Mengapa dalam penggunaan bahasa hukum isi peraturan tidak boleh mengandung argumentasi

HomeUncategorizedASAS-ASAS HUKUM SEBAGAI TOLOK UKUR PERTENTANGAN NORMA HUKUM DALAM PUTUSAN PENGUJIAN UNDANG-UNDANG

ASAS-ASAS HUKUM SEBAGAI TOLOK UKUR PERTENTANGAN NORMA HUKUM DALAM PUTUSAN PENGUJIAN UNDANG-UNDANG

Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Jalan Lingkar Selatan, Tamantirto,

Kasihan, Bantul, Yogyakarta, 55183. E-mail: tanto_

Makalah ini akan mengelaborasi asas-asas hukum sebagai tolok ukur pertentangan norma hukum dalam pengujian undang-undang. Asas-asas hukum, seperti asas keadilan, asas kemanfaatan dan asas kepastian hukum dapat menjadi tolok ukur dalam pengujian materiil maupun formil. Dalam pengujian materiil, asas-asas hukum digunakan sebagai landasan penafsiran Pasal 34 Undang-undang No.30 Tahun 2002. Dalam pengujian formil, asas-asas hukum dijadikan dasar untuk menilai dan membatalkan undang-undang yang dapat menimbulkan konflik sosial di masyarakat Papua. Dalam pengujian undang-undang, asas-asas hukum juga dapat menyimpangan pertentangan norma hukum secara formil dan memiliki ketentuan berlaku surut.

Kata Kunci: Pengujian Undang-Undang, Asas-asas Hukum, Pertentangan Norma

Sejak lahirnya Indonesia dengan proklamasi kemerdekaan serta ditetapkannya Undang-undang Dasar 1945 sebagai konstitusinya, maka terbentuk pula sistem norma hukum Negara Republik Indonesia. Untuk memahami sistem norma hukum tersebut diperlukan pendekatan teori jenjang norma (Stufentheorie) dari Hans Kelsen dan teori jenjang norma hukum (die Theorie Vom Stufentordnung der Rechtsnormen) dari Hans Nawiasky, sebab teori tersebut mempengaruhi pembentukan sistem norma hukum Indonesia. Dalam pandangan Hans Kelsen bahwa norma-norma hukum tersebut berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu heirarki/ tata susunan, sehingga dalam hal tata susunan sistem norma maka norma tertinggi menjadi dasar dan tempat bergantungnya norma-norma di bawahnya, apabila norma dasar tersebut berubah, maka akan menjadi rusak sistem norma yang ada di bawahnya.[1]

Lebih lanjut Hans Kelsen membagi jenjang norma tersebut dalam beberapa jenjang penormaan secara berlapis atau bertahap, yaitu mulai dari grundnorm(sebagai jenjang norma tertinggi) sampai dengan norm (sebagai jenjang norma yang ada dibawahnya).[2] Teori Hans Kelsen ini kemudian dikembangkan oleh seorang muridnya, yang bernama Hans Nawiasky, dalam teorinya yang mengkaitkan jenjang norma hukum dengan keberadaan suatu negara. Dalam pandangannya, bahwa jenjang norma hukum tersebut tidak hanya berjenjang tetapi juga berkelompok.[3]

Menurut Hamid.S.Attamimi teori Hans Nawiasky jika dihubungkan dengan negara hukum Indonesia, mempunyai struktur heirarki tata susunan sebagai berikut :[4]

1.    Staatsfundamental norm: Pancasila (Pembukaan UUD 1945)

2.    Staatsgrundgesetz: Batang tubuh UUD 1945, TAP MPR, dan Konvensi Ketatanegaraan.

3.    Formell gesetz: Undang-Undang

4.    Verordnungen autonome satzung: Secara herarkis mulai dari peraturan Pemerintah hingga Keputusan Bupati atau Walikota.

Hierarki norma hukum bertujuan menentukan derajatnya masing-masing dengan konsekuensi jika ada peraturan yang bertentangan maka yang dinyatakan berlaku adalah yang derajatnya lebih tinggi. Dalam hal ini berlaku asas lex superiori derogat legi inferiori (hukum yang derajatnya lebih tinggi mengesampingkan hukum yang derajatnya lebih rendah).[5] Dalam konteks ini sering dimaknai sebagai prinsip atau asas konstitusionalitas undang-undang (constitutionality of law), dimana konsekuensinya harus ada mekanisme yang dapat menjamin bahwa undang-undang yang dibuat tidak bertentangan dengan undang-undang dasar. Inilah cikal bakal lahirnya praktik ketatanegaraan sebagai pengujian undang-undang terhadap undang-undang dasar atau konstitusi.

Berdasarkan Pasal 24C UUD 1945, Mahkamah Konstitusi menguji Undang-undang terhadap UUD, dalam hal ini Mahkamah Konstitusi sebagai penafsir sah terhadap undang-undang dasar atau konstitusi (the legitimate interpreter of the constitution).[6]Ketentuan tersebut diperkuat dengan adanya Undang-undang No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, Pasal 10 menyebutkan bahwa Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji  undang-undang  terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yakni putusan  Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh.

Kewenangan pengujian Undang-undang terhadap Undang-undang Dasar 1945 oleh Mahkamah Konstitusi, dalam praktiknya harus menilai dan menentukan pertentangan norma hukum. Terkait penggunaan asas-asas hukum dalam praktek Mahkamah Konstitusi masih mengandung permasalahan: pertama, tidak dijelaskan secara rinci mengenai penggunaan asas-asas hukum dalam menilai pertentangan norma hukum, padahal dalam praktek penggunaan asas-asas tersebar dalam berbagai putusan pengujian undang-undang. Kedua, merujuk pada pandangan Machmud Aziz bahwa pengertian bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi perlu mendapat penjelasan yang tepat.[7] Dalam pandangan Saldi Isra, bahwa makna pertentangan norma hukum tersebut harus dikaji dan dijelaskan secara tepat,[8] dalam hal ini memunculkan masalah mengenai makna sebuah norma undang-undang bertentangan dengan asas-asas hukum baik secara materiil dan formil.

Ketiga, tidak jelasnya penggunaan asas-asas hukum yang dapat mengenyampingkan fakta pertentangan norma hukum, sebab salam praktek Mahkamah Konstitusi terdapat pengeyampingan pertentangan norma hukum demi asas kemanfaatan hukum. Berdasar permalasahan tersebut, kajian ini hadir untuk mengurai benang kusut yang masih menjadi problem penggunaan asas-asas hukum sebagai tolok ukur dalam menilai pertentangan norma hukum dalam putusan pengujian undang-undang.

1.    Pertentangan Norma Hukum dan Asas-asas Hukum

Secara sederhana pertentangan norma hukum dapat dimaknai adanya norma hukum undang-undang baik materi (materiil) maupun proses pembentukannya (formil) yang tidak sesuai/ berbeda dengan norma yang melandasinya (UUD 1945), ketidaksesuaian atau perbedaan tersebut yang menyebabkan undang-undang tidak memiliki landasan keberlakuan, sehingga harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Secara teoritis bangunan pertentangan norma hukum sebagai inti dari pengujian undang-undang tidak muncul begitu saja, sebuah norma hukum tidak akan bertentangan dengan norma diatasnya atau bertentangan dengan nilai dan asas hukum jika berpedoman pada petunjuk (guideline) yang telah ditetapkan dalam bangunan nilai-nilai hukum dan asas-asas hukum yang bersumber pada Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Pertentangan norma hukum memiliki embrio dari adanya nilai-nilai yang berpasangan dan bertegangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang saling bertentangan.

Menurut Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekano bahwa nilai hukum, asas hukum, norma/ kaidah hukum, dan sikap tindak hukum tersusun dalam “stufenbau”,[9] yang mengandung konsekuensi, yaitu:  (1) Nilai-nilai hukum merupakan petunjuk dan pengarah terwujudnya asas-asas hukum, (2) nilai hukum dan asas hukum sebagai petunjuk dan pengarah dalam pembuatan norma atau kaidah hukum, dan (3) nilai, asas, dan kaidah/ norma hukum sebagai petunjuk dan pengarah sikap tindak hukum penyelenggaraan berbangsa dan bernegara. Pada hakikatnya nilai-nilai hukum tergabung dalam jalinan yang saling berpasangan dan bertegangan, yang tidak dapat dipisahkan dan merupakan satu kesatuan dalam membentuk jalinan yang bulat dalam mewujudkan suatu hukum yang efektif (berbeda nyata) dan efisien (tepat guna), nilai tersebut meliputi:

1.    Kesadaran penguasa dan warga masyarakat akan makna dan hakikat hukum yang kemudian dapat menjadi sumber keadilan, kedamaian, kesejahteraan rohaniah dan jasmaniah sebagai tujuan hukum;

2.    Keserasian antara kejasmanian (aspek lahir) dan kerohanian (aspek batin) yang pada dasarnya menghasilkan atau mewujudkan kesejahteraan material dan spiritual;

3.    Keserasian antara kepastian hukum dan kesebandingan hukum yang menghasilkan keadilan;

4.    Keserasian antara keketatan hukum dengan keluwesan hukum yang menghasilkan kewibawaan hukum;

5.    Keserasian antara kebebasan dengan ketertiban yang menghasilkan kedamaian;

6.    Keserasian antara proteksi hukum dan retriksi hukum yang menghasilkan kemantapan;

7.    Keserasian antara kebaruan dengan kelestarian yang menghasilkan perkembangan kualitatif dan kuantitatif. [10]

Artinya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara terdapat sesuatu yang diinginkan (positif) dan sesuatu yang tidak diinginkan (negatif), nilai bersifat positif dalam arti bahwa nilai tersebut menguntungkan atau menyenangkan dan memudahkan pihak yang memperolehnya untuk memenuhi kepentingan-kepentingan yang berkaitan dengan nilai tersebut. Nilai negatif merupakan sesuatu yang tidak diinginkan sebab merugikan dan menyulitkan pihak yang memperolehnya untuk memenuhi kepentingannya. Nilai-nilai yang bersifat positif tersebut telah terdesain dalam Pancasila dan UUD 1945, nilai-nilai Pancasila merupakan general acceptance of the same philosophy of government dari konstitusi, dengan demikian Pancasila yang menjadi dasar norma-norma konstitusional dan harus menjadi pedoman dan orientasi dalam melakukan penafsiran norma konstitusi.[11]

Nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan/ Kebangsaan, Kerakyatan, dan Keadilan Sosial dalam praktik hukum melahirkan beberapa asas-asas hukum, misalnya Pasal 28D terdapat prinsip kepastian hukum yang adil, Pasal 27 terkandung prinsip persamaan dan keadilan, dan lainnya. Dalam pandangan teori hukum klasik yang dikemukakan oleh Gustav Radbruch bahwa hukum setidaknya harus mencerminkan tiga asas hukum, yaitu: kepastian hukum (rechtssicherheit), kemanfaatan (zweckmassigkeit) dan keadilan (gerechtigkeit).[12] Ketiga unsur ini harus dipertimbangkan dalam penegakan hukum dan diterapkan secara proporsional, sehingga pada gilirannya dapat dihasilkan putusan yang berkualitas dan memenuhi harapan para pencari keadilan.[13]

Pandangan Philipus M.Hadjon bahwa asas-asas hukum berfungsi sebagai dasar pengujian dalam pembentukan aturan hukum (uji formil) maupun sebagai dasar pengujian terhadap aturan hukum yang berlaku (uji materiil).[14]Senada dengan pandangan tersebut, dikemukakan oleh Yuliandri bahwa dalam hubungannya dengan pelaksanaan fungsi asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik dapat dijadikan dasar dalam pelaksanaan pengujian terhadap undang-undang baik secara materiil maupun formil.[15] Merujuk pada pandangan tersebut bahwa asas-asas hukum dapat dijadikan dasar dalam menilai pertentangan norma hukum dalam pengujian undang-undang oleh Mahkamah Konstitusi.

2.    Asas-asas Hukum Sebagai Landasan Penafsiran Hukum Dalam Pengujian Materiil

Dalam studi ilmu hukum tata negara, penafsiran suatu naskah hukum (konstitusi dan dokumen hukum lainnya) merupakan suatu hal yang niscaya, karena gagasan dan semangat yang terkandung dalam suatu naskah hukum terkait dengan ruang dan waktu, dalam arti erat kaitannya dengan situasi dimana dan ketika naskah hukum itu diterapkan.[16] Penafsiran merupakan metode penemuan hukum (rechtvinding), sebab metode ini merupakan sarana atau alat untuk mengetahui makna undang-undang,[17] jadi penafsiran hukum dapat digunakan untuk menilai suatu undang-undang yang isinya bertentangan atau tidak terhadap konstitusi (sebagai tolok ukur pertentangan norma).

Intinya bahwa menguji isi undang-undang berarti membandingkan dan di dalamnya termasuk process of discovering and expounding the meaning of the articles of law and the constitution (proses penemuan dan penguraian norma konstitusi).[18] Jadi dalam wewenang menilai pertentangan norma hukum sebagai inti pengujian undang-undang dapat dilakukan dengan metode penafsiran hukum.Bahkan Mahkamah Konstitusi merupakan lembaga negara yang berfungsi sebagai penafsir sah terhadap konstitusi (the legitimate interpreter of the constitution).[19]

Penggunaan metode penafsiran tidak boleh hanya semata-mata terpaku pada metode penafsiran originalisme yang mendasarkan diri pada original intent atau perumusan pasal UUD 1945, atau menggunakan penafsiran lain yang menyebabkan penafsiran demikian justru menyebabkan tidak bekerjanya ketentuan UUD 1945 sebagai suatu sistem dan/atau bertentangan dengan gagasan utama yang melandasi Undang-undang Dasar itu sendiri secara keseluruhan berkait dengan tujuan yang hendak diwujudkan.[20] Mahkamah Konstitusi harus memahami Undang-undang Dasar 1945 dalam konteks keseluruhan jiwa (spirit) yang terkandung di dalamnya guna membangun kehidupan ketatanegaraan yang lebih tepat dalam upaya mencapai cita negara (staatidee) yaitu mewujudkan negara hukum demokratis dan negara demokrasi berdasarkan hukum yang merupakan penjabaran dari pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945. Salah satu cara yang dilakukan adalah menggunakan metode penafsiran hukum dengan mengacu pada landasan asas-asas hukum yang terkandung dalam Pancasila.

Putusan Mahkamah Konstitusi yang menggunakan penafsiran hukum berbasis asas-asas hukum sebagai tolok ukur dalam menentukan pertentangan norma hukum adalah Putusan No. 5/PUU-IX/2011 perihal pengujianmateriil Pasal 34 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 4 ayat (2) PMK No.06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-undang, mengatur mengenai pengujian materiil sebagai berikut: Pengujian materiil adalah pengujian undang-undang yang berkenaan dengan materi muatan, ayat, pasal dan/atau bagian undang-undang dianggap bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945”.

Persoalan konstitusionalitas Pasal 34 UU KPK: “Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi memegang jabatan selama 4 (empat) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatanberawal dari adanya fakta hukum bahwa DPR RI dan Presiden menentukan masa jabatan anggota yang mengganti Pimpinan KPK yang berhenti dalam masa jabatannya adalah hanya melanjutkan sisa masa jabatan dari Pimpinan KPK yang digantinya. Dalam menentukan masa jabatan pimpinan pengganti tersebut, DPR RI mendasarkan pada penafsiran Pasal 21 ayat (5) UU KPK yang menentukan bahwa Pimpinan KPK bekerja secara kolektif kolegial, sehingga ketentuan Pasal 34 UU KPK dimaknai bahwa Pimpinan KPK berhenti secara bersamaan. Dengan demikian, Pimpinan pengganti yang menggantikan anggota pimpinan yang berhenti dalam masa jabatannya hanya bertindak sebagai pengganti antarwaktu, karena itu hanya melanjutkan masa jabatan anggota pimpinan yang digantikan itu.

Putusan Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Pasal 34 UU KPK bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 sepanjang tidak dimaknai bahwa Pimpinan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi baik pimpinan yang diangkat secara bersamaan maupun pimpinan pengganti yang diangkat untuk menggantikan pimpinan yang berhenti dalam masa jabatannya memegang jabatan selama 4 (empat) tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali hanya untuk sekali masa jabatan.[21] Putusan Mahkamah yang menafsirkan Pasal 34 UU KPK ini merujuk pada prinsip umum yang terkandung dalam konstitusi yaitu asas/prinsip kepastian hukum yang adil, prinsip persamaan dan keadilan, prinsip kemanfaatan hukum, serta prinsip kepentingan umum. Prinsip-prinsip tersebut, adalah merupakan nilai-nilai dasar yang terkandung dalam konstitusi dan menjadi semangat keberadaan sebuah negara yang berdasar pada sistem konstitusional.[22]

Putusan Mahkamah Konstitusi yang menafsirkan Pasal 34 UU KPK dengan mengacu pada asas-asas hukum adalah putusan progresif, sekalipun bertentangan dengan penafsiran pembentuk undang-undang (DPR dan Presiden), hal ini mengingat bahwa urgensi penafsiran adalah penafsiran fakta yang merupakan pembuatan dan pelaksanaan norma yang valid. Putusan ini merupakan putusan konstitusional bersyarat (Conditionally Constitutional), konstitusional bersyarat dalam arti bahwa implementasi sebuah undang-undang (Pasal 34 UU KPK) harus sesuai norma hukum dalam undang-undang tersebut, jadi implementasi undang-undang oleh pemerintah atau lembaga negara lainnya sesuai dengan penafsiran Mahkamah Konstitusi (setelah ada putusan) maka bersifat konstitusional, namun jika implementasi undang-undang tidak sesuai dengan penafsiran Mahkamah Konstitusi maka Undang-Undang tersebut bertentangan dengan konstitusi.

Putusan konstitusional bersyarat (conditionally constitutional)tersebut merupakan hasil penafsiran hakim yang mengacu pada asas-asas hukum, menurut Satjipto Rahardjo bahwa penafsiran hukum itu merupakan jantung hukum, hampir tidak mungkin hukum bisa dijalankan tanpa membuka pintu penafsiran. Penafsiran hukum merupakan aktifitas yang mutlak terbuka untuk dilakukan, sejak hukum berbentuk tertulis. Diajukan sebuah adagium “membaca hukum adalah menafsirkan hukum, mengatakan teks hukum sudah jelas, adalah suatu cara saja bagi pembuat hukum untuk bertindak pragmatis seraya diam-diam mengakui, bahwa ia mengalami kesulitan untuk memberikan penjelasan.[23]

Sebagai jantung hukum penafsiran harus dilakukan dengan berpedoman pada asas-asas hukum yang bersumber dari Pancasila, asas-asas hukum dalam hal ini harus dipandang sebagai dasar-dasar umum atau petunjuk-petunjuk bagi hukum yang berlaku dan pembentukan hukum praktis perlu berorientasi pada asas atau prinsip hukum, sehingga dengan kata lain asas atau prinsip hukum adalah dasar-dasar atau petunjuk arah dalam pembentukan hukum positif(undang-undang).[24] Asas kepastian hukum yang adil, asas persamaan dan keadilan, asas kemanfaatan hukum, serta asas kepentingan umum merupakan prinsip yang terkandung dalam substansi UUD 1945, misalnya Pasal 28D terdapat prinsip kepastian hukum yang adil, Pasal 27 terkandung prinsip persamaan dan keadilan, dan lainnya. Asas-asas hukum yang terkandung dalam UUD 1945 tersebut berfungsi menafsirkan aturan-aturan hukum dan memberikan pedoman bagi perilaku, sekalipun tidak secara langsung sebagaimana terjadi dengan norma-norma perilaku. Asas-asas hukum menjelaskan dan menjustifikasi norma-norma hukum yang didalamnya terkandung (bertumpu) nilai-nilai ideologis tertib hukum. Menurut Herlien Budiono, asas hukum bertujuan untuk memberikan arahan yang layak dan pantas dalam hal menggunakan atau menerapkan aturan-aturan hukum.[25]

3.    Asas Hukum Sebagai Tolok Ukur Pengujian Formil

Putusan Mahkamah Konstitusi No.018/PUU-I/2003 menyatakan bahwa Undang-Undang No.45 Tahun 1999bertentangan dengan UUD 1945, dengan didasarkan pada pertimbangan pemberlakuan undang-undang a quo yang secara keseluruhan menimbulkan ketidakpastian hukum dan secara sosial politis dapat menciptakan konflik sosial. Jimly Asshiddiqie[26]dan Asosiasi Hukum Acara Mahkamah Konstitusi[27]menggolongkan putusan Mahkamah Konstitusi No.018/PUU-I/2003 yang menitikberatkan pengujian keberlakuan Undang-undang No. 45 Tahun 1999 tentang Pemekaran Propinsi Irian Jaya sebagai bagian dari pengujian formil dengan mendasarkan argumen bahwa pengujian formil termasuk pengujian atas hal-hal yang tidak termasuk dalam pengujian materiil, termasuk di dalamnya pengujian keberlakuan. Pasal 4 ayat (3) Peraturan Mahkamah Konstitusi No.06/PMK/2005 yang mengatur bahwa “pengujian formil adalah pengujian undang-undang yang berkenaan dengan proses pembentukan undang-undang dan hal-hal yang tidak termasuk pengujian materiil”, oleh Mahkamah Konstitusi kalimat terakhir dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi tersebut maknanya termasuk aspek keberlakuan sebuah undang-undang.

Dalam putusan tersebut disebutkan bahwa ketidakpastian hukum dan konflik sosial disebabkan adanya benturan hukum antara Undang-Undang No.45 Tahun 1999 denganUndang-undang No.21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua. Menariknya putusan ini adalah pembatalan Undang-Undang No.45 Tahun 1999 dengan alasan bahwa keberlakuan undang-undang tersebut telah menyebabkan ketidakpastian hukum, sehingga lebih lanjut dapat menimbulkan konflik antar masyarakat Papua.

Pada intinya pengujian ini menekankan bahwa undang-undang harus berorientasi pada tata nilai yang berlaku (kosmologi Indonesia) dan berkeadilan, bermanfaat, dan berkepastian hukum dalam masyarakat. Pambatalan Undang-Undang No.45 Tahun 1999 ini di dasari pemahaman bahwa terdapat syarat sosiologis yang mewajibkan setiap undang-undang a quo harus sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat demi terselenggaranya Negara Hukum Pancasila yang sejahtera, adil dan demokratis yang mampu mengayomi segenap masyarakat Indonesia.[28] Jika ada undang-undang yang diberlakukan dapat menciptakan konflik sosial di masyarakat, maka undang-undang tersebut harus dibatalkan.

Konteks pemahaman “keberlakuan undang-undang dapat menciptakan konflik sosial” adalah adanya pelanggaran materi undang-undang terhadap asas kemanfaatan hukum, dimana undang-undang dibuat agar memberikan manfaat bagi masyarakat (asas kemanfaatan hukum). Substansi undang-undang yang baik adalah sebagai jalan untuk mencapai tujuan hukum dalam mencapai kedamaian, kedamaian dalam arti keserasian antara nilai ketertiban dengan ketentraman.[29] Menurut Van Eikema Hommes sebagaimana dikutip oleh Sudikno Mertokusumo bahwa asas-asas hukum tidak boleh dianggap sebagai norma hukum konkrit, tetapi perlu dipandang sebagai dasar-dasar umum atau petunjuk-petunjuk bagi hukum yang berlaku dan pembentukan hukum praktis perlu berorientasi pada asas atau prinsip hukum, sehingga dengan kata lain asas atau prinsip hukum adalah dasar-dasar atau petunjuk arah dalam pembentukan hukum positif.[30]

Artinya jelas bahwa keberlakuan undang-undang yang menimbulkan konflik sosial di masyarakat bertentangan dengan asas-asas hukum yang berfungsi sebagai petunjuk penuangan materi undang-undang. Merujuk pada pandangan Satjipto Rahardjo bahwa capaian hukum dalam perspektif sosiologi hukum adalah untuk menyelesaikan permasalahan (konflik) kehidupan manusia dengan lingkungannya. Filosofi teori hukum alam adalah kesatuan dengan kondisi lingkungan, sehingga kalangan sosiologi hukum selalu mengaitkan aturan hukum dengan kondisi masyarakat dan lingkungan sekitarnya.[31]

Dalam bahasa Bagir Manan bahwa landasan sosiologis harus termasuk kecenderungan-kecenderungan dan harapan-harapan masyarakat. Tanpa memasukan kecenderungan dan harapan, maka peraturan perundang-undangan hanya sekedar merekam seketika (moment opname) yang akan menyebabkan kelumpuhan peranan hukum. Hal ini justru akan bertentangan dengan sisi lain yang diharapkan peraturan perundang-undangan dapat mengarahkan perkembangan masyarakat.[32] Senada dengan pendangan di atas, dikemukakan oleh Erman Radjagukguk bahwa undang-undang yang baik merupakan undang-undang yang memiliki unsur: (1) norma harus sesuai dengan perasaan hukum masyarakat; (2) isinya merupakan pesan yang dapat dimengerti masyarakat; (3) ada aturan implementasi; (4) harus ada sarana pelaksananya; (5) harus sinkron dengan undang-undang yang lain.[33]

4.    Pengenyampingan Pertentangan Norma Hukum Demi Asas-asas Hukum

Asas-asas hukum selain dapat diigunakan sebagai tolok ukur dalam putusan pengujian undang-undang, juga dapat dijadikan dasar untuk mengenyampingkan pertentangan norma hukum. Contoh pengeyampingan pertentangan norma hukum demi asas hukum adalah Putusan Mahkamah Konstitusi No.27/PUU-VII/2009 perihal Pengujian Undang-Undang No.3 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No.14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Pendapat Mahkamah Konstitusi yang merujuk pada hasil temuannya bahwa pembentukan Undang-undang No.3 Tahun 2009 telah terbukti “cacat prosedural” atau pembentukan undang-undang yang tidak sesuai dengan tata cara pembentukan UUD 1945. Idealnya jika merujuk pada logika positivisme hukum yang menekankan kepastian teks hukum, maka undang-undang tersebut harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Meskipun terdapat cacat prosedural dalam pembentukan undang-undang, namun secara materiil undang-undang tersebut tidak menimbulkan persoalan hukum dan materinya lebih baik, sehingga penilaian cacat prosedural tersebut dijadikan koreksi pembentukan undang-undang. Pengenyampingan pertentangan norma hukum secara formil demi asas kemanfatan hukum adalah tepat dan benar, sebab pengujian formil terkait dengan proses pembentukan harus melihat terlebih dahulu substansi / materi undang-undang yang dilahirkan. Proses pembentukan undang-undang memberikan pengaruh terhadap kualitas undang-undang yang dihasilkan, namun jika proses yang cacat prosedural tetapi kualitas materinya baik dan tidak bertentangan dengan UUD 1945, maka undang-undang tersebut tidak harus dibatalkan. Pilihan hukum jika terjadi pertentangan antara pembentukan dengan substansi, maka demi keadilan substantif yang harus diutamakan adalah substansi undang-undang, artinya pertentangan norma hukum secara formil diperbolehkan disimpangi demi asas kemanfaatan dari materi undang-undang yang berkualitas/ baik.

Putusan Mahkamah Konstitusi No.27/PUU-VII/2009 merupakan putusan yang bernalar hukum progresif yang tidak terkungkung oleh kepastian teks, tetapi lebih melihat proses dan materi sebagai satu kesatuan sistem dalam undang-undang. Argumentasi asas kemanfaatan hukum yang dibangun oleh Mahkamah Konstitusi adalah jika undang-undang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat maka akan mengakibatkan keadaan yang tidak lebih baik karena: (i) dalam undang-undang a quo justru terdapat substansi pengaturan yang isinya lebih baik dari undang-undang yang diubah; (ii) sudah diterapkan dan menimbulkan akibat hukum dalam sistem kelembagaan yang diatur dalam undang-undang a quo dan yang berkaitan dengan berbagai undang-undang, antara lain Undang-Undang No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang No.49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No.2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum, dan lembaga lain seperti hubungan antara Komisi Yudisial dengan Mahkamah Agung yang sekarang telah berjalan berdasarkan UU No.3 Tahun 2009.

Substansi undang-undang yang baik inilah sebagai jalan untuk mencapai tujuan hukum dalam mencapai kedamaian, kedamaian dalam arti keserasian antara nilai ketertiban dengan ketentraman. Berdasarkan tujuan filosofis tersebut, maka asas kemanfaatan dari undang-undang adalah undang-undang tersebut memberikan kontribusi bagi penataan kelembagaan hubungan Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung yang dalam undang-undang terdahulu menimbulkan banyak permasalahan. Asas perlunya pengaturan merupakan asas bahwa pembentukan undang-undang yang berkaitan dibentuk untuk mengatasi masalah,[34] jadi Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 dibentuk untuk mengatasi permasalahan kekosongan hukum dan konflik antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial.

Selain itu, demi asas hukum, putusan Mahkamah Konstitusi dapat diberlakukan secara surut (berlaku surut), putusan ini menyimpangi Pasal 47 Undang-undang Mahkamah Konstitusi: “Putusan mahkamah konstitusi memperoleh kekuatan hukum mengikat sejak selesai diucapkan dalam siding pleno terbuka untuk umum”. Hal ini terbukti dalam berbagai putusan, misalnya (1) Putusan No.110-111-112-113/PUU-VII/2009 bertanggal 7 Agustus 2009 yang menjadi landasan penetapan anggota-anggota DPR periode 2009-2014 terutama berkaitan dengan penetapan anggota DPR berdasar perhitungan Tahap III yang semula telah ditetapkan secara salah oleh KPU; dan (2) Putusan No. 5/PUU-IX/2011 perihal Pengujian Pasal 34 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Putusan yang berlaku surut ini didasari penggunaan asas kemanfaatan yang merupakan asas dan tujuan universal dalam hukum, alasan yang mendasari penetapan retroaktif secara khusus tersebut, antara lain adalah ”telah” dan ”terus” berlangsungnya satu penerapan isi undang-undang berdasar penafsiran yang salah sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dan kerugian konstitusional dan karenanya harus dihentikan. Penghentian ketidakpastian hukum dan kerugian konstitusional itu harus menjangkau secara retroaktif sejak ditetapkannya penafsiran yang salah tersebut, saat mana mulai timbul ketidakpastian hukum dan kerugian konstitusional tersebut.[35]

Asas-asas hukum, seperti asas keadilan, asas kemanfaatan dan asas kepastian hukum dapat menjadi tolok ukur dalam menilai pertentangan norma hukum baik secara materiil maupun secara formil. Dalam pengujian materiil, penggunaan asas-asas hukum sebagai landasan penafsiran hukum, misalnya penafsiran hukum Pasal 34 Undang-undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam pengujian formil, asas-asas hukum digunakan untuk melakukan penilaian pertentangan norma hukum, asas-asas hukum ini dijadikan dasar untuk menilai dan membatalkan undang-undang yang dapat menimbulkan konflik sosial di masyarakat Papua. Pembatalan lebih didasarkan argumen bahwa undang-undang yang diberlakukan telah melangar atau tidak sesuai dengan asas kemanfaatan hukum yang dijamin dalam UUD 1945

Asas-asas hukum (asas kemanfaatan hukum) dapat menyimpangan pertentangan norma hukum secara formil, hal ini dapat dibuktikan bahwa pembentukan undang-undang yang tidak sesuai atau bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945 tidak dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Alasan pengenyampingan demi asas kemanfaatan adalah materi undang-undang yang lebih baik daripada undang-undang yang dirubah, selain itu undang-undang yang bersangkutan sudah diterapkan dan menimbulkan akibat hukum dalam sistem kelembagaan kekuasaan kehakiman di Indonesia.

Merujuk pada uraian di atas, beberapa hal yang dapat dijadikan saran dalam kajian ini, yaitu: (1) Perlu adanya pengaturan dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi mengenai penggunaan tolok ukur asas-asas hukum baik dalam pengujian formil maupun materiil; (2) Perlu adanya batasan yang jelas mengenai praktik pengenyampingan pertentangan norma hukum demi asas kemanfaatan sebagai tujuan hukum.

[1] Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan: Dasar-dasar dan Pembentukannya, (Yogyakarta: Kanisius, 1998), hlm.25

[2] Jazim Hamidi, Revolusi Hukum Indonesia: Makna, Kedudukan, dan implikasi Hukum Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945 dalam Sistem Ketatanegaraan RI, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006) hlm.18

[4] A.Hamid. S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik  Indonesia Dalam Menyelenggarakan Pemerintahan Negara, Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden Yang Berfungsi Pengaturan Dalam Kurun Waktu Pelita I- Pelita IV, (Jakarta: Fakultas Pasca Sarjana Universitas Indonesia, 1990), hlm.287

[5] Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, (Yogyakarta: FH UII Press, 2003), hlm.206.

[6] I Dewa Gede Palguna, Mahkamah Konstitusi, Judicial Review dan Welfare State, (Jakarta: Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan MKRI, 2008), hlm.17

[7] Machmud Aziz, dalam “Aspek-Aspek Konstitusional Pembentukan Peraturan Perundang-undangan”,Jurnal Konstitusi Volume 3 No.3 September 2006, hlm.142

[8] Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi Parlementer DalamSistem Presidensial Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hlm.308

[9] Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekano, Ikthisar Antinomi: Aliran Filsafat Sebagai Landasan Filsafat Hukum, (Jakarta: CV.Rajawali, 1993), hlm.5

[11] Mahfud MD, dalam “Ceramah Kunci Ketua Mahkamah Konstitusi Pada Kongres Pancasila Pada Tanggal 30 Mei 2009”, Agus Wahyudi, Rofiqul Umam Ahmad, Saldi Isra, Sindung Tjahyadi, dan Yudi Latif (ed), Proceeding Kongres Pancasila: Pancasila Dalam Berbagai Perspektif, (Jakarta: Sekjend dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2009), hlm.12-13

[12] Helmi, dalam “Kajian Terhadap Putusan Perkara No: 827/Pid.B/2005/PN.Bjm Tentang Tindak Pidana Penipuan Jual Beli Batubara, Jurnal Yudisial Vol-I/No-03/Desember/2007, hlm.217

[13] M. Hatta Ali, dalam “Peran Hakim Agung Dalam Penemuan Hukum (Rechtsvinding) dan Penciptaan Hukum (Rechtsschepping) Pada Era Reformasi dan Trasformasi”, Bunga Rampai Komisi Yudisal dan Reformasi Peradilan, Komisi Yudisial, Jakarta, hlm.90

[14] Hamid S.Atatmimi, Op.Cit., hlm.331

[15] Yuliandri, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Baik: Gagasan Pembentukan Undang-undang Berkelanjutan, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), hlm.223

[16] Jimly Asshiddiqie, Teori dan Aliran Penafsiran Hukum Tata Negara, (Jakarta: InHilco, 1998), hlm.16

[17] Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993), hlm.13

[18] Rosjidi Ranggawidjaja, Wewenang Manafsirkan dan Mengubah Undang-Undang Dasar, (Bandung: PT.Citra Bakti Akademika, 1996), hlm.47

[19] I Dewa Gede Palguna, Op.Cit., hlm.17

[20] Asosiasi Pengajar Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan MKRI, 2010), hlm.77-78.

[21] Putusan No. 5/PUU-IX/2011 perihal Pengujian Pasal 34 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, hlm.78

[23] Feri Amsari, dalamSatjipto Rahardjo dalam Jagat Ketertiban Hukum Progresif, Jurnal Konstitusi, Volume 6, Nomor 2, Juli 2009, hlm.180.

[25] Herlin Budiono, 2006, Asas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia, Hukum Perjanjian Berdasarkan Asas-asas Wigati Indonesia, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm.83

[26] Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-undang, (Jakarta: Yasrif Watampone, 2006), hlm.63

[27] Asosiasi Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Op.Cit., hlm.92

[28] Surono dan Miftakhul Huda (ed), Implementasi Nilai-Nilai Pancasila Dalam Menegakkan Konstitusionalisme Indonesia (Prosiding Sarasehan Nasional 2011), (Jakarta dan Yogyakarta: Mahkamah Konstitusi dan Universitas Gadjah Mada, 2011), hlm.218

[29] Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekano, Op.Cit., hlm.5

[30] Sudikno Mertokusumo, Op.Cit., hlm.32

[31] Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum: Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah, (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2002), hlm.12

[32] Bagir Manan, Peraturan Perundang-undangan Dalam Pembinaan Hukum Nasional, (Bandung: Armico, 1987), hlm.16

[33] Yuliandri, Op.Cit., hlm.137

[35] Putusan No. 5/PUU-IX/2011 perihal Pengujian Pasal 34 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, hlm.76

Asosiasi Pengajar Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, 2010, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Jakarta: Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan MKRI.

A.Hamid. S. Attamimi, 1990, Peranan Keputusan Presiden Republik  Indonesia Dalam Menyelenggarakan Pemerintahan Negara, Suatu Studi Analisis Mengenai Keputusan Presiden Yang Berfungsi Pengaturan Dalam Kurun Waktu Pelita I- Pelita IV, Jakarta: Fakultas Pasca Sarjana Universitas Indonesia.

Bagir Manan, 1987, Peraturan Perundang-undangan Dalam Pembinaan Hukum Nasional, Bandung: Armico.

——-, 2003, Teori dan Politik Konstitusi, Yogyakarta: FH UII Press.

Feri Amsari, Satjipto Rahardjo dalam Jagat Ketertiban Hukum Progresif, Jurnal Konstitusi, Volume 6, Nomor 2, Juli 2009

Helmi, “Kajian Terhadap Putusan Perkara No: 827/Pid.B/2005/PN.Bjm Tentang Tindak Pidana Penipuan Jual Beli Batubara, Jurnal Yudisial Vol-I/No-03/Desember/2007

Herlin Budiono, 2006, Asas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia, Hukum Perjanjian Berdasarkan Asas-asas Wigati Indonesia, Bandung: PT.Citra Aditya Bakti

IDewa Gede Palguna, 2008, Mahkamah Konstitusi, Judicial Review dan Welfare State, Jakarta: Sekretariat Jendral dan Kepaniteraan MKRI.

Jazim Hamidi, 2006, Revolusi Hukum Indonesia: Makna, Kedudukan, dan implikasi Hukum Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945 dalam Sistem Ketatanegaraan RI, Jakarta: Konstitusi Press.

Jimly Asshiddiqie, 1998, Teori dan Aliran Penafsiran Hukum Tata Negara,Jakarta: InHilco.

——-, 2006, Hukum Acara Pengujian Undang-undang, Jakarta: Yasrif Watampone.

Machmud Aziz, “Aspek-Aspek Konstitusional Pembentukan Peraturan Perundang-undangan”,Jurnal Konstitusi Volume 3 No.3 September 2006

Mahfud MD, Ceramah Kunci Ketua Mahkamah Konstitusi Pada Kongres Pancasila Pada Tanggal 30 Mei 2009”, Agus Wahyudi, Rofiqul Umam Ahmad, Saldi Isra, Sindung Tjahyadi, dan Yudi Latif (ed), 2009, Proceeding Kongres Pancasila: Pancasila Dalam Berbagai Perspektif, Jakarta: Sekjend dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi.

Maria Farida Indrati Soeprapto, 1998, Ilmu Perundang-undangan: Dasar-dasar dan Pembentukannya, Yogyakarta: Kanisius.

M. Hatta Ali, “Peran Hakim Agung Dalam Penemuan Hukum (Rechtsvinding) dan Penciptaan Hukum (Rechtsschepping) Pada Era Reformasi dan Trasformasi”, Bunga Rampai Komisi Yudisal dan Reformasi Peradilan, , Jakarta: Komisi Yudisial

Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekano, 1993, Ikthisar Antinomi: Aliran FilsafatSebagai Landasan Filsafat Hukum, Jakarta: CV.Rajawali.

Rosjidi Ranggawidjaja, 1996, Wewenang Manafsirkan dan Mengubah Undang-Undang Dasar, Bandung: PT.Citra Bakti Akademika.

Saldi Isra, 2010, Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi Parlementer DalamSistem Presidensial Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers.

Satjipto Rahardjo, 2002, Sosiologi Hukum: Perkembangan Metode dan Pilihan Masalah, Surakarta: Muhammadiyah University Press

Sudikno Mertokusumo, 1993, Penemuan Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti.

Surono dan Miftakhul Huda (ed), 2011, Implementasi Nilai-Nilai Pancasila Dalam Menegakkan Konstitusionalisme Indonesia (Prosiding Sarasehan Nasional 2011), (Jakarta dan Yogyakarta: Mahkamah Konstitusi dan Universitas Gadjah Mada, 2011)

Yuliandri,2009, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Yang Baik: Gagasan Pembentukan Undang-undang Berkelanjutan, Jakarta: Rajawali Pers.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA