI PENDIDIKAN

Oleh Lukyta Dwi P

Jurusan Pendidikan Luar Sekolah
Universitas Negeri Malang

  1. A.     Sejarah Antropologi Pendidikan

Antropologi adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari tentang budaya masyarakat suatu etnis tertentu. Antropologi lahir atau muncul berawal dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri fisik, adat istiadat, budaya yang berbeda dari apa yang dikenal di Eropa. Terbentuklah ilmu antropologi dengan melalui beberapa fase. Antropologi lebih memusatkan pada penduduk yang merupakan masyarakat tunggal, tunggal dalam arti kesatuan masyarakat yang tinggal daerah yang sama, antropologi mirip seperti sosiologi tetapi pada sosiologi lebih menitik beratkan pada masyarakat dan kehidupan sosialnya. Antropologi berasal dari kata anthropos yang berarti “manusia”, dan logos yang berarti ilmu. Antropologi mempelajari manusia sebagai makhluk biologis sekaligus makhluk sosial. Para ahli mendefinisikan antropologi sebagai berikut: * William A. Haviland Antropologi adalah studi tentang umat manusia, berusaha menyusun generalisasi yang bermanfaat tentang manusia dan perilakunya serta untuk memperoleh pengertian yang lengkap tentang keanekaragaman manusia. * David Hunter Antropologi adalah ilmu yang lahir dari keingintahuan yang tidak terbatas tentang umat manusia. * Koentjaraningrat Antropologi adalah ilmu yang mempelajari umat manusia pada umumnya dengan mempelajari aneka warna, bentuk fisik masyarakat serta kebudayaan yang dihasilkan. Dari definisi tersebut, dapat disusun pengertian sederhana antropologi, yaitu sebuah ilmu yang mempelajari manusia dari segi keanekaragaman fisik serta kebudayaan (cara-cara berprilaku, tradisi-tradisi, nilai-nilai) yang dihasilkan sehingga setiap manusia yang satu dengan yang lainnya berbeda-beda. Sejarah

Seperti halnya Sosiologi, Antropologi sebagai sebuah ilmu juga mengalami tahapan-tahapan dalam perkembangannya.

Koentjaraninggrat menyusun perkembangan ilmu Antropologi menjadi empat fase sebagai berikut:

Fase Pertama (Sebelum tahun 1800-an) Sekitar abad ke-15-16, bangsa-bangsa di Eropa mulai berlomba-lomba untuk menjelajahi dunia. Mulai dari Afrika, Amerika, Asia, hingga ke Australia. Dalam penjelajahannya mereka banyak menemukan hal-hal baru. Mereka juga banyak menjumpai suku-suku yang asing bagi mereka. Kisah-kisah petualangan dan penemuan mereka kemudian mereka catat di buku harian ataupun jurnal perjalanan. Mereka mencatat segala sesuatu yang berhubungan dengan suku-suku asing tersebut. Mulai dari ciri-ciri fisik, kebudayaan, susunan masyarakat, atau bahasa dari suku tersebut. Bahan-bahan yang berisi tentang deskripsi suku asing tersebut kemudian dikenal dengan bahan etnogragfi atau deskripsi tentang bangsa-bangsa.

Bahan etnografi itu menarik perhatian pelajar-pelajar di Eropa. Kemudian, pada permulaan abad ke-19 perhatian bangsa Eropa terhadap bahan-bahan etnografi suku luar Eropa dari sudut pandang ilmiah, menjadi sangat besar. Karena itu, timbul usaha-usaha untuk mengintegrasikan seluruh himpunan bahan etnografi.

Fase Kedua (tahun 1800-an) Pada fase ini, bahan-bahan etnografi tersebut telah disusun menjadi karangan-karangan berdasarkan cara berpikir evolusi masyarakat pada saat itu. masyarakat dan kebudayaan berevolusi secara perlahan-lahan dan dalam jangka waktu yang lama. Mereka menganggap bangsa-bangsa selain Eropa sebagai bangsa-bangsa primitif yang tertinggal, dan menganggap Eropa sebagai bangsa yang tinggi kebudayaannya Pada fase ini, Antopologi bertujuan akademis, mereka mempelajari masyarakat dan kebudayaan primitif dengan maksud untuk memperoleh pemahaman tentang tingkat-tingkat sejarah penyebaran kebudayaan manusia. Fase Ketiga (awal abad ke-20) Pada fase ini, negara-negara di Eropa berlomba-lomba membangun koloni di benua lain seperti Asia, Amerika, Australia dan Afrika. Dalam rangka membangun koloni-koloni tersebut, muncul berbagai kendala seperti serangan dari bangsa asli, pemberontakan-pemberontakan, cuaca yang kurang cocok bagi bangsa Eropa serta hambatan-hambatan lain. Dalam menghadapinya, pemerintahan kolonial negara Eropa berusaha mencari-cari kelemahan suku asli untuk kemudian menaklukannya. Untuk itulah mereka mulai mempelajari bahan-bahan etnografi tentang suku-suku bangsa di luar Eropa, mempelajari kebudayaan dan kebiasaannya, untuk kepentingan pemerintah kolonial. Pada fase ini, Antropologi berkembang secara pesat. Kebudayaan-kebudayaan suku bangsa asli yang di jajah bangsa Eropa, mulai hilang akibat terpengaruh kebudayaan bangsa Eropa. Pada masa ini pula terjadi sebuah perang besar di Eropa, Perang Dunia II. Perang ini membawa banyak perubahan dalam kehidupan manusia dan membawa sebagian besar negara-negara di dunia kepada kehancuran total. Kehancuran itu menghasilkan kemiskinan, kesenjangan sosial, dan kesengsaraan yang tak berujung. Namun pada saat itu juga, muncul semangat nasionalisme bangsa-bangsa yang dijajah Eropa untuk keluar dari belenggu penjajahan. Sebagian dari bangsa-bangsa tersebut berhasil mereka. Namun banyak masyarakatnya yang masih memendam dendam terhadap bangsa Eropa yang telah menjajah mereka selama bertahun-tahun. Proses-proses perubahan tersebut menyebabkan perhatian ilmu antropologi tidak lagi ditujukan kepada penduduk pedesaan di luar Eropa, tetapi juga kepada suku bangsa di daerah pedalaman Eropa seperti suku bangsa Soami, Flam dan Lapp. Sekarang kita akan membahas antropologi secara spesifik yaitu membahas antropologi pendidikan.

Antropologi pendidikan adalah cabang spesialisasi yang termuda dalam antropologi. Antropologi sebagai kajian manusia dan cara-cara hidup mereka, yang muncul pada saat lahirnya gagasan oleh semangat etnografi, arkeologi, geologi dan terutama di dorong oleh semangat Darwinisme. Dengan didorong oleh konsep evolusi organisme, mulailah berkembang Antropologi dengan pandangan bahwa pada dasarnya semua kebudayaan manusia berkembang melalui tahap-tahap yang menjurus kearah kebudayaan yang dimiliki oleh bangsa Eropa dan Amerika. Menurut ahli Antropolog Amerika, L.H.Morgan, ada tiga tahap perkembangan kebudayaan manusia, yaitu savagery, barbarisme dan civilization yang melukiskan proses evolusi manusia dan masyarakat dari semua manusia dan masyarakat di dunia. Sedangkan di daerah Eropa, ada aliran Diffusionisme (kulturkreis) yang mengemukakan bahwa berbagai kebudayaan umat manusia bukan muncul sebagai hasil pertumbuhan paralel yang independent tetapi merupakan difusi dan invensi dari beberapa pusat kebudayaan. Emile Durkheim, Bronislaw Malinowski (Eropa) dan Franz Boas (Amerika) memprakarsai lahirnya Antropologi empiris dengan mengembangkan beberapa aliran tertentu. Franz Boas yang mempengaruhi beberapa antropolog Amerika dengan konsep kebudayaan sebagai satu totalitas (totalitas es wholes) yang memperhatikan aspek-aspek tertentu dari kebudayaan berbeda, sedangkan pengikutnya mengarahkan perhatian pada pola-pola dasar atau konfigurasi-konfigurasi dari bagian yang membuat bagian masing-masing kebudayaan berfungsi sebagai satu keseluruhan. Maka sejak itu kajian mengenai kebudayaan dan kepribadian menjadi inovasi utama, yaitu tentang proses bagaimana sebuah kebudayaan di internalisasikan dan dirubah oleh individu yang memungkinkan kebudayaan muncul dan berfungsi. (Koentjaraningrat, 1987)

Sebagai cabang ilmu termuda di antara ilmu-ilmu sosial lainnya, Antropologi telah melampaui ilmu sosial lainnya dalam rentangan subjek matter dan metodologi. Antropolog menghubungkan semua aspek terhadap kebudayaan sebagai satu keseluruhan yang mengkaji semua kebudayaan baik lampau maupun sekarang, sederhana ataupun maju. Antropolog menyadarkan kita akan keragaman kebudayaan umat manusia dan pengaruh yang dalam dari pendidikan (cultural conditional) terhadap perilaku dan kepribadian manusia.

  1. B.     Konsep Antropologi Pendidikan

Dalam kepustakaan antropologi pendidikan ditemukan beberapa konsep yang paling penting, yakni enculturation (pembudayaan/pewarisan), socialization (sosialisasi/pemasyarakatan), education (pendidikan), dan schooling (persekolahan). Menurut Herskovits, bahwa enkilturasi berasal dari aspek-aspek dari pengalaman belajar yang memberi ciri khusus atau yang membedakan manusia dari makhluk lain dengan menggunakan pengalaman-pengalaman hidupnya. Proses enkulturatif bersifat kompleks dan berlangsung hidup, tetapi proses tersebut berbeda-beda pada berbagai tahap dalam lingkaran kehidupan seorang. Enkulturasi terjadi secara agak dipaksakan selama awal masa kanak-kanak tetapi ketika mereka bertambah dewasa akan belajar secara lebih sadar untuk menerima atau menolak nilai-nilai atau anjuran-anjuran dari masyarakatnya. Bahwa tiap anak yang baru lahir memiliki serangkaian mekanisme biologis yang diwarisi, yang harus dirubah atau diawasi supaya sesuai dengan budaya masyarakatnya. Kesamaan dari konsep enkulturasi dengan konsep sosialisasi terlihat dari pernyataan Herkovits yang mengatakan bahwa sosialisasi menunjukkan proses pengintegrasi individu ke dalam sebuah kelompok sosial, sedangkan enkulturasi adalah proses yang menyebabkan individu memperoleh kompetensi dalam kebudayaan kelompok. Menurut Hansen, enkulturasi mencakup proses perolehan keterampilan bertingkah laku, pengetahuan tentang standar-standar budaya, dan kode-kode perlambangan seperti bahasa dan seni, motivasi yang didukung oleh kebudayaan, kebiasaan-kebiasaan menanggapi, ideologi dan sikap-sikap. Sedangkan sosialisasi menurut Gillin dan Gillin adalah proses yang membawa individu dapat menjadi anggota yang fungsional dari suatu kelompok, yang bertingkah laku menurut standar-standar kelompok, mengikuti kebiasaan-kebiasaan kelompok , mengamalkan tradisi kelompok dan menyesuaikan dirinya dengan situasi-situasi sosial yang ditemuinya untuk mendapatkan penerimaan yang baik dari teman-teman sekelompoknya. Bagi Herskovits, pendidikan (education) adalah directed learning dan persekolahan (schooling) adalah formalized learning . Dalam literature pendidikan dewasa ini dikenal istilah pendidikan formal, informal dan non-formal. Pendidikan formal adalah system pendidikan yang disusun secara hierarkis dan berjenjang secara kronologi mulai dari sekolah dasar sampai ke universitas dan disamping pendidikan akademis umum termasuk pula bermacam-macam program dan lembaga untuk pendidikan kejuruan teknik dan profesional.

Pendidikan informal adalah pendidikan seumur hidup yang memungkinkan individu memperoleh sikap-sikap, nilai-nilai, keterampilan-keterampilan dan pengaruh-pengaruh yang ada di lingkungannya dari keluarga, tetangga. Label informal berasal dari kenyataan bahwa t

ipe proses belajarnya bersifat tidak terorganisasi dan tidak tersistematis. Pendidikan informal biasanya dilaksanakan dalam masyarakat sederhana dimana belum ada sekolah.

Karangan Margared Mead mengenai pendidikan dalam masyarakat sederhana (1942), dimana ia membedakan antara learning cultures dan teaching cultures atau kebudayaan belajar dan kebudayaan mengajar. Dalam golongan yang pertama, warga masyarakatnya belajar dengan cara yang tidak resmi yaitu dengan berperan serta dalam kehidupan rutin sehari-hari. Dimana mereka memperoleh segala pengetahuan, kemampuan dan keterampilan yang mereka perlukan untk dapat hidup dengan layak dalam masyarakat dan kebudayaan mereka sendiri. Dalam golongan yang kedua, warga masyarakat mendapat pelajaran dari warga-warga lain yang lebih tahu, yang seringkali dilakukan dalam pranata-pranata pendidikan yang resmi, dimana mereka memperoleh segala pengetahuan, kemampuan dan keterampilan yang mereka perlukan.

Pendidikan non-formal merupakan kegiatan terorganisasi di luar kerangka sekolah formal atau sistem universitas yang ada yang bertujuan untuk mengkomunikasikan gagasan-gagasan tertentu, pengetahuan, sikap-sikap. Pendidikan non-formal memusatkan perhatian kepada perbaikan kehidupan sosial dan kemampuan dalam pekerjaan. Pendidikan non-formal lebih berorientasi terhadap menolong individu-individu memecahkan masalah mereka, bukan pada penyerapan isi kurikulum tertentu. Pengajaran dilakukan melalui kerjasama dengan guru, umpamanya dengan pekerja-pekerja ahli, pekerja sosial, penyuluh pertanian, dan petugas kesehatan.

  1. C.     Tujuan Antropologi Pendidikan

Didalam antropologi pendidikan menurut Langeveld membagi tujuan pendidikan menjadi enam macam yaitu :

  1. Tujuan Umum-Sempurna-Mutakhir

Tujuan pendidikan yang menjiwai segala tingkah laku perbuatan mendidik dalam setiap kondisi dan situasi harus diperhatian pada setiap tempat dan waktu atau bilamana dan dimana saja proses pendidikan itu dilaksanakan.

  1. Tujuan insidental-mewaktu-momental

Suatu tujuan pendidikan yang akan dicapai dengan menggunakan peristiwa yang bersifat insidental.

  1. Tujuan sementara atau perkembangan

Tujuan pendidikan yang telah disesuaikan dengan tingkat perkembangan anak dalam menuju kedewasaannya.

  1. Tujuan yang belum sempurna

Apabila pendidikan yang dicapai hanyalah satu atau beberapa bagian saja dari tujuan pendidikan umum sempurna tersebut, maka tujuan yang telah dicapai ialah tujuan pendidikan yang belum sempurna, seperti aspek atau segi intelek sosialnya saja, agamanya saja dan atau kewarganegaraanya atau moralnya saja.

  1. Pegkhususan tujuan umum dan sempurna

Dalam usaha untuk menyesuaikan dengan kenyataan dan hal, peristiwa khusus yang berhubungan empat faktor pendidikan lainnya maka perlu diadakan pengkhususan dari tujuan umum sempurna. Pengkhususan didasarkan kepada hal sebagai berikut :

  1. Keragaman bakat dan watak si pendidik,pebedaan umur perbedaan kelamin anak didik.
  2. Keadaan keluarga dan milieu anak didik
  3. Kesanggupan dari pada pendidik sendiri
  4. Tugas badan pendidikan tertentu
  5. Cita-cita dari suatu bangsa dalam suatu masa tertentu
  6. Tujuan intermidier,   perantara atau alat

Tujuan yang merupakan alat untuk mencapai tujuan-tujuan yang lain. Dengan kata lain tujuan intermidier merupakan tujuan perantara dua tujuan dari yang sudah tercapainya tujuan lainnya yang belum tercapai.

  1. D.     Konsentrasi/ Kajian Antropologi Pendidikan

Didalam antropologi pendidikan lebih konsetrasi kepada metode pendidikan kebudayaan. Pada dasarnya gejala kebudayaan dapat diklasifikasikan sebagai kegiatan/aktivitas, gagasan/ide dan artefak yang diperoleh, dipelajari dan dialami. Kebudayaan dapat diklasifikasikan atas terknologi sebagai alat-alat yang digunakan, organisasi sosial sebagai kegiatan institusi kebudayaan dan ideologi yang menjadi pengetahuan atas kebudayaan tersebut. Menurut R. Linton, kebudayaan dapat diklasifikasikan atas:

1) Universals: pemikiran-pemikiran, perbuatan, perasaan dan artefak yang dikenal bagi semua orang dewasa dalam suatu masyarakat.

2) Specialisties: gejala yang dihayati hanya oleh anggota kelompok sosial tertentu.

3) Alternatives: gejala yang dihayati oleh sejumlah individu tertentu seperti golongan profesi.

Kebudayaan merupakan gabungan dari keseluruhan kesatuan yang ada dan tersusun secara unik sehingga dapat dipahami dan mengingat masyarakat pembentuknya. Setiap kebudayaan memiliki konfigurasi yang cocok dengan sikap-sikap dan kepercayaan dasar dari masyarakat, sehingga pada akhirnya membentuk sistem yang interdependen, dimana koherensinya lebih dapat dirasakan daripada dipikirkan pembentuknya. Kebudayaan dapat bersifat sistematis sehingga dapat menjadi selektif, menciptakan dan menyesuaikan menurut dasar-dasar dari konfigurasi tertentu. Kebudayaan akan lancar dan berkembang apabila terciptanya suatu integrasi yang saling berhubungan.

Dalam kebudayaan terdapat subsistem yang paling penting yaitu foci yang menjadi kumpulan pola perilaku yang menyerap banyak waktu dan tenaga. Apabila suatu kebudayaan makin terintegrasi maka fokus tersebut akan makin berkuasa terhadap pola perilaku dan makin berhubungan fokus tersebut satu dengan yang lainnya dan begitu pula sebaliknya. Kebudayaan akan rusak dan bahkan bisa hancur apabila perubahan yang terjadi terlalu dipaksakan, sehingga tidak sesuai dengan keadaan masyarakat tempat kebudayaan tersebut berkembang. Perubahan tersebut didorong oleh adanya tingkat integrasi yang tinggi dalam kebudayaan. Apabila tidak terintegrasi maka kebudayaan tersebut akan mudah menyerap serangkaian inovasi sehingga dapat menghancurkan kebudayaan itu sendiri.

a)       Sifat Kebudayaan

Kebudayaan yang berkembang pada masyarakat memiliki sifat seperti:

1)    Bersifat organik dan superorganik karena berakar pada organ manusia dan juga karena kebudayaan terus hidup melampaui generasi tertentu.

2)    Bersifat terlihat (overt) dan tersembunyi (covert) terlihat dalam tindakan dan benda, serta bersifat tersembunyi dalam aspek yang mesti diintegrasikan oleh tiap anggotanya.

3)    Bersifat eksplisit dan implisit berupa tindakan yang tergambar langsung oleh orang yang melaksanakannya dan hal-hal yang dianggap telah diketahui dan hal-hal tersebut tidak dapat diterangkan.

4)    Bersifat ideal dan manifest berupa tindakan yang harus dilakukannya serta tindakan-tindakan yang aktual.

5)    Bersifat stabil dan berubah yang diukur melalui elemen-elemen yang relatif stabil dan stabilitas terhadap elemen budaya.

b) Teori-teori Kebudayaan

Ada tiga pandangan tentang kebudayaan, yakni:

1) Superorganik: kebudayaan adalah realitas super dan ada di atas dan di luar pendukung individualnya dan kebudayaan memiliki hukum-hukumnya sendiri. Inti pandangan superorganik adalah kebudayaan merupakan sebuah kenyataan sui generis, karena itu mesti dijelaskan dengan hukum-hukumnya sendiri. Kebudayaan tidak mungkin diterangkan dengan menggunakan sumbernya sebagaimana sebuah molekul dimengerti hanya dengan jumlah atom-atomnya, sumber-sumber bisa menjelaskan bagaimanan kebudayaan muncul, tetapi bukan kebudayaan itu sendiri. Kebudayaan lebih daripada hasil kekuatan-kekuatan sosial dan ekonomi dan kebudayaan merupakan realitas yang menyebabkannya mungkin ada.

Pandangan superorganik mempunyai implikasi terhadap pendidikan. Yang pertama adalah bahwa pendidikan ialah sebuah proses mengontrol manusia dan membentuknya sesuai dengan tujuan kebudayaan. Kebijakan pendidikan ditentukan oleh individu-individu, tetapi individu-individu hanya alat melalui mana kekuatan-kekuatan budaya mencapai tujuannya. Jika kebudayaan menentukan perilaku anggota-anggotanya, kurikulum mesti dikembangkan atas kajian langsung dari keadaan kebudayaan sekarang dan masa depan. Pandangan superorganik juga berimplikasi pada pengawasan pendidikan yang ketat dari pemerintah untuk menjamin bahwa guru-guru menanamkan dalam diri generasi muda atas gagasan-gagasan, sikap-sikap dan keterampilan-keterampilan yang perlu bagi kelanjutan kebudayaan

2) Konseptualis: kebudayaan bukanlah suatu entitas sama sekali, tetapi sebuah konsep yang digunakan antropolog untuk menghimpun/meunifikasikan serangkaian fakta-fakta yang terpisah-pisah. Menurut kaum konseptualis, pada akhirnya semua kebudayaan mesti diterangkan secara sosial psikologis. Kebudayaan bukan dihasilkan dari kekuatan super human karena kebudayaan mendapatkan semua kualitas dari kepribadian dan interaksi dari kepribadian.

Pengikut konseptualis setuju bila anak-anak harus mempelajari warisan budaya sesuai dengan perhatiannya. Melalui pengalamannya sendiri dengan mengetes pengalaman belajarnya dan orang lain bila mendapat pandangan dan hal yang objektif mengenai kebudayaan.

3) Realis: kebudayaan adalah kedua-duanya, yaitu sebuah konsep dan entitas empiris. Kebudayaan adalah konsep dimana ia bangunan dari Antropologi dan kebudayaan sebuah entitas empiris yang menunjukkan cara mengorganisir fenomena-fenomena. Beberapa antropolog mempertahankan bahwa kebudayaan merupakan konsep dan realita yang berbentuk konstruk, bukan sebagai satu entitas yang bisa diamati tapi nyata karena tidak berbeda dalam mengamatinya.

Menurut kaum realis terhadap pendidikan adalah dengan menanamkan pengetahuan, nilai-nilai dan keterampilan tertentu yang dipilih kebudayaan maka sistem pendidikan akan melatih individu untuk merubah kebudayaannya.

Dengan mempelajari metode pendidikan kebudayaan maka antropologi bermanfaat bagi pendidikan. Dimana para pendidik harus melakukan secara hati-hati. Hal ini disebabkan karena kebudayaan yang ada dan berkembang dalam masyarakat bersifat unik, sukar untuk dibandingkan sehingga harus ada perbandingan baru yang bersifat tentatif. Setiap penyelidikan yang dilakukan oleh para ilmuwan akan memberikan sumbangan yang berharga dan mempengaruhi pendidikan.
Antropologi pendidikan dihasilkan melalui teori khusus dan percobaan yang terpisah dengan kajian yang sistematis mengenai praktek pendidikan dalam prespektif budaya, sehingga antropolog menyimpulkan bahwa sekolah merupakan sebuah benda budaya yang menjadi skema nilai-nilai dalam membimbing masyarakat. Namun ada kalanya sejumlah metode mengajar kurang efektif dari media pendidikan sehingga sangat berlawanan dengan data yang didapat di lapangan oleh para antropolog. Tugas para pendidik bukan hanya mengeksploitasi nilai kebudayaan namun menatanya dan menghubungkannya dengan pemikiran dan praktek pendidikan sebagai satu keseluruhan.

  1. E.     Masalah-Masalah Antropologi Pendidikan

Kualitas pendidikan Indonesia saat ini sangat memperhatikan. Hal ini dibuktikan dengan data yang diperoleh UNESCO (2000) tentang peringkat indeks pengembangan manusia ( Human Develoment Index ), yaitu dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan, dan penghasilan perkepala yang dapat menunjukkan indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun. Adapun beberapa masalah yang muncul di Antropologi Pendidikan, yaitu :

  1. Masalah mendasar adalah masalah yang berhubungan dengan keilmuan, yaitu kekeliruan paradigma yang menjadi dasar penyelenggaraan sistem pendidikan.
  2. Masalah cabang adalah berbagai problem yang berkaitan aspek praktis atau teknis (manajemen) yang berkaitan dengan penyelenggaraan pendidikan, yaitu :

a)     Rendahnya Kualitas Sarana Fisik

Banyaknya gedung-gedung sekolah dan perguruan tinggi yang rusak, kepemilikan, penggunaan media belajar rendah, buku perpustakaan kurang lengkap.

b)           Rendahnya Kualitas Guru

Keadaan guru di Indonesia juga amat memprihatinkan.

c)           Rendahnya Prestasi Siswa

Dengan keadaan rendahnya saran fisik, kualitas guru. Sehingga dapat mempengaruhi pencapaian prestasi siswa.

d)         Kurangnya Pemerataan Kesempatan Pendidikan

Kurang meratanya pendidikan di Indonesia merupakan masalah besar.

e)           Mahalnya Biaya Pendidikan

Pendidikan bermutu itu mahal! Kalimat seperti ini sering muncul untuk menjustifikasikan mahalnya biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku pendidikan.

  1. F.       Alternatif   Penyelesaian Masalah-Masalah   Antropologi Pendidikan

Penyelesaian masalah mendasar tentu harus dilakukan secara fundamental. Itu hanya dapat diwujudkan dengan perombakan yang di awali dari perubahan paradigma pendidikan. Menciptakan paradigma pendidikan yang dapat mengantisipasi berbagai tantangan dan permasalahan yang terjadi dalam lingkungan hidup. Sebab, pendidikan dan kehidupan telah menyatu dalam sebuah filosofis, bahwa proses pendidikan tidak lain adalah proses memanusiakan manusia. Hal ini memberikan aksentuasi bahwa pembagunan dibidang pendidikan sebagai upaya pengembangan sumber daya manuasia (SDM) dalam pembangunan atau perkembangan suatu suatu bangsa.  Langkag-langkah untuk melakukan rekonstruksi pendidikan dalam rangka membangun paradigma baru sistem pendidikan nasional pasca reformasi, meliputi:

  1. Pendidikan nasional hendaknya memiliki visi yang berorientasi pada                  demokratisasi bangsa, sehingga memungkinkan terjadinya proses pemberdayaan seluruh komponen masyarakat secara demokrasi.
  2. Pendidikan nasioanal hendaknya memiliki misi agar partisipasi masyarakat secara menyeluruh.
  3. Substansi pendidikan dasar hendaknya mengacu pada pengembangan potensi dan   kreativitas pembelajar dalam totalitasnya yang seimbang dan serasi.
  4. Pendidikan dasar dan menengah perlu mengembangkan perlu pengembangan sistem pembelajaran yang egaliter dan demokrasis agar tidak terjadi pengelompokan kelas atas dasar kemampuan akademik.
  5. Pendidikan tinggi, jangan hanya berorientasi pada penyiapan tenaga kerja.
  6. Kebijakan kurikulum untuk mencapai tujuan pendidikan nasional, harus memperhatikan tahap perkembangan pembelajar dan kesesuaian dengan lingkungan, perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, budaya, seni, serta sesuai dengan jenjang masing-masing satuan pendidikan dengan mengembangkan proses pembelajaran kreatif..
  • Selain menyelesaikan permasalahan dalam bidang keilmuan, penyelesaian   masalah dalam bidang manajemen juga harus dipecahkan. Ada dua cara penyelesain masalah cabang atau manajemen, yaitu:

a)                                   Melakukan solusi sistematik, yakni solusi dengan mengubah sistem-sistem yang berkaitan dengan sistem pendidikan.

b)                                 Solusi teknis, yakni solusi yang mengangkat hal-hal yang berkaitan langsung dengan pendidikan.

Daftar Pustaka

Page 2

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA