Perbedaan mengenai sengketa Laut China Selatan dengan sengketa pulau Sipadan dan Ligitan

Sengketa kepemilikan Laut Cina Selatan

Sumber gambar, BBC World Service

Sejumlah negara saling berebut wilayah di Laut Cina Selatan selama berabad-abad namun ketegangan baru-baru ini menimbulkan kekhawatiran kawasan ini dapat menjadi pemicu perang dengan dampak global.

Apa yang dipersengketakan?

Kedaulatan atas kawasan laut serta wilayah di kepulauan Paracel dan Spratly -dua rangkaian kepulauan yang diklaim oleh sejumlah negara. Selain rangkaian pulau ini, ada pula pulau tak berpenghuni, atol, dan karang di seputar perairan ini.

Siapa yang mengklaim?

Cina mengklaim sebagian besar kawasan ini -terbentang ratusan mil dari selatan sampai timur di Propinsi Hainan. Beijing mengatakan hak mereka atas kawasan itu bermula dari 2.000 tahun lalu dan kawasan Paracel dan Spratly merupakan bagian dari bangsa Cina.

Tahun 1947, Cina mengeluarkan peta yang merinci klaim kedaulatan negara itu. Peta itu menunjukkan dua rangkaian pulau yang masuk dalam wilayah mereka. Klaim itu juga diangkat Taiwan, yang masih dianggap Cina sebagai provinsinya yang membangkang.

Vietnam menyanggah klaim Cina dengan mengatakan Beijing tidak pernah mengklaim kedaulatan atas kepulauan itu sampai tahun 1940-an dan mengatakan dua kepulauah itu masuk dalam wilayah mereka.

Selain itu Vietnam juga mengatakan mereka menguasasi Paracel dan Spratly sejak abad ke-17, dan memiliki dokumen sebagai bukti.

Negara lain yang mengklaim adalah Filipina, yang mengangkat kedekatan secara geografis ke kepualauan Spratly sebagai landasan klaim sebagian kepulauan itu.

Sumber gambar, AFP

Keterangan gambar,

Tentara Filipina di pulau Thitu, Laut Cina Selatan menyambut anggota parlemen yang berkunjung

Malaysia dan Brunei juga mengklaim sebagian kawasan di Laut Cina Selatan itu yang menurut dua negara itu masuk dalam zone ekslusif ekonomi, seperti yang ditetapkan dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut tahun 1982.

Brunei tidak mengklaim dua kepuluaan itu namun Malaysia menyatakan sejumlah kecil kawasan di Spratly adalah milik mereka.

Mengapa begitu banyak negara yang mengklaim?

Paracel dan Spratly kemungkinan memiliki cadangan besar sumber alam di seputar kepulauan itu. Namun tidak banyak rincian tentang kekayaan mineral ini dan perkiraan didasarkan pada sumber daya mineral di dekat wilayah itu.

Para pejabat Cina memiliki perkiraan yang paling optimistik atas sumber mineral di sana. Menurut data yang dikutip oleh Informasi Energi Amerika Serikat (EIA), Cina memperkirakan cadangan minyak di sana sebesar 213 miliar barel -atau 10 kali lipat dari cadangan milik Amerika Serikat.

Namun para ilmuwan AS memperkirakan jumlah minyak di sana 28 miliar barel.

Menurut EIA, cadangan terbesar kemungkinan adalah gas alam. Perkiraannya sekitar 900 triliun kaki kubik, sama dengan cadangan yang dimiliki Qatar.

Kawasan itu juga merupakan rute utama perkapalan dan sumber pencarian ikan bagi kehidupan ribuan orang yang tinggal di sekitar.

Sebarapa besar ancaman sengketa ini?

Lewati Podcast dan lanjutkan membaca

Podcast

Investigasi: Skandal Adopsi

Investigasi untuk menyibak tabir adopsi ilegal dari Indonesia ke Belanda di masa lalu

Episode

Akhir dari Podcast

Bentrokan yang paling parah dalam beberapa dekade ini adalah antara Vietnam dan Cina. Cina menguasai Paracel dari Vietnam tahun 1974, menewaskan beberapa tentara Vietnam.

Tahun 1988, kedua belah pihak bentrok di Spratly, dan Vietnam lagi-lagi kehilangan 70 personil.

Filipina juga terlibat dengan ketegangan kecil dengan pasukan Cina, Vietnam dan Malaysia.

Ketegangan terakhir juga melibatkan Cina. Para pejabat Beijing mengeluarkan pernyataan keras, termasuk peringatan kepada negara lain yang mengklaim untuk menghentikan eksplorasi mineral di kawasan itu.

Filipina menuduh Cina menyusun kekuatan militer di Spratly. Klaim yang tidak dapat dipastikan menyebutkan angkatan laut Cina sengaja mensabotase dua operasi eksplorasi Vietnam yang menimbulkan protes anti-Cina terbesar di jalan-jalan Hanoi dan Ho Chi Minh.

Vietnam telah mengadakan latihan militer dengan peluru tajam di lepas pantai mereka, dan operasi itu dianggap Beijing sebaga langkah provokasi.

Siapa saja yang mencoba menyelesaikan sengketa ini?

Selama bertahun-tahun, Cina cenderung mengadakan pertemuan tertutup dengan pemimpin negara lain yang juga mengklaim kepemilikan kawasan itu. Namun negara lain menyerukan bantuan internasional.

Bulan Juli 2010, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Hillary Clinton -saat terlibat dalam debat soal sengketa Laut Cina Selatan- menyerukan adanya aturan yang mengikat.

Sumber gambar, AFP

Keterangan gambar,

Tentara Vietnam melakukan latihan di kepulauan Spratly dengan peluru tajam

Cina menolak dan menyebut usulan Nyonya Clinton sebagai serangan atas Cina.

Sejumla kesepakatan termasuk Konvensi Hukum Laut PBB tahun 1982 dianggap sebagai salah satu landasan penyelesaian.

Namun pada prakteknya, konvensi ini menimbulkan klaim yang semakin tumpang tindih dan tidak berhasil melunakkan posisi Cina dan Vietnam yang tetap mengangkat landasan sejarah.

Baik Filipina dan Vietnam mengadakan perjanjian bilateral dengan Cina dengan menetapkan peraturan untuk kawasan itu. Namun kesepakatan itu tidak banyak artinya.

Peran ASEAN

Perhimpunan negara-negara Asia Tenggara, ASEAN sudah berhasil menandatangani code of conduct atau kode perilaku dengan Cina tahun 2002.

Berdasarkan perjanjian itu, negara-negara yang mengklaim sepakat "menyelesaikan sengketa teritorial dan yurisdiksi dengan cara damai tanpa penggunaan kekerasan, dan melalui perundingan".

Tetapi kejadian akhir-akhir ini menunjukkan Vietnam dan Cina tidak mematuhi semangat kesepakatan itu.

Dan para menteri luar negeri ASEAN Kamis (21/07) di Bali menyepakati kerangka acuan untuk penulisan kode perilaku dalam penyelesaian konflik ini.

Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa yang bertindak sebagai tuan rumah forum ini, mengatakan kerangka acuan ini akan sangat membantu upaya Asean menempuh solusi damai dalam sengketa ini.

Marty mengatakan negara-negara ASEAN akan terus membicarakan langkah penyelesaian damai.

Sengketa Sipadan dan Ligitan adalah persengketaan Indonesia dan Malaysia atas pemilikan terhadap kedua pulau yang berada di Selat Makassar yaitu pulau Sipadan (luas: 50.000 meter²) dengan koordinat: 4°6′52.86″N 118°37′43.52″E / 4.1146833°N 118.6287556°E / 4.1146833; 118.6287556 dan pulau Ligitan (luas: 18.000 meter²) dengan koordinat: 4°9′N 118°53′E / 4.150°N 118.883°E / 4.150; 118.883. Sikap Indonesia semula ingin membawa masalah ini melalui Dewan Tinggi ASEAN namun akhirnya sepakat untuk menyelesaikan sengketa ini melalui jalur hukum Mahkamah Internasional

Kedaulatan Pulau Ligitan dan Sipadatn (Indonesia v. Malaysia)PengadilanMahkamah InternasionalDiputuskan17 Desember 2002SitasiDaftar Umum No. 102TranskripSidang tertulisOpini atas perkaraICJ memberikan kedua pulau ke Malaysia atas alasan "pendudukan (dihuni) secara efektif"Majelis hakimHakim anggota majelisGilbert Guillaume, Shi Jiuyong, Shigeru Oda, Raymond Ranjeva, Géza Herczegh, Carl-August Fleischhauer, Abdul Koroma, Vladlen Stepanovich Vereshcheti, Rosalyn Higgins, Gonzalo Parra-Aranguren, Pieter Kooijmans, Francisco Rezek, Awn Shawkat Al-Khasawneh, Thomas Buergenthal, Nabil Elaraby, Thomas Franck (hakim ad hoc yang ditunjuk Indonesia) dan Christopher Weeramantry (hakim ad hoc yang ditunjuk Malaysia)

Persengketaan antara Indonesia dengan Malaysia, mencuat pada tahun 1967 ketika dalam pertemuan teknis hukum laut antara kedua negara, masing-masing negara ternyata memasukkan pulau Sipadan dan pulau Ligitan ke dalam batas-batas wilayahnya. Kedua negara lalu sepakat agar Sipadan dan Ligitan dinyatakan dalam keadaan status status quo akan tetapi ternyata pengertian ini berbeda. Pihak Malaysia membangun resor pariwisata baru yang dikelola pihak swasta Malaysia karena Malaysia memahami status quo sebagai tetap berada di bawah Malaysia sampai persengketaan selesai, sedangkan pihak Indonesia mengartikan bahwa dalam status ini berarti status kedua pulau tadi tidak boleh ditempati/diduduki sampai persoalan atas kepemilikan dua pulau ini selesai. Sedangkan Malaysia malah membangun resort di sana SIPADAN dan Ligitan tiba-tiba menjadi berita, awal bulan lalu. Ini, gara-gara di dua pulau kecil yang terletak di Laut Sulawesi itu dibangun cottage. Di atas Sipadan, pulau yang luasnya hanya 4 km2 itu, siap menanti wisatawan. Pengusaha Malaysia telah menambah jumlah penginapan menjadi hampir 20 buah. Dari jumlahnya, fasilitas pariwisata itu memang belum bisa disebut memadai. Tapi pemerintah Indonesia, yang juga merasa memiliki pulau-pulau itu, segera mengirim protes ke Kuala Lumpur meminta agar pembangunan di sana dihentikan terlebih dahulu. Alasannya, Sipadan dan Ligitan itu masih dalam sengketa, belum diputus siapa pemiliknya. Pada tahun 1969 pihak Malaysia secara sepihak memasukkan kedua pulau tersebut ke dalam peta nasionalnya.

Pada tahun 1976, Traktat Persahabatan dan Kerja Sama di Asia Tenggara atau TAC (Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia) dalam KTT pertama ASEAN di pulau Bali ini antara lain menyebutkan bahwa akan membentuk Dewan Tinggi ASEAN untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi di antara sesama anggota ASEAN akan tetapi pihak Malaysia menolak beralasan karena terlibat pula sengketa dengan Singapura untuk klaim pulau Batu Puteh, sengketa kepemilikan Sabah dengan Filipina serta sengketa kepulauan Spratly di Laut Cina Selatan dengan Brunei Darussalam, Filipina, Vietnam, Cina, dan Taiwan. Pihak Malaysia pada tahun 1991 lalu menempatkan sepasukan polisi hutan (setara Brimob) melakukan pengusiran semua warga negara Indonesia serta meminta pihak Indonesia untuk mencabut klaim atas kedua pulau.

Sikap pihak Indonesia yang ingin membawa masalah ini melalui Dewan Tinggi ASEAN dan selalu menolak membawa masalah ini ke ICJ kemudian melunak. Dalam kunjungannya ke Kuala Lumpur pada tanggal 7 Oktober 1996, Presiden Soeharto akhirnya menyetujui usulan PM Mahathir tersebut yang pernah diusulkan pula oleh Mensesneg Moerdiono dan Wakil PM Anwar Ibrahim, dibuatkan kesepakatan "Final and Binding,"pada tanggal 31 Mei 1997, kedua negara menandatangani persetujuan tersebut. Indonesia meratifikasi pada tanggal 29 Desember 1997 dengan Keppres Nomor 49 Tahun 1997 demikian pula Malaysia meratifikasi pada 19 November 1997.

Pada tahun 1998 masalah sengketa Sipadan dan Ligitan dibawa ke ICJ,[1][2] kemudian pada hari Selasa 17 Desember 2002 ICJ mengeluarkan keputusan tentang kasus sengketa kedaulatan Pulau Sipadan-Ligitan antara Indonesia dengan Malaysia. Hasilnya, dalam voting di lembaga itu, Malaysia dimenangkan oleh 16 hakim, sementara hanya 1 orang yang berpihak kepada Indonesia. Dari 17 hakim itu, 15 merupakan hakim tetap dari MI, sementara satu hakim merupakan pilihan Malaysia dan satu lagi dipilih oleh Indonesia. Kemenangan Malaysia, oleh karena berdasarkan pertimbangan effectivity (tanpa memutuskan pada pertanyaan dari perairan teritorial dan batas-batas maritim), yaitu pemerintah Inggris (penjajah Malaysia) telah melakukan tindakan administratif secara nyata berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak tahun 1930, dan operasi mercu suar sejak 1960-an. Sementara itu, kegiatan pariwisata yang dilakukan Malaysia tidak menjadi pertimbangan, serta penolakan berdasarkan chain of title (rangkaian kepemilikan dari Sultan Sulu) akan tetapi gagal dalam menentukan batas di perbatasan laut antara Malaysia dan Indonesia di selat Makassar.[3]

  • Pulau Sipadan
  • Pulau Ligitan
  • Insiden suaka politik GAM
  • Sengketa blok maritim Ambalat
  • Sentimen anti-Malaysia di Indonesia

  1. ^ //www.icj-cij.org/docket/index.php?p1=3&p2=3&k=df&case=102&code=inma&p3=0 Sovereignty over Pulau Ligitan and Pulau Sipadan (Indonesia/Malaysia)
  2. ^ //www.icj-cij.org/docket/files/102/7177.pdf Diarsipkan 2015-04-02 di Wayback Machine. FOR SUBMISSION TO THE INTERNATIONAL COURT OF JUSTICE OF THE DISPUTE BETWEEN INDONESIA AND MALAYSIA CONCERNING SOVEREIGNTY OVER PULAU LIGITAN AND PULAU SIPADAN, jointly notified to the Court on 2 November 1998
  3. ^ Energy Security and Southeast Asia

  • Indonesia Kehilangan Pulau Sipadan-Ligitan Diarsipkan 2012-04-12 di Wayback Machine.

Diperoleh dari "//id.wikipedia.org/w/index.php?title=Sengketa_Sipadan_dan_Ligitan&oldid=21082107"