Pemanfaatan sumber daya alam harus dikuasai oleh negara demi titik titik rakyat

"Prinsip yang harus dipegang adalah bahwa sumber daya alam harus dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, itu yang prinsip di situ," jelas Presiden.

Dilansir dari Kepala Biro Pers, Media dan Informasi Sekretariat Presiden, Bey Machmudin, Presiden  juga menekankan pentingnya kemanfaatan keberlanjutan dan aspek lingkungan hidup. Kepentingan nasional juga harus diperhitungkan dalam mengelola sumber daya mineral dan batu bara. Sebab, sebagaimana diketahui, sumber daya tersebut merupakan hal yang tak dapat diperbaharui dan diperkirakan akan habis dalam beberapa puluh tahun mendatang.

"Saya ingin menekankan bahwa pemanfaatan sumber daya alam, baik  mineral, batu bara, harus betul-betul dihitung, dikalkulasi dengan cermat," jelasnya.

Sejumlah menteri dan jajaran lainnya hadir dalam ratas tersebut. Di antaranya Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan,  Menteri Sekretaris Negara Pratikno, Sekretaris Kabinet Pramono Anung, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, Menteri BUMN Rini Soemarno, Kapolri Jenderal Polisi Tito Karnavian, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Thomas Trikasih Lembong. (Humas Kemensetneg)

Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. UUD 1945 Pasal 33 (3).  

Siaran Pers Konferensi Rakyat Sumatera Selatan, Memperingati Hari Tani Nasional 2017-Koalisi Rakyat Sumsel Menggugat- Palembang, 02 Oktober 2016. Sejatinya tugas negara adalah memakmurkan rakyatnya, melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah dan untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun 72 tahun sudah Republik ini dibentuk, tanpa ada sedikipun amanat rakyat yang dicapai secara signifikan oleh penyelenggara Negara, yakni Pemerintah. Seperti halnya yang terjadi di Sumatera Selatan (Sumsel), kegagalan-kegagalan tersebut antara lain; gagalnya pemerintah memastikan rakyat mendapat kehidupan yang layak. Kondisi ini ditengarai oleh luasan 8 juta hektar luas wilayah Sumsel yang saat ini dikuasai oleh korporasi-korporasi besar; sektor kehutanan dengan tanaman industri (kebun Akasia/ekaliptus) seluas 1,5 jt hektar, sektor perkebunan (di dominasi oleh kebun sawit) seluas 1 jt hektar, pertambangan 2,5 jt hektar, kawasan lindung 1,3 jt hektar. Setidaknya rakyat hanya menguasai tidak lebih dari 1 jt hektar dengan segala keterbatasan yang ada. Dengan lahan yang terbatas tersebut, petani dan masyarakat Sumsel masih harus berjuang dengan berbagai persoalan dan karakteristik yang ada. Di wilayah yang banyak dikuasai oleh izin pertambangan misalnya, kasus-kasus pencemaran dan krisis ekologi telah menghilangkan daya dukung lingkungan bagi petani yang disebabkan oleh watak industri energi kotor yang terus menghisap sumber daya alam.

Tidak heran banyak komoditi-komoditi lokal yang selama ini menjadi unggulan terus tergerus oleh konsesi (izin) pertambangan. Kondisi ini belum lagi ditambah pembangunan PLTU Mulut Tambang yang berdiri di tengah lahan pertanian dan pemukiman masyarakat. Sebagaimana kita ketahui keberadaan PLTU Mulut Tambang akan semakin mempercepat kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup, dimana lahan pertanian masyarakat merupakan wilayah yang paling rentan tercemar. Di Sektor industri berbasiskan lahan lainnya, yakni perkebunan kelapa sawit dan industri hutan melalui kebun akasia dan ekaliptus menjadi sektor terbesar perampasan wilayah kelola masyarakat. Tidak sedikit perampasan tanah yang merupakan lahan pertanian dan kehidupan masyarakat disertai kekerasan oleh pihak korporasi dengan menggunakan aparat (TNI-POLRI) sebagai alat kekerasan. Misalnya perampasan wilayah kelola rakyat yang terus terjadi dan berulang oleh PT. Musi Hutan Persada. Sedikitnya sebanyak 35 desa yang tersebar di 7 kabupaten terus mengalami perampasan tanah yang disertai kekerasan. Kasus-kasus tersebut dimulai sejak korporasi tersebut mendapat izin konsesi.

Sebagaimana kita ketahui bahwa industri kehutanan (kebun akasia dan ekaliptus) oleh korporasi merupakan watak warisan penghancuran hutan alam di Sumatera Selatan oleh izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Dimana industri ini telah memisahkan kehidupan petani dan masyarakat adat dari hutan, padahal dalam sejarahnya para petani hutan dan masyarakat adat sangat bijak dalam mengelola sumber daya alam. Selain itu, perampasan tanah dan konflik agraria yang mayoritasnya disertai dengan kekerasan, pelanggaran HAM dan kriminalisasi menimbulkan dampak berlapis bagi perempuan, termasuk  meningkatkan beban perempuan. Di sektor kehutanan tumpang tindih perijinan areal kawasan hutan juga merupakan salah satu faktor terjadi konflik agraria. Hilangnya akses dan kontrol masyarakat atas tanah sebagai sumber kehidupan untuk pemenuhan kebutuhan rumah tangga maupun untuk ekonomi keluarga, berdampak pada meningkatnya beban perempuan dalam memastikan tersedianya pangan keluarga dan komunitasnya setiap hari. Atas dasar berbagai persoalan di atas kami Koalisi Rakyat Sumatera Selatan Menggugat, menuntut/mendesak Negara untuk:

  1. Melakukan review dan mencabut izin perusahaan-perusahaan yang selama ini terbukti merampas dan menggusur kehidupan masyarakat, sebab konflik yang terjadi saat ini adalah konflik yang terus mengulang. Karena tidak ada itikad baik dari korporasi untuk menghargai hak-hak masyafrakat.
  2. Mempercepat pelaksanaan reforma agraria di Sumatera Selatan, terutama wilayah yang selama ini dirampas oleh sejumlah korporasi antara lain di wilayah; Kabupaten Musi Rawas: Dusun Cawang, Desa Bumi Makmur, Desa Semangus, Desa Sungai Pinang, Desa Muara Rengas, Desa Anyar, Desa Semangus Lama, Desa Pendingan, Desa Mukti Karya, Desa Muara Megang. Kabupaten Muratara; Desa Tebing Tinggi. Kabupaten OKU Induk; Desa Merbau. Kabupaten Muba; Desa Simpang Bayat, Desa Simpang Tungkal/Belido. Kabupaten Muara Enim; Desa Sumber Mulya, Desa Karang Mulya, Desa Karang Agung. Kabupaten Muara Enim; Wilayah Adat Rimbo Sekampung.
  3. Memastikan pelaksanaan reforma agraria yang berkeadilan gender dengan memastikan keterlibatan perempuan maupun keterwakilan kepentingan perempuan dalam perencanaan, pelaksanaan, dan pemanfaatan reforma agraria secara inkslusif; Perempuan sebagai subjek pemangku kepentingan dalam agenda reforma agraria, serta memastikan penyelesaian konflik agraria harus dijalankan dengan prinsip-prinsip yang sensitif dan responsif gender."
  4. Segera membentuk kelembagaan reforma agraria yang independent dengan pelibatan masyarakat sipil.
  5. Moratorium izin perkebunan, hutan tanaman industri (HTI), dan pertambangan, dan segera melakukan pemulihan lingkungan hidup
  6. Menghentikan dan menarik pelibatan aparat negara (TNI-POLRI) di wilayah-wilayah yang rentan terjadinya konflik tenurial.

-Koalisi Rakyat Sumsel Menggugat- WALHI Sumsel, Lingkar Hijau, Solidaritas Perempuan (SP Palembang), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Palembang, AMAN PW Sumsel, WCC Palembang, LP3HAM, Komunitas Masyarakat Pengelola Rawa Gambut (KOMPAG Sumsel), IMPALM, Serikat Petani Sriwijaya (SPS), Mafesripala, Sahabat WALHI Sumsel, Green Student Movement (GSM), Serikat Petani Cawang (SPC), Masyarakat: Kabupaten Musi Rawas: Desa Bumi Makmur, Desa Semangus, Desa Sungai Pinang, Desa Muara Rengas, Desa Anyar, Desa Semangus Lama, Desa Pendingan, Desa Mukti Karya, Desa Muara Megang. Kabupaten Muratara; Desa Tebing Tinggi. Kabupaten OKU Induk; Desa Merbau. Kabupaten Muba; Desa Simpang Bayat, Desa Simpang Tungkal/Belido. Kabupaten Ogan Ilir; Desa Sri Bandung. Kabupaten Muara Enim; Desa Sumber Mulya, Desa Karang Mulya, Desa Karang Agung. Kabupaten Muara Enim; Masyarakat Adat Rimbo Sekampung  

Yang dimaksud keadaan kahar (force maje) dalam ayat ini, antara lain, perang, kerusuhan sipil, pemberontakan, epidemi, gempa bumi, banjir, kebakaran, dan bencana alam di luar kemampuan manusia.

Selasa, 2 April 2019 | 15:05 WIB | Humas EBTKE

Pemanfaatan sumber daya alam harus dikuasai oleh negara demi titik titik rakyat

JAKARTA - Pemerintah terus berupaya untuk mengelola sumber daya alam (SDA) yang ada untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia sebagai bentuk keberpihakan Pemerintah kepada kepentingan masyarakat. Hal tersebut merupakan perwujudan amanah Pasal 33 Ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 dimana bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat. Hal ini diungkapkan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Ignasius Jonan pada Acara Economic Challenges, Selasa (2/4).

"Ada bagian dari Bangsa Indonesia yang kurang beruntung, yang sampai untuk memasang sambungan listrik sebesar Rp 550.000 saja tidak mampu. Ini merupakan tantangan yang besar, memang dari sisi produsen ingin menjual harganya minimal fair, tapi Pemerintah ingin harga lebih terjangkau karena salah satu tugas Pemerintah yang besar adalah hasil sumber daya alam itu sesuai pasal 33, itu digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat," ujar Jonan.

Menurut Menteri Jonan, yang harus menjadi perhatian dan konsen Pemerintah untuk ketersediaan listrik masyarakat adalah dua hal, yaitu ketersediaan (availability) dan harga yang terjangkau (affordability). "Kalau tersedia tapi tidak affordable (terjangkau) juga akhirnya sia-sia," tuturnya. Trend ke depan utamanya adalah peningkatan daya beli dan peningkatan energi mix, dan tantangan yang paling besar adalah daya beli masyarakat.

Terkait dengan pengelolaan SDA, Pemerintah juga terus berupaya melakukan pengembangan energi baru terbarukan (EBT), tidak saja untuk mengatasi climate change tetapi juga sustainability energy. "Kita akan tetap mendorong EBT di kelistrikan. Kami sudah membuat ketentuan, Renewable Energy yang untuk PPA tidak dimasukkan ke RPTUL," ungkap Jonan.

"Yang penting daya beli masyarakat. Kalau kita lihat Jepang, Tiongkok, India, impor besar - daya beli besar. Kita kelola SDA yang ada untuk menekan nilai impor kita. Kendaraan listrik juga sangat penting untuk lingkungan hidup dan pemanfaatan sumber daya yang ada," pungkasnya. (RWS)