Mengapa istishab dapat dijadikan sumber hukum islam, menurut ulama yang menerimanya jelaskan

Seorang ulama terkemuka bernama Ibnu Rusyd menegaskan bahwa jumlah ayat Al-Qur’an dan Hadits terbatas, sedangkan problematika kehidupan manusia tidak terbatas. (Lihat Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Kairo, Dar al-Kutub al-Arabiyyah, t.t., halaman 2). Karenanya, para ulama dituntut untuk berijtihad guna mengawal hukum Islam agar senantiasa dinamis dan responsif terhadap perkembangan zaman. Salah satu instrumen dalam berijtihad adalah istishab

Istishab secara etimologi berasal dari kata is-tash-ha-ba yang bermakna: menemani atau menyertai. Sedangkan istishab secara terminologi, Imam Ibnu al-Subki mendefinisikannya sebagai:

ثُبُوْتُ أَمْرٍ فِي الثَّانِي لِثُبُوْتِهِ فِي الأَوَّلِ لِفُقْدَانِ مَا يَصْلُحُ لِلتَّغْيِيْرِ

“Menetapkan hukum atas masalah hukum yang kedua berdasarkan hukum yang pertama karena tidak ditemukan dalil yang mengubahnya.” (Lihat Ali Abdul Kafi al-Subki, Al-Ibhaj, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1404 H, juz 3, halaman 173)

Contohnya, bila tadi pagi seseorang telah wudhu untuk shalat subuh, maka keadaan telah wudhu tersebut masih diperhitungkan keberadaannya pada waktu ia akan melaksanakan shalat Dhuha. Maka ia tidak perlu berwudhu kembali, selama tidak ada bukti dan tanda-tanda bahwa wudhunya telah batal. 

Imam Abu Zahrah dalam kitab Ushul al-Fiqh membagi istishab ke dalam empat hal, yaitu: Pertama, istishab al-bara’ah al-ashliyyah. Dari sini, para ulama merumuskan kaidah fiqih:

الأَصْلُ بَرَاءَةُ الذِّمَّةِ

“Pada dasarnya setiap orang itu terbebas dari tanggungan.”

Penerapan Istishab ini misalnya, Ahmad mengklaim bahwa Bisri memiliki utang sebesar Rp100.000, tetapi Bisri tidak mengakuinya. Dalam hal ini, yang dimenangkan adalah pihak Bisri. Sebab, pada dasarnya, Bisri terbebas dari tanggungan kepada Ahmad, kecuali jika Ahmad mampu mengajukan bukti yang memperkuat pengakuannya.

Kedua, istishab al-ibahah al-ashliyyah, yakni istishab yang didasarkan atas hukum asal, yaitu mubah. Dari istishab ini, para ulama menetapkan kaidah:

الأَصْلُ فِي الأَشْيَاءِ الإِبَاحَةُ حَتَّى يَدُلَّ الدَّلِيْلُ عَلَى التَّحْرِيْمِ 

“Hukum asal dari segala sesuatu adalah mubah sampai ada dalil yang mengharamkannya.”

Contohnya, jerapah tidak dijelaskan status halal-haramnya dalam Alquran maupun hadits. Di sisi lain, hewan ini tidak memiliki sifat-sifat yang dimiliki oleh hewan-hewan yang telah dijelaskan hukum keharamannya. Berdasarkan hal ini, ulama menghalalkan jerapah.

Ketiga, istishab al-hukm yaitu menetapkan hukum yang sudah ada dan berlaku pada masa lalu sampai sekarang, hingga ada dalil lain yang mengubahnya. Istishab al-hukm ini melahirkan kaidah fiqih:

الأَصْلُ بَقَاءُ مَا كَانَ عَلَى مَا كَانَ 

“Pada dasarnya, sesuatu yang telah memiliki kepastian hukum tertentu ditetapkan sebagaimana keadaan hukum semula.”

Penerapan Istishab al-hukm dalam hukum Islam misalnya seseorang hendak berpuasa, kemudian ia makan sahur. Namun ia ragu, apakah sewaktu makan sahur masih tersisa waktu sahur ataukah sudah masuk waktu puasa. Dalam kasus ini, puasa orang tersebut tetap dianggap sah. Sebab, ia meyakini bahwa waktu itu merupakan waktu sahur. 

Keempat, istishab al-wasf, yaitu Istishab yang didasarkan pada anggapan masih tetapnya sifat yang diketahui ada sebelumnya sampai ada bukti yang mengubahnya. Misalnya, sifat hidup yang dimiliki seseorang yang hilang tetap dianggap masih ada sampai ada bukti bahwa ia telah wafat. (Lihat Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, t.t, halaman 297-299). Istishab keempat ini memunculkan kaedah fiqih berbunyi:

اليَقِيْنُ لَا يُزَالُ بِالشَّكِ

“Keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan keraguan.”

Para ulama berbeda pendapat tentang nilai kehujjahan istishab. Mayoritas ulama dari mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali menyatakan bahwa istishab merupakan hujjah secara penuh, baik dalam mempertahankan sesuatu yang sudah ada (daf’i), maupun menetapkan sesuatu yang belum ada (itsbat). 

Sedangkan ulama muta’akhirin dari mazhab Hanafi, di antaranya imam Abu Zaid dan Shadrul Islam Abul Yusr, berpendapat, istishab merupakan hujjah dalam mempertahankan sesuatu yang sudah ada (daf’i), bukan menetapkan sesuatu yang belum ada (itsbat). Sementara, mayoritas ulama mazhab Hanafi, sebagian ulama mazhab Syafi’i, Abul Husein al-Bashri, dan sekelompok ulama ilmu kalam berpendapat, istishab bukan merupakan hujjah sama sekali. 

Perbedaan pandangan ulama tentang penggunaan istishab dalam ijtihad ternyata menyebabkan perbedaan pandangan mereka dalam hukum Islam, seperti dalam masalah hukum waris orang hilang

Ulama berbeda pendapat tentang orang hilang yang tidak jelas status hidup atau matinya; apakah dia dihukumi mati sehingga hartanya dibagi ke ahli warisnya, dan dia tidak berhak atas warisan dari keluarganya yang meninggal, ataukah dia dihukumi hidup sehingga hartanya tidak dibagi dan dia berhak atas bagian warisan dari keluarganya yang meninggal?

Imam Malik dan imam Syafi’i berpendapat, orang tersebut dihukumi hidup sehingga hartanya tidak boleh diwarisi, dan dia berhak mendapatkan warisan dari keluarganya yang meninggal. Mereka beralasan bahwa pada dasarnya (hukum asalnya) orang tersebut hidup, karenanya sifat hidup ini masih berlaku sampai ada dalil yang menegaskan kematiannya.

Sedangkan, Abu Hanifah dan para pengikutnya berpendapat bahwa hartanya tidak boleh diwarisi, dan dia tidak berhak mendapatkan warisan dari keluarganya yang meninggal. Mereka beralasan bahwa istishab hanya berlaku untuk mempertahankan hak yang sudah ada, bukan menetapkan hak yang baru.

Di sisi lain, imam Ahmad bin Hanbal berpendapat, orang tersebut dianggap hidup selama empat tahun dari waktu hilangnya. Jika melebihi empat tahun maka dianggap mati, karenanya hartanya diwarisi dan dia tidak berhak mendapatkan warisan dari keluarganya yang meninggal. (Lihat Musthafa Dib al-Bugha, Atsarul Adillah al-Mukhtalafu Fiha fi al-Fiqh al-Islami, Damaskus: Dar al-Imam al-Bukhari, t.t, halaman 221-222)

Dalam konteks kehidupan modern ini, penggunaan istishab sebagai sarana merumuskan hukum Islam kontemporer sangatlah diperlukan. Bidang Hukum Pidana misalnya, ada istilah ‘asas praduga tak bersalah’, yaitu bahwa seorang terdakwa dianggap tidak bersalah sehingga ada bukti hukum secara material bahwa orang tersebut dinyatakan bersalah oleh pengadilan.

Asas praduga tak bersalah ini relevan dengan konsep “Istishab al-Bara’ah al-Ashliyyah”, yaitu Istishab yang didasarkan atas prinsip bahwa pada dasarnya manusia bebas dari beban, sampai adanya dalil yang merubah status tersebut. Wallahu A’lam.

Husnul Haq, Dosen IAIN Tulungagung dan Pengurus LDNU Jombang.

Kumpulan Khutbah Jumat Hari Santri

ISTISHAB

A. Muslimin[1]

Istishab merupakan salah satu metode istimbath dalam ushul fikih, karena ushul fikih adalah metode dan proses bagaimana menemukan sebuah hukum ‘fiqh’, jadi ushul fikih lebih bermakna metodologis dan ushul fikih merupakan koleksi metodis dan diantara koleksi metodenya adalah istishab.

Pengertian Istishab

Secara bahasa istishab berasal dari kata استصحب يستصحب استصحابا yang berarti طلب المصاحبة واستمىرارها[2] menemani dan seterusnya او من استصحب الشئ اذا لازمه[3] atau siapa yang meminta ditemani atau adanya keharusan untuk menemani. Menurut Kamus al-Munawir : استصحب- يَسْتَصحب – استصحبه: لازمه و لينه[4] yang berarti menuntut kebersamaan atau terus menerus bersama. Dalam kitab al-Misbah al-Munir diartikan: [5]كل شيئ لازم شيئا فقد استصحبه segala sesuatu yang menetapkan sesuatu maka ia menemaninya.

Secara istilah

استدامة اثبات ما كان ثابتا له أو نفى ما كان منفيا[6]

Memberlakukan ketetapan sesuatu yang sudah tetap atau meniadakan ketetapan sesuatu yang tidak tetap.

Dalam kitab Ilmu Ushul al-Fiqh Abdul Wahab Khalaf mengartikan :

الحكم على الشيء بالحال التي كان عليها من قبل، حتى يقوم دليل على تغير تلك الحال[7]

Hukum sesuatu terhadap kondisi tertentu yang disesuaikan dengan kondisi hukum sebelumnya, dan status hukum tersebut akan berubah jika kondisi yang memunculkan hukum tersebut juga berubah.

Imam al-Asnawi memberikan definisi :

أن الإستصحاب عبارةٌ عن الحكمِ يـُثْبِتُوْن أمرًا في الزمان الثاني بناءً على ثبوته في الزمان الأوّل لعدم وجود ما يصلح للتغيـير[8]

Istishab adalah melanjutkan keberlangsungan hukum yang telah ada dan yang telah ditetapkan karena adanya dalil, dan (bisa diubah) bila ada dalil lain yang mengubah hukum-hukum tersebut.

Imam Ibnu Qayyim mendefinisikan :

إن الإستصحاب استدامه إثباتٌ ما كان ثابتا أو نَفْيَ ما كان مُنْتَفِياً حتى يقومَ دليلٌ على

تغيّر الحالة[9]

Istishab adalah menetapkan berlakunya hukum yang telah ada, atau meniadakan apa yang memang tiada sampai adanya dalil yang dapat mengubah kedudukan berlakunya hukum tersebut.

Ketetapan sesuatu yang sudah ada pada masa lampau tidak akan berubah pada masa-masa berikutnya selama belum ada dalil atau hujjah yang merubahnya. Ketika mengetahui tidak adanya sesuatu pada masa lalu kemudian ragu-ragu tentang keberadaannya pada masa sekarang maka dihukumi tidak ada ‘istishaban’ karena sesuatu tersebut tidak ada pada awalnya. Mengharuskan tetapnya ‘hukum’ sesuatu yang sudah nyata adanya atau tidak nyata adanya dalam suatu hal yang berlaku karena tidak adanya ketetapan perubahan. Dengan kata lain, istishab adalah tetap berlakunya suatu hukum yang sudah ada di masa lalu karena tetap berlakunya suatu hukum yang sudah ada di masa lalu dan tidak adanya hukum baru sesudahnya.

Ulama madzhab dalam menentukan hukum ada yang berhujjah dengan istishab dan ada yang tidak berhujjah dengan istishab, istishab merupakan salah satu istilah dalam ilmu ushul fikih atau salah satu metode istimbath ushul fikih, khususnya ketika membicarakan dalil-dalil hukum Imam Syafi’i. Oleh ulama Madzhab Syafi’i, Maliki, Hanbali, dan ulama-ulama Syi’ah, istishab digunakan sebagai salah satu dalil syara’ sedangkan Madzhab Imam Hanafi tidak menerima istishab dalam menentukan hukum.

Istishab berarti menetapkan suatu hukum atas suatu peristiwa hukum berdasarkan keadaan yang menyertainya dan sudah berlangsung sebelumnya sehingga ditemukan dalil yang menunjukkan perubahan terhadap status peristiwa hukum sebelumnya. Maka bisa diambil hukum asal dari Bank, Asuransi, BPJS, Multi Level Marketing, Sewa-menyewa, Jasa toilet umum, Bursa saham, Pencatatan, Merokok, Internet dan lainnya adalah boleh sebab landasan teorinya adalah الأصل في الاشياء الإباحة الا ما دل دليل على تحريمها asal hukum dari segala sesuatu adalah diperbolehkan, hingga ditemukan dalil yang mengharamkannya.

B. Sumber Hukum Istihhab

Dalil dari al-Qur’an

QS : al-Baqarah : 29

uqèd “Ï%©!$# šYn=y{ Nä3s9 $¨B ’Îû ÇÚö‘F{$# $YèŠÏJy_ §NèO #“uqtGó™$# ’n<Î) Ïä!$yJ¡¡9$# £`ßg1§q|¡sù

yìö7y™ ;Nºuq»yJy™ 4uqèdur Èe@ä3Î/ >äóÓx« ×LìÎ=tæ

Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu.

QS : al-A’raf : 32

ö@è% ôtB tP§ym spoYƒÎ— «!$# ûÓÉL©9$# ylt÷zr&amp; ¾ÍnÏŠ$t7ÏèÏ9 ÏM»t6Íh‹©Ü9$#ur zÏB É-ø—Ìh9$# 4 ö@è% }‘Ïd

tûïÏ%©#Ï9 (#qãZtB#uä ’Îû Ío4quŠysø9$# $u‹÷R‘‰9$# Zp|ÁÏ9%s{ tPöqtƒ ÏpyJ»uŠÉ)ø9$# 3 y7Ï9ºx‹x. ã@Å_ÁxÿçR

ÏM»tƒFy$# 5Qöqs)Ï9 tbqçHs>ôètƒ

Katakanlah : ‘Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik?’ Katakanlah : ‘Semuanya itu (disediakan) bagi orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, khusus (untuk mereka saja) di hari kiamat’. Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi orang-orang yang mengetahui.

QS : al-Jatsiyah : 13

t¤‚y™ur /ä3s9 $¨B ’Îû ÏNºuq»yJ¡¡9$# $tBur ’Îû ÇÚö‘F{$# $Yè‹ÏHsd çm÷ZÏiB 4 ¨bÎ) ’Îû šÏ9ºsŒ ;M»tƒUy

5Qöqs)Ïj9 šcr㍩3xÿtGtƒ

Dan Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir.

Dalil dari al-Hadits

(HR. Muslim dari Abi Hurairah)

إذَا وَجَـدَ أَحَدُكُمْ فِي بَـطْبه شيئاً فَأَشْكَلَ عَلَـيْهِ أَخْرَجَ شَيْءٌ مِنْهُ أَمْ لاَ فَلاَ يَخْرُجَنَّ مِنَ

الْمَسْجِدِ حَتَّى يَسْمَعَ صَوْتاً أَوْ يَجِدَ رِيْـحاً[10]

Jika seseorang merasakan sakit perutnya lalu ragu apakah ada sesuatu yang keluar atau tidak, maka jangan sekali-kali keluar dari masjid (membatalkan shalat) sampai kamu mendengar suara atau mencium baunya.

(HR. Ibnu Majah)

لاَ ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ[11]

Tidak ada kemudharatan

Pendapat Ulama[12]

Pendapat ulama tentang kehujjahan istishab sebagai Istinbath al-Hukum al-Syar’i.

Mayoritas ulama dari kalangan Malikiyah, Hanabiyah dan Syafi’iyah memandang bahwa istishab bisa dijadikan landasan untuk istinbat-al-hukm, dengan catatan belum ada dasar/dalil yang bisa merubahnya.

Kalangan ulama Mutakallimin, seperti Hasan al-Bashri berpendapat, bahwa istishab tidak boleh digunakan sebagai istinbat-al-hukm, hal ini dikarenakan penentuan ada tidaknya hukum yang terdahulu harus dibuktikan kebenaran dan keberadaannya dengan dalil.

Ulama Mutaakhirin sebagian besar dari kelompok Hanafiyah berpendapat bahwa istishab bukanlah hujjah yang tidak tetap dalam mengistinbath hukum, namun ia hanya alat yang digunakan untuk melestarikan keputusan hukum. Hal ini disebabkan dari pendapat mereka yang menyatakan bahwa istishab adalah hujjah dari ketetapan hukum yang sudah ada pada awalnya.

Dari berbagai pendapat ulama tersebut maka penulis simpulkan bahwa istishab bisa dijadikan sebagai istinbat-al-hukm, baik yang perkara yang menyangkut ibadah, mu’amalah, social kemasyarakatan dan lain sebagainya dengan catatan belum ada dalil yang merubahnya. Dengan demikian memberikan peluang bagi pelaku hukum dapat dengan mudah mengeluarkan fatwa tanpa harus terpenjara dengan perangkat-perangkat hukum yang kaku, sehingga berbagai perkembembangan dan perubahan kehidupan bisa tercover secara memadai dalam Islam, dan menjadikan Islam sebagai agama yang sesuai dengan zaman, tempat dan keadaan bisa membuat keputusan hukum yang up to date.

Aplikasi Istishab dan kaidah terhadap peristiwa hukum

الأصل بقاء ما كان على ما كان

الاصل فى الاشياء الاباحة حتى يدل دليل على التحريم

الاصل فى الاشياء التحريم حتى يدل دليل على الاباحة

Yang pokok atau kuat adalah tetap berlakunya apa/hukum yang ada menurut keadaannya semula dan hukum asal sesuatu adalah boleh dalam hal muamalah dan hukum asal sesuatu itu haram dalam hal ibadah. Mubah atau boleh dibagi dalam tiga bagian; Pertama, perbuatan yang ditetapkan secara tegas kebolehannya oleh syara’ dan manusia diberi kebebasan untuk melakukan atau tidak melakukannya. Kedua, perbuatan yang tidak ada dalil syara’ menyatakan kebolehan memilih, tetapi ada perintah untuk melakukannya. Ketiga, perbuatan yang tidak ada keterangannya sama sekali dari syara’ tentang kebolehan atau tidak kebolehannya. Hal yang demikian dikembalikan kepada hukum bebas menurut asalnya“الاصل براءة الذمة” .

Contoh :

Seseorang yang sedang puasa kemudian berbuka menjelang Maghrib tanpa adanya pengamatan dan penelitian, kemudian timbul keraguan bahwa ada kemungkinan matahari belum terbenam dan sudah masul waktu magrib atau belum, maka ibadah puasanya dihukumi batal, sebab menurut yang asal adalah berlakunya hukum sebelum maghrib. Orang yang sedang berpuasa harus menninggalkan hal-hal yang membatalkan puasa baik itu minum atau makan dan hal-hal lain yang membatalkan dan inilah hukum yang awal, dalam istishab selama belum ada dalil/bukti untuk melaksanakan makan dan minum ‘berbuka’ maka harus dikembalikan pada hukum asalnya yaitu berpuasa dan ketika berbuka maka hukumnya batal puasanya.

من شك افعل شيئا ام لا فالاصل انه لم يفعل

Barangsiapa ragu-ragu apakah dia telah melakukan sesuatu atau belum, maka yang lebih kuat adalah dia belum melakukan sesuatu.

الاصل العدم

Hukum yang lebih kuat dari sesuatu itu asalnya tidak ada.

Contoh :

Seseorang makan makanan orang lain, ia mengatakan pemiliknya sudah mengizinkan, padahal belum, dalam hal ini dibenarkan pemilik makanan, sebab makan makanan orang lain tidak boleh.

إستصحاب حكم ثابت بالإجماع في محل الخلاف بين علماء

Istishab terhadap perkara hukum yang telah tetap yang dihasilkan dari ijma’ yang dalam perkembangannya berpotensi memicu timbulnya perselisihan.

Contoh :

Dimusim kemarau sekarang ini, para ulama bersepakat menetapkan bahwa tatkala tidak ada air seseorang boleh bertayamum untuk mengerjakan sholat. Apabila dalam keadaan sholat dia melihat ada air, apakah sholatnya harus dibatalkan untuk berwudlu atau diteruskan? Maka ada dua pendapat dalam hal ini, Pertama, orang tersebut tidak boleh membatalkan sholatnya, karena adanya ijma’ yang menyatakan bahwa sholat itu sah apabila dikerjakan sebelum melihat air. Hukum ijma’ tetap berlaku sampai ada dalil yang menunjukkan bahwa sholat harus dibatalkan dan kemudian berwudlu dan mengulang shalatnya. Kedua, orang yang melakukan shalat dengan tayamum dan ketika shalat melihat air, ia harus membatalkan shalatnya, mereka tidak menerima ijma’ tentang sahnya shalat yang bertayamum sebelum melihat air, karena ijma’ menurut mereka hanya terkait dengan hukum sahnya shalat dalam keadaan tidak ada air, bukan dalam keadaan tersedia air.

Contoh yang lain, misalnya ada Seorang pembeli pulsa elektrik mengkomplain kepada pihak counter, bahwa pulsa yang ia beli belum masuk, dan pihak counter menyatakan bahwa pulsa telah terkirim. Maka istinbath hukum yang diambil adalah pulsa belum masuk/terkirim. Kecuali pihak counter bisa menunjukkan bukti pengiriman elektrik bahwa pulsa telah terkirim kepada nomor si pembeli dengan benar, baik nominal, hari/tanggal dan waktunya.

إستصحاب عدم الأصلي المعلوم بالعقل في الأحكام الشريعة

Istimbat hukum akal sampai datangnya hukum syari’. Maksudnya adalah umat manusia tidak dikenakan hukum-hukum syar’i sebelum datangnya syara’ dan manusia terbebas dari beban hukum dan akibatnya sampai datangnya hukum syara’ yang menentukan hukum.

Contoh :

Seorang dept-collector menagih pelunasan kartu kredit senilai Rp 250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah) atas transaksi pada Hari Jum’at, 30 Oktober 2015 di Metro Lampung Indonesia pukul 09.30 WIB kepada Bapak Agus sebagai pengguna kartu kredit premium (dimana pihak penyedia jasa kartu kredit menyiapkan sejumlah dana besar untuk penggunanya yang kemudian ditagihkan kepada pengguna sesuai dengan nominal transaksi yang ada), namun pengguna kartu (Bapak Agus) membantah bahwa ia menggunakan kartu tersebut hingga ia menolak membayar nominal yang dimaksud.

Pengguna (Bapak Agus) bisa membuktikan bahwa ia pada hari, tanggal dan jam tersebut berada di Bandar Lampung dalam rangka kuliah di Pascasarjana IAIN Raden Intan Lampung, yang dia akui hanyalah belanja dengan kartu tersebut di mall yang dilesensikan oleh penyedia jasa kartu kredit dalam berbelanja sebesar Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah).

Setelah memulai penelusuran yang cermat, ternyata ditemukan transaksi yang tidak sesuai dengan pengguna kartu. Dan dinyatakan oleh pihak yang berwenang, bahwa kartu tersebut telah dicrack oleh hacker untuk belanja mobil Toyota Innova Diesel sebesar Rp 245.000.000,- (dua ratus empat puluh lima juta rupiah).

Maka istinbathu-al-hukm yang diambil adalah pengguna (Bapak Agus) tidak wajib membayar kepada penyedia jasa kartu kredit kecuali apa yang diakui dan dinyatakan benar oleh pihak berwenang sebesar Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah). Hal ini didasarkan pada kaidah ushul fikih yang menyatakan (الأصل براءة الذمّة) asal hukum bagi sesuatu adalah terlepas dari tanggung jawab.

إستصحاب حكم إباحة الأشياء للأشياء

Penetapan berlakunya hukum yang menyatakan bolehnya asal segala sesuatu.

Contoh :

Segala bentuk makanan, minuman atau sesuatu yang dimaksudkan untuk dikonsumsi pada dasarnya adalah boleh. Sulitnya pekerja diluar negeri untuk  menemukan minuman dan makanan yang berlabel halal pada negara tempat mereka bekerja menjadikan bolehnya mereka untuk mengkonsumsi apapun jenis makanan-minuman yang secara nyata tidak mengandung sesuatu yang diharamkan. Hal ini juga didukung kaidah ushul (المشقّة تجلب التيسير) kesulitan atas sesuatu menjadikan mudahnya menentukan status hukum sesuatu.

إستصحاب المقلوب

Istishab terhadap kondisi kekinian dalam menentukan status hukum pada masa lampau yang disebabkan pada bentuk istishab sebelumnya merupakan penetapan sesuatu pada masa kedua berdasar pada penetapan masa pertama yang disebabkan tidak adanya dalil secara spesifik yang menerangkannya.

Contoh :

Bapak Lutfi tertuduh sebagai cracker yang membobol scuritas penyedia layanan kartu kredit dan mengcrack (membobol skuritas) kartu kredit milik (Bapak Agus) sebesar Rp 250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah) atas transaksi pada Hari Jum’at, 30 oktober 2015 di Metro Lampung Indonesia pukul 09.30 WIB, hal ini dibuktikan bahwa email Hacker yang ditemukan pada scuritas adalah milik Bapak Lutfi, begitu juga kode pengacak pin yang digunakan untuk mengcrack kartu kredit juga ditemukan pada spam di email tersebut. Maka pihak berwajib menyita laptop tersebut sebagai barang bukti dan menjadikan Bapak Lutfi sebagai tersangka.

Dalam penyidikan Bapak Lutfi mengaku baru menguasai teknologi informasi, email-pun dibuatkan oleh isterinya, ia mengaku meminjamkan laptop tersebut kepada Bapak Juanda dari Selasa, 27 Oktober 2015 s/d Sabtu, 31 Oktober 2015, hal ini diperkuat kesaksian Rian Erwin (teman sekamar Bapak Lutfi) dan Agus Rimanto (teman sekamar Bapak Juanda), kesaksian isteri Bapak Lutfi yang menyatakan suaminya (Bapak Lutfi) pulang ke Pringsewu pada Selasa, 27 Oktober 2015 dengan tidak membawa laptop yang dimaksud, dan kesaksian isteri Bapak Juanda yang menyatakan bahwa suaminya (Bapak Juanda) membawa laptop sesuai dengan ciri-ciri milik Bapak Lutfi. Dan Bapak Agus menyatakan bahwa password email disimpan dalam laptop tersebut.

Sedangkan Bapak Juanda tidak bisa menunjukkan alibi, bahwa ia tidak menggunakan laptop tersebut, dan terbukti dari penyidikan bahwa ia seorang yang menguasai teknologi informasi, hal ini terbukti bahwa ia adalah pengelola laboratorium komputer sekolahnya.

Maka istinbathu-al-hukm yang dicapai adalah Bapak Juanda dinyatakan sebagai tersangka pembobol skuritas kartu kredit milik Bapak Agus.

Kenyataan yang menjadikan keyakinan keputusan hukum adalah:

– Kondisi kekinian

Bapak Lutfi tidak memegang laptopnya.

Bapak Juanda meminjam laptop Bapak Lutfi.

Bukti pembobolan ditemukan pada email laptop Bapak Lutfi yang dipinjam.

– Masa lampau:

Laptop dipinjam Bapak Juanda sejak sebelum peristiwa pembobolan terjadi.

Password email dinyatakan tersimpan di laptop.

Bapak Lutfi tidak menguasai teknologi informasi secara baik.

Bapak Juanda menguasai teknologi informasi sebab ia pengelola laboratorium komputer sekolahnya.

  • Kenyataan yang menjadikan keraguan keputusan hukum adalah:

Bapak Lutfi memegang laptopnya.

Bapak Juanda tidak memanfaatkan laptop Bapak Lutfi.

Bapak Juanda tidak mengetahui password email yang tersimpan di laptop.

Bapak Juanda tidak menguasai teknologi informasi secara baik.

Hal ini sesuai kaidah usul yang menyatakan (اليقين لا يزُوْل بالشك) keyakinan atas sesuatu tidak bisa digugurkan dengan keraguan atas sesuatu tersebut.

Kesimpulan

Istishab bukanlah dalil syara’ dan bukan sumber istidlal, dan tidak menetapkan hukum baru tetapi hanyalah pengamalan terhadap dalil yang sudah stabit yang tidak ada satupun yang merubahnya.

Sumber Bacaan

جلال الدين السيوطى , الاشباة والنظائر , باب الحلبي , القاهرة

عبد الكريم زيدان ,الوجيز فى اصول الفقه, دار التوزيع والنشر الاسلامى

قتب مصطفى سانو, معجم مصطلح اصول الفقه, دار الفكر

ابن القيم , اعلام الموقعين, دار الفكر

أبو لويس، المنجد في اللغة، بيروت-لبنان: دار المشرق،.

قسم المنهج الدراسي بكلية المعلمين الإسلامية، أصوا الفقه، الجزء الثاني،كونتور: مطبعة دار السلام،.

عبد الرحمن الشربني، تكرير على الحسيّة البناني على الشرح جمع الجوامع، الجزء الثاني، بيروت-لبنين: دار الفكر،.

عبد الوهاب الخلاف، علم صول الفقه، الطبع الثانية العشرة، دار القلم،

المكتبة الشاملة،  الموطأ للإمام مالك، رواية يحيى الليثي، باب من أدرك ركعة من الصلاة، الجزء الأول.

________، صحيح البخاري، حسب ترقيم فتح، كتاب بدء الوحي، الجزء الثالث.

وهبة الزهيلي، إصول الفقه الإسلامي، الجزء الثاني، بيروت-لبنان: دار الفكر، الطبعة الثالثة،.

Azumardi Azra, dkk, Ensiklopedi Islam, jilid : 2, Jakarta: PT Ikrar Mandiri.

Rahmat Syafe’i, Ilmu Usul Fiqih untuk UIN, STAIN, PTASIS, Bandung: Pustaka Setia.

Chaerul Umam. Dkk, Ushul Fiqih 1 (untuk Fakultas Syari’ah komponen MKDK), Bandung: Pustaka Setia.

Muhammad Ma’shum Zein, Ilmu Ushul Fiqh, Jombang : Darul Hikmah dan Maktabah Al-Syarifah Al-Khodijah.

Alaidin Koto, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, Raja Grafindo

[1] Dosen Tetap Fakultas Syari’ah Institut Agama Islam Ma’arif Nu Metro Lampung

[2] Abdul Karim Zaidan, al-Wajiz fi ushul al-Fiqh, Dar tauzi’ wa an-Nasr al-Islami, Kairo, h. 264. Lihat juga أبو لويس، المنجد في اللغة، بيروت-لبنان: دار المشرق

[3] Qutub Mustafa Sano, Mu’jam Musthalah Ushul fiqh, Dar al-Fikr, Beirut, h. 56

[4] Kamus al-Munawwir, Bab صحب, h. 764

[5] Kamus Misbahul Munir, Kitab shad, Jilid 1, h. 333

[6] Abdul Karim Zaidan, h. 264

[7] عبد الوهاب الخلاف، علم صول الفقه، الطبع الثانية العشرة، دار القلم Sebagaimana dikutip dalam Mu’jam Musthalah Ushul Fiqh, h. 56

[8] Ibid.

[9] اعلام الموقعين, ج 1 ص 294

  [10] Muslim, Shahih Muslim, Bab Wudlu, Juz 1 h. 6

[11] Jalaluddin al-Syuyuti, al-Asybah wa al-Nadhair, Bab al-Halaby, Kairo, h. 95

[12] Abdul Karim Zaidan, h. 266

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA