Menurut Anda hal-hal apa yang perlu dilakukan untuk perbaikan program guru belajar kedepan

Lihat Foto

DOK. TANOTO FOUNDATION

Keputusan pemerintah yang membuka kembali sekolah pada tahun 2021, menjadi sebuah tantangan bagi pengelola sekolah. Sekolah harus mempersiapkan pembelajaran tatap muka yang aman dan bermakna.

Oleh: Ridwan Alatas | Kepala SD Muhammadiyah Sungai Apit, Riau

KOMPAS.com - Keputusan pemerintah untuk membuka kembali sekolah tatap muka pada tahun 2021, menjadi sebuah tantangan bagi pengelola sekolah, terutama dalam menyiapkan pembelajaran tatap muka yang aman dan bermakna.

Hal itu tentu tidak mudah karena di masa pandemi, pembelajaran tatap muka harus menjamin keamanan siswa dan guru.

Kondisi inilah menjadi salah satu tantangan bagi kepala sekolah untuk mencari solusi terbaik. Berikut beberapa kiat yang perlu dipersiapkan sekolah:

1. Lakukan koordinasi

Kewenangan untuk membuka sekolah sekarang ada pada Pemerintah Daerah. Maka sekolah perlu berkoordinasi dengan Dinas Pendidikan atau untuk madrasah melalui Kemenag agar bisa mendapatkan izin pembelajaran tatap muka.

Sekolah juga perlu mendiskusikan rencana pembukaan sekolah ini dengan komite sekolah sebagai perwakilan orangtua di sekolah. Hal ini dilakukan sebagai upaya mendapatkan dukungan dalam pembukaan sekolah.

Baca juga: Syarat, Fokus, Porsi, dan Ketentuan Belajar Tatap Muka Tahun 2021

2. Jangan lupa: sosialisasi

Sosialisasi ini dilakukan untuk dua tujuan. Pertama, untuk mendengar pendapat orangtua mengenai rencana dibukanya pembelajaran tatap muka di masa pandemi.

Kedua, memastikan orangtua mempersiapkan anaknya untuk mematuhi protokol kesehatan saat kembali belajar di sekolah.

Bila ada orangtua keberatan anaknya belajar tatap muka di masa pandemi ini, maka sekolah perlu bersiap diri mempersiapkan melayani pembelajaran untuk anaknya. Pilihan pembelajaran daring atau luring tetap bisa dilaksanakan.

3. Siapkan sarana dan protokol kesehatan

Kesiapan fisik sekolah seperti sarana sanitasi dan kebersihan, kesiapan menerapkan masker dan memiliki thermogun, fasilitas pelayanan kesehatan, sampai kepada peraturan pembelajaran di sekolah yang terintegrasi dengan kesepakatan dengan orangtua.

KEMENTERIAN Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) telah menerapkan Merdeka Belajar sebagai program kebijakan baru yang dicanangkan Mendikbud Nadiem Anwar Makarim.

Dalam mengimplementasikan program tersebut, Mendikbud menegaskan para guru harus memiliki esensi kemerdekaan berpikir sebelum mengajar para siswa.

Dalam program Merdeka Belajar, nuansa pembelajaran akan dibuat nyaman yang mengajak para murid dapat berdiskusi lebih dengan para guru, belajar dengan outing class, dan tidak hanya mendengarkan penjelasan guru tetapi lebih membentuk peserta didik yang berani, mandiri, cerdik dalam bergaul, beradab, sopan dan berkompetisi.

Selaras dengan kebijakan Kemendikbud, SMAN 8 Jakarta menggelar Seminar dan Diskusi yang bertema "Inovasi Pembelajaran untuk Perubahan Paradigma Asesmen Nasional' yang digelar melalui Live Streaming di Zoom dan YouTube SMAN 8 Jakarta atau Smandel pada Senin (20/10).

Narasumber dari Kemendikbud, Moch. Abduh, PhD,yang menjabat sebagai Pengembang Teknlogi Pembelajaran, Ahli Utama Pusat Data dan Teknologi Informasi Kemendikbud, mengatakan kompetensi siswa yang diuji pada Asesmen Kompetensi Minimal (AKM) dan Survei Karakter (SK) adalah kemampuan bernalar menggunakan matematika (numerasi), menggunakan bahasa (literasi), dan penguatan pendidikan karakter.

Dalam acara yang diselenggara Forum Orang Tua Angkatan 2022, Abduh menjelaskan bahwa pelaksanaan AKM dan SK tersebut akan diterapkan di tengah setiap jenjang pendidikan seperti kelas IV, VIII dan kelas XI. “Hal ini berdampak positif di mana guru akan termotivasi untuk memperbaiki mutu proses pembelajaran di kelas sejak awal,” jelasnya.

Menurut pejabat Kemendikbud ini, guru tidak lagi terbebani oleh Ujian Nasional (UN), termasuk Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN)  yang selama ini menentukan  kelulusan siswa di suatu sekolah. Sebaliknya para guru lebih terfokus untuk membekali para siswa mereka dengan berbagai kemampuan numerasi, literasi, dan karakter siswa.

“Kebijakan AKM dan SK sebagai sebuah kebijakan baru memang harus benar-benar dipahami pihak sekolah, para guru, orang tua, dan siswa,” jelas Abduh.

Ia menegaskan bahwa AKM bukanlah merupakan alat ukur atau patokan untuk jenjang pendidikan lanjut, misalnya, dari jenjang pendidikan SD melanjutkan ke jenjang SMP maupun dari SMP ke tingkat SMA.

Namun hasil AKM dan SK, kata Abduh, juga bukan alat ukur referensi bagi sekolah ataupun perguruan tinggi negeri (PTN). Akan tetapi, hasil AKM akan ditindaklanjuti agar sekolah lebih baik lagi dari tahun sebelumnya. “Jadi bukan membandingkan sekolah dengan satuan pendidikan sejenis, misalnya hasil AKM ini SMA 8 lebih baik dari SMA lain, bukan itu!” katanya.

“Namun, jika AKM dilakukan dengan baik, maka kita akan mendapat banyak informasi dari proses tersebut. Informasi ini tentunya untuk peningkatan hasil belajar siswa,” paparnya.

“Jadi, kebijakan baru AKM yang bertujuan sebagai bentuk evaluasi terhadap Pendidikan peserta didik di Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah yang diharapkan dapat menggantikan peran Ujian Nasional (UN) dan Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN) di Tahun Pelajaran 2020/2021 ini,” jelas Abduh.

Sementara itu, Kepala Sekolah SMAN 8 Jakarta, Rita Hastuti, mengatakan, sekolahnya akan terus berinovasi di tengah pandemi Covid-19. Kegiatan belajar dan berbagai kegiatan yang dilakukan dengan mengikuti protokol kesehatan.

“Dalam konteks pembahasan AKM, saya hanya mengingatkan bahwa dunia, termasuk negara kita Indonesia tengah mengalami berbagai perubahan, karena itu kita harus siap dengan perubahan itu. Terobosan dan  inovasi jadi kunci untuk terus mengikuti perkembangan,” katanya.

Sementara Ketua Komite SMAN 8, Tommy Juniarto, menyambut baik langkah yang ditempuh sekolah untuk menggelar diskusi tentang AKM ini mengingat hal ini menjadi bagian yang akan dikerjakan sekolah. “Terima kasih untuk semangat dan support semua pihak,” katanya.  (RO/OL-09)

Seorang pelajar SMA di Jabar sedang mengikuti pembelajaran jarak jauh.*** /Dok Dinas Pendidikan Jabar.

PRFMNEWS - Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) yang diterapkan di masa pandemi Covid-19 ternyata menuai masalah. Banyak siswa, guru hingga orangtua yang mengeluh bahwa pembelajaran jarak jauh memberatkan mereka.

Pengamat Pendidikan, Dan Satriana mengatakan berdasarkan survei yang dilakukan Dinas Pendidikan (Disdik) Provinsi Jawa Barat bersama KPAI, ada tiga hal yang perlu dipertimbangkan dan diperbaiki dalam pelaksanaan PJJ.

"Ada tiga hal yang perlu dipertimbangkan dan diperbaiki pada pembelajaran jarak jauh," kata Dan saat On Air di Radio PRFM 107.5 News Channel, Minggu 26 Juli 2020.

Baca Juga: STIA LAN Bandung Gelar Webinar Nasional dengan Menghadirkan Sandiaga Uno

Dan menjelaskan tiga hal yang perlu diperbaiki dalam PJJ ini. Pertama adalah terkait akses daring. Menurutnya, berdasarkan hasil survei Disdik Jabar, ada 42 ribu lebih siswa yang belum bisa mengakses daring dengan baik.

>

Yang kedua, lanjutnya, 76% anak tidak senang mengikuti PJJ. Pasalnya, anak melihat PJJ ini lebih banyak memberikan tugas dan membosankan.

"Ketiga, orangtua merasa kesulitan dalam mendampingi anak belajar di rumah. Kesulitan bisa karena pelajaran yang sulit, dan sulit mengatur anak-anak," katanya.

Tiga hal tersebut kata dia harusnya diperbaiki sebelum PJJ dipastikan berlangsung pada tahun ajaran baru. Pemerintah dan sekolah harus mempersiapkan PJJ agar berjalan optimal.

"Saya belum melihat apakah evalusi hasil survei digunakan sebagai acuan untuk memperbaiki tiga hal tadi," katanya.

Pandemi Covid-19 memberikan dampak yang luar biasa bagi seluruh kehidupan manusia, termasuk bidang pendidikan. Semua komponen pendidikan, mulai dari metode pembelajaran, infrastruktur, guru, murid, orang tua, termasuk kurikulum, beradaptasi dan berubah menyesuaikan kondisi.

Pemerintah mengeluarkan kebijakan pembelajaran jarak jauh diterapkan secara nasional. Hal ini menjadi wajah baru pendidikan Indonesia, tidak hanya sebagai respons terhadap pandemi, bisa juga menjadi wajah pendidikan masa depan.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim mengatakan, metode pembelajaran jarak jauh bisa diterapkan permanen seusai pandemi Covid-19. Menurutnya, pemanfaatan teknologi dalam kegiatan belajar-mengajar akan menjadi hal yang mendasar dalam pendidikan masa depan.

Namun yang lebih penting, adalah bagaimana kesiapan sumber daya menghadapi perubahan tersebut, terutama kualitas guru yang konvensional dipaksa oleh keadaan untuk bertransformasi dengan cepat, juga masalah utama saat ini yaitu bagaimana guru menghadirkan kualitas pembelajaran yang efektif dan juga menyenangkan.

Langkah menuju pembelajaran masa depan

Jauh sebelum pandemi, yaitu pada 2014, World Innovation Summit for Education (WISE), komunitas internasional yang membahas transformasi pendidikan melalui inovasi,  melakukan survei terkait proyeksi rupa sebuah sekolah pada 2030. Sebanyak 93 persen ahli pendidikan yang disurvei mengatakan, mereka mendukung sekolah yang menerapkan metode inovatif berdasarkan pendekatan-pendekatan pengajaran baru dan proses kreatif.

Para ahli dari komunitas WISE tersebut memprediksi, sekolah akan berkembang menjadi jaringan belajar. Sumber daya dan teknologi akan mendukung jejaring yang saling terkoneksi, berdialog dan bertukar informasi, serta memfasilitasi gerakan menuju pembelajaran kolaboratif.

Menurut survei tersebut, 43 persen percaya bahwa konten pembelajaran akan didominasi oleh platform daring. Sementara hanya 29 persen responden berpendapat, sekolah tradisional adalah sumber utama pengetahuan.

Hasil survei tersebut memperkuat gambaran pembelajaran masa depan, yang pada pelaksanaannya mendapat percepatan dengan adanya pandemi.

Selaras dengan kurikulum 2013

Model pembelajaran masa depan ini juga selaras dengan kurikulum 2013 (K-13) yang diterapkan dalam sistem pendidikan Indonesia. K-13 mengamanatkan optimalisasi peran guru dalam melaksanakan pembelajaran abad 21 dan HOTS (Higher Order Thinking Skills),di mana guru didorong untuk terus berinovasi dan berkreasi terhadap pola pembelajarannya.

Pembelajaran abad 21 berfokus pada pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dalam proses pembelajaran yang bertujuan untuk mencapai kecakapan berpikir dan belajar siswa. Konsep ini juga mengubah pendekatan pembelajaran yang berpusat pada guru (teacher-centered learning) menjadi berpusat pada siswa (student-centered learning).

Hal ini sesuai dengan tuntutan dunia masa depan di mana siswa harus memiliki keterampilan abad ke-21, di antaranya memecahkan masalah, berpikir kritis, kreatif, bekerja sama, dan komunikasi.

Kompetensi guru menjadi kunci

Agar pembelajaran masa depan bisa terlaksana dengan baik, dibutuhkan sumber daya yang berkompeten dalam kegiatan pembelajaran, terutama bagi guru yang menjadi ujung tombaknya. Guru harus memiliki keterampilan proses pembelajaran yang baik sehingga mampu memberikan pengalaman belajar yang bermakna dan menyenangkan sehingga siswa bisa menguasai keterampilan abad-21.

Dalam Uji Kompetensi Guru, sebuah penilaian untuk mengukur kompetensi dasar tentang bidang studi dan pedagogik guru di Indonesia, menunjukkan kompetensi guru Indonesia masih butuh banyak perbaikan.

Melihat hasil UKG tersebut, pemerintah meluncurkan Program Guru, Kepala Sekolah, dan Pengawas Sekolah Pembelajar pada 2016. Program yang dilaksanakan dalam dua moda, yaitu tatap muka dan daring ini, bertujuan mendorong guru untuk terus menerus belajar dan mengembangkan diri di setiap saat dan di mana pun.

Namun, tugas untuk memperbaiki kualitas pendidikan, termasuk kualitas guru tidak hanya tugas pemerintah semata. Hal ini membutuhkan keterlibatan semua pihak, termasuk organisasi kemasyarakatan dan swasta. Keterlibatan semua elemen didukung dengan prinsip kemitraan, diharapkan mampu menjawab tantangan pendidikan di Indonesia.

Dukungan Tanoto Foundation

Tanoto Foundation, organisasi filantropi keluarga independen yang didirikan oleh Sukanto Tanoto dan Tinah Bingei Tanoto pada tahun 1981, yang bergerak dalam pendidikan, sejak 2010 telah melakukan berbagai insiatif dalam menangani masalah pendidikan di Indonesia. Melalui program PINTAR (Pengembangan Inovasi untuk Kualitas Pembelajaran), saat ini kami telah bekerja sama dengan 20 kabupaten/kota di lima provinsi, yaitu Sumatra Utara, Riau, Jambi, Jawa Tengah, dan Kalimantan Timur.

Tiga fokus kegiatan kami dalam program ini adalah mendukung guru dan kepala sekolah dalam mengembangkan praktik baik pembelajaran serta manajemen dan kepemimpinan sekolah, meningkatkan kapasitas pemerintah daerah dalam menyebarluaskan praktik baik tersebut, dan memperkuat Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) untuk meningkatkan kualitas pendidikan calon guru dan guru dalam jabatan.

Praktik baik dalam pembelajaran yang dikembangkan dalam program tersebut juga mencakup konteks pembelajaran masa depan, di mana kami mendorong guru untuk memanfaatkan teknologi dalam proses pembalajaran yang inovatif, kreatif, dan menyenangkan bagi siswa.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA