Mengapa Belanda menganggap Aceh sebagai tempat yang sulit untuk ditaklukkan

Senin, 03 September 2018 - 05:00 WIB

Aceh, Satu-satunya Daerah yang Tak Bisa Dikuasai Belanda

Aceh merupakan daerah yang menyimpan banyak keistimewaan. Selain pemberlakuan Syariat Islam, Aceh menjadi satu-satunya daerah yang tak dapat dikuasai Belanda.Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh ini telah dijelaskan dalam UU Nomor 44 Tahun 1999 yang disahkan oleh Presiden RI ketiga Bacharuddin Jusuf Habibie, 4 Oktober 1999. Kemudian, keistimewaan Aceh diperkuat lagi dengan lahirnya UU Nomor 18 Tahun 2001.Aceh pertama kali bernama Aceh Darussalam (1511-1959). Kemudian Daerah Istimewa Aceh (1959-2001), Nanggroe Aceh Darussalam (2001-2009), dan terakhir Aceh (2009-sekarang). Ada baberapa pertimbangan yang menjadikan Aceh begitu istimewa dari daerah lain di Indonesia.

Pertama, sejarah panjang perjuangan rakyat Aceh membuktikan adanya ketahanan dan daya juang yang tinggi, yang bersumber dari kehidupan religius, adat yang kukuh, dan budaya Islam yang kuat dalam menghadapi kaum penjajah.

Kedua, kehidupan religius rakyat Aceh yang telah membentuk sikap pantang menyerah dan semangat nasionalisme dalam menentang penjajah dan mempertahankan kemerdekaan merupakan kontribusi yang besar dalam menegakkan NKRI meskipun rakyat Aceh kurang mendapat peluang untuk menata diri.

Ketiga, kehidupan masyarakat Aceh yang religius, menjunjung tinggi adat, dan telah menempatkan ulama pada peran yang terhormat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara perlu dilestarikan dan dikembangkan bersamaan dengan pengembangan pendidikan.

Pada awal abad ke-17, Kesultanan Aceh dikenal sebagai negara terkaya, terkuat, dan termakmur di kawasan Selat Malaka. Dalam sejarahnya Aceh dikenal sebagai pusat perdagangan di Asia Tenggara, yang disinggahi pedagang Timur Tengah menuju ke negeri Cina. Ketika Islam lahir pada abad 6 Masehi, Aceh menjadi wilayah pertama di Nusantara yang menerima Islam. Setelah melalui proses panjang, Aceh menjadi sebuah kerajaan Islam pada abad 7 Masehi. Kemudian berkembang menjadi sebuah kerajaan yang maju pada abad 14 Masehi. Dari sinilah Islam berkembang ke seluruh Asia Tenggara. Pada sekitar abad 15, ketika orang-orang Barat memulai petualangannya di Timur, banyak wilayah di Nusantara yang dikuasainya, tetapi Aceh tetap bebas sebagai sebuah kerajaan yang berdaulat. Dalam percaturan politik internasional, hubungan Kerajaan Aceh Darussalam dengan Belanda yang semula cukup baik, pada abad 19 mengalami krisis. Meskipun demikian, dalam Traktat London 17 Maret 1824, Pemerintah Belanda berjanji kepada Pemerintah Inggris untuk tetap menghormati kedaulatan Kerajaan Aceh. 47 tahun kemudian, dengan berbagai kelicikan, Belanda meyakinkan Inggris untuk tidak menghalanginya menguasai Aceh melalui Traktat Sumatera 1 November 1871. Dua tahun kemudian (1873) Belanda menyerang Aceh, yang berlangsung puluhan tahun dengan korban yang tidak terkira banyaknya pada kedua belah pihak.

Sejak masa itu hingga Perang Dunia II Belanda kehilangan enam orang jenderal dan ribuan perwira serta prajurit. Demikian juga Aceh tidak hanya kehilangan harta dan jiwa, bahkan yang lebih penting, Aceh telah kehilangan kedaulatannya.


Page 2

UU Otonomi Khusus Aceh ini disempurnakan lagi dengan lahirnya UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh. Kini, Aceh yang dihuni 5,1 juta jiwa (2017) hidup bahagia dalam bingkai Syariat Islam. Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh merilis, tingkat kebahagiaan penduduk di Aceh meningkat sebesar 3,31 poin hingga Maret 2017.

Perang Aceh–Belanda atau disingkat Perang Aceh adalah perang Kesultanan Aceh melawan Belanda dimulai pada 1873 hingga 1915. Sultan Aceh Muhammad Daud Syah menyerah pada Januari 1904, akan tetapi perlawanan rakyat Aceh yang dipimpin oleh raja-raja feodal atau Uleebalang dan para ulama dengan perang gerilya masih berlangsung hingga 1915 dan perlawanan sporadis rakyat Aceh terus berlanjut hingga 1942.

Mengapa Belanda menganggap Aceh sebagai tempat yang sulit untuk ditaklukkan
Perang Aceh (1873-1915)
Panglima besar angkatan perang Belanda, Jenderal J.H.R. Kohler tewas ditembak oleh penembak jitu Aceh pada tahun 1873
Tanggal1873-1915 Perlawanan sporadis berlanjut hingga 1942
LokasiKesultanan Aceh dan Wilayah perlindungan Kesultanan Aceh
Hasil
  • Sultan Aceh menyerah dan Kesultanan Aceh dibubarkan
  • Belanda menguasai Aceh
  • Kekuasaan Uleebalang dipulihkan
  • Dibentuknya Karesidenan Aceh beserta daerah taklukannya (Atjeh en Onderhoorigheden).
Perubahan
wilayah
Wilayah Aceh menjadi bagian dari Hindia Belanda
Pihak terlibat

Mengapa Belanda menganggap Aceh sebagai tempat yang sulit untuk ditaklukkan
 Belanda

  • Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL)
Mengapa Belanda menganggap Aceh sebagai tempat yang sulit untuk ditaklukkan
Kesultanan Aceh
Mengapa Belanda menganggap Aceh sebagai tempat yang sulit untuk ditaklukkan
Mujahidin AcehTokoh dan pemimpin

Mengapa Belanda menganggap Aceh sebagai tempat yang sulit untuk ditaklukkan
Johan Köhler 
Mengapa Belanda menganggap Aceh sebagai tempat yang sulit untuk ditaklukkan
Jan van Swieten
Mengapa Belanda menganggap Aceh sebagai tempat yang sulit untuk ditaklukkan
Johannes Pel 
Mengapa Belanda menganggap Aceh sebagai tempat yang sulit untuk ditaklukkan
Karel van der Heijden (WIA)
Mengapa Belanda menganggap Aceh sebagai tempat yang sulit untuk ditaklukkan
Henry Demmeni (DOW)
Mengapa Belanda menganggap Aceh sebagai tempat yang sulit untuk ditaklukkan
Jan Jacob Karel de Moulin 
Mengapa Belanda menganggap Aceh sebagai tempat yang sulit untuk ditaklukkan
Gotfried van Daalen
Mengapa Belanda menganggap Aceh sebagai tempat yang sulit untuk ditaklukkan
Johan Cornelis van der Wijck

Mengapa Belanda menganggap Aceh sebagai tempat yang sulit untuk ditaklukkan
Johannes Benedictus van Heutsz

Mengapa Belanda menganggap Aceh sebagai tempat yang sulit untuk ditaklukkan
Sultan Mahmud Syah
Mengapa Belanda menganggap Aceh sebagai tempat yang sulit untuk ditaklukkan
Sultan Muhammad Daud Syah 
Mengapa Belanda menganggap Aceh sebagai tempat yang sulit untuk ditaklukkan

Mengapa Belanda menganggap Aceh sebagai tempat yang sulit untuk ditaklukkan
Tuanku Hasyim Banta Muda
Mengapa Belanda menganggap Aceh sebagai tempat yang sulit untuk ditaklukkan
Teuku Imeum Lueng Bata
Mengapa Belanda menganggap Aceh sebagai tempat yang sulit untuk ditaklukkan
Habib Abdurrahman Az-Zahir 
Mengapa Belanda menganggap Aceh sebagai tempat yang sulit untuk ditaklukkan

Mengapa Belanda menganggap Aceh sebagai tempat yang sulit untuk ditaklukkan
Panglima Polem
Mengapa Belanda menganggap Aceh sebagai tempat yang sulit untuk ditaklukkan
Teungku Chik di Tiro (KIA)
Mengapa Belanda menganggap Aceh sebagai tempat yang sulit untuk ditaklukkan
Habib Teupin Wan
Mengapa Belanda menganggap Aceh sebagai tempat yang sulit untuk ditaklukkan
Teuku Umar (KIA)
Mengapa Belanda menganggap Aceh sebagai tempat yang sulit untuk ditaklukkan
Cut Nyak Dhien
Mengapa Belanda menganggap Aceh sebagai tempat yang sulit untuk ditaklukkan
Cut Meutia (KIA)
Mengapa Belanda menganggap Aceh sebagai tempat yang sulit untuk ditaklukkan
Teungku Fakinah

Mengapa Belanda menganggap Aceh sebagai tempat yang sulit untuk ditaklukkan
Pocut MeuligoeKekuatan 3,000 (Ekspedisi Pertama)[1]
13,000 (Ekspedisi Kedua)[1]
12,000 KNIL dari Eropa (1903)[2]
23,000 KNIL Pribumi[2] 200.000+ mujahidin AcehKorban 37,000 terbunuh (termasuk kolera)[3] 60–70,000 terbunuh (termasuk kolera)
10,000 mengungsi[4]

Pada tanggal 26 Maret 1873 Belanda menyatakan perang kepada Aceh, dan mulai melepaskan tembakan meriam ke daratan Aceh dari kapal perang Citadel van Antwerpen. Pada 5 April 1873, Belanda mendarat di Pante Ceureumen di bawah pimpinan Johan Harmen Rudolf Köhler, dan langsung bisa menguasai Masjid Raya Baiturrahman. Köhler saat itu membawa 3.198 tentara. Sebanyak 168 di antaranya para perwira.[5][6]

 

Van Heutsz sedang memperhatikan pasukannya dalam penyerangan ke Batee Iliek.

Akibat dari Perjanjian Siak 1858, Sultan Ismail menyerahkan wilayah Deli, Langkat, Asahan dan Serdang kepada Belanda, padahal daerah-daerah itu sejak Sultan Iskandar Muda, berada di bawah kekuasaan Aceh. Belanda melanggar perjanjian Siak, maka berakhirlah perjanjian London tahun 1824. Isi perjanjian London adalah Belanda dan Britania Raya membuat ketentuan tentang batas-batas kekuasaan kedua daerah di Asia Tenggara yaitu dengan garis lintang Singapura. Keduanya mengakui kedaulatan Aceh. Aceh menuduh Belanda tidak menepati janjinya, sehingga kapal-kapal Belanda yang lewat perairan Aceh ditenggelamkan oleh pasukan Aceh. Perbuatan Aceh ini didukung Britania.[7][8]

Dengan dibukanya Terusan Suez oleh Ferdinand de Lesseps menyebabkan perairan Aceh menjadi sangat penting untuk lalu lintas perdagangan. Ditandatanganinya Perjanjian London 1871 antara Inggris dan Belanda, yang isinya, Britania memberikan keleluasaan kepada Belanda untuk mengambil tindakan di Aceh. Belanda harus menjaga keamanan lalulintas di Selat Malaka. Belanda mengizinkan Britania bebas berdagang di Siak dan menyerahkan daerahnya di Guyana Barat kepada Britania.

Akibat perjanjian Sumatra 1871, Aceh mengadakan hubungan diplomatik dengan Konsul Amerika Serikat, Kerajaan Italia dan Kesultanan Usmaniyah di Singapura. Aceh juga mengirimkan utusan ke Turki Usmani pada tahun 1871. Akibat upaya diplomatik Aceh tersebut, Belanda menjadikannya sebagai alasan untuk menyerang Aceh. Wakil Presiden Dewan Hindia Frederik Nicolaas Nieuwenhuijzen dengan 2 kapal perangnya datang ke Aceh dan meminta keterangan dari Sultan Machmud Syah tentang apa yang sudah dibicarakan di Singapura itu, tetapi Sultan Machmud menolak untuk memberikan keterangan.

 

Perang Samalanga pertama pada tanggal 26 Agustus 1877. Panglima besar Belanda, Mayor Jenderal Karel van der Heijden kembali ke pasukannya setelah mendapatkan perawatan pada matanya yang tertembak

Perang Aceh Pertama (1873-1874) dipimpin oleh Panglima Polim dan Sultan Mahmud Syah melawan Belanda yang dipimpin Köhler. Köhler dengan 3000 serdadunya dapat dipatahkan, di mana Köhler sendiri tewas pada tanggal 14 April 1873. Sepuluh hari kemudian, perang berkecamuk di mana-mana. Yang paling besar saat merebut kembali Masjid Raya Baiturrahman, yang dibantu oleh beberapa kelompok pasukan. Ada di Peukan Aceh, Lambhuk, Lampu'uk, Peukan Bada, sampai Lambada, Krueng Raya. Beberapa ribu orang juga berdatangan dari Teunom, Pidie, Peusangan, dan beberapa wilayah lain.

Perang Aceh Kedua (1874-1880). Pasukan Belanda dipimpin oleh Jenderal Jan van Swieten. Belanda berhasil menduduki Keraton Sultan, 26 Januari 1874, dan dijadikan sebagai pusat pertahanan Belanda. Pada 31 Januari 1874 Jenderal Van Swieten mengumumkan bahwa seluruh Aceh jadi bagian dari Kerajaan Belanda. Ketika Sultan Machmud Syah wafat 26 Januari 1874, digantikan oleh Tuanku Muhammad Dawood yang dinobatkan sebagai Sultan di masjid Indrapuri. Perang pertama dan kedua ini adalah perang total dan frontal, di mana pemerintah masih berjalan mapan, meskipun ibu kota negara berpindah-pindah ke Keumala Dalam, Indrapuri, dan tempat-tempat lain.

Perang ketiga (1881-1896), perang dilanjutkan secara gerilya dan dikobarkan perang fi sabilillah. Di mana sistem perang gerilya ini dilangsungkan sampai tahun 1903. Dalam perang gerilya ini pasukan Aceh di bawah Teuku Umar bersama Panglima Polim dan Sultan. Pada tahun 1899 ketika terjadi serangan mendadak dari pihak Van der Dussen di Meulaboh, Teuku Umar gugur. Tetapi Cut Nyak Dhien istri Teuku Umar kemudian tampil menjadi komandan perang gerilya.

Perang keempat (1896-1910) adalah perang gerilya kelompok dan perorangan dengan perlawanan, penyerbuan, penghadangan dan pembunuhan tanpa komando dari pusat pemerintahan Kesultanan.[9]

1910-1915 akhir dari perang besar, akan tetapi perlawanan sporadis rakyat Aceh masih berlanjut hingga 1942 di beberapa tempat yang dilakukan oleh sekelompok pejuang.

 

Christiaan Snouck Hurgronje pada tahun 1930.

Untuk mengalahkan pertahanan dan perlawan Aceh, Belanda memakai tenaga ahli Dr. Christiaan Snouck Hurgronje yang menyamar selama 2 tahun di pedalaman Aceh untuk meneliti kemasyarakatan dan ketatanegaraan Aceh. Hasil kerjanya itu dibukukan dengan judul Rakyat Aceh (De Acehers). Dalam buku itu disebutkan strategi bagaimana untuk menaklukkan Aceh.

Usulan strategi Snouck Hurgronje kepada Gubernur Militer Belanda Joannes Benedictus van Heutsz adalah, supaya golongan Keumala (yaitu Sultan yang berkedudukan di Keumala) dengan pengikutnya dikesampingkan dahulu. Tetap menyerang terus dan menghantam terus kaum ulama. Jangan mau berunding dengan pimpinan-pimpinan gerilya. Mendirikan pangkalan tetap di Aceh Raya. Menunjukkan niat baik Belanda kepada rakyat Aceh, dengan cara mendirikan langgar, masjid, memperbaiki jalan-jalan irigasi dan membantu pekerjaan sosial rakyat Aceh.

Ternyata siasat Dr Snouck Hurgronje diterima oleh Van Heutz yang menjadi Gubernur militer dan sipil di Aceh (1898-1904). Kemudian Dr Snouck Hurgronje diangkat sebagai penasihatnya.

 

Divisi Marsose pertama pada tahun 1892, Kapten Notten dan Letnan Nolthenius beserta komandan brigade

Taktik perang gerilya Aceh ditiru oleh Van Heutz, di mana dibentuk pasukan maréchaussée yang dipimpin oleh Hans Christoffel dengan pasukan Colone Macan yang telah mampu dan menguasai pegunungan-pegunungan, hutan-hutan rimba raya Aceh untuk mencari dan mengejar gerilyawan-gerilyawan Aceh.

Taktik berikutnya yang dilakukan Belanda adalah dengan cara penculikan anggota keluarga gerilyawan Aceh. Misalnya Christoffel menculik permaisuri Sultan dan Teungku Putroe (1902). Van der Maaten menawan putera Sultan Tuanku Ibrahim. Akibatnya, Sultan menyerah pada tanggal 5 Januari 1902 ke Sigli dan berdamai. Van der Maaten dengan diam-diam menyergap Tangse kembali, Panglima Polim dapat meloloskan diri, tetapi sebagai gantinya ditangkap putera Panglima Polim, Cut Po Radeu saudara perempuannya dan beberapa keluarga terdekatnya. Akibatnya Panglima Polim meletakkan senjata dan menyerah ke Lhokseumawe pada Desember 1903. Setelah Panglima Polim menyerah, banyak penghulu-penghulu rakyat yang menyerah mengikuti jejak Panglima Polim.

Taktik selanjutnya, pembersihan dengan cara membunuh rakyat Aceh yang dilakukan di bawah pimpinan Gotfried Coenraad Ernst van Daalen yang menggantikan Van Heutz. Seperti pembunuhan di Kuta Reh (14 Juni 1904) di mana 2.922 orang dibunuhnya, yang terdiri dari 1.773 laki-laki dan 1.149 perempuan.

Taktik terakhir menangkap Cut Nyak Dhien istri Teuku Umar yang masih melakukan perlawanan secara gerilya, di mana akhirnya Cut Nya Dien dapat ditangkap dan diasingkan ke Sumedang.

 

Sultan Muhammad Daud Syah ketika menyerahkan diri pada Belanda pada tahun 20 Januari 1903

Selama perang Aceh, Van Heutz telah menciptakan surat pendek (korte verklaring, Traktat Pendek) tentang penyerahan yang harus ditandatangani oleh para pemimpin Aceh yang telah tertangkap dan menyerah. Di mana isi dari surat pendek penyerahan diri itu berisikan, Raja (Sultan) mengakui daerahnya sebagai bagian dari daerah Hindia Belanda, Raja berjanji tidak akan mengadakan hubungan dengan kekuasaan di luar negeri, berjanji akan mematuhi seluruh perintah-perintah yang ditetapkan Belanda. Perjanjian pendek ini menggantikan perjanjian-perjanjian terdahulu yang rumit dan panjang dengan para pemimpin setempat.

Walau demikian, wilayah Aceh tetap tidak bisa dikuasai Belanda seluruhnya, dikarenakan pada saat itu tetap saja terjadi perlawanan terhadap Belanda meskipun dilakukan oleh sekelompok orang (masyarakat). Hal ini berlanjut sampai Belanda enyah dari Nusantara dan diganti kedatangan penjajah baru yakni Jepang (Nippon).

  • Ketika perang kolonial Belanda di Aceh hampir memasuki seperempat abad, Letnan Kolonel infantri purnawirawan G.B. Hooijer yang pernah bertugas di Aceh menulis dalam ikhtisar umum bukunya De Krijgsgeschiedenis van Nederlansch Indië van 1811 tot 1894, jilid III (terakhir, setebal 480 halaman), tahun 1895, pada halaman 5 sebagai berikut:
Tidak ada pasukan Diponegoro atau Sentot, baik orang-orang Padri yang fanatik maupun rombongan orang-orang Bali atau massa berkuda orang-orang Bone, seperti yang pernah diperagakan oleh para pejuang Aceh yang begitu berani dan tak takut mati menghadapi serangan, yang begitu besar menaruh kepercayaan pada diri sendiri, yang sedemikian gigih menerima nasibnya, yang cinta kemerdekaan, yang bersikap sedemikian fanatik seolah-olah mereka dilahirkan untuk menjadi gerilyawan bangsanya. Oleh sebab itu perang Belanda di Aceh akan tetap menjadi sumber pelajaran bagi pasukan kita. Dan karena itu pula saya menganggap tepat sekali jika jilid III atau terakhir sejarah perang (Belanda di Hindia Belanda) itu seluruhnya saya peruntukkan guna menguraikan peperangan di Aceh.[10]
  • Namun dari semua pemimpin peperangan kita yang pernah bertempur di setiap pelosok kepulauan kita ini, kita mendengar bahwa tidak ada satu bangsa yang begitu gagah berani dan fanatik dalam peperangan kecuali bangsa Aceh; wanita-wanitanya pun mempunyai keberanian dan kerelaan berkorban yang jauh melebihi wanita-wanita lain.[11]

  1. ^ a b Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama Ibrahim132
  2. ^ a b Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama Vickers13
  3. ^ Vickers (2005), p. 13
  4. ^ Vickers (2005), p. 13
  5. ^ Tagliacozzo, Eric (2007). Secret Trades, Porous Borders: Smuggling and States Along a Southeast Asian Frontier, 1865-1915 (dalam bahasa Inggris). NUS Press. ISBN 978-9971-69-385-5. 
  6. ^ Hellwig, Tineke; Tagliacozzo, Eric (2009-03-13). The Indonesia Reader: History, Culture, Politics (dalam bahasa Inggris). Duke University Press. ISBN 978-0-8223-9227-9. 
  7. ^ Reid, Anthony (2005). Asal mula konflik Aceh: dari perebutan pantai Timur Sumatra hingga akhir kerajaan Aceh abad ke-19. Yayasan Obor Indonesia. ISBN 978-979-461-534-8. 
  8. ^ "Sejarah perebutan beberapa daerah Kesultanan Aceh oleh Belanda". merdeka.com (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2020-06-17. 
  9. ^ Frans (2019-04-24). "Selling the Aceh War". www.militairespectator.nl (dalam bahasa Belanda). Diakses tanggal 2020-06-17. 
  10. ^ Zentgraaf, H.C. 1983. Aceh. Jakarta: Penerbit Beuna. (terjemahan oleh Aboe Bakar)
  11. ^ Idem hal. 63

  • Perjanjian London tahun 1824
  • Perjanjian London (1871)
  • Perang Aceh Pertama (1876-1877)
  • Perang Aceh Kedua (1896-1901)
  • Pembantaian Tanah Gayo, Alas, dan Batak
  • Pertempuran Batèë Iliëk

Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Perang_Aceh&oldid=21469185"


Page 2

14 April adalah hari ke–104 (hari ke–105 dalam tahun kabisat) dalam kalender Gregorian.

1 2
3 4 5 6 7 8 9
10 11 12 13 14 15 16
17 18 19 20 21 22 23
24 25 26 27 28 29 30
  • 70 - Pengepungan Yerusalem: Titus, putra Kaisar Vespasian, mengepung Yerusalem.
  • 193 - Septimius Severus dinobatkan sebagai Kaisar Romawi di Balkan.
  • 1028 - Henry III, putra dari Conrad, terpilih menjadi Raja Jerman.
  • 1471 - Edward IV dimahkotakan sebagai Raja Inggris.
  • 1639 - Perang Tiga Puluh Tahun: Tentara Swedia mengalahkan tentara Jerman dan mulai mengambil alih Bohemia.
  • 1849 - Hungaria memproklamirkan kemerdekaannya dari Austria.
  • 1865 - Abraham Lincoln, presiden Amerika Serikat ke–16, ditembak oleh John Wilkes Booth ketika menonton pertunjukan di teater Ford, Washington, AS. Ia meninggal hari berikutnya.
  • 1890 - Organisasi Negara–Negara Amerika didirikan di Washington, D.C.
  • 1894 - Film komersial pertama di dunia ditayangkan di New York City dengan menggunakan kinetoskop buatan Thomas Alfa Edison.
  • 1912 – Kapal RMS Titanic menabrak gunung es dan tenggelam di sekitar Newfoundland.
  • 1927 - Mobil Volvo pertama diluncurkan di Gothenburg, Swedia.
  • 1931 - Cortes Generales menggulingkan Raja Alfonso XIII dan memproklamirkan pendirian Republik Spanyol Kedua.
  • 1940 - Perang Dunia II: Tentara Inggris mendarat di Namsos, Norwegia.
  • 1941 - Perang Dunia II: Tentara Jerman, yang dikomandoi oleh Erwin Rommel, mengepung Tobruk, Libya.
  • 1945 - Osijek, Kroasia, dibebaskan dari pendudukan fasis.
  • 1958 - Satelit Uni Soviet, Sputnik 2, jatuh dari orbitnya setelah difungsikan selama 162 hari.
  • 1966 - Yayasan Tzu Chi, salah satu organisasi Buddha terbesar di Taiwan didirikan di Hualien, Taiwan.
  • 1967 - Gnassingbé Eyadéma menggulingkan Presiden Togo Nicolas Grunitzky dan menobatkan dirinya sebagai presiden baru, jabatan yang dipegangnya selama 38 tahun kemudian.
  • 1988 - Dalam konferensi PBB di Jenewa, Uni Soviet berjanji akan menarik pasukannya dari Afganistan.
  • 1989 – Sebuah bom mobil meledak di Trincomalee, Sri Lanka, menewaskan 38 orang.
  • 1991 - Republik Georgia memilih Presiden untuk pertama kalinya setelah merdeka dari Uni Soviet.
  • 1999 - Badai es hebat melanda Sydney, Australia, menjadi bencana alam paling merugikan dalam sejarah Australia.
  • 2010 - Hampir 2.700 orang tewas akibat gempa bumi berkekuatan 6,9 SR yang mengguncang Yushu, Qinghai, RRC.
  • 2014 - Awal pelaksanaan Ujian Nasional SMA/SMK/MA tahun ajaran 2013/2014 di Indonesia.
  • 1126 – Ibnu Rusyd, filsuf dan pakar kedokteran Spanyol–Arab (w. 1198)
  • 1629 – Christiaan Huygens, matematikawan Belanda (w. 1695)
  • 1866 – Anne Sullivan, tokoh pendidikan Amerika, guru dari Helen Keller (w. 1936)
  • 1872 – Abdullah Yusuf Ali, cendekiawan Muslim India (w. 1953)
  • 1881 – Husain Salaahuddin, penulis Maladewa (w. 1948)
  • 1891 – B. R. Ambedkar, pakar hukum India, penggagas Konstitusi India (w. 1956)
  • 1904 – Sir John Gielgud, aktor Inggris (w. 2000)
  • 1907 – François Duvalier, diktator Haiti (w. 1971)
  • 1912 – Robert Doisneau, fotografer Prancis (w. 1994)
  • 1921 – Thomas Schelling, ekonom Amerika Serikat penerima Nobel
  • 1927 – Alan MacDiarmid, kimiawan Selandia Baru penerima Nobel (w. 2007)
  • 1935 – Erich von Däniken, penulis Swiss
  • 1941 – Julie Christie, aktris Inggris
  • 1943 – Fuad Siniora, politisi Lebanon
  • 1944 – Jacob Nuwa Wea, menteri pada Kabinet Gotong Royong Indonesia
  • 1944 – Nguyễn Phú Trọng, politikus Vietnam, Sekjen Partai Komunis Vietnam dan Presiden Vietnam
  • 1945 – Ritchie Blackmore, gitaris dan penulis lagu Inggris (Deep Purple, Rainbow, dan Blackmore's Night)
  • 1945 – Tuilaepa Aiono Sailele Malielegaoi, politisi Samoa, Perdana Menteri Samoa ke–8
  • 1960 – Brad Garrett, aktor Amerika Serikat
  • 1961 – Robert Carlyle, aktor Inggris
  • 1973 – Roberto Ayala, pemain sepak bola Argentina
  • 1973 – Adrien Brody, aktor Amerika Serikat
  • 1975 – Andy Marshall, pemain sepak bola Inggris
  • 1977 – Sarah Michelle Gellar, aktris Amerika Serikat
  • 1983 – James McFadden, pemain sepak bola Skotlandia
  • 1986 – Yuanita Christiani, presenter Indonesia
  • 1987 – Erwin Hoffer, pemain sepak bola Austria
  • 1988 – Vasileios Pliatsikas, pemain sepak bola Yunani
  • 1992 – Frederik Sørensen, pemain sepak bola Denmark
  • 1996 – Abigail Breslin, aktris Amerika Serikat
  • 2000 – Alvaro Maldini Siregar, personil Coboy Junior
  • 2004 - Shim Ja Yun / Yoon, personil StayC
  • 1759 – George Frideric Handel, komponis Jerman (l. 1685)
  • 1917 – L. L. Zamenhof, tokoh Polandia pencipta bahasa Esperanto (l. 1859)
  • 1964 – Rachel Carson, penulis dan aktivis lingkungan Amerika Serikat (l. 1907)
  • 1975 – Fredric March, aktor Amerika Serikat (l. 1897)
  • 1986 – Simone de Beauvoir, penulis Prancis (l. 1908)
  • 1994 – Salimuzzaman Siddiqui, ilmuwan Pakistan (l. 1897)
  • 2000 – Phil Katz, programmer komputer Amerika Serikat, pencipta format file zip (l. 1962)
  • 2011 – Rosihan Anwar, wartawan senior Indonesia (l. 1922).
  • 2012 – Piermario Morosini, pemain sepak bola Italia (l. 1986)
  • 1933 - Jumat Agung
  • 1963 - Paskah
  • 1968 - Paskah
  • 1974 - Paskah
  • 1995 - Jumat Agung
  • 2006 - Jumat Agung
  • 2017 - Jumat Agung
  • 2028 - Jumat Agung
  • Ambedkar Jayanti (India)
  • Hari Hitam (Korea Selatan)
  • Hari Pemuda (Angola)

13 April – 14 April – 15 April

Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=14_April&oldid=20860375"