Penderitaan rakyat Indonesia pada Masa tanam paksa dapat dilihat dari

Penderitaan rakyat Indonesia pada masa tanam paksa dapat dilihat dari jumlah angka kematian rakyat Indonesia yang tinggi akibat kelaparan dan penyakit kekurangan gizi. Berdasarkan data kependudukan tahun 1848-1850, banyak penduduk Grobogan, Jawa Tengah, mati kelaparan akibat paceklik. Dari jumlah penduduk yang semula 89.000 orang, hanya 9000 orang yang dapat bertahan.Berdasarkan wacana di atas dapat disimpulkan bahwa?

  1. kelaparan pada masa tanam paksa menjadi satu-satunya penyebab kematian rakyat Indonesia
  2. paceklik tahun 1848-1850 disebabkan oleh sistem tanam paksa
  3. kebijakan tanam paksa mengakibatkan munculnya penyakit kurang gizi
  4. rakyat Indonesia tidak dapat beradaptasi dengan sistem tanam paksa
  5. semua jawaban benar

Baca Juga :  Kata tanya yang digunakan untuk menanyakan waktu adalah

Berdasarkan pilihan diatas, jawaban yang paling benar adalah: C. kebijakan tanam paksa mengakibatkan munculnya penyakit kurang gizi.

Dari hasil voting 987 orang setuju jawaban C benar, dan 0 orang setuju jawaban C salah.

Penderitaan rakyat Indonesia pada masa tanam paksa dapat dilihat dari jumlah angka kematian rakyat Indonesia yang tinggi akibat kelaparan dan penyakit kekurangan gizi. Berdasarkan data kependudukan tahun 1848-1850, banyak penduduk Grobogan, Jawa Tengah, mati kelaparan akibat paceklik. Dari jumlah penduduk yang semula 89.000 orang, hanya 9000 orang yang dapat bertahan.Berdasarkan wacana di atas dapat disimpulkan bahwa kebijakan tanam paksa mengakibatkan munculnya penyakit kurang gizi.

Pembahasan dan Penjelasan

Jawaban A. kelaparan pada masa tanam paksa menjadi satu-satunya penyebab kematian rakyat Indonesia menurut saya kurang tepat, karena kalau dibaca dari pertanyaanya jawaban ini tidak nyambung sama sekali.

Jawaban B. paceklik tahun 1848-1850 disebabkan oleh sistem tanam paksa menurut saya ini 100% salah, karena sudah melenceng jauh dari apa yang ditanyakan.

Jawaban C. kebijakan tanam paksa mengakibatkan munculnya penyakit kurang gizi menurut saya ini yang paling benar, karena kalau dibandingkan dengan pilihan yang lain, ini jawaban yang paling pas tepat, dan akurat.

Jawaban D. rakyat Indonesia tidak dapat beradaptasi dengan sistem tanam paksa menurut saya ini salah, karena dari apa yang ditanyakan, sudah sangat jelas jawaban ini tidak saling berkaitan.

Jawaban E. semua jawaban benar menurut saya ini salah, karena setelah saya cari di google, jawaban tersebut lebih tepat digunkan untuk pertanyaan lain.

Kesimpulan

Dari penjelasan dan pembahasan diatas, bisa disimpulkan pilihan jawaban yang benar adalah C. kebijakan tanam paksa mengakibatkan munculnya penyakit kurang gizi

Jika masih punya pertanyaan lain, kalian bisa menanyakan melalui kolom komentar dibawah, terimakasih.

Ilustrasi Kebun Teh di Wonosobo. Pengaruh Sistem Tanam Paksa/Cultur Stelsel Pada Masa Penjajahan Belanda di Indonesia.

TRIBUNNEWS.COM -  Pada tahun 1830, Johannes van den Bosch menerapkan sistem tanam paksa (cultuur stelsel).

Dikutip dari Buku SMP/MTS IPS Kelas VIII (2017) Oleh Mukminan, kebijakan tanam paksa diberlakukan karena Belanda menghadapi kesulitan keuangan akibat perang Jawa atau Perang Diponegoro (1825-1830) dan Perang Belgia (1830-1831).

Adapun tanaman teh, kopi, kakao, sebagai tanaman ekspor utama Belanda dari Indonesia pada masa penjajahan.

Ketentuan kebijakan tanam paksa yang diberlakukan pemerintah Hindia Belanda sangat memberatkan masyarakat Indonesia.

Terutama, pelaksanaannya penuh dengan penyelewengan sehingga semakin menambah penderitaan rakyat Indonesia.

Banyak ketentuan yang dilanggar atau diselewengkan baik oleh pegawai Belanda maupun pribumi.

Baca juga: Mengenal Sel Jaringan Tumbuhan: Jaringan Meristem, Kambium Vaskuler, dan Kambium Gabus (Felogen)

Baca juga: Mengenal Serat Alam: Sudah Digunakan Sejak 2640 SM, China yang Pertama Mengolahnya

Kebun teh (Johnson Simanjuntak/Tribunnews.com)

Praktik-praktik penekanan dan pemaksaan terhadap rakyat:

a. Menurut ketentuan, tanah yang digunakan untuk tanaman wajib hanya 1/5 dari tanah yang dimiliki rakyat.

Namun kenyataannya, selalu lebih bahkan sampai ½ bagian dari tanah yang dimiliki rakyat.

b. Kelebihan hasil panen tanaman wajib tidak pernah dibayarkan.

tirto.id - Sejak Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) menguasai sejumlah wilayah nusantara pada tahun 1600-an, hingga pemerintahan Hindia Belanda bubar akibat Perang Dunia II, berbagai bentuk penderitaan dialami rakyat Indonesia.

Penderitaan panjang yang harus dilalui rakyat Indonesia akibat kolonialisme itu mendorong banyak bumiputra bertekad memperjuangkan kemerdekaan. Rasa senasib-sepenanggungan di bawah penjajahan Belanda kemudian membentuk nasionalisme dan persatuan bangsa Indonesia.

Perjuangan panjang akhirnya berbuah pada proklamasi kemerdekaan RI pada tanggal 17 Agustus 1945. Namun, kemerdekaan tersebut masih harus ditebus dengan pengorbanan banyak pejuang karena Belanda sempat ingin berkuasa kembali di Indonesia.

Mengutip buku Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia (1997) terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, penderitaan rakyat Indonesia selama penjajahan Belanda tidak hanya akibat perang dan kekerasan. Kemiskinan, kelaparan, hingga perbudakan bahkan dialami rakyat Indonesia saat dunia sudah memasuki abad ke-20.

Ada banyak contoh penderitaan rakyat Indonesia pada masa penjajahan Belanda. Empat contoh di bawah ini cuma sebagian dari bentuk penderitaan rakyat Indonesia akibat kolonialisme Belanda.

1. Kebijakan Cultuurstelsel (Tanam Paksa)

Setelah menguasai Indonesia berdasarkan Konvensi London pada 1814, pemerintahan kolonial Hindia-Belanda di nusantara dipimpin oleh suatu komisi yang beranggotakan Vander Capellen, Elout, dan Buyskes.

Salah satu misi penjajahan Belanda tersebut ialah untuk membayar utang Kerajaan Belanda yang tergolong besar karena perang. Saat komisi ini diambil alih Gubernur Jenderal Van den Bosch, kebijakan tanam paksa, yang kerap disebut pula dengan Cultuurstelsel, diimplementasikan di banyak daerah sejak tahun 1830.

Sistem tanam paksa benar-benar memeras tenaga rakyat Indonesia serta mengeruk kekayaan alam di nusantara. Banyak rakyat bumiputra menderita akibat Cultuurstelsel.

Baca juga: Sejarah Cultuurstelsel: Aturan, Tujuan, Tokoh, & Dampak Tanam Paksa

Kapasitas sawah dikurangi untuk keperluan tanam paksa, rakyat dipaksa bekerja, bahkan kadang dituntut bekerja di kebun yang letaknya sampai puluhan kilometer jauhnya dari desa. Selain itu, kerja rodi juga dilakukan di bawah todongan senjata. Akibatnya, kemiskinan dan kelaparan menjalar di banyak tempat.

Infografik SC Indonesia di Masa Penjajahan Belanda. tirto.id/Fuad

Tanaman yang harus ditanam selama Cultuurstelsel ditentukan oleh pemerintah Belanda. Kopi, teh, tebu dan jenis komoditas potensial ekspor lainnya harus ditanam demi menambah pundi-pundi harta Kerajaan Belanda.

Sistem tanam paksa bisa menggelembungkan kas Belanda, tapi rakyat bumiputra menderita. Selain kelaparan dan kemiskinan, penyakit pun sering mewabah karena banyak orang kurang gizi. Bahkan, banyak pekerja paksa yang mati kelaparan.

Dampak besar sistem tanam paksa pada penderitaan rakyat di nusantara membuat kritik tajam dilontarkan pada pemerintah Hindia-Belanda. Kritik itu malah datang dari sebagian orang Belanda sendiri.

Karena Cultuurstelsel dianggap tidak manusiawi, sistem tanam paksa dihapuskan dan diganti dengan pihak swasta Belanda yang turun mengelola perkebunan di nusantara. Secara berangsur-angsur, sistem tanam paksa kemudian dihapuskan pada 1861, 1866, 1890, dan 1916.

2. Perbudakan di Hindia Belanda

Ketika VOC di bawah pimpinan Jan Pieterszoon Coenstraat berhasil menguasai Batavia, kondisi wilayah yang kini menjadi Jakarta tersebut tidak sepadat pada masa kemudian. Banyak penduduk lokal Batavia kabur ke pelosok Batavia Selatan, yakni Jatinegara Kaum.

Padahal, untuk membangun Batavia selepas penaklukan, orang-orang Belanda butuh tenaga kerja. Karena itulah, VOC mendatangkan tawanan perang dan budak dari berbagai tempat, misalnya Manggarai, Bali, Sulawesi, Arakan, Bima, Benggala, Malabar, dan lainnya, demikian tercatat dalam Kisah Betawi Tempo Doeloe: Robin Hood Betawi (2001) yang ditulis Alwi Shahab.

Baca juga: Ratu Beatrix ke Jakarta dan Betapa Susahnya Belanda Meminta Maaf

Dalam perjalanannya, banyak pria bumiputra diperbudak menjadi pekerja kasar di Batavia, sementara perempuan dijadikan pemuas nafsu berahi dan pengurus rumah tangga orang-orang Belanda. Apabila mereka membangkang, hukumannya sangat kejam.

Izin perbudakan akhirnya dihapus pada 1860 oleh pemerintah Hindia-Belanda. Namun, praktiknya terus dilakukan hingga dekade pertama abad ke 20, sebagaimana dicatat Reggie Baay dalam Daar werd wat gruwelijks verricht atau Perbudakan di Hindia Belanda (2015).

3. Kerja Rodi

Salah satu kerja rodi paling terkenal yang membuat rakyat bumiputra di Indonesia sengsara adalah pembuatan jalan raya sepanjang kurang lebih 1.000 kilometer dari Anyer hingga Panarukan pada 1809.

Kerja rodi massal itu dipelopori Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels, yang menerima mandat dari Louis Napoleon, penguasa Belanda di bawah pengaruh Prancis era Napoleon Bonaparte. Daendels menerima perintah untuk mempertahankan Pulau Jawa dari serbuan Inggris. Maka itu, ia memerintahkan pembangunan jalan Anyer-Panarukan.

Baca juga: Bagaimana Daendels Membangun Pemerintahan Modern di Hindia Belanda?

Mengutip Britannica, nama lain kerja rodi adalah kerja budak yang dilakukan di bawah paksaan. Para pekerja tidak memperoleh upah dan dipaksa bekerja di luar batas kemanusiaan.

Kerja rodi pembangunan jalan raya Anyer hingga Panarukan pada 1809 memakan korban jiwa hingga 12.000 jiwa. Kerja rodi ini dilaksanakan di bawah todongan senjata dan lecutan cambuk. Banyak pekerja yang kelaparan hingga meninggal demi terbangunnya jalan itu.

4. Upah Rendah di Perkebunan

Sejak tanam paksa dihapuskan, pemerintah Belanda menerapkan sistem Politik Pintu Terbuka (Open Door Policy). Kebijakan ini membuka Hindia-Belanda bagi pengusaha swasta-asing untuk menanamkan modal dan membuka perusahaan.

Sistem Politik Pintu Terbuka ini ditandai dengan keluarnya Undang-Undang (UU) Agraria (Agrarische Wet) 1870 dan Undang-Undang Gula (Suiker Wet). Dua UU itu menjadikan Hindia Belanda pusat perkebunan penting dalam perdagangan ekonomi dunia.

Namun, rakyat bumiputra yang dahulunya tersiksa dengan tanam paksa, harus mengalami derita yang lain karena dipaksa bekerja di perkebunan besar. Hingga pertengahan Abad 20, tumbuh banyak perkebunan kopi, teh, tebu, kina, kelapa, cokelat, tembakau, hingga kelapa sawit di Hindia Belanda.

Ketika banyak pengusaha swasta membangun perusahaan di nusantara, rakyat Indonesia beralih menjadi buruh yang dipaksa bekerja habis-habisan dengan upah rendah. Makanan dan kesehatan mereka tidak terjamin, begitu pula dengan kesejahteraannya. Sistem memang berganti sejak pertengahan Abad 19, tapi kemiskinan tetap saja menjadi wajah sehari-hari rakyat Indonesia di bawah penjajahan Belanda.

Baca juga artikel terkait PENJAJAHAN BELANDA atau tulisan menarik lainnya Abdul Hadi
(tirto.id - hdi/add)


Penulis: Abdul Hadi
Editor: Addi M Idhom
Kontributor: Abdul Hadi

Subscribe for updates Unsubscribe from updates

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA