Mengapa pada zaman penjajahan wanita tidak boleh bersekolah?

Perempuan Dilarang Cerdas

14 Maret 2016 22:21 |
Diperbarui: 14 Maret 2016 22:44

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah tidak asing lagi kata perempuan ditelinga kita! 70 tahun sudah Indonesia merdeka tetapi peran perempuan tak ada perubahan sedemikian rupa. Indonesia masih menerapan system yang diterapakan pada zaman feodal dan kolonial. Pada zaman feodal dan kolonial perempuan selalu dianggap lemah oleh laki-laki karena jadi beben buat keluarga dan tidak bisa berperang. Perempuan pada zaman feodal sering dipoligami oleh laki-laki yang dijadikan istri 2,3 atau 4 melainkan lebih dari itu. Ada informasi mengatakan bahwa pembesar pribumi yang memiliki istri lebih 100 orang.

Ketika datang kolonial ke Indonesia perempuan tidak dianggap ada perannya, bahkan kolonial juga seolah membedakan perempuan dengan laki-laki, perempuan tidak di izinkan berpendidikan. Perempuan cukup di rumah saja untuk mengurus kepentingan keluarga, mengurus suami, atau pekerjaan praktis kerumah tanggaan. Melihat keadaan tersebut ada beberapa tokoh perempuan yang mendobrak kearah kemajuan. Keharusan perempuan untuk keluar dari rumah untuk mendapat pendidkan yang sama dengan laki-laki, penentang poligami mulai diperjangkan. Tokoh ini mengiginkan hak dan kedudukan yang setara dengan laki-laki. Tokoh yang menjadi pelopor kaum perempuan yaitu R.A Kartini ( 1879-1904) dengan mengeluarkan karyanya Habis Gelap Terbitlah Terang.

Pada awal abad 20-an masyarat pun masih menganggap perempuan tidak jauh dari zaman feodal dan zaman kolonial. Perempuan dikatakan memiliki tiga fungsi yang mendasar yaitu; di sumur, dapur dan kasur, itulah anggapan masyarakat. Perempuan selalu didiskriminasikan oleh adat-adat lama yang selalu membuat para perempuan tidak bisa bebas, bahkan untuk mengenyam pendidikan pun selalu dibatasi. Sering orang-orang mengatakan bahwa setinggi-tinggi pendidikan seorang perempuan,akan tetapi hanya bisa mengurusi anak, mengurus keperlua suami dan rumah tangganya.

Seorang perempuan juaga dibatasi ruang sosialnya, dimana seorang perempuan dibatasi keluar malam baik dalam keperluan orang banyak. Hal ini sering di amini oleh perempuan-perempuan sekarang pula. Dilain sisi pula para perempuan dilarang untuk mengenyam pendidika tinggi oleh orang tuanya , karena orang tua beranggapan bahwa perempuan tidak bisa mensejahtrakan orang tua dan adek-adeknya walaupun sekolahnya tinggi, ketika dia kawin dia akan pisah bersama orang tuanya dan tinggal bersama suaminya.

Ida Rahmy Khalit mengatakan perempuan putus sekolah dari berbagai daerah karena mempunyai masalah yang sama, yaitu tingkat hidup yang rendah dan pada umumnya dari keluarga yang relatif besar, tingkat pendidikan dan kesempatan belajar kurang, pengetahuan dan keterampilanyang sangat terbatas, kuranngnya sikap positif terhadap kemajuan baik karena adat , agama dan kebiasaan hidup. Oleh karena itu, dalam realita hidup perempuan diberi kebebasan yang terbatas, sepanjang peradaban manusia terjadilah perlakuan diskriminatif terhadap perempuan, yang pada akhirnya kaum perempuan menjadi tidak berdaya atau terkondisikan menggantungkan dirinya pada kaum laki-laki. Damayanti, dkk (2007) mengungkapka kemiskinan masih tetap berwajah perempuan, dari 1,2 miliyar manusia yang hidup dalam kemiskina absolute 70 % diantaranya perempuan.

Data tentang angka putus sekolah perempuan pada jenjang pendidikan sebagai berikut;

No Putus sekolah pada jenjang pendidikan Jumlah Persentasi (%)
1 SD 184 35,38
2 SMP/MTS 259 49,81
3 SMA/ MA 77 14,81
Total 520 100
Sumber : hasil olahan data primer Kabupaten Lombok Tengah 2010

Dari data di atas, bahwa angka putus sekolah pada jenjang pendidikan SMP/MTS lebih mendominasi yaitu 259 jiwa atau sebesar 49,81% , diikuti putus sekolah pada jenjang pendidikan SD yaitu 184 jiwa atau sebesar 35,38 % dan putus sekolah pada jenjang pendidikan SMA/MA/ SMK sebanyak 77 jiwa atau sebesar 14,81% . dari data ini dapat dikatakan bahwa perempuan putus sekolah di Kabupaten Lombok Tengah memiliki tingkat pendidikan yang relative sangat rendah, sehingga membuatnya tidak berdaya.

Pada tahun 2014 yang lalu caperes dan cawapilpres mengampanyekan nawacita tapi kini malah nawacita yang dicanangkan itu berubah menjadi nawaduka bagi perempuan Indonesia. Nawaduka perempuan yang dijual belikan, duka perempuan yang tidak dapat mengenyam pendidikan, duka perempuan yang sedikit partisipasinya dalam dunia politk, dan masih banyak duka perempuan Indonesia yang di hadiahkan oleh presiden jokowi untuk perempuan Indonesia.(Aliansi Rakyat untuk Pembebasan; 10, Maret 2016).

Tingginya angka putus sekolah pada perempuan di jejang pendidikkan dasar jauh lebih besar dibandingkan laki-laki. Hal itu membuktikan bahwa Perempuan tidak ada kesempatan untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi baik itu dikota maupun di pedesaan. Kesempatan pendidikan yang diberikan kepada perempuan perlu ditingkatkan dan persepsi bahwa pendidikan bagi perempuan tidak perlu tinggi-tinggi karena akan kedapur jaga perlu dihapuskan.

Di Papua, berdasar hasil penelitian World Vision Indonesia tahun 2007 terhadap kualitas pendidikan dasar di wilayah dampingan Jayawijaya, menunjukkan, tingginya angka putus sekolah sebanyak 65%. Yakni drop out dari pendidikan lanjutan pertama. Ironisnya, ada juga 33 % anak perempuan yang putus sekolah karena kawin di bawah umur. Sementara itu, presentasi anak usia pendidikan dasar yang terdaftar dan telah menamatkan pendidikan dasar SD sebesar 86% dan SMP 61,2%.

Halaman Selanjutnya


Video

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA