Orang yang memiliki banyak ilmu maka akan semakin

Ilustrasi 3 Ciri Orang Mempunyai Ilmu Tinggi /Pixabay/Tumisu/

PORTAL SULUT — Orang yang memiliki atau mempunyai ilmu tinggi, dapat dilihat pada ke 3 ciri-ciri seperti yang akan dibahas dalam artikel ini.

Ke 3 ciri-ciri yang akan dipaparkan dalam artikel ini memang hanya dapat dilihat pada seseorang yang telah atau sudah memiliki ilmu yang cukup tinggi.

Ada perbedaan memang pada ciri-ciri orang yang memiliki ilmu sekedar, atau bahkan tinggi.

Baca Juga: AJAIB! Hanya 1 Bunga Ini Bisa Mengundang Khodam Baik Menurut Primbon Jawa, Sudah Punya?

Namun yang pasti dalam artikel ini hanya akan membahas orang yang berilmu tinggi.

>

Ketika kita berbicara tentang ilmu, tidak ada istilah kalah atau menang.

Tidak ada istilah orang yang sangat pintar, atau sangat cerdas. Karena sekalipun dikatakan pintar, pasti akan ada lagi yang lebih pintar.

Sama halnya dengan orang yang berilmu tinggi, pasti ada yang lebih tinggi lagi.

Namun yang utama dari semua ini adalah adab, tekad, dan rendah hati yang menentukan seseorang itu berilmu tinggi atau tidak.

ilustrasi seseorang yang memiliki ilmu tinggi/tangkapan layar /Naura Komputer

JURNAL SOREANG – Di Indonesia, kita kenal ada sebuah kitab tentang ramalan yang dinamakan primbon Jawa.

Dalam primbon Jawa, disebutkan setidaknya ada tiga ciri seseorang memiliki keilmuan yang tinggi.

Akan tetapi, apabila berbicara mengenai ilmu, tidak akan istilah kalah menang karena selalu ada orang yang memiliki keunggulan dari yang lainnya.

Baca Juga: Kenali! Ini 5 Ciri-ciri Seseorang Didampingi Khodam Para Raja

Di samping itu, perlu diingat bahwa yang penting dari seseorang berilmu adalah tekad dan kerendahatian yang dimilikinya.

>

Berikut tiga ciri seseorang memiliki ilmu tinggi seperti dilansir Jurnal Soreang dari kanal Youtube Naura Komputer.

1. Tidak memiliki sifat sombong

Baca Juga: Keren! Ingin Dapat Diamond, Segera Klaim KODE REDEEM FF Terupdate Edisi Jumat 1 Oktober 2021

Ciri yang pertama, seseorang yang memiliki ilmu tinggi adalah tidak bersifat sombong sedikit pun.

Menuntut ilmu adalah sebuah kewajiban, dan itu juga berlaku untuk amil zakat.

Kamis , 25 Jul 2019, 11:01 WIB

Dokumentasi Pribadi

Nana Sudiana, Sekjend FOZ & Direksi IZI

Red: Karta Raharja Ucu

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Nana Sudiana, Sekjend FOZ & Direksi IZI

"Tidak apa-apa kalau ilmu agamamu masih pas-pasan, itu malah membuatmu menjadi rendah hati. Banyak orang yang sudah merasa tahu ilmu agama, malah menjadikannya tinggi hati." (Emha Ainun Najib).

Amil idealnya adalah orang yang berilmu tinggi dan amalnya banyak. Namun, bila ini yang dijadikan parameter saat mencari sosok amil, dipastikan kita akan kecewa. Faktanya amil-amil yang ada saat ini, relatif muda usianya dan secara umum, ilmu dan kemampuannya belum bisa disebut matang. Apalagi dari sisi keteladanan amalnya.

Bagi amil, sebagaimana seorang muslim pada umumnya, menuntut ilmu adalah sebuah kewajiban. Ini berlaku bagi amil laki-laki ataupun perempuan.

Dalam sejumlah uraian ulama, sering dikatakan bahwa menuntut ilmu juga suatu ibadah wajib yang tidak ada sunnahnya seperti ibadah yang lainnya. Menjadi amil yang pintar, jelas diharapkan semua lembaga zakat. Pastilah terbayang oleh mereka jika semua amilnya pintar-pintar pasti akan mudah mencari solusi atas masalah yang bermunculan, baik di internal maupun eksternal organisasi. Bila kita bicara ilmu, sebagaimana disampaikan Khalifah Umar Bin Khattab, ternyata ada 3 tahapan ketika seseorang menuntut ilmu. Kata Beliau: "Ilmu itu ada tiga tahapan. Jika seseorang memasuki tahapan pertama, ia akan sombong. Jika ia memasuki tahapan kedua ia akan tawadhu’. Dan jika ia memasuki tahapan ketiga, ia akan merasa dirinya tidak ada apa-apanya”.Hal ini rupanya berlaku juga bagi para amil di dunia zakat. Mereka yang baru bergabung menjadi amil dan belum lama belajar apa saja ilmu terkait perzakatan, bisa jadi terjangkit tahapan belajar seperti yang Khalifah Umar katakan tadi. Mereka masih merasa hebat dan bahkan sombong.

Hal ini kadang dipicu tumbuhnya perasaan diri lebih dari yang lain dan tahu banyak semua hal yang belum lama diajarkan. Saat yang sama, muncul pula godaan untuk menganggap semua ketinggalan ilmunya, kuno dan tak tahu perkembangan terkini.

Sombong yang mewujud ini barangkali pada awalnya tak terasa benihnya. Ia tumbuh perlahan dan membakar kesadaran bahwa semua orang pada dasarnya tak boleh direndahkan, apalagi diremehkan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan hakikat kesombongan dalam hadits beliau Shallallahu ‘alaihi wa salllam:“Kesombongan adalah menolak kebenaran dan merendahkan manusia” (HR. Muslim).Selanjutnya, setelah seseorang memasuki tahap kesombongan, ia akan masuk ke tahap tawadhu'. Tahap ini merupakan tahapan kedua dalam menuntut Ilmu. Setelah kesombongan demi kesombongan yang ia tampakan, bisa jadi akhirnya ia terkena dampaknya sendiri. Ibarat peribahasa, "menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri".

Peribahasa ini bermakna bahwa bila kita berbuat sesuatu yang jahat atau sombong, perkara itu akan terkena kembali kepada kita sendiri. Apa pun yang dilakukan untuk menutupi diri agar tampak tinggi dan mulia dari orang lain akhirnya justru bisa berakhir dengan sesuatu perbuatan yang memalukan nama baik sendiri. 

Ketawadhu'an ini tumbuh berkebalikan dengan sifat sombong. Bila sombong menjadi dominan dalam hati seseorang, maka rasa tawadhu' mengecil proporsinya. Sebaliknya, bila rasa tawadhu ini semakin besar, maka sikap sombong perlahan menyusut.

Semakin seseorang banyak belajar, maka semakin ia memiliki kesadaran bahwa ternyata masih banyak hal yang belum ia ketahui. Dan karena dorongan inilah akhirnya membuat seseorang jadi lebih tawadhu’.

Seperti padi, semakin banyak memiliki ilmu, semakin merunduk. Begitu banyak ilmu yang diserap, maka berguguranlah rasa sombong yang ada di hati, bahkan dia lebih merendahkan hatinya terhadap orang lain.Tahap ketiga, ketika seseorang menuntut ilmu ternyata semakin merasa tidak ada apa-apanya. Ia semakin merasa kecil. Hal ini terjadi karena di tahap ini dia merasa ilmu itu seperti lautan yang begitu luas. Ketika dia mendapat satu ilmu, maka di dalam dirinya akan merasa kurang, dia haus akan ilmu, dan bahkan mengabdikan seluruh hidupnya untuk terus belajar dan belajar meraih ilmu sebanyak-banyaknya.

Foto: dokumen pribadi

Allah SWT telah menciptakan manusia ke dalam bentuk yang paling bagus. Baik bentuk fisik yang terlihat dari luar, maupun organ-organ yang ada di dalam tubuhnya termasuk juga fungsinya. Secara fisik lahir, kita bisa melihat bagaimana Allah menetapkan Panjang dan jarang setiap organ. Tangan, misalnya, jarak antara ujung tangan sampai siku dengan siku sampai pundak tidak sama. Ketidaksamaan ini menjadikan tangan terlihat indah serta fungsional. Kemudian ukuran panjang kaki mulai dari ujung kaki sampai pangkal paha dengan ukuran badan mulai dari pangkal paha sampai leher. Posisi mulu, hidung, mata,  dan telinga, panjang setiap ruas jari, panjang masing-masing jari dan sebagainya menunjukan jarak dan komposisi yang indah dan fungsional. Dan semuanya Nampak begitu seimbang. Inilah yang disebut oleh ilmuwan dengan sebagai Golden Ratio (rasio emas). Ini adalah sedikit gambaran kesempurnaan fisik manusia sebagaimana tersurat dalam surat at-Tin.

Mengenai fungsinya, tangan manusia dapat digunakan untuk meraih apa saja yang diinginkan. Hal ini berbeda dengan hewan, menggunakan mulut untuk meraih sesuatu yang diinginkan. Demikian pula fungsi organ luar yang lain yang dapat digunakan sesuai kehendak manusia.

Kesempurnaan organ dalam, misalnya otak, dengan otak manusia dapat berpikir, menerima dan menggali pengetahuan, membedakan yang mana yang baik untuk kehidupannya dan mana yang buruk akibatnya, memikirkan solusi permasalahan hidup yang dihadapi dan sebagainya (Harori, 2001:juz 32, 129).  Di otak inilah, segala ilmu pengetahuan yang dipelajarinya bersemayam. Dan dengan ilmu pengetahuan ini pula, manusia memiliki keutamaan di bandingkan dengan makhluk yang lainnya.

Ketika Allah Swt menciptakan Adam ‘alaihissalam, Allah mengajarkan ilmu pengetahuan tentang al-asma’ (nama-nama) seluruh ciptaan-Nya, dengan berbagai jenisnya, dan berbagai macam bahasa yang berbeda-beda sebagai bekal bagi Adam untuk mengelola bumi. Hal ini mencerminkan, betapa pentingnya ilmu pengetahuan bagi manusia. Maka, seseorang yang memiliki ilmu pengetahuan yang menghadirkan kemaslahatan bagi umat manusia, Allah Swt akan mengangkat derajatnya. Sebagaimana firman Allah dalam al-Qur’an surat al-Mujadilah ayat 11:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا قِيْلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوْا فِى الْمَجٰلِسِ فَافْسَحُوْا يَفْسَحِ اللّٰهُ لَكُمْۚ وَاِذَا قِيْلَ انْشُزُوْا فَانْشُزُوْا يَرْفَعِ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مِنْكُمْۙ وَالَّذِيْنَ اُوْتُوا الْعِلْمَ دَرَجٰتٍۗ وَاللّٰهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ

Hai orang-orang beriman apabila dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Mujadilah : 11)

Allah Swt. juga memuji orang-orang yang memiliki ilmu pengetahuan, sebagaimana tersurat dalam surat  Ali Imran ayat 18, yang artinya:

شَهِدَ اللّٰهُ اَنَّهٗ لَآ اِلٰهَ اِلَّا هُوَۙ وَالْمَلٰۤىِٕكَةُ وَاُولُوا الْعِلْمِ قَاۤىِٕمًاۢ بِالْقِسْطِۗ لَآ اِلٰهَ اِلَّا هُوَ الْعَزِيْزُ الْحَكِيْمُ

“Allah menyatakan bahwa tidak ada tuhan selain Dia; (demikian pula) para Malaikat dan orang-orang yang berilmu yang menegakkan keadilan, tidak ada tuhan selain Dia, yang Maha Perkasa, Maha Bijaksana”.

Di dalam surat az-Zumar ayat 9 Allah berfirman:

قُلْ هَلْ يَسْتَوِى الَّذِيْنَ يَعْلَمُوْنَ وَالَّذِيْنَ لَا يَعْلَمُوْنَ ۗ اِنَّمَا يَتَذَكَّرُ اُولُوا الْاَلْبَابِ

“Katakanlah, “Apakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sebenarnya hanya orang yang berakal sehat yang dapat menerima pelajaran.

Selanjutnya dalam surat Fathir ayat 28, yang artinya:

اِنَّمَا يَخْشَى اللّٰهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمٰۤؤا

“Hanya saja yang takut kepada Allah dari sekian hamba-Nya adalah ulama,”

Rasulullah Muhammad shollallahu ‘alaihi wa sallam, juga memuji orang yang berilmu, sebagaimana tersebut dalam beberapa haditsnya, seperti yang terdapat dapat kitab Adab ad-Dunya wa ad-Din bab Adab al-‘Ilm, sebagai berikut:

روي عن النبي صلّى الله عليه وسلّم أنّه قال: أوحى الله إلى إبراهيم عليه السّلام: إنّي عليم أحبّ كلّ عليم

“diriwayatkan dari Nabi Saw. beliau bersabda: Allah Swt memberi wahyu kepada Ibrahim as.: sesunggunya Aku (Allah Maha) mengetahui, Aku (Allah) mencintai orang-orang yang berilmu”

روى أبو أمامة قال: سُئِل رسول الله صلّى الله عليه وسلّم عن رجلين: أحدهما عالم والاخر عابد, فقال صلّى الله عليه وسلّم: فضل العالم على العباد كفضلى على أدنا كم رجلا

“Diriwayatkan dari Abu Umamah, berkata: Rasulullah Saw. ditanya tentang 2 orang, yang satu orang alim dan yang satunya ahli ibadah. Rasulullah Saw. bersabda: keutamaan orang alim terhadap ahli ibadah seperti keutamaanku terhadap orang yang paling rendah di antara kalian (sahabat)”

Di dalam kitab Tanqih al-Qoul al-Hatsits bi Syarh Lubab al-hadits karya Imam Nawawi halaman 8,  terdapat hadis tentang keutamaan orang yang berilmu, yaitu:

وقال صلى الله عليه وسلم فَقِيْهٌ وَاحِدٌ مُتَوَارِعٌ أَشَدُّ عَلَى الشَّيْطَانِ مِنْ أَلْفِ عَابِدٍ مُجْتَهِدٍ جَاهِلٍ وَارِعٍ

Nabi Saw. Bersabda: Seorang faqih (alim dalam ilmu agama), wira’i (menjaga diri dari hal-hal yang diharamkan) adalah lebih berat (sulit) bagi syaitan disbanding seribu ahli ibadah yang bersungguh-sungguh, (tapi) bodoh, (meskipun) wira’i.

وقال صلى الله عليه وسلم فَضْلُ العَالِمِ عَلىَ العَابِدِ كَفَضْلِ القَمَرِ لَيْلَةَ البَدْرِ عَلىَ سَائِرِ الكَوَاكِبِ

Nabi saw. bersabda, “Keutamaan orang yang berilmu (yang mengamalkan ilmunya) atas orang yang ahli ibadah adalah seperti utamanya bulan di malam purnama atas semua bintang-bintang lainnya.”

وقال النبي صلى الله عليه وسلم نَوْمُ العَالِمِ أَفْضَلُ مِنْ عِبَادَةِ الجَاهِلِ

Nabi saw. bersabda, “Tidurnya seorang yang berilmu (yakni orang alim yang memelihara adab ilmu) lebih utama dari pada ibadahnya orang yang bodoh (yang tidak memperhatikan adabnya beribadah).”

Beberapa perkataan para sahabat mengenai keutamaan orang yang berilmu, sebagaimana dinukil oleh KH. Hasyim Asy’ari dalam kitabnya Adab Ta’lim wa al-Muta’allim halaman 20, sebagai berikut:

Mu’adz bin Jabal ra. Berkata:

تَعَلَّمُوْا الْعِلْمَ فَإِنَّ تَعَلُّمَهُ حَسَنَةٌ  وَطَلَبَهُ عِبَادَةٌ وَمُذَاكَرَتَهُ تَسْبِيْحٌ وَالْبَحْثُ عَنْهُ جِهَادٌ وَبَذْلُهُ قُرْبَةٌ وَتَعْلِيْمَهُ لِمَنْ لَا يَعْلَمُهُ صَدَقَةٌ

“Belajarlah ilmu, sesungguhnya mempelajari ilmu adalah suatu kebaikan, mencari ilmu adalah ibadah, mengingatnya adalah tasbih, membahas suatu ilmu adalah jihad, bersungguh-sungguh terhadao ilmu adalah pengorbanan, mengajarkan ilmu kepada orang yang tidak memiliki pengatahuan adalah sedekah”

Sufyan bin ‘Uyainah ra. Berkata:

أَرْفَعُ النَّاسِ عِنْدَ اللّه مَنْزِلَةً مَنْ كَانَ بَيْنَ اللّهِ وَبَيْنَ عِبَادِهِ وَهُمْ الأَنْبِيِاءُ والْعُلَمَاءُ

“Kedudukan tertinggi manusia di sisi Allah adalah para Nabi dan ‘Ulama (orang yang berilmu”

Sebagaimana penjelasan di atas, dapat diketahui betapa luhur kedudukan orang yang berilmu. Maka tidak heran, para ulama terdahulu menghabiskan sebagian besar waktunya demi melestarikan ilmu, terutama ilmu syari’at Islam.  Bahkan, di antara mereka ada yang rela tidak berkeluargan demi mengabdikan diri sepenuhnya untuk ilmu. Misalnya, Ibnu Jarir at-Thobari seorang mufasir (ahli tafsir) dan sejarahwan, Zamakhsyari seorang mufasir dan teolog, Imam Yahya bin Syarof ad-Din an-Nawawi seorang ahli hadits (muhaddits), Ibnu Taimiyah dan sebagainya. Mereka mendedikasikan dan mengabdikan diri untuk melestarikan ilmu. Sehingga sejarah mencatatkan sebagai orang-orang  alim yang mempengaruhi dunia Islam.

Referensi

Al-Qur’an al-Karim
Asy’ari, Hasyim. (1994). Adab at-Ta’lim wa al-Muta’allim. Jombang: Maktabah Turost al Islamy.
Al-Mawardi, Abu al-Hasan Ali. (1971). Adab ad-Duna wa ad-Din. Lebanon: DKI.
Harori, Muhammad al-Amin. (2001). Tafsir Hadaiq ar-Rouh wa ar-Roihan, Makkah: Dar Thouq an-Najah.
An-Nawawi. (1935). Tanqih al-Qoul al-hatsits bi Syarh Lubbabul Hadis, Mesir: Musthofa Muhammad.

Sumber :

Penulis : Achmad Subkhan, SHI., MSI.

Editor : N. Latif

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA