Mengapa pada masa demokrasi liberal sering terjadi gangguan keamanan

Gangguan Keamanan

Pemilu tahun 1955 berhasil diselenggarakan dengan lancar, tetapi ternyata tidak dapat memenuhi harapan rakyat yang menghendaki pemerintah yang stabil. Para wakil rakyat terpilih hanya memperjuangkan partainya masing-masing sehingga pergantian kabinet terus saja terjadi dan mengakibatkan keadaan politik dan kemanan menjadi tidak stabil. Hal ini menyebakan munculnya berbagai pergolakan di berbagai daerah. Dalam perkembangannya, pergolakan-pergolakan itu mengarah pada gerakan pemberontakan yang berniat memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berikut ini beberapa gerakan pemberontakan yang terjadi pada masa Demokrasi Parlementer

1). Pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA)

Gerakan APRA dipimpin oleh Kapten Raymond Westerling. Gerakan ini didasari oleh adanya kepercayaan rakyat akan datangnya seorang ratu adil yang akan membawa mereka ke suasana aman dan tenteram serta memerintah dengan adil dan bijaksana. Tujuan gerakan APRA adalah untuk mempertahankan bentuk negara federal di Indonesia dan memiliki tentara tersendiri pada negara bagian RIS. Pada tanggal 23 Januan 1950, pasukan APRA menyerang Kota Bandung serta melakukan pembantaian dan pembunuhan terhadap anggota TNI. APRA tidak mau bergabung dengan Indonesia dan memilih tetap mempertahankan status quo karena jika bergabung dengan Indonesia mereka akan kehilangan hak istimenya. Pemberontakan APRA berhasil ditumpas melalui operasi militer yang dilakukan oleh Pasukan Siliwangi.

2). Pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS)

Pemberontakan RMS (Republik Maluku Selatan) dipimpin oleh Mr. Dr. Christian Robert Steven Soumokil yang menolak terhadap pembentukan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mereka ingin merdeka dan melepaskan diri dan wilayah Republik Indonesia karena menganggap Maluku memiliki kekuatan secara ekonomi, politik, dan geografis untuk berdiri sendiri. Yang menjadi penyebab utama munculnya Gerakan Republik Maluku Selatan (RMS) adalah masalah pemerataan jatah pembangunan daerah yang dirasakan

sangat kecil, tidak sebanding dengan daerah di Jawa. Pemberontakan ini dapat diatasi melalui ekspedisi militer yang dipimpin oleh Kolonel A.E. Kawilarang (Panglima Tentara dan Teritorium Indonesia Timur).

3). Pemberontakan Andi Azis

Peristiwa pemberontakan Andi Aziz terjadi pada 5 April 1950. Peristiwa ini berawal dari tuntutan Kapten Andi Aziz dan pasukannya terhadap pemerintah Indonesia agar hanya mereka yang dijadikan sebagai pasukan kemanan untuk mengamankan situasi di Makassar. Pada saat itu, di Makassar sering terjadi bentrokan antara kelompok propersatuan dengan kelompok pro-negara federal. Menurut Andi Azis, hanya tentara APRIS dari KNIL yang bertanggung jawab atas keamanan di Makassar. Tuntutan itu tidak dipenuhi dan pemerintah Republik Indonesia tetap mendatangkan ABRI sebagai pasukan keamanan. Ketika ABRI benar-benar didatangkan ke Sulawesi Selatan, hal ini menyulut ketidakpuasan di kalangan pasukan Andi Aziz. Pasukan Andi Aziz kemudian bereaksi dengan menduduki beberapa tempat penting di Makassar, seperti pos-pos militer, kantor telekomunikasi, lapangan terbang, serta menahan Letnan Kolonel A.J. Mokoginta yang menjabat sebagai Panglima Tentara Teritorium Indonesia Timur.

Pemerintah RI memerintahkan Andi Azis untuk menghentikan pergerakannya dan mengultimatum agar datang ke Jakarta dalam waktu 4×24 jam untuk mempertanggungjawabkan tindakannya. Namun Andi Aziz ternyata terlambat melapor, sementara pasukannya telah berontak. Andi Aziz pun segera ditangkap setibanya di Jakarta dari Makasar. Pasukannya yang memberontak akhirnya menyerah dan ditangkap oleh pasukan militer RI di bawah pimpinan Kolonel Kawilarang.

4). Pemberontakan PRRI dan Permesta

Pemberontakan PRRI/Permesta terjadi di Sulawesi yang disebabkan oleh adanya hubungan yang kurang harmonis antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Hal itu dikarenakan jatah keuangan yang diberikan oleh pemerintah pusat tidak sesual anggaran yang diusulkan. Hal tersebut menimbulkan dampak ketidakpercayaan terhadap pemerintah pusat. Selanjutnya dibentuk gerakan dewan yaitu,

a). Dewan Banteng di Sumatera Barat dipimpin oleh Letkol Ahmad Husein.

b). Dewan Gajah di Sumatera Utara dipimpin oleh Letkol Simbolon.

c). Dewan Garuda di Sumatera Selatan Letkol Barlian

d). Dewan Manguhi di Sulawesi Utara dipimpin oleh Letkol Ventje Sumual.

Puncak pemberontakan ini terjadi pada tanggal 10 Februari 1958, Ketua Dewan Banteng mengeluarkan ultimatum kepada pemerintah pusat. Isi ultimatum tersebut adalah menyatakan bahwa Kabinet Djuanda harus mengundurkan diri dalam waktu 5 x 24 jam. Setelah menerima ultimatum tersebut, pemerintah pusat bertindak tegas dengan cara memberhentikan Letkol Achmad Husein secara tidak hormat. Oleh karena ultimatumnya ditolak pemerintah, pada 15 Februari 1958, Letkol. Ahmad Husein mengumumkan berdirinya PRRI kemudian diikuti oleh pengumuman Permesta pada 17 Februari 1958 di Sulawesi. Untuk menumpas pemberontakan PRRI/Permesta, pemerintah melancarkan operasi militer. Pada 29 Mei 1961, Ahmad Husein dan tokoh-tokoh PRRI lainya akhirnya menyerah.

Pemberontakan APRA, Andi Aziz, RMS, dan PRRI/Permesta merupakan batu ujian bagi ideologi nasional Pancasila. Berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa dan kekompakan ABRI bersama rakyat setia kepada Pancasila dan UUD 1945, maka pemerintah berhasil mengatasinya.

Video

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA