Mengapa Angkatan Balai Pustaka menggunakan bahasa Melayu

Nur St. Iskandar

“Bahasa menunjukkan bangsa,” kata pepatah kita. Meskipun arti kiasannya yang sebenarnya: “Budi-bahasa yang halus alamat orang baik dan tutur-kata yang tak senonoh menunjukkan asal bukan orang bangsawan, bukan orang yang berbangsa baik,” akan tetapi dalam uraian pembuka kata ini, saya ambil maknanya yang umum, yaitu makna sepatah-patah kata itu. Jadi kita sekalian berbahasa Indonesia. Hal itu menunjukkan bahwa kita bangsa Indonesia, orang Indonesia sejati, walaupun asal-usul kita menurut daerah kelahiran kita masing-masing boleh dikatakan berlain-lain, berbeda-beda jua. Dan bahasa daerah itu pun berlain-lain dan berbeda-beda pula.

Sejak dahulu kala perlainan dan perbedaan itu selalu dibesar-besarkan oleh si penjajah, sebab tiap-tiap perpecahan bangsa sangat berfaedah, sangat penting bagi si penjajah itu.

Akan tetapi tentang perkara bahasa rupanya penting pula bagi Belanda, kalau ada persatuan. Dengan segera Belanda mengakui sebuah bahasa jadi bahasa perhubungan, yaitu bahasa Melayu. Apa sebabnya? Tidak lain karena sejarah telah menunjukkan bahwa nenek-moyang Indonesia yang dinamis sudah lama, sudah jauh lebih dahulu dari kedatangan orang Belanda ke tanah air Indonesia, mencahari jalan ke arah persatuan. Dari persatuan itu mula-mula adalah terdapat dalam pemakaian bahasa sehari-hari dalam pergaulan dan perniagaan, yakni pemakaian bahasa Melayu itu.

Dan Belanda pun terpaksa memakai bahasa itu untuk perhubungan dengan bangsa kita, terutama dengan saudagar-saudagar bangsa kita pada umumnya, untuk kepentingan perniagaannya, bahkan kemudian untuk kelancaran jalan pemerintahannya.

Demikian bahasa Melayu diselidiki, dipelajari oleh Belanda baik-baik. Akhirnya dalam tahun 1901 ejaan dan tata bahasa bahasa Melayu itu pun ditetapkan menurut penyelidikan Ch. A. van Ophuijsen sebagai diucapkan oleh anak negeri kepulauan Riau.

Sebagaimana Saudara-Saudara ketahui, bahasa Melayu Riau itulah yang diajarkan di sekolah-sekolah sejak dari sekolah rendah sampai ke sekolah guru, sekolah tinggi, dan lain-lain. Kecuali masyarakat Indonesia yang berkeliaran kesana-kemari di seluruh kepulauan Indonesia, terutama guru-guru itulah yang mengembangkan bahasa perhubungan, bahasa persatuan yang bernama bahasa Melayu Riau itu, sejak dari Sabang sampai ke Merauke.

Entah kemudian Belanda menyesal mengakui bahasa Melayu itu jadi bahasa resmi dalam pemerintahannya, entah bagaimana, hal itu karena bersangkut-paut erat dengan politik, baiklah saya lampaui saja. Kini saya sampai kepada apa-apa yang Saudara-Saudara dari Ikatan Guru Bahasa Indonesia yang mulia kehendaki dari pada saya, yaitu bagaimana Balai Pustaka dalam masa saya bekerja di situ memelihara dan mengembangkan bahasa yang kita cintai itu?

Balai Pustaka atau Volkslektuur didirikan oleh Gubernemen Hindia Belanda di Jakarta dalam tahun 1908. Maksudnya ialah supaya orang Indonesia yang pandai membaca, istimewa anak muda-muda lepasan sekolah, mendapat bacaan yang sesuai dengan kehendak pemerintah jajahan. Jangan mereka itu sempat membaca buku-buku yang telah mulai banyak diterbitkan oleh partikulir dewasa itu, seperti buku-buku yang berisi uraian politik yang bertentangan dengan tujuan politik pemerintah kolonial dan lain-lain sebagainya.

Gubernemen Hindia Belanda menghendaki supaya buku-buku bacaan yang akan dikeluarkan Balai Pustaka harus mempergunakan bahasa Melayu Riau, bahasa sekolah, yang telah ditetapkan dalam tahun 1901 itu.

Bermula buku-buku yang dapat diterbitkan Balai Pustaka hanyalah ulangan cetak buku-buku hikayat, cerita binatang dan dongeng-dongeng lama saja. Baharu dalam tahun 1918 Balai Pustaka bergerak agak dinamis, ketika Balai Pustaka telah mempunyai bagian Sidang Pengarang yang agak teratur dan lengkap. Baharu ketika itu diminta karang-karangan dari luar, terutama dari guru-guru yang kenamaan.

Lain dari pada Sidang Pengarang, Balai Pustaka mempunyai pula sebuah badan yang bernama Komissie voor de Volkslektuur. Badan itu bertugas memeriksa dan meneliti karangan-karangan yang dikirim orang ke Balai Pustaka, dan menentukan buku-buku bahasa Belanda yang patut diterjemahkan kepada bahasa Melayu untuk diterbitkan oleh Balai Pustaka itu.

Anggotanya kira-kira lima atau tujuh orang, terdiri dari orang Belanda dan Indonesia amtenar B.B. (pegawai pemerintahan dalam negeri) dan diketuai oleh kepala Balai Pustaka sendiri. Yang diselidiki mereka itu ialah isi dan bahasa karangan: adakah isi itu selaras dengan politik Belanda dan adakah bahasa itu bahasa Melayu Riau atau tidak? Mana-mana karangan yang lulus dari tangan komisi itu diserahkanlah kepada Sidang Pengarang, supaya disiapkan untuk dicetak dan diterbitkan. Demikianlah Balai Pustaka makin giat bekerja, sehingga lambat-laun penerbitan bertambah banyak dan sempurna jua. Lain dari pada buku-buku bacaan biasa yang semakin baik mutunya, dalam tahun 1920 mulailah Balai Pustaka menerbitkan majalah bulanan Sri Pustaka yang berisi ilmu pengetahuan populer dan Voks-almanak dalam bahasa Indonesia, Jawa, Sunda, dan Madura. Isinya, kecuali penanggalan bermacam-macam karangan yang berfaedah dan mudah dipahamkan.

Kemudian diadakan pula Taman Pustaka bagi sekolah-sekolah rakyat di seluruh Indonesia.

Penerbitan itu segera disusul pula dengan majalah Pandji Pustaka (bahasa Indonesia), Kejawen (bahasa Jawa) dan Perhiangan (bahasa Sunda) untuk masyarakat ramai.

Menyiapkan karangan untuk segala macam penerbitan itu, meskipun ada Komissie voor de Volkslektuur, bagi Sidang Pengarang tidaklah dapat dikatakan mudah. Sebab dimisalkan isi karangan itu baik, tetapi bahasanya terutama dipertanggungjawabkan kepada Sidang Pengarang semata-mata. Sidang Pengarang harus membahasnya dan memperbaikinya, sehingga sesuai dengan pedoman: bahasa Riau itu.

Jadi bahasa Balai Pustaka harus bersih, harus bahasa Melayu betul menurut ketentuan 1901 itu. Tak boleh menyimpang dari itu. Penjagaan amat rapi. Walakin anggota-anggota Sidang Pengarang sudah dipilih baik-baik di antara orang-orang yang dipandang Dep. O & E. mempunyai kecakapan dan kepandaian dalam bahasa Indonesia dan bahasa Belanda jua, tetapi di atas mereka itu didatangkan pula dari negeri Belanda beberapa orang ahli bahasa, doctor in de letteren atau orientalis, yang akan mengamat-amati isi dan bahasa buku-buku yang diterbitkan oleh Balai Pustaka itu.

Oleh sebab itu akan memasukkan kata-kata daerah, sekalipun telah lazim dipakai masyarakat Indonesia, amatlah sulitnya. Jangan kata mengubah jalan bahasa itu, agak mirip kepada bahasa Jawa atau Sunda umpamanya, hal itu lebih sulit lagi. Kepada redaktur yang sengaja atau tak sengaja agak menyeleweng boleh dikenakan cap:ongeschikt! Tidak cakap! Ya, akan memakai kata bisa saja, yang berarti dapat dan kata bikin, yang bermakna perbuat, bukanlah perkara yang mudah. Apalagi kata-kata yang dipandang Belanda berbau politik, seperti kata Indonesia, adalah tabu (pantangan) bagi mereka itu.

Oleh sebab itu, Saudara-Saudara, apabila Saudara sudi meneliti buku-buku keluaran Balai Pustaka dalam zaman Belanda, akan nyata kepada Saudara bahwa bahasanya seakan-akan susunan seseorang saja. Memang, yaitu susunan Balai Pustaka, tentang ejaannya dan tata bahasanya. Sebab tiap-tiap karangan itu, dari siapa pun datangnya, mesti melalui Sidang Pengarang, mesti menderita…. jejak tangan anggota Sidang Pengarang, ahli bahasa Indonesia Balai Pustaka itu.

Penjagaan bagi kebersihan bahasa itu sangat kami hargai. Malah kami taati. Akan tetapi sifat statis ahli-ahli bahasa Belanda itu, berapapun jua keras siasatnya, sebudi-akal lambat-laun dapat jua kami lalui. Sehingga jika kemudian sudah ada perubahan serba sedikit, baik tentang isi, baik pun tentang bahasa yang selaras dengan kemajuan masyarakat Indonesia, hal itu semata-mata bergantung kepada kebijaksanaan kami (maksudku pegawai redaksi bangsa Indonesia) yang berdarah perjuangan kemerdekaan bangsa lahir dan batin.

Dalam pada itu tentu akan timbul dua buah pendapat yang bertentangan. Setengah setuju dengan cara demikian untuk memelihara kebersihan bahasa Indonesia, dan setengah pula mengatakan perbuatan itu kaku dan salah, karena cara serupa itu terlalu mengongkong gaya seseorang mengeluarkan buah pikirannya menurut irama dan getar sukmanya. Mungkin! Akan tetapi apabila kita pikirkan dengan tenang, bagaimana cita-cita kaum kebangsaan Indonesia yang bekerja di Balai Pustaka ketika itu, bagaimana mereka itu turut berusaha dan berdaya-upaya mengembangkan bahasa Indonesia, kesusastraan dan kebudayaan Indonesia yang agak baik, yang tidak lepas dari kepribadian Indonesia, bagaimana pula mereka itu mengelakkan ranjau kolonial, sehingga banyak-sedikitnya terbit jua buku-buku yang berpaedah bagi kebangkitan nasional, maka cara mengongkong bahasa itu dapatlah jua kiranya dipertanggungjawabkan.

Lebih-lebih kalau kata kongkongan yang agak keras itu kita ganti dengan kata pimpinan yang agak lunak, maka dengan sendirinya dalam Balai Pustaka dahulu sudah didapati, sudah dilaksanakan bahasa Indonesia terpimpin …. Dan hasilnya? Bukan tidak baik. Bahasa Balai Pustaka lama-kelamaan menarik hati, bahkan digemari oleh pemimpin-pemimpin kebangsaan Indonesia dan oleh pemuda dan pemudi kita jua untuk melawan tekanan pemerintah Hindia Belanda, yang telah bermaksud akan mengganti bahasa resmi (bahasa Melayu/Indonesia) dengan bahasa Belanda. Makin keras dan pesat gerak kebangsaan kita, makin giat-keras pula pemuda-pemudi kita mempergunakan dan menguar-uarkan bahasa Indonesia jadi bahasa persatuan. Dengan prosa dan puisi!

Patut jua saya sebutkan di sini seorang dua orang pembantu tetap Balai Pustaka di antara pemimpin-pemimpin rakyat, yaitu almarhum Saudara-Saudara: H.A. Salim, Dr. Soetomo dan A. Moeis, dan dari angkatan muda: Sdr. Muhd. Yamin. Mereka itu sangat menyemarakkan penerbitan Balai Pustaka dewasa itu.

Berhubung dengan kemajuan bahasa Indonesia di Balai Pustaka dan berdasarkan cita-cita persatuan bangsa timbullah keinsafan Angkatan Muda, yaitu Perkumpulan Indonesia Muda, akan mengangkat sumpah-setia pada 28 Oktober 1928 di Jakarta demikian:

  1. Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia.
  2. Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia.
  3. Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.

Atau biasa dipendekkan: bertumpah darah, berbangsa, dan berbahasa satu: Indonesia.

Sejak itu, bahasa Indonesia telah bertambah teguh kedudukannya, pada pihak kita tentu, tetapi pada pihak Belanda menjadi kegelisahan.

Lain daripada memelihara dan mengembangkan bahasa Indonesia itu, Balai Pustaka berdaya-upaya dan berjasa pula dalam usaha karang-mengarang bagi bangsa Indonesia tentang kebudayaan dan kesusastraan. Sebagai saya sebutkan di atas dalam pimpinan Sidang Pengarang, Balai Pustaka dalam banyak duduk patriot kebangsaan, patriot nasional. Mereka itu bijaksana dalam cita-cita memperbanyak pengarang baru. Dengan pimpinan mereka itu Balai Pustaka apabila menerima karangan dari luar tidak segera menolak atau mengembalikan karangan itu kalau kurang baik isinya, susunannya, dan bahasanya. Melainkan Balai Pustaka senantiasa memberi petunjuk kepada pengarangnya untuk memperbaiki karangan itu. Petunjuk itu kadang-kadang sampai dua tiga kali diberikan. Kalau petunjuk yang akhir belum jua memuaskan, kalau karangan itu memang dapat diperbaiki dan bermanfaat, maka Balai Pustaka menganjurkan agar si pengarang sudi menyerahkan perbaikan kepada Balai Pustaka sendiri. Dengan tiada bayaran dan tidak pula menghilangkan nama si pengarang itu. Cara demikian berhasil baik pula sehingga pengarang muda banyak bertambah.

Dengan demikian bahasa Indonesia Balai Pustaka tetap terpelihara. Dan bahasa yang terpelihara itu pun sampai sekarang tetap dihargai orang, tetap menjadi standar bahasa Indonesia. Dan lebih menggembirakan lagi, karena asal bahasa Indonesia itu tetap diakui dari bahasa Melayu, sebagaimana diputuskan oleh Kongres Bahasa Indonesia pada 28 Oktober 1954 di kota Medan. Asal bahasa Indonesia itu adalah bahasa Melayu, yang disesuaikan dengan pertumbuhannya dalam masyarakat sekarang ini.

Dan lagi Balai Pustaka, Saudara-Saudara yang mulia, sesungguhnya sejak dari dahulu telah berusaha dan berhasil mencari persesuaian itu dengan arti yang seluas-luasnya.

Berdasarkan hal itu pula maka pada tahun 1947 diadakanlah perubahan ejaan oleh Kementerian PP dan K, yaitu perubahan ejaan Suwandi, istimewa tentang pergantian oe  dengan u dan perihal menghilangkan tanda ain atau mengganti ain penutup suku katra dengan huruf k  dan sebagainya.

Betul sementara itu ada terbit gejala lain, yakni gejala seperti gerakan Pujangga Baru tahun 1933, yang berpendapat bahwa perkembangan bahasa di Balai Pustaka terlalu lambat, tidak revolusioner. Akan tetapi hal itu sekali-kali tidaklah mengurangi nilai bahasa yang diselenggarakan terus oleh Balai Pustaka menurut kemajuan rakyat umum. Bagaimana sistem bahasa Indonesia Pujangga Baru itu, meskipun banyak sedikitnya saya ketahui jua, tetapi hal itu takkan saya singgung di sini.** Demikian jua tentang perkembangan bahasa Indonesia setelah pemerintahan Belanda digantikan oleh pemerintahan Jepang dan kemudian setelah kita merdeka dan berdaulat tentang perkembangan yang diusahakan oleh suatu angkatan baru, yang disebut “Angkatan 45” tidaklah jua akan saya uraikan di hadapan Saudara-Saudara yang terhormat sekarang ini. Sekalipun saya tahu jua, bahkan selalu menurutkan gerak-geriknya, elok-buruknya, sebagai seorang yang selalu memperhatikan maju-mundur bahasa kita itu.

Hanya berhubung dengan segala sesuatu itu saya dapat dan berani menegaskan, bahwa sistem Balai Pustaka lama memelihara bahasa Indonesia itu masih tetap menimbulkan optimisme dalam hatiku, bahwa bahasa Indonesia yang baik yang berdasarkan bahasa Melayu yang sesuai dengan kepribadian Indonesia itu akan tetap dijadikan pedoman dalam pertumbuhannya. Hal itu saya katakan, tak lain dan tak bukan adalah berdasarkan pengalamanku sendiri. Lepas dari Balai Pustaka, saya berkecimpung pula dalam Balai Bahasa, dalam Fakultas Sastra Universitas Indonesia beberapa tahun lamanya, dan sampai sekarang masih bertugas dalam komisi Istilah. Pengalaman itu menunjukkan dan meyakinkan saya, bahwa bahasa kita, bahasa Indonesia yang telah dan selalu diperkaya menurut dasar yang baik dan disempurnakan itu akan mencapai tingkat gilang-gemilang kelak. Lebih-lebih lagi apabila usaha pemerintah RI dan pemerintah Persatuan Tanah Melayu akan menyamakan bahasa Indonesia dengan bahasa Melayu telah kelihatan hasilnya, rupanya dan coraknya, maka bahasa Indonesia-Melayu itu kelak sungguh-sungguh dapatlah diharapkan menjadi sebuah bahasa yang baik dan berkumandang di Asia Tenggara. Berkumandang bukan sebagai bahasa itu sendiri saja, tetapi berkumandang jua sebagai alat pelahirkan filsafat negara Pancasila dengan Usdek dan Manipolnya ke seluruh dunia dengan fasih.

Akhirulkalam saja bertambah percaya dan yakin jua, bahwa bahasa persatuan kita itu – di tanah air kita sendiri – akan bertambah merata dipahamkan dan dipergunakan oleh umat manusia Indonesia sejak dari Sabang sampai ke Merauke untuk meresapkan ke dalam hati dan menyebarkan ke mana-mana dasar negara dan bangsa kita itu dengan sebaik-baiknya. Insya Allah, itu pun berkat kegiatan Saudara-Saudara dari Ikatan Guru Bahasa Indonesia yang mulia pula!

__________
*) Asalnya pidato pada suatu pertemuan yang diselenggarakan Ikatan Guru Bahasa Indonesia. Dimuat dalam Majalah Pustaka dan Budaya, Th. II, No. 8, Desember 1960.

**) Sudah ditunjuk pembicara lain.

Tulisan sebelumnya: http://sastra-indonesia.com/2020/02/membuat-sajak-melihat-lukisan/

Sepilihan Esai & Kritik Sastra, Copyright © Pusat Pembinaan, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Cetakan Pertama, Juli 2017, ISBN: 978-602-6447-29-6, KURATOR/ EDITOR: MAMAN S MAHAYANA, Hak Posting: PUstaka puJAngga (PuJa).