Pajak merupakan sebutan untuk penari laki-laki pada sebuah tari

TARI PAYUNG - Sejumlah penari membawakan tarian payung pada pementasan Misi Kesenian Kabupaten Tasikmalaya di Gedung Teater Tertutup Balai Pengelolaan Taman Budaya Jawa Barat, Jalan Bukit Dago Selatan, Kota Bandung, Rabu (19/7/2017)(GANI KURNIAWAN/TRIBUN JABAR)| Mengenal 10 Tari Daerah Berpasangan di Indonesia, Ada Tari Piring hingga Tari Payung.

TRIBUNNEWS.COM - Indonesia memiliki berbagai jenis tarian.

Terdapat tari daerah dan ada pula tari kreasi modern.

Dikutip dari Buku Siswa SD/MI Kelas VI Tema 7 Kepemimpinan (2018) oleh Heny Kusumawati, dkk, berdasarkan banyaknya penari yang menarikan ada tari tunggal, tari berpasangan, dan tari kelompok.

Berikut beberapa contoh tari daerah berpasangan di Indonesia.

Baca juga: Mengenal Berbagai Istilah dalam Perayaan Imlek: Angpao, Cap Go Meh hingga Barongsai

Baca juga: Siapa Pencipta Lagu Ibu Kita Kartini? Berikut Penjelasan dan Lirik Lagunya

Penari menampilkan tarian khas daerah saat pagelaran Nusantara Berdendang memperingati hari sumpah pemuda di halaman Istana Merdeka, Jakarta, Jumat (28/10/2016). (TRIBUNNEWS/HERUDIN)

1. Tari Piring

Tari Piring adalah tarian yang berasal dari daerah Minangkabau, Sumatra Barat.

Tari Piring dibawakan dalam bentuk tari berpasangan putra dan putri yang terdapat dalam sebuah kelompok pementasan.

Pada zaman dahulu, tari Piring dipentaskan pada saat panen sebagai ungkapan rasa gembira dan syukur.

Namun sesuai dengan perkembangan zaman, saat ini tari Piring dipentaskan pada acara-acara penting seperti acara pernikahan.

2. Tari Serampang Dua Belas

3 menit

Ada beragam macam tari tradisional di Indonesia, dari yang sendirian hingga berpasangan. Simak kumpulan contoh tari berpasangan di Indonesia di sini!

Tari berpasangan adalah tari yang dilakukan tidak seorang diri, tetapi bersama dengan orang lain.

Umumnya tarian ini dilakukan oleh dua orang secara berpasangan, pasangannya dapat berlawan jenis atau sesama jenis.

Sesama penari akan bergerak dengan saling melengkapi, mengisi, dan berinteraksi, sehingga memiliki respon kesepakatan gerak yang baik.

Ada banyak tarian tradisional Indonesia yang dilakukan secara berpasangan.

Simak macam serta contoh tari berpasangan di Indonesia di bawah ini!

Macam Tari Berpasangan di Indonesia

sumber: kibrispdr.org

Ada dua macam tari berpasangan di Indonesia, yaitu:

1. Tari Wireng

Macam tari berpasangan pertama adalah tari wireng.

Tari wireng adalah tari prajurit unggul yang dipentaskan oleh dua laki-laki.

Ciri-ciri tarian ini adalah ragam gerakan yang sama, tidak ada yang kalah atau menang, dan busananya bebas bisa sama atau berbeda.

Contoh tari wireng adalah Tari Retnotinanding, Tari Prawiroguno, Tari Bondoyudo, dan Tari Bugis Kambat.

2. Tari Pethilan

Macam tari berpasangan berikutnya adalah tari pethilan.

Tari pethilan adalah tari perang antara dua tokoh yang diangkat dari cerita atau cuplikan peristiwa.

Ciri-ciri tari pethilan adalah ragam gerak yang sama atau tidak sama, ada yang kalah atau mati, dan tata busananya sama atau tidak sama.

Contoh tari pethilan adalah Tari Srikandi-Mustakaweni, Tari Bambangan Cakil, dan Tari Sugriwo Subali.

Contoh Tari Berpasangan di Indonesia

sumber: kibrispdr.org

Berikut adalah contoh tari berpasangan di Indonesia:

1. Tari Piring (Sumatera Barat)

Contoh tari berpasangan pertama adalah tari piring yang berasal dari Sumatera Barat.

Tarian Minang ini biasa ditampilkan untuk menyambut tamu kehormatan atau untuk memeriahkan upacara adat.

2. Tari Serampang Dua Belas (Sumatera Utara)

Tari serampang dua belas adalah tarian dari Sumatera Utara yang diciptakan oleh Guru Sauti.

Tarian Melayu ini sering digunakan di upacara adat, upacara agama, sarana pergaulan, dan tontonan.

3. Tari Payung (Sumatera Barat)

Contoh tari berpasangan berikutnya adalah tari payung dari Sumatera Barat.

Dulu, tarian ini digunakan untuk memperingati hari-hari besar Kerajaan Belanda pada masa penjajahan.

4. Tari Legong (Bali)

Tari legong adalah tarian Bali yang dikembangkan oleh keraton Bali pada abad 19-an.

Kini terdapat sekitar 18 tarian legong yang dikembangkan di selatan Bali, seperti

  • Gianyar (Saba, Bedulu, Pejeng, Peliatan),
  • Badung (Binoh dan Kuta),
  • Denpasar (Keladis), dan
  • Tabanan (Tista).

5. Tari Janger (Bali)

Contoh tari berpasangan berikutnya adalah tari janger dari Bali.

6. Tari Ketuk Tilu (Jawa Barat)

Tari ketuk tilu adalah tarian berpasangan yang berasal dari Jawa Barat atau suku Sunda.

7. Tari Bambangan-Cakil (Jawa Tengah)

Contoh tari Indonesia berikutnya adalah tari bambangan-cakil dari Jawa Tengah.

8. Tari Zapin (Riau)

Tari zapin adalah tarian berpasangan tradisional Melayu yang berasal dari Riau.

9. Tari Gandrung (Jawa Timur)

Contoh tari berikutnya adalah tari gandrung yang merupakan tarian tradisional Banyuwangi, Jawa Timur.

10. Tari Golek Menak (Yogyakarta)

Tari golek menak adalah tarian asal Yogyakarta yang diciptakan langsung oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX.

Contoh Tari Berpasangan Perempuan dengan Perempuan

Berikut adalah contoh tari perempuan dan perempuan:

  • Tari Srikandi Mustokaweni (Jawa Tengah)
  • Tari Retno Tinanding (Jawa Tengah)
  • Tari Retno Ngayudo (Jawa Tengah)
  • Tari Srikandi Larasati (Jawa Tengah)
  • Tari Legong Kraton (Bali)

Contoh Tari Berpasangan Pria dengan Pria

Berikut adalah contoh tari pria dan pria:

  • Tari Bugis Kembar (Jawa Tengah)
  • Tari Uluk Ambek (Aceh)

Contoh Tari Berpasangan Pria dan Perempuan

sumber: pelayananpublik.id

Berikut adalah contoh pria dan perempuan:

  • Tari Karonsih (Jawa Tengah)
  • Tari Rama dan Shinta (Jawa Tengah)

***

Semoga artikel ini bermanfaat untuk Sahabat 99, ya!

Jangan lewatkan informasi menarik lainnya di portal Berita 99.co Indonesia.

Jika sedang mencari rumah di Malang, bisa jadi Singmaherta City adalah jawabannya.

Cek saja di 99.co.id dan rumah123.com untuk menemukan rumah idamanmu!

Wujudkan hunian idamanmu sekarang juga, karena kami selalu #AdaBuatKamu!


Selamat HARI TARI DUNIARAGAM SEBUTAN TARI DALAM SUMBER DATA TEKSTUAL : Representasi Khasanah Tari  Jawa Kuna (X-XV Masehi)Oleh : M. Dwi Cahyono 

  1. Tari sebagai Sub-unsur Budaya Universal
 Kemarin (Minggu tanggal 29 April 2018) bertepatan dengan Hari Tari Dunia. Suatu momentum dimana warga dunia menampilkan keindahan seni tari dari budayanya masing-masing. Berbagai pagelaran tari dibuat di seluruh dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Hari Tari Dunia dicanangkan tahun 1982 oleh lembaga tari internasional CID (Counseil Internasional de la Danse). Tujuannya adalah untuk mengajak seluruh warga dunia berpartisipasi untuk menampilkan tarian-tarian negara mereka yang jumlahnya beragam.Baca Juga: Pada tahun 2003, Professor Alkis Raftis yang saat itu menjadi Presiden CID mengatakan bahwa pelestarian budaya menari masih amat minim. Tiada lembaga atau organisasi yang mendanai bidang seni ini secara memadai. Di sisi lain kurang pula pendidikan seni tari, sehingga ketertarikan warga untuk menekuni bidang tari sangat rendah. Oleh kerana itu, bersama dengan UNESCO, CID menjadi wadah bagi warga dunia untuk mementaskan tarian dari budaya mereka. Dengan begitu diharapkan semua generasi muda dapat terus melestarikan budaya melalui seni tari Pada awal tahun 2007 promosi untuk merayakan Hari Tari Dunia semakin gencar dilakukan, dengan berfokus pada anak-anak, Tahun demi tahun berikutnya, Hari Tari Dunia kian diapresiasi warga, sehingga banyak pertunjukan tari diadakan untuk memeringatinya. Unsur sebutan tari [se]dunia sesuai dengan realitas seni-tari sebagai bagian dari kesenian. yakni salah sebuah diantara tujuh unsur budaya universal (universal categories of culture). Dinyatakan universal, karena seni-tari ada kapanpun dan dimanapun. Oleh karena itu, sangatlah mungkin Hari Tari dilaksanakan di negara manapun, mengingat bahwa tak ada satupun negara yang tidak memiliki khasanah tari. Atau dalam skala lebih kecil, tidak ada satupun daerah yang tak memiliki dan menyelenggarakan tarian. Jawa sebagai sentra peradaban Nusantara lintas masa mempunyai perjalanan sejarah tari demikian panjang, yang karenanya kaya akan khasanah tarian. Terkait itu, tulisan ringkas dan bersahaja ini hendak menelisik khasanah tari Jawa pada masa lampau, tepatnya pada Masa Hindu-Buddha untuk kurun wakru abad X-XVI Masehi, dengan menggunakan ragam sebutan bagi tari menurut sumber data tekstual guna memperoleh gambaran mengenai kekayaan (khasanah) tari Jawa pada masanya. 
  1. Ungkapan Informasi Tari Jawa Kuna dalam Sumber Data Tekstual
 Ragam sebutan bagi tari didapati baik dalam sumber data tekstual (tertulis) maupun oral (lisan). Sumber data tekstual berpotensi untuk dapat mengungkapkan bilamana suatu istilah (sebutan) tari digunakan, jenis dan bentuk tarian, pelaku tari, pementasan tari, gerak tari, konteks penyajian tari, dan banyak lagi. Dalam hal tertentu, sumber data testual masa lampau memuat informasi yang tak didapatkan di dalam sumber data oral kekinan. Oleh karena tulisan ini berkenaan dengan Sejarah Tari, maka sumber data tekstual masa lampau, baik prasasti maupun susastra, dijadikan sumber informasi untuk eksplorasi data mengenai khasanah tari Jawa Kuna (abad X - XVI Masehi). 
  1. Informasi Tari Jawa Kuna dalam Sumber Data Susastra
1.1. Sebutan Igel untuk Tari pada UmumnyaSumber data tekstual, utamanya susastra, memuat banyak informasi berkenaan dengan tari, antara lain mengenai ragam sebutan untuk tari, penari, tempat pementasan tari, pejabat yang mengurusi bidang tari, gerak tari, waditra pengring tari, konteks penyajian tari, dsb. Berbagai istilah, seperti igel, natya, nretta, tandak, jengklek, adumpili, tayub, pencak, babarisan, ronggeng, nartaki atau nartaka, dengklang atau deklang, tutunggeyan, wireng, bedayan, kicakan, panginangin, tarimba, dsb.. Beda arti dari masing-masing istilah itu tidak selalu dapat dieksplanasikan secara gamblang, rinci dan definitif, karena pada umumnya perihal tari hanya tersirat dalam suatu kisah atau adegan yang tidak secaea khusus dimaksudkan untuk membicarakan tentang tarian. Kata panduan tari dari Masa Hindu-Buddha sejauh ini belum diketemukan, walau bukan tidak mungkin konon ada. Diantara sejumlah sebutan untuk tari, istilah igel atau kata jadiannya [dalam bentuk kata kerja] adalah yang paling banyak dijumpai dalam sumber data susastra. Istilah ini menunjuk kepada tari pada umumnya, sehingga dapat digunakan untuk menyebut tari yang lemah gemulai ataupun yang gegap gempita, tarian istana ataupun tarian rakat di pedesaan (Sedyawati, 1977:14). Bahkan, istilah igel juga dipakai untuk menggambarkan gerak yang artistik dari binatang dan tumbuhan tertentu, yang menjadi perumpaan bagi gerak tari atau dijadikan inspirasi untuk menstilasikan gerak dalam garap tari. Berikut dipaparkan keberadaan istilah igel serta siratan informasi pada penyebutannya di dalam sejumlah susustra Jawa yang berasal dari abad X-XVI Masehi. Penggunaan sebuatan igel yang mengisyaratkan gerak tari yang lemah gemulai (lembut) didapati dalam Kidung Wanbang Wideya (III.89b-93b), yang mengkisahkan mengenai seorang perempuan di panggung untuk mempersiapkan tarian. Raden Galuh menuju ke pentas tari (panigelan) yang dialasi dengan hamparan kain manjeti. Para penari (sang angigel) terampil hadir di pentas. Gerak kakinya tanpa cela, lembut menyenangkan tiada banding, membuat yang hadir merasa keheranan. Raja Daha, raja Jagaraja, raja Putrasena, Raden Singhamatra dan kerabatnya menari (Adumpili). Panji dan sang putri pun turut menari, disertai dengan tujuh orang gadis cantik. Mereka melakukan gerakan memutar, kainnya tertiup angina, parfumnya semerbak (Robnson, 1971:196-197). Uraian yang terakhir menggambarkan tarian bersama, dengan salah satu gerak tarinya membentuk desain lantai melingkar. Bagian lainnya (Ww III. 95a-b) menyebut bahwa raja turut dalam acara minum minuman keras. Ketika gending dan gong berbunyi, para bangsawan menari (angigel) (Robson, 1971:198). Tarian yang sangat boleh jadi mempunyai gerak tari halus diberitakan dalam kakawin Nagarakretagama (LXVI.4), yang menyatakan bahwa dalam rangkaian ritus sradha bagi Gayatri (Rajapadni), Hayam Wuruk menari (mangigel) di Bangsal Witana disertai wanita/istri (bini). Informasi serupa didapat dalam kakawin Sumansantaka (XXVIII.29), yang mengkisahkan tentang kesinggahan rombongan Aja di suatu pertapaan. Pasukan Aja dan sejumlah pertapa menghibur diri dengan memainkan tari (anigel) dan bernyanyi bersahut sambil minum twak hingga larut malam. Bagian lain (CXIII.4-6) menceritakan bahwa ketika acara perkawinan Aja dan Indumati, ada yang menari-nari (agnigel-igel). Bagian yang lain lagi (CXXIX.3, CXXX.1-3) mengkisahkan, manakala berlangsung perkawinan antara Aja dan Indumati, para penonton berebut minuman dan mendekat. Begitu ramai yang bermabukan dan kegirangan. Bahkan ada yang bernafsu untuk menari (angigel) hingga tiga empat kali secara bergantian. Para istri pujangga pun turut menari (angigel) mengikuti mereka yang berbudi dangkal. Tanpa segan para istri pendeta Siwa turut menari (angigel) sambil tertawa kegilaan. Tak ketinggalan pada bangsawan turut menari (angigel) bergantian. Orang-orang yang berada di ruang pertemuan itu berkeliling mengikuti nyanyian (kidung). Para penyanyi (widu) berharap bisa menarik perhatian sebagaimana orang yang menyajikan cerita (acarita) dan menari (angigel) (Sedyawati, 1977:72, 78-79). Yang dimaksudkan dengan bergerak berkeliling mengikuti kidung itu adalah menari bersama dengan desain lantai melingkar. Sumanansantaka memberikan informasi bahwa tari bisa dipadukan dengan nyanyian (XXVIII.29) dan dialog (CXXX.3). Sejalan dengan itu, pustaka Wirataparwa (19.1) menyebut kegiatan menari (angigel) sambil bernyanyi (angindung) dan Parthayajna (VII1.9) memperumpakan kehidupan di dunia yang maya dengan pendeta yang menari (mangigel) sambil bercerita. Ada pula tarian yang tidak tergolong lemah gemulai, meski tidak pula terbilang gegap gempita atau terlampau kasar. Misalnya, gerak tubuh yang berupa tari atau menyerupai tarian sebagai ekspresi kegembiraan. Kakawin Arjunawijaya (LXII.9) mengkisahkan bahwa setelah Dasamuka mendapat kekalahan, para dewa di langit berteriak gembira, suara mereka menembus langit. Narada menari (mangigel) sambil berteriak girang (Supomo, 1977:157). Gerakan tari tersebut dapat dibandingkan dengan keterangan dalam kitab Brahmandapurana (12.12), yang menyebut tarian (ngigel) dari bhuta dan pisaca. Bagian lain dari susastra ini (79.29) menyatakan adanya kegiatan tari (angigel) yang dilakukan sambil manggut-manggut. Serupa itu adalah tari yang ditarikan (pinangigelakan) oleh para daitya, sebagaimana dikisahkan dalam kitab Adiparwa (195.8). Kata igel dan kombinasnya dengan kata lain dipergunakan pula untuk membicarakan tarian yang gegap gempitan, gaga[an], bahkan kasar, akrobatik atau kurang beraturan. Tari tipe gagahan yang dipadu dengan ketangkasan misalnya hadir dalam tari keprajuritan yang berupa tari perang. Perihal ini didapati informasinya dalam kakawin Nagarakretagama (LXVI.5), berupa tarian perang oleh para prajurit (bhata mapatra yudda), dengan tingkahnya yang menimbulkan gelak tawa (Pigeud, 1960, I:51). Tari perang juga diveriatakan dalam kitab Wirataparwa (77.28). Kakawin Sutasoma (CXL VII.14) menceritakan bahwa sebelum para raja pulang ke tempat kediaman masing-masing setelah dihidupkan lagi oleh dewa Indra, pada pukul enam sore di Hastina disajikan pertunjukkan. Diantaranya ada yang menarikan (maingel) tarian perang dengan memainkan tombaknya masing-masing (Santoso 1975:602). Tari perang juga disebut dalam kidung Wangbang Wideya (III. 95b), yang menyatakan bahwa Raden Singamata menari (manigel) dengan membawa perisai (dadap) dan tombak. Gerak tarinya indah dan terkendali. Wangbang Wideya turut menari. Gerak tarinya tangkas, mengagumkan penonton, utamanya ketika memainkan dadap (Robson, 1971:198). Salah satu bentuk tari perang adalah tari pencak, sebagaimana disebut dalam kidung Malat (XXXVII), yang dimainkan oleh orang Melayu ketika berkunjung ke Gegelang (Poerbatjaraka, 1968:316). Gerak tari yang kurang beraturan dijumpai informasinya di dalam kidung Sudamala (II.6-7), yang menyatakan bahwa atas perintah Kalika, semua hantu bergembira. Ada yang menari (hanigel), ada pula yang menyanyi. Empat puluh hantu pria dan wanita dengan mata melotot berjoged-menari (hajengklek ngigel) (Callenfels, 1925: 62). Tarian mereka adalah tari bersama dengan gerak tari boleh jadi kasar dan tidak beraturan, sebab penarinya adalah para hantu. Istilah jengklek sengaja dipergunakan untuk menunjukkan bahwa tarian mereka kurang beraturan. Hal serupa digambarkan di dalam kakawin Arjunawiwaha (XVI.7), yang menceritakan bahwa ketika Arjuna dan Suprabha tiba di Manimantaka, matahari telah terbenam. Kemudian terdengar gemuruh genderang (padahi). Segenap asura bermabukan, berjingkran-jingkrak, hilir mudik dari kubu satu ke kubu lain dengan suara riuh (Poerbatjaraka, 1926:216). Kemungkinan istilah wajah-wijah (berjingkrak-jingkrak) tersebut menggambarkan gerak tari yang kasar dan berlonjak-lonjak dengan iringan genderang. Gambaran tentang gerak tari yang kurang beraturan, bahkan cenderung akrobatik, dijumpai dalam kitab Calon Arang. Menurut I Made Bandem (1981/198267-68), kitab Calon Arang merupakan salah sebuah sumber gerak tari Bali yang penting selain lontar Panuti-thalanin Pagambuhan. Pada bagian II dari susastra ini menceritakan bahwa Calon Arang bersama dengan enam muridnya menuju ke makam (smasana) untuk menghadap bhattari Bhagawati (Durga). Sesampainya di areal makam, Calon Arang beserta pengikutnya menari (angigel). Bhattari Durga dan para pengiringnya menampakkan diri, lantas turut menari (anigel). Tengah malam mereka berpindah ke perempatan jalan untuk melanjutkan tari upacara dengan iringan kemanak dan kangsi.  Bagian III menceritakan bahwa setelah diserbu bala tentara kerajaan, Calon Arang marah. Ia menyebarkan wabah penyakit (tenung) hingga mencapai pusat kerajaan. Ketika waditra kemanak dan kangsi berbunyi, menarilah mereka. Pada mulanya seorang demi seorang (umigela sasiki sowing-sowang). Ketika tiba waktu, mereka meneruskan dengan menari (umigela) bersama. Setelah mohon diri dan bersembah  kepada Bhagawati, lalu menari (manginel) di perempatan jalan (Poerbatjaraka, 1926:118-120). Deskripsi gerak tari dari murid-murid Calon Arang itu adalah sebagai berikut: (1) Guyang menari dengan tangan terbuka, bertepuk tangan, duduk di tanah, berputar sembari memegangi kainnya, matanya melirik bersama-sama, dan menoleh ke kanan-kiri; (2) Larung menari bagaikan harimau yang hendak menerkam, bertelanjang bulat, matanya kemerah-merahan dan rambutnya terurai ke muka; (3) Gandi menari dengan meloncat-loncat, rambutnya digerai ke sebelah, matanya merah bagaikan bunga genitri; (4) Lende menari dengan beringkat-jingkat sambil memegangi kainnya, matanya berkilat kilat bagai api yang hampir menyala, rambutnya terurai; (5) Wokcirsa menari dengan posisi membungkuk-bungkuk, berulang  kali ia menoleh ke kanan-kiri, matanya menjeling tak berkedip, rambut terurai ke sebelah, dan bertelanjang tubuh; (6) Mahisawadana menari dengan berdiri pada sebelah kaki, berjungkir, tangannya bergerak seperti hendak mengaruk, lidahnya terjulur ke luar (Poerbatjaraka, 1926:119-20). Bagian VII kitab Calon Aran menyatakan bahwa Calon Arang marah pada Mpu Baradah yang tidak mau meruwatnya kecuali melalui kematiannya. Oleh sebab itu Calon Arang berniat menenungnya. Ia menari (umigel) dengan badan terjungkir, rambut terurai, matanya melirik, tangannya menunjuk-tunjuk kepada sang pendeta (Poerbatjaraka, 1926:126). Gerak tari Mahasiwadana dan Calon Arang memperlihatkan gerakan yang akrobatik. Kata "igel" juga digunakan dalam kaitannya dengan perumpaan sebagaimana dijumpai di dalam kitab Parthayajna (VII1.9), yang mengemukakan bahwa kehidupan di dunia adalah maya belaka, seperti pendeta yang menari (mangigel) sambil bercerita. Perilaku yang demikian itu mengandung kebinasaan bagi orang pandai (Adiwimarta, 1992:83). Kata jadian dari istilah igel dipergunakan pula untuk menyebut pentas tari, sebagimana dijumpai di dalam kitab Brahmandapurana (I), yang menyinggung tentang pentas seni pertunjukan di Bharatawarsa, yang disebut dengan pangigelan (pentas tari) (Gonda 1933a: 48-49; 1933b:1-2). Sementara itu, kidung Wanbang Wideya (III.89b-93b) mengkisahkan bahwa Raden Galuh menuju ke pentas tari (pangigelan) yang dialasi dengan hamparan kain manjeti. Pentas tari bisa juga berupa bangunan tertentu, seperti diinformasikan oleh kakawin Nagarakretagama (LXVI.4), yang menyatakan bahwa dalam rangkaian ritus sradha bagi Rajapadni, raja Hayam Wuruk menari (mangigel) di Bangsal Witana. Kitab Brahmandapurana (140.20) menyebut suatu tarian yang ditarikan (pinangigelakan) di pentas tari kerajaan. 1.2. Sebutan Nretta dan Variannya bagi TariIstilah lain yang menunjuk pada tarian adalah "nretta", suatu istilah dari bahasa Sanskreta. Istilah ini menunjuk kepada tarian figuratif, yang menggunakan perbendaharaan tari ke dalam susunan yang semata bertujuan untuk ciptakan keindahan bentuk dengan dukungan irama yang mengalir dalam pola-pola tertentu, yang keseluruhannya tidak dikaitkan dengan artian tertentu. Dengan demikian, tarian ini bersifat non-represional atau disebut juga dengan "tari murni" (Sedyawati. 1980/81: 29).  Kata "nretta" dan beberapa kata jadiannya banyak terdapat di dalam sumber data susastra. Kakawin Smaradahana (IV. 9-10) misalnya, menyatakan bahwa untuk menghibur hati Dewi Rati yang sedih dan khawatir terhadap keselamatan dirinya, Dewa Kama menggelar berbagai pertunjukan, di antaranya adalah tari (panretta) dengan iringan nyanyian (Poebatjaraka, 1931:9). Sementara itu, kakawin Kresnayana (XXXL12) menceritakan bahwa diantara para wanita yang menemani Rukmini di suatu taman pada malam menjelang (rencana) perkawinan Rukmini dengan raja Cedi, ada diantaranya yang mempersembahkan tarian (nretta) (Santoso, 1986:146). Kakawin Nagarakretakama (XCL 1) menyebut bahwa salah satu pertunjukan yang disajikan dalam acara perayaan besar pada tanggal 3 bulan Caitra adalah tari. Seorang penari perempuan (juru angin-angin) yang jenaka menari bersama dengan seorang lelaki tua. Mereka menari (manretta) sambil bernyanyi dan memilih pasangan. Tingkah lakunya mengundang gelak tawa, menggelikan para penonton. Itulah sebabnya mereka mendapat hadiah kain, bahkan diminta menghadap raja untuk diajak minum (Pigeaud, 1960, 1:70; (I:106). Tarian itu merupakan tari berpasangan yang dipadu dengan nyanyian dan bersifat jenaka, yang bisa disejajarkan dengan ronggeng-badut (Sedyawati 1984: 145). Dalam pustaka Navvanatya (Xb) dikemukakan bahwa rakyan demung mengemban tugas sebagai pembina tari (nreta) (Pigeaud, 1960, I:83). Istilah "nretta" atau kata jadiannya dijumpai pula di dalam kitab Wirataparwa (11. 18), yang menyatakan anjuran untuk mengajari istri raja dengan nyanyian (gita), tarian (nretta), dan alat musik (waditra) (Juynboll 1912: ll). Disamping itu, istilah tersebut dijumpai pada bagian lain dari susastra ini (Wir 32. 16, 94. 3). Kitab Brahmanodapurana menyebut mengenai tari dan nyanyian (nretta-gitaprakara). Kata "nretta" juga disebut dalam kakawin Abhimanyuwiwaha (TV.19). Kitab Wrettasancaya (26) menyebut "nrelta" dalam kaitannya dengan lukisan gerak yang indah dari burung merak (mrak, mayura). Sementara itu, kakawin Abhimanyuwiwaha (LIL24)  menyebut waditra rawana (salah satu jenis wlna) yang dipakai untuk mengiringi tari (nretta). Dapat pula ditambahkan mengenai pentas tari, yang juga disebut dengan unsur nama nretta, yaitu nrettasala, sebagaimana terdapat dalam kakawin Subhadra¬wiwaha (XXVIILS), kitab Wirataparwa (35.22, 54.1) dan kakawin Abhimanyuwiwaha (XX.4, XIX.11), Varian dari nretta adalah nartaki atau nartaka, yang menunjuk kepada penari. Dalam kitab Adiparwa (XVO disebut istilah "nartaki", yang menunjuk kepada penari wanita. Disamping itu terdapat istilah 'nartaka', seperti dijumpai dalam susatra Bhismapanva (VI). Dikisahkan bahwa bhagawan Bhisma terluka oleh sejumlah mata panah yang menembus tubuhnya. la menolak upaya perawatan oleh para tabib. Alih-alih, kepadanya dipersembahkan tari, yang ditarikan oleh penari wanita (natanartakiprakura) (Gonda, 1938:140). Dalam kitab Kunjarakarna (XXXIII.2, 6) diceritakan bahwa ketika diselenggarakan upacara dewapujja di Bodhicitta, para apsara dan dewa/dewi di langit memamerkan kepiawi¬annya dalam menari (nretta), dengan gerak tari yang lemah gemulai. Acara ini ditutup dengan sajian tari (nretta) (Teeuw, 1981:146). Bagi dayang-dayang yang melayani seorang putri, kepiawian dan pengalaman dalam beraneka cabang seni termasuk seni tari - sangatlah dihargai. Mereka diberi tanda penghargaan sesuai dengan tingkat kemajuannya (Zoetmulder 1985:188). Dalam kaitan itu, kitab Sumanasantaka (XLL2) menyatakan bahwa bagi dayang-dayang yang sempurna dalam tehnik persajakan dan piawi menari (nataka), kepadanya Sang Putri menghadiahkan 20 cincin (karah). Bila melebihi kesemuanya, ia mendapat sehelai kain yang penuh dengan sisik-sisik emas dan mutiara serta menjadi pemimpin bagi semua abdi lainnya (Sedyawati 1977:73). 1.3. Sebutan-sebuatan Lain bagi TariSelain kata igel dan nretta, terdapat sejumlah istlah lain yang juga berkeaan dengan tari. Misalnya, kidung Sunda (1.42a) menceritakan tentang keberangkatan sang prabu Sunda, para istri dan putrinya, para pejabat serta ribuan pasukan menuju ke Majapahit. Mereka dilengkapi dengan persenjataan, kendaraan perang, kuda, gajah, bendera maupun berbagai bunyi-bunyian (satatabuhan). Mereka dalam formasi berbaris (ababarisran)116. Pada bagian lain (KS 111.49) diceritakan mengenai upacara kremasi bagi mayat raja Hayam Wuruk dyang diselenggarakan tujuh hari berturut-turut. Ketika itu digelar berbagai tontonan yang menarik, seperti men-men, tarian (igel) yang bagus, dan tujuh macam tarian baris (babarisan pitung baju 117), dan tari baris pincang (deklan, derklan). Para penari wanita (rongeng) mempersembahkan tari, dengan gerak tari yang mempesona. Digelar pula pertunjukan wayang (pawayan) dan tari topeng (patapelan) yang bagus (Berg, 1927: 17, 52). Pada kitab Siwasana (31a.2) disebut suatu istilah tari untuk salah golongan yang masuk dalam kategori wulu-wulu (Zoetmuder, 1982:?.32G). Dalam kitab Tantupagelaran (80.20) terdapat kalimat "ambhandagina anggoda", yakni sebutan untuk anak laki-laki Bhattari Huma (Pigeaud 1942:80). Boleh jadi konteks penyebutan kata anggoda ini menunjuk pada seni pertunjukan, sebab dalam kitab Siwasasana disebutkan bahwa dalam satu kelompok kerja seni pertunjukan (wulu-wulu) terdapat jata sebut awayang, men-men, ijo-ijo, amidu, abacangah, dan araketan. Menurut Sedyawati (1985: 342), diantara beragam tari itu terdapat tarian yang dimainkan oleh penari ronggeng. Penari ini berjenis kelamin wanira atau bisa juga pria yang berlaku seperti wanita, dengan gerak tarinya yang mengundang godaan, sehingga konon dinamai anggoda. Istilah lainnya yang berkenaan dengan tari adalah "tandak", yang berarti tarian disertai dengan nyanyian (Zoetmulder, 1982: 1929). Kitab Brahamandapurana (170.21) menggunakan istilah ini untuk menggambarkan perilaku Hyang Aditya. Sementara itu, kakawin Kresnayana (XXXL 10) menceritakan bahwa diantara para wanita yang menemani Rukmini di suatu taman ada yang menari (atandak) disertai dengan nyanyian merdu (Santoso, 1986:146). Dalam kakawin Bhomakawya (N.27) diceritakan bahwa tatkala Samba dan pasukannya menginap di pertapaan yang sunyi, pada malam harinya mereka dijamu dengan berbagai hiburan, di antaranya ada yang menari sambil menyanyi (atandak) (Teeuw, 1946:61). Kidumg Malat (VIL47a) menyebutkan aktifitas menari sambil menyanyi dengan iringan kendang cina. Pada bagian lain (Mal IX.195b) dinyatakan bahwa terdengarlah bebeledogan suara kendang cina, yang ditimpali bunyi reyong. Diluar ada orang yang bernyanyi (angidung) sambil menari (atandak) (Zoetmulder, 1985:1929). Kidung Sri Tanjung (V.68) mengemukakan suatu perumpamaan bahwa terdengar bunyi-bunyian (tatahuhane) yang merdu seperti wayang yang ditarikan (den tandak) (Prijono, 1938: 30). Kitab Wrehaspatitlawa (4.15) menyatakan adanya aktifatas menari sambil menyanyi, dengan desain lantai melingkar, dimana palaku seni dalam keadaan trance (pati-tandak-tandaki). Terdapat juga kata jadian "wanayub" yang juga menunjuk kepada tarian. Kata ini dijumpai dalam kakawin Bharatayuddha (XIIL30), yang menyatakan bahwa pada tanggal 8 paro terang keluarga Pandawa bergembira, lantaran Arjuna telah berhasil membunuh raja Bhagadatta dan menimbulkan kesulitan bagi prajurit Hastina. Untuk itulah mereka menari-nari (wanayub) dan berkata-kata riuh (Wirjosuparto, 1968: 88). Menurut Poerbatjaraka (dalam Suharto,1980:37) istilah "wanayub" ini berasal dari kata "sayub", yang artinya minuman keras. Memang, dalam beberapa sumber susastra acap diberitakan aktifitas menari yang dilakukan sambil atau didahului dengan minum minuman keras (sayub, twak) (AW XV1.7; Sum XXV11.29, CXXIX.3, CXXX.I-3, Ww I11.95a-b). Ada kemungkinan yang dimaksudkan dengan "berkata-kata riuh" itu (BY XIIL30) adalah ocehan dari orang-orang yang menari dalam keadaan mabuk. Dalam susastra kidung disebutkan sejumlah nama tarian, meski tidak seluruhnya bisa dijelaskan bentuknya. Kidung Malat (LXXIX) misalnya, menyatakan bahwa pada suatu bangunan di areal keraton Gegelang, Bayan dan Sangit menabuh gamelan. Raja Gegelang juga hendak memainkan gamelan. Orang-orang diminta untuk menari tu¬tungeyan. Bagian lain susastra ini (LXXXVIII) menceritakan bahwa di alun-alun disajikan berbagai macam pertunjukan, antara lain tari wireng (tari prajurit muda). Bagian lain lagi (LXXXXIX) menceritakan bahwa Gunungsari menjumpai Nrangkesari, yang kala itu tengah memainkan salukat. Mereka memperbincangkan para penabuh gamelan, penari dsb. Di samping itu (Mal XCIX) disebut bahwa dalam perjalanan pulang menuju ke Kediri, raja singgah ke Penataran, lanas menuju ke Segara Kidul. Di pantai didirikan panggung-panggung, tempat para putri menari. Ketika hari mulai malam, sang putri tampil di panggung untuk menari. Para penonton kagum menyaksikan tariannya (Poerbatjaraka, 1968: 347, 355, 365). Kitab Panji Angraeni (XLVIII) menceritakan bahwa setelah berjumpa kembali dengan keluarganya diadakanlah pesta besar. Para putri menari sebagai bedaya (Pocrbatjaraka, 1968: 241). Sebutan "bedaya" mengingatkan kepada tari bedaya, suatu tarian sakral yang masih ditarikan di keraton Yogyakarta, Surakarta, Mangkunegaran dan di Pakualaman, yang berupa tarian putri halus oleh sembilan atau tujuh wanita (Sastrakartika, 1979:20). Ada juga sebutan tarimba, yang menurut Zoaetmulder (1982: 1954) menunjuk tarian tertentu. Selain itu, dintara petugas penarik pajak (mangilala drwahaji) terdapat jabatan panginangin, yang mengurusi penari handal dan trampil. 
  1. Informasi Tari Jawa Kuna dalam Sumber Data Prasasti
Informasi mengenai tari Jawa Kuna kurun waktu abad X-XVI Masehi pada sumber data prasasti tidak sebanyak yang didapatkan dalam sumber data suastra. Perihal tari antara lain dijumpai dalam kaitan dengan acara kesenian setelah upacara resmi manusuk sima usai serta pemberian anugerah tambahan istimewa (waranugraha) terhadap pemimpin daerah sima (perdikan). Data perihal tari yang berhubungan dengan anugerah tambahan istimewa ini diperoleh dalam prasasti Waharu IV (IIIa.3), Kambangputih (B.18-9), Garaman (Iva.1-2) dan Biluluk IV (V.b.1), berupa kewenangan (hak) untuk memainkan tari (hangigel, angigla, angigela). Sajian tari pasca ritus manusuk sima juga disebut dalam prasasti Linggasuntan (C.34-7), yang menyatakan bahwa setelah para patih dan pemimpin sima berdandan, memakai bedak dan kembang wangi, mereka menghaturkan sembah kepada Sri Maharaja (pu Sindok). Berikutnya mereka menari (mangingel) dengan iringan tawund, brekuk dan ganding. Serupa itu, Prasasti Paradah II (B.46) mengemukakan bahwa Sri Maharaja (pu Sindok) menari (mangigell) dengan iringan tuwung, bungkuk, ganding, dan rawanhasta. Pada prasasti Kampak (C.1) dijumpai kata ingiglakan, yang sama arti dengan ingigelaken, artinya memainkan tarian. Selain kata igel yang digunakan untuk menyebut tarian, sumber data prasasti juga menyebut kata lainnya yang juga berkenaan degan tari. Prasasti Cane (B.4-5), Patakan (8.5-6) clan Balawi (VIIb. 6) menyebut adanya pro¬fesi kicaka, yaitu seorang penari dalam tari berlakon Bhimakumara. Ia masuk dalam kelompok wargga kilalan (warga asing) yang tinggal di Jawa kala itu. Selain itu, di dalam prasasti Turun Hyang A (A.28-29), Patakan (B.1,5-6) dan Balawi (VILB.6) disebut adanya profesi tarimba, yang juga termasuk dalam kelompok wargga kilalan. Sementara itu, prasasti Kamban (Ia.5) menyatakan bahwa tarimba metipakan suatu bidang usaha, dalam arti pemainnya memperoleh imbalan senia atas tarian yang disajikannya. Sebutan nreta nagi tari juga didapati dalam sumber data prasasti. Misalnya prasasti Canggu (Ia.6) mengilustrasikan raja Hayam Wuruk bagai cerana bagi pengetahuan tari (nretta), yang bebarti maharaja Majapahit ini memliki pengetahuan yang laus dan piawi dalam menari. Selain itu terdapat pula sebutan "tandak", sebagaimana disebut dalam prasasti Prasasti Dinoyo B (B.11), terkait berita mengenai seorang penari (sang tandak) bernama sand Atambar yang memperoleh pasek-pasek berupa wdihan l helai. Ada juga informasi mengena jabatan paninganin, yang bertugas mengurusi penari handal dan trampil disebut. Sebutan ini didapati dalam sejumlah prasasti, antara lain di dalam prasasti Gulung-gulung (A.20); Linggasutan (A. 14), Anjukladang (A.20); Hring (B.I7); Kanuruhan A(III.b), Muncang (A.21), Gandakuti (IIIa), Panumbangan (B.6), Talan (A), Kamulan (B.6), Kudadu (Xa.), Adan-adan (Xb.l ), dan prasasti Balawi (VIIa.3). 
  1. Representasi Khasanah Tari Jawa Kuna
 Paparan diatas, yang hanya menggunakan sumber data tekstual dan terbatas pada tarian yang tak mengandung cerita (nan-sendratari), telah cukup memberi gambaran bahwa tarian Jawa di Masa Hindu-Buddha (kurun waktu abad X-XVI Masehi) terbilang kaya, beragam dan adiluhung. Tentu kekayaannya akan lebih tergambar apabila sumber data artefaktual turut dieksplorasi dan telaah diperluas hingga pada tarian yang mengandung cerita. Ragam sebutan yang berkenaan dengan tari terpapar diatas memberi kita cukup alasam untuk menyatakan bahwa bidang kesenian, khususnya seni tari, telah berkembang luas dan mengakar di masyarakat, baik di lingkungan keraton maupun di luar keraton. Para penarinya bukan saja warga pribumi, namun terdapat pula yang berlatar warga asing (wargga kilalan). Kala itu terdapat seni tari tertentu, seperti tarian kicaka dan tarimba, yang merupakan kesenian profesional, dalam arti penyajinya memperoleh imbalan jasa. Kesenian lainnya yang bisa jadi juga disajikan untuk memperoleh ibalan ajasa adalah apa yang masuk ke dalam kelompok wulu-wulu (kelompok pekerja seni pertujukan). Menutut kitab Siwasasana kelompok kerja seni pertunjukan (wulu-wulu) tersebut meiputi awayang, men-men, ijo-ijo, amidu, abacangah, araketan, serta dapat pula ditambahkan dengan anggoda. Lantaran pelaku tari mempeoleh ibalan jasa, maka mereka dikenai puntutan panajak. Pajak bagi jasa tari ini dipungut oleh petugas panginangin, yang sekaligus mengemban tugas menbina dan mengembang seni tari agar hadir para seniman tari yang handal dan terampil. Demikianlah tulisan ringkas dan bersahaji ini, semoga membuahkan kemanfaatan. Paling tidak, memberi tambahan pengetahuan mengenai seni tari Jawa pada masa lampau. Nuwun. Sangkaliang, PATEMBAYAN CITRALEKHA, 30 April 2022.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA