Mengapa kita harus patuh kepada undang undang nasional jelaskan secara rinci?

Sebelumnya, kami kurang memahami apa yang Anda maksud tentang tidak dipergunakan lagi dalam sebuah paparan. Kami berasumsi secara umum bahwa apakah peraturan perundang-undangan yang telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku itu tidak dipergunakan lagi sebagai acuan dalam kehidupan sehari-hari.

Maria Farida Indrati Soeprapto dalam bukunya berjudul Ilmu Perundang-Undangan: Proses dan Teknik Pembentukannya(hal. 138) mengatakan bahwa suatu peraturan perundang-undangan hanya dapat dicabut dan dinyatakan tidak berlaku oleh peraturan perundang-undangan yang tingkatannya sama atau lebih tinggi. Pencabutan peraturan perundang-undangan dengan peraturan perundang-undangan yang tingkatannya lebih tinggi itu dilakukan jika peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi itu dimaksudkan untuk menampung kembali seluruh atau sebagian materi peraturan perundang-undangan yang lebih rendah yang dicabut itu.

Contoh peraturan perundang-undangan yang dicabut oleh peraturan perundang-undangan yang tingkatannya sama yaitu Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang mencabut dan menyatakan tidak berlaku Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Hal ini terlihat pada Ketentuan Penutupnya, yakni dalam Pasal 102 UU 12/2011:

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4389), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Menurut Maria (Ibid, hal. 133), jika materi dalam peraturan perundang-undangan baru menyebabkan perlunya penggantian seluruh atau sebagian materi dalam peraturan perundang-undangan lama, di dalam peraturan perundang-undangan baru harus secara tegas diatur mengenai pencabutan seluruh atau pencabutan sebagian peraturan perundang-undangan. Demi kepastian hukum, pencabutan peraturan perundang-undangan hendaknya tidak dirumuskan secara umum, tetapi menyebutkan dengan tegas peraturan perundang-undangan mana yang dicabut.

Maria (Ibid, hal. 134) jugamengatakan bahwa pencabutan peraturan perundang-undangan harus disertai dengan keterangan mengenai status hukum dari peraturan pelaksanaan, peraturan yang lebih rendah, atau keputusan yang telah dikeluarkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang dicabut. Contoh (Pasal 101 UU 12/2011):

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua Peraturan Perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4389), dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.

Menurut M. Naufal Fileindi, S.H. dalam artikel Aturan Pencabutan dan Tidak Berlakunya Undang-Undang, istilah mencabut adalah proses untuk membuat suatu peraturan perundang-undangan atau ketentuan dalam peraturan perundangan-undangan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sedangkan, tidak berlaku adalah sebuah keadaan ketika suatu peraturan perundang-undangan atau ketentuannya tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Mengacu pada hal-hal di atas dapat kita simpulkan bahwa pencabutan dan dinyatakan tidak berlakunya suatu peraturan perundang-undangan berakibat hukum bahwa peraturan perundang-undangan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Artinya, sudah tidak dapat lagi dijadikan dasar hukum atau rambu-rambu untuk mengatur aspek kehidupan bermasyarakat. Selain itu, berdasarkan teori hukum juga dinyatakan bahwa peraturan perundang-undangan yang berlaku kemudian mengenyampingkan peraturan perundang-undangan yang terdahulu sepanjang mengatur objek yang sama (lex posterior derogat lex priori). Dengan demikian, peraturan perundang-undangan yang lama dengan sendirinya tidak berlaku apabila sudah terdapat peraturan perundang-undangan yang baru.

Akan tetapi, meskipun peraturan perundang-undangan tersebut telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku, ada kemungkinan akibat hukum yang ditimbulkan dari materi peraturan perundang-undangan yang dicabut itu masih diakui. Sebagai contoh, dalam sebuah surat yang kami akses dari laman Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan HAM disebutkan bahwa Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU 32/2004) telah mencabut dan menyatakan tidak berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (UU 22/1999).

Dalam laman tersebut dijelaskan bahwa ketika UU 32/2004 berlaku, materi yang mengatur tentang proses pemilihan kepala daerah secara tak langsung (seperti yang diatur dalam UU 22/1999) diganti dengan materi yang mengatur proses pemilihan kepala daerah secara langsung. Walaupun materi UU 22/1999 tentang proses pemilihan kepala daerah secara tidak langsung tidak berlaku lagi, namun akibat hukum dari materi tersebut tetap diakui. Hal tersebut berlaku ketika seseorang yang pernah menjabat sebagai kepala daerah tetap dianggap pernah menjabat sebagai kepala daerah berdasarkan UU 22/1999. Dengan berlakunya UU 32/2004, maka mekanisme pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah menggunakan mekanisme yang terdapat dalam UU tersebut, yakni pemilihan secara langsung. Dengan berlakunya UU 32/2004 bukan berarti konsekuensi hukum yang terjadi dari UU 22/1999 tidak berlaku.

Selanjutnya kami akan menjawab pertanyaan Anda kedua mengenai apabila dalam suatu peraturan terdapat pasal-pasal yang saling bertentangan satu dengan yang lainnya, maka pasal yang manakah yang dapat digunakan. Apabila pasal yang satu dinilai bertentangan dengan pasal yang lainnya, maka yang harus dilakukan terhadap pasal-pasal tersebut adalah uji materiil ke Mahkamah Konstitusi ("MK"). Menurut kami, adanya pertentangan pasal dalam satu peraturan akan mengakibatkan ketidakpastian hukum. Masyarakat akan menjadi bingung untuk tunduk dan patuh pada ketentuan pasal yang mana. NantinyaMK yang akan menilai keberlakuan suatu pasal.

Sebagai contoh, kami mengacu pada pengujian beberapa pasal dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas) terhadap Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang kami dapatkan informasinya dari laman resmi Mahkamah Konstitusi. Alasan pemohon mengajukan uji materiil antara lain adalah Pasal 1 angka 1, Pasal 4, dan Pasal 38 UU Ormas bertentangan satu sama lain yang pada akhirnya tidak memberikan kepastian hukum dan merugikan kepentingan kontitusional pemohon sebagaimana ditentukan dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Namun, berdasarkan penelusuran kami, sidang uji materi UU ORMAS baru digelar pada akhir Januari 2014 dan masih dalam proses pengujian.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:

1. Undang-Undang Dasar 1945;

2. Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah;

3. Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan;

4. Undang-Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;

5. Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan;

6. Undang-Undang No. 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan.

Referensi:

1. Maria Farida Indrati Soeprapto. 2007. Ilmu Perundang-Undangan Proses dan Teknik Pembentukannya. Kanisius: Yogyakarta.

2. //ditjenpp.kemenkumham.go.id/files/perda/tanggapan/mamasa20008.pdf, diakses pada 17 Februari 2014 pukul 16.50 WIB.

3. //www.mahkamahkonstitusi.go.id/Resume/resume_Perbaikan%20Permohonan%20Perkara%20No%2082.pdf, diakses pada 17 Februari 2014 pukul 17.19 WIB.

Video

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA