Penggunaan berbagai sumber energi terbarukan untuk mengatasi krisis energi saat ini diharapkan dapat

Seiring dengan pertumbuhan penduduk, pengembangan wilayah, dan pembangunan dari tahun ke tahun, kebutuhan akan pemenuhan energi listrik dan bahan bakar secara nasional pun semakin besar. Selama ini kebutuhan energi dunia dipenuhi oleh sumber daya tak terbarukan, seperti minyak bumi dan batubara. Namun, tidak selamanya energi tersebut dapat mencukupi seluruh kebutuhan dalam jangka panjang. Cadangan energi semakin lama semakin menipis dan proses produksinya membutuhkan waktu jutaan tahun.

Menurut Sudiartono, Kepala Pusat Studi Energi (PSE) UGM, pemanfaatan sumber energi terbarukan menjadi solusi pemenuhan kebutuhan energi yang semakin lama semakin besar di masa mendatang. Sumber daya energi terbarukan memiliki keunggulan, yakni dapat diproduksi dalam waktu relatif tidak lama dibandingkan dengan sumber energi tak terbarukan. "Namun, sumber daya terbarukan selama ini belum dimanfaatkan secara optimal di Indonesia," tuturnya saat berbicara dengan wartawan di Ruang Multimedia UGM, Jumat (27/3).

Sumber energi terbarukan, misalnya angin, air, dan matahari, merupakan penghasil energi yang belum banyak dimanfaatkan. Dijelaskan Sudiartono, sebenarnya di Indonesia telah banyak dibangun pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTM), tetapi pada praktiknya tidak beroperasi secara optimal. Hal ini disebabkan tidak adanya transfer pengetahuan kepada masyarakat. "Keberhasilan operasionalisasi PLTM akan terwujud jika ada pengelolaan dari masyarakat setempat," tegas Sudiartono.

Lebih lanjut dikatakannya, Indonesia memiliki sumber-sumber air yang berlimpah. Akan tetapi, belum banyak yang berpikir untuk memanfaatkannya. Pemanfaatan aliran sungai sebagai sumber pembangkit listrik belum dilakukan. "Selama ini baru air terjun yang dimanfaatkan sebagai pembangkit listrik. Padahal Indonesia memiliki banyak sungai besar yang bisa memproduksi energi yang besar meskipun alirannya berjalan lambat, " jelasnya.

Sudiartono menuturkan tidak akan terjadi pembelian listrik dari Malaysia untuk digunakan di daerah pedalaman Kalimantan jika sungai telah dimanfaatkan sebagai pembangkit listrik. Hal inilah yang menjadi tantangan bagi UGM dan perguruan tinggi lainnya untuk mengembangkan pemanfaatan sumber energi terbarukan.

Pengembangan PLTM kuncinya berada pada generator maupun turbin. Yang menjadi kendala sampai saat ini adalah Indonesia belum dapat memproduksi generator ataupun turbin air, juga belum mampu memproduksi bahan bakar selain premium. "Penguasaan teknologi, khususnya teknologi energi, harus dikuasai terlebih dahulu jika tidak ingin selamanya tergantung pada produk-produk teknologi energi dari negara maju. Tanpa adanya penguasaan teknologi eksplorasi dan eksploitasi serta pengelolaan sumber daya energi, maka kedaulatan energi tidak akan tercapai," terang Sudiartono.

Terkait dengan ancaman krisis energi bahan bakar yang akan dialami Indonesia sekitar 20-30 tahun mendatang, Drs. Budi Eka Nurcahyo, M.S. (Wakil Kepala PSE UGM) mengimbau untuk mengurangi ketergantungan terhadap pemakaian minyak bumi. Pengembangan bahan bakar nabati, misalnya bioetanol, menjadi salah satu alternatif solusi untuk mencegah krisis energi di masa datang.

"Kebutuhan akan minyak bumi di Indonesia mencapai 1.300.000 barel/hari, sementara cadangan yang dimiliki hanya sebesar 900.000 barel/hari. Jadi, setiap harinya kita nombok sekitar 400.000 barel untuk pemenuhan kebutuhan minyak bumi. Melalui pengembangan energi alternatif, salah satunya bioetanol, dari energi nabati, bisa meminimalisir kemungkinan terjadinya krisis energi di masa datang," ujar Budi.

Ditambahkannya, membicarakan energi tidak hanya terkait dengan penggunaan energi saja. Namun, berhubungan pula dengan perilaku dan kebiasaan manusia dalam menggunakan energi. "Kebiasaan manusia inilah yang menjadi pokok perhatian dalam pemanfaatan energi," kata Budi menutup perbincangan. (Humas UGM/Ika)

Thursday, 22 October 2020 | 11:05 WIB | Humas EBTKE

KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL

REPUBLIK INDONESIA

SIARAN PERS

NOMOR: 311.Pers/04/SJI/2020

Tanggal: 22 Oktober 2020

Menteri Arifin: Transisi Energi Mutlak Diperlukan

Penggunaan sumber energi fosil semakin besar seiring meningkatnya kebutuhan membuat cadangan sumber energi fosil kian menipis. Untuk itu, peralihan penggunaan energi fosil menuju Energi Baru dan Terbarukan (EBT) merupakan sesuatu yang mutlak dilakukan.

"Transisi energi ini mutlak diperlukan untuk menjaga ketersediaan energi di masa mendatang," kata Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif dalam acara webinar Potret Energi Indonesia pada Tempo Energy Day, Rabu (21/10).

Tanpa penemuan cadangan yang baru, sambung Arifin, minyak bumi di Indonesia akan habis dalam sembilan tahun ke depan, gas bumi akan habis 22 tahun lagi, dan batubara akan habis 65 tahun mendatang.

Sebenarnya, saat ini kondisi sumber energi dalam negeri masih tergolong melimpah. Khususnya untuk sektor batu bara dan gas bumi. Hanya saja, adanya perubahan perubahan konsumsi tanpa eksplorasi, membuat Indonesia semakin dekat dengan krisis energi.

"Kita masih banyak sumber-sumber reservoir yang belum dieksplorasi secara masif. Kita akan mendeteksi resources yang baru untuk mendukung kebutuhan dalam jangka yang panjang," ungkapnya.

Arifin menjelaskan, saat ini Indonesia memiliki kapasitas (pembangkitan) sumber energi sebesar 70,96 Giga Watt (GW). Dari kapasitas energi tersebut, 35,36 persen energi berasal dari batu bara; 19,36 persen berasal dari gas bumi, 34,38 persen dari minyak bumi, dan EBT sebesar 10,9 persen.

Transisi energi ini diharapkan pemerintah akan memperbaiki neraca perdagangan. "Kita sangat serius memperbaiki neraca perdagangan dengan mengurangi impor BBM melalui biodiesel, mengembangkan dan membangunan 6 kilang baru untuk menambah kapasitas (migas) nasional, serta mempercepat implementasi kendaraan listrik," jelas Arifin.

Mendorong EBT

Mengantisipasi kemungkinan hal tersebut, pemerintah tengah mengatur berbagai strategi. Selain meningkatkan kegiatan eksplorasi, hal yang paling penting adalah mengoptimalkan penggunaan energi baru dan terbarukan. Indonesia tercatat memiliki potensi sumber daya EBT lebih dari 400 GW, dari jumlah tersebut baru dimanfaatkan sebesar 2,5% atau 10 GW.

Arifin menilai EBT merupakan strategi penting dalam mendorong pemulihan roda ekonomi pasca pandemi serta menuju Indonesia yang berketahanan. "EBT akan mendorong terciptanya pembangunan ekonomi jangka panjang yang stabil, berkelanjutan, mengurangi GRK, dan dapat menciptakan banyak lapangan energi," tambahnya.

Sebagai tindak lanjut, pemerintah telah menyiapkan aturan tentang EBT yang akan keluar dalam waktu dekat. Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Rida Mulyana mengatakan beleid berbentuk peraturan presiden alias perpres tersebut tengah difinalisasi.

"Di dalamnya akan mendorong pemanfaatan EBT dan pada yang sama meningkatkan investasi dalam negeri. Pemerintah tidak bisa berjalan sendiri dalam transisi energi ini. Semua sangat bergantung pada investasi karena dana yang dimiliki pemerintah terbatas," ujar Rida.

Rancangan perpres terkait energi baru terbarukan sebelumnya sudah melewati proses harmonisasi dengan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia atau HAM. Beleid tersebut dikejar untuk diundangkan sebelum akhir tahun.

Di samping itu, pemerintah tengah menyiapkan program Renewabale Energy Based Industry Development (REBID) dan Renewable Energy Based on Economic Development (REBED) yang dirancang untuk mempercepat EBT di kawasan industri, Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) dan ekonomi lokal khusus di wilayah 3T.

Adapula pembangunan pembangkit surya dan angin, memaksimalkan pemanfaatan bioenergi melalui Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di 12 kota dan biomassa sebaai bahan baku co-firing pada pembangkit PLTU, implementasi B-30 hingga pembangunan Green Refinery. (NA)

Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama

Agung Pribadi (08112213555)

Andin Danaryati/Litbang 25/10/2021 16:28 WIB

Penyebab krisis energi adalah terbatasnya persediaan bahan bakar fosil yang ada, diikuti dengan geliat ekonomi pasca pandemi yang mulai menguat.

Melirik Krisis Energi di Singapura, Ini Faktor Penyebabnya. (Foto: MNC Media)

IDXChannel - Beberapa waktu lalu, banyak berita mengenai krisis energi yang melanda sejumlah negara di dunia. Salah satu negara yang turut merasakan dampak krisis energi ini adalah Singapura. Menurut sumber, krisis yang terjadi di Singapura ini tak lepas kaitannya dengan Indonesia. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, permintaan listrik yang lebih tinggi dari biasanya di dalam negeri dan pengurangan pasokan gas alam perpipaan dari Indonesia.

Krisis energi merupakan fenomena terjadinya kekurangan atau gangguan pada penyediaan pasokan energi yang kemudian berdampak pada bidang ekonomi. Penyebab krisis energi adalah terbatasnya persediaan bahan bakar fosil yang ada, diikuti dengan geliat ekonomi pasca pandemi yang mulai menguat. Hal ini membuat harga bahan bakar dan permintaan masyarakat melonjak, tetapi sumber energinya terbatas. Kondisi iklim yang ekstrem juga menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya krisis energi.

Dikutip dari tulisan berjudul Perancangan Generator Induksi 1 Fase 12 Kutub Kecepatan Rendah karya Nor Rahman Khairudin, Indonesia dihadapkan pada dua isu besar yang menjadi masalah energi sekarang ini. Masalah pertama adalah adanya keterbatasan energi, sedangkan kebutuhan akan energi justru semakin meningkat.

Sedangkan masalah kedua adalah mengenai dampak yang dihasilkan oleh energi berupa bahan bakar fosil yang digunakan oleh mayoritas warga negara Indonesia terhadap lingkungan. Menurut sumber, 84%  gas rumah kaca yang dihasilkan merupakan hasil pembakaran bahan bakar fosil.

Keterbatasan energi membuat banyak pihak berupaya untuk mengatasi hal ini. Solusi terbaik yang dapat segera dikembangkan adalah dengan mengurangi ketergantungan dunia pada sumber daya tak terbarukan dan meningkatkan upaya konservasi secara  keseluruhan. Saat ini, sebagian besar penduduk Indonesia masih menggunakan bahan bakar fosil sebagai energi utama penggerak kendaraan bermotor. Sedangkan, keberadannya di alam kian hari semakin menipis.

Tidak hanya itu, penggunaan bahan bakar fosil juga berdampak buruk pada lingkungan dan iklim. Pembakaran BBM dan batubara menghasilkan pencemaran lingkungan dan CO2 yang mengakibatkan pemanasan global. Hal ini telah menjadi perhatian masyarakat dunia sejak lama, dengan mengadakan berbagai perjanjian kerjasama multilateral seperti Protokol Kyoto dan perjanjian lingkungan lainnya.

Krisis energi dunia kemudian mendorong masyarakat untuk mengadakan revolusi energi fosil. Caranya, dengan perlahan meninggalkan bahan bakar fosil dan mulai memanfaatkan sumber energi baru terbarukan (EBT) dan teknologi bersih (Green Technology) pada semua proses teknologi maupun energi. Pemakaian energi alternatif yang ramah lingkungan ini diharapkan dapat membantu dalam pencegahan pemanasan global dan mengatasi krisis energi yang tengah berlangsung. (FHM)

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA