Mengapa al qur an dan hadis yang menjadi sumber utama bagi umat Islam?

4 dari 4 halaman

© Pixabay.com

Sebagaimana diketahui bahwa ada empat madzhab yang dikenal oleh umat Islam, yakni madzhab Syafi’I, Maliki, Hanafi dan Hambali. Nah, berikut adalah pandangan tentang kedudukan Al-Quran sebagai sumber hukum Islam menurut empat ulama yang dikutip melalui Jurnal Hukum dan Keadilan Vol. 4, No. 1, Tahun 2017 berjudul Al-Quran sebagai Sumber Hukum Utama oleh Abdul Latif:

Bacaan Sholawat Haji dan Usaha agar Impian Berhaji Segera Terwujud

Pandangan Imam Syafi’i

Menurut Imam Syafi’I, kedudukan Al-Quran sebagai sumber hukum Islam adalah menempati yang pertama dan paling pokok. Beliau pun berkata berikut ini:

“ Tidak ada yang diturunkan kepada penganut agama mana pun, kecuali petunjuk terdapat di dalam Al-Quran.”

Sehingga setiap mengeluarkan pendapat-nya, Imam Syafi’i selalu mengikutsertakan nash-nash dari Al-Quran. Menurut Imama Syafi’i, Al-Quran dan sunah berada dalam satu martabat, yang adalah sama-sama berasal dari Allah SWT.

Pandangan Imam Malik

Menurut Imam Malik, kedudukan Al-Quran sebagai sumber hukum Islam bukanlah sebagai makhluk. Karena kalam Allah SWT sendiri tergolong sebagai sifat Allah SWT. Imam Malik pun sangat menentang jika ada orang yang menafsirkan Al-Quran secara murni tanpa menggunakan atsar. Beliau pun mengatakan:

“ Seandainya aku mempunyai wewenang untuk membunuh seseorang yang menafsirkan Al-Quran (dengan daya nalar murni) maka akan kupenggal leher orang itu.”

Sehingga Imam Malik pun memberikan batasan tentang pembahasan Al-Quran ini agar dalam penafsirannya tidak dilakukan dengan sembarangan atau terjadi kebohongan.

Pandangan Imam Abu Hanifah

Menurut Imam Abu Hanifah, kedudukan Al-Quran sebagai sumber hukum Islam adalah menempati posisi yang pertama. Di antara dalil yang menunjukkan pendapat dari Imam Abu Hanifah bahwa Al-Quran hanya maknanya saja, beliau mengatakan bahwa diperbolehkan untuk sholat dengan menggunakan bahasa Parsi, meskipun tidak dalam kondisi madharat. Namun hal ini diperuntukkan bagi mereka yang pemula dan tidak berlaku secara berkelanjutan.

Sedangkan menurut pandangan Imam Syafi’i, meski orang tersebut bodoh, maka tidaklah boleh membaca Al-Quran dengan menggunakan bahasa lain selain bahasa Arab.

Pandangan Imam Ibnu Hambal

Menurut Ibnu Hambal, kedudukan Al-Quran sebagai sumber hukum Islam adalah yang utama, kemudian dilanjutkan dengan sunah. Selain sebagai sumber, Al-Quran juga adalah tiang agama Islam. Di mana di dalamnya terkandung kaidah-kaidah yang tidak akan pernah mengalami perubahan sampai kapan pun. Selain itu, dalam Al-Quran juga terdapat hukum yang sifatnya umum dan pembahasan tentang akidah.

PENGERTIAN, KEDUDUKAN DAN FUNGSI HADITS

OLEH JAMARIL S.Ag  GURU MTsN 7 KOTA PADANG

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Alhamdulillahirabbil’alamin. Puji syukur penulis mohonkan kepada Allah SWT kerena atas berkah dan rahmat-Nya penulis telah dapat menyelesaikan makalah dengan judul  “PENGERTIAN, KEDUDUKAN, DAN FUNGSI HADIST” . Makalah ini  penulis buat  berisikan  pembahasan ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits tentang pendidikan.

Dalam penyusunan makalah ini,  penulis banyak mengambil materi dari buku-buku yang berkaitan dengan masalah-masalah pendidikan dalam Islam, terutama yang berkaitan dengan Al-Qur’an dan Hadits.

Penulisan dan penyusunan makalah ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak, oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada teman-teman yang ikut berpartisipasi dalam pembuatan makalah ini.   sehingga penulis  dapat menyelesaikan makalah ini.

Demikian makalah ini penulis  buat semoga  dapat bermanfaat bagi kita semua, khususnya dalam meningkatkan pemahaman tentang menggunakan akal kita untuk berpikir. Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaannya, penulis mengharapkan kritik dan saran dari berbagai pihak demi kesempurnaan makalah ini.

Padang,  Maret  2017

Wassalam Penulis

JAMARIL, S.AG

BAB I

PENDAHULUAN

Al-Hadits merupakan sumber ajaran Islam, yang kedua dari Al-Qur’an. Dilihat dari sudut periwayatannya, jelas antara Hadits dan Al-Qur’an terdapat perbedaan. Untuk Al-Qur’an semua periwayatannya berlangsung secara mutawatir. Sedangkan periwayatan Hadits sebagian berlangsung secara mutawatir dan sebagian lagi berlangsung secara ahad. Sehingga mulai dari sinilah timbul berbagai pendapat dalam menilai kualitas hadits. Sekaligus sumber perdebatan dalam kancah ilmiah, atau bahkan dalam kancah-kancah non ilmiah. Akibatnya bukan kesepakatan yang didapatkan, akan tetapi sebaliknya perpecahan yang terjadi.

Oleh karena itu timbul sebuah pertanyaan apakah hadist dapat dijadikan sebuah hujjah atau tidak..?? maka penulis mencoba membahas beberapa hal yang terkait dengan al-hadits sebagaimana terangkum dalam rumusan masalah sebagai berikut.

  1. Rumusan Masalah
  2. Pengertian
  3. Kedudukan
  4. Fungsi
  5. Hubungan dengan Al-Qur’an

BAB II

PEMBAHASAN

Hadits menurut bahasa yaitu sesuatu yang baru, menunjukkan sesuatu yang dekat atau waktu yang singkat. Hadits juga berarti berita yaitu sesuatu yang diberitakan, diperbincangkan, dan dipindahkan dari seorang kepada orang lain.

Hadits menurut istilah syara’ ialah hal-hal yang datang dari Rasulullah SAW, baik itu ucapan, perbuatan, atau pengakuan (taqrir). Berikut ini adalah penjelasan mengenai ucapan, perbuatan, dan perkataan.

Hadits Qauliyah ( ucapan) yaitu hadits hadits Rasulullah SAW, yang diucapkannya dalam berbagai tujuan dan persuaian (situasi).

Hadits Fi’liyah yaitu perbuatan-perbuatan Nabi Muhammad SAW, seperti  pekerjaan melakukan shalat lima waktu dengan tatacaranya dan rukun-rukunnya, pekerjaan menunaikan ibadah hajinya dan pekerjaannya mengadili dengan satu saksi dan sumpah dari pihak penuduh.

Hadits Taqririyah yaitu perbuatan sebagian para sahabat Nabi yang telah diikrarkan oleh Nabi SAW, baik perbuatan itu berbentuk ucapan atau perbuatan, sedangkan ikrar itu adakalanya dengan cara mendiamkannya, dan atau melahirkan anggapan baik terhadap perbuatan itu, sehingga dengan adanya ikrar dan persetujuan itu. Bila seseorang melakukan suatu perbuatan atau mengemukakan suatu ucapan dihadapan Nabi atau pada masa Nabi, Nabi mengetahui apa yang dilakukan orang itu dan mampu menyanggahnya, namun Nabi diam dan tidak menyanggahnya, maka hal itu merupakan pengakuan dari Nabi. Keadaan diamnya Nabi itu dapat dilakukan pada dua bentuk :

Pertama, Nabi mengetahui bahwa perbuatan itu pernah dibenci dan dilarang oleh Nabi. Dalam hal ini kadang-kadang Nabi mengetahui bahwa siapa pelaku berketerusan melakukan perbuatan yag pernah dibenci dan dilarang itu. Diamnya Nabi dalam bentuk ini tidaklah menunjukkan bahwa perbuatan tersebut boleh dilakukannya. Dalam bentuk lain, Nabi tidak mengetahui berketerusannya si pelaku itu melakukan perbuatan yang di benci dan dilarang itu. Diamnya Nabi dalam bentuk ini menunjukkan pencabutan larangan sebelumnya.

Kedua, Nabi belum pernah melarang perbuatan itu sebelumnya dan tidak diketahui pula haramnya. Diamnya Nabi dalam hal ini menunjukkan hukumnya adalah meniadakan keberatan untuk diperbuat. Karena seandainya perbuatan itu dilarang, tetapi Nabi mendiamkannya padahal ia mampu untuk mencegahnya, berarti Nabi berbuat kesaahan ; sedangkan Nabi terhindar bersifat terhindar dari kesalahan.

Dalam kedudukannya sebagai penjelas, hadits kadang-kadang memperluas hukum dalam Al-Qur’an atau menetapkan sendiri hukum di luar apa yang ditentukan Allah dalam Al-Quran.

Kedudukan Hadits sebagai bayani atau menjalankan fungsi yang menjelaskan hukum Al-Quran, tidak diragukan lagi dan dapat di terima oleh semua pihak, karena memang untuk itulah Nabi di tugaskan Allah SWT. Namun dalam kedudukan hadits sebagai dalil yang berdiri sendiri dan sebagai sumber kedua setelah Al-Quran, menjadi bahan perbincangan dikalangan ulama. Perbincangan ini muncul di sebabkan oleh keterangan Allah sendiri yang menjelaskan bahwa Al-Quran atau ajaran Islam itu telah sempurna. Oleh karenanya tidak perlu lagi ditambah oleh sumber lain.

Jumhur ulama berpendapat bahwa Hadits berkedudukan sebagai sumber atau dalil kedua setelah Al-Quran dan mempunyai kekuatan untuk ditaati serta mengikat untuk semua umat Islam. Jumhur ulama mengemukakan alasannya dengan beberapa dalil, di antaranya :

  1. Banyak ayat Al-Qur’an yang menyuruh umat mentaati Rasul. Ketaatan kepada rasull sering dirangkaikan dengan keharusan mentaati Allah ; seperti yang tersebut dalam surat An-Nisa : 59 :

 artinya : Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya),

Bahkan dalam tempat lain Al-Quran mengatakan bahwa oang yang mentaati Rasul berarti mentaati Allah, sebagaimana tersebut dalam surat An-Nisa : 80:

Artinya : Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia telah mentaati Allah. dan Barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.

Yang dimaksud dengan mentaati Rasul dalam ayat-ayat tersebut adalah mengikuti apa-apa yang dilakukan atau dilakukan oleh Rasul sebagaimana tercakup dalam Sunnahnya.

Dari ayat diatas jelaslah bahwa Hadits itu adalah juga wahyu. Bla wahyu mempunyai kekuatan sebagai dalil hukum, maka hadits pun mempunyai kekuatan hukum untuk dipatuhi. Kekuatan hadits sebagai sumber hukum ditentukan oleh dua segi: pertama, dari segi kebenaran materinya dan keduadari segi kekuatan penunjukannya terhadap hukum. Dari segi kebenaran materinya kekuatan hadits mengikuti kebenaran pemberitaannya yang terdiri dari tiga tingkat, yaitu: mutawatir, masyhur, danahad sebagaimana dijelaskan diatas.

Khabar mutawatir ditinjau dari segi kuantitas sahabat yang meiwayatkannya dari Nabi dan juga kuantitas yang meriwayatkannya dari sahabat dan seterusnya adalah qath i dalam arti diyakini kebenarannya bahwa hadits itu benar dari Nabi. Meskipun jumlah hadits mutawatir ini tidak banyak namun mempunyai kekuatan sebagai dalil sebagaimana kekuatan Al-Qur’an. Khabar mutawatir mempunyai kekuatan tertinggi di dalam periwayatan dan menghasilkan kebenaran tentang apa yang diberitakan secara mutawatir sebagaima kebenaran yang muncul dari hasil pengamatan. Para ulama sepakat mengatakan bahwa khabar mutawatir menghasilkan ilmu yakin meskipun mereka berbeda pendapat dalam menetapkan cara sampai kepada ilmu yakin itu secara tanpa memerlukan pembuktian atau memerlukan pembuktian kebenarannya. Untuk sampainya khabar mutawatir itu kepada ilmu yakin harus terpenuhi syarat-syarat tertentu. Di antaranya syarat-syarat itu disepakati oleh ulama dan syarat lainnya diperselisihkan. Syarat-syarat yang disepakati ada yang menyangkut pembawa berita.

Dalam uraian tentang Al-Qur’an telah dijelaskan bahwa sebagian besar ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an adalah dalam bentuk garis besar yang secara amaliyah belum dapat dilaksanakan tanpa penjelasan dari hadits. Dengan demikian fungsi hadits yang utama adalah untuk menjelaskan Al-Qur’an. Hal ini telah sesuai dengan penjelasan Allah dalam surat An-Nahl :64

Artinya: Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al Quran) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu.

Dengan demikian bila Al-Qur’an disebut sebagai sumber asli bagi hukum fiqh, maka Hadits disebut sebagai bayani. Dalam kedudukannya sebagai bayani  dalam hubungannya dengan Al-Qur’an, ia menjalankan fungsi senagai berikut :

  1. Menguatkan dan mengaskan hukum-hukumyang tersebut dalam Al-Qur’an atau disebut fungsi ta’kid dan taqrir. Dalam bentuk ini Hadits hanya seperti mengulangi apa-apa yang tersebut dalam Al-Qur’an. Umpanya Firman Allah dalam surat Al-Baqarah :110 yang artinya :

“ Dan dirikanlah sholat dan tunaikanlah zakat “ ayat itu dikuatkan oleh sabda Nabi yang artinya :

“ Islam itu didirikan dengan lima pondasi : kesaksian bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan muhammad adalah Rasulullah, mendirikan shalat, menunaikan zakat.

  1. Memberikan penjelasan terhadap apa yang dimaksud dalam Al-Qur’an dalam hal :
  2. Menjelaskan arti yang masih samar dalam Al-Qur’an
  3. Merinci apa-apa yang dalam Al-Qur’an disebutkan secari garis besar.
  4. Membatasi apa-apa yang dalam Al-Qur’an disebutkan secara umum
  5. Memperluas maksud dari sesuatu yang tersebut dalam Al-Qur’an

Contoh menjelaskan arti kata dalam Al-Qur’an umpamanya kata shalat yang masih samar artinya, karena dapat saja shalat itu berarti do’a sebagaimana yang biasa dipahami secara umum waktu itu. Kemudian Nabi melakukan serangkaian perbuatan, yang terdiri dari ucapan dan pebuatan secara jelas yang dimulai dari takbiratul ihram dan berakhir dengan salam. Sesudah itu Nabi bersabda :inilah shalat itu, kerjakanlah shalat sebagimana kamu melihat saya mengerjakan shalat.

  1. Menetapkan suatu hukum dalam hadits yang secara jelas tidak terdapat dalam Al-Qur’an. Dengan demikian kelihatan bahwa Hadits menetapkan sendiri hukumyang tidak ditetapkan dalam Al-Qur’an. Fungsi hadits dalam bentuk ini disebut itsbat. Sebenarnya bila diperhatikan dengan teliti akan jelas bahwa apa yang ditetapkan hadits itu pada hakikatnya adalah penjelasan terhadap apa yang disinggung Al-Qur’an atau memperluas apa yang disebutkan Al-Qur’an secara terbatas. Umpamanya Allah SWT mengharamkan memakan bangkai, darah, dan daging babi. Larangan Nabi ini menurut lahirnya dapat dikatakan sebagai hhukum baru yang ditetapkan oleh Nabi, karena memang apa yang diharamkan Nabi ini secara jelas tidak terdapat dalam Al-Qur’an. Tetapi kalau dipahami lebih lanjut larangan Nabi itu hanyalah sebagai penjelasan terhadap larangan Al-Qur’anlah memakan sesuatu yang kotor.
  1. Hubungan Hadits dengan Al-Qur’an

Bila kita lihat dari fungsinya hubungan Hadits dengan Al-Qur’an sangatlah berkaitan. Karena pada dasarnya Hadits berfungsi menjelaskan hukum-hukum dalam Al-Qur’an dalam segala bentuknya sebagaimana disebutkan di atas. Allah SWT menetapkan hukum dalam Al-Qur’an adalah untuk diamalkan, karena dalam pengalaman itulah terletak tujuan yang digariskan. Tetapi pengalaman hukum Allah diberi penjelasan oleh Nabi. Dengan demikian bertujuan supaya hukum-hukum yang ditetapkan Allah dalam Al-Qur’an secara sempurna dapat dilaksanakan oleh umat.

Sebagaimana dalam uraian tentang Al-Qur’an telah dijelaskan bahwa sebagian besar ayat hukum dalam Al-Qur’an adalah dalam bentuk garis besar yang secara amaliyah belum dapat dilaksanakan tanpa penjelasan dari hadits. Dengan demikian keterkaitan hadits dengan Al-Qur’an yang utama adalah berfungsi untuk menjelaskan Al-Qur’an. Dengan demikian bila Al-Qur’an disebut sebagai sumber asli bagi hukum fiqh, maka hadits disebut sebagai bayani. Dalam kedudukannya sebagai bayani maka dalam hubungannya dengan Al-Qur’an, Hadits menjalankan fungsi sebagai berikut :

  1. Menguatkan dan menegaskan hukum-hukum yang tersebut dalam Al-Qur’an atau disebut fungsi ta’kid dan taqrir. Dalam bentuk ini Hadits hanya seperti mengulangi apa-apa yang tersebut dalam Al-Qur’an.
  2. Memberikan penjelasan terhadap apa yang dimaksud dalam Al-Qur’an dalam hal :
  3. Menjelaskan arti yang masih samar dalam Al-Qur’an
  4. Merinci apa-apa yang dalam Al-Qur’an disebutkan secara garis besar
  5. Membatasi apa-apa yang dalam Al-Qur’an disebutkan secara umum
  6. Memperluas maksud dari suatu yang tersebut dalam Al-Qur’an

Contoh Hadits yang merinci ayat Al-Qur’an yang masih garis besar, umpamanya tentang waktu-waktu shalat yang masih secara garis besar disebutkan dalam surat An-Nisa : 103

Artinya : sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.

Contoh hadits yang membatasi maksud ayat Al-Qur’an yang adatang dalam bentuk umum, umpamanya hak kewarisan anak laki-laki dan anak perempuan dalam surat An-Nisa :11:

 Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan.

Ayat itu dibatasi atau dikhususkan kepada anak-anak yang ia bukan penyebab kematian ayahnya.

Contoh Hadits memperluas apa yang dimaksud oleh Al-Qur’an, umpamanya firman Allah yang melarang seorang laki-laki memadu dua orang wanita yang bersaudara dalam surat An-Nisa ayat 23 yang artinya :

“ dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau”. (Q.S An-Nisa :23)

BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Dari beberapa uraian di atas dapat kita ambil beberapa kesimpulan bahawa:

  1. Hadits menurut bahasa yaitu sesuatu yang baru, menunjukkan sesuatu yang dekat atau waktu yang singkat. Hadits juga berarti berita yaitu sesuatu yang diberitakan, diperbincangkan, dan dipindahkan dari seorang kepada orang lain.
  2. Hadits menurut istilah syara’ ialah hal-hal yang datang dari Rasulullah SAW, baik itu ucapan, perbuatan, atau pengakuan (taqrir). Berikut ini adalah penjelasan mengenai ucapan, perbuatan, dan perkataan.
  3. Jumhur ulama berpendapat bahwa Hadits berkedudukan sebagai sumber atau dalil kedua setelah Al-Quran dan mempunyai kekuatan untuk ditaati serta mengikat untuk semua umat Islam.
  4. Fungsi hadits yang utama adalah untuk menjelaskan Al-Qur’an
  5. Bila kita lihat dari fungsinya hubungan Hadits dengan Al-Qur’an sangatlah berkaitan. Karena pada dasarnya Hadits berfungsi menjelaskan hukum-hukum dalam Al-Qur’an dalam segala bentuknya sebagaimana disebutkan di atas. Allah SWT menetapkan hukum dalam Al-Qur’an adalah untuk diamalkan, karena dalam pengalaman itulah terletak tujuan yang digariskan.

DAFTAR PUSTAKA

Syarifudin, Amir, Haji, Ushul Fiqh – Cet. 1. Jakarta : Logos Wacana Ilmu 1997

Drs, Mudasir,Haji, Ilmu Hadis- Cet. 1. Bandung : Pustaka Setia, 1999

Pulungan, Suyuthi, Fiqh Siyasah : ajaran, sejarah dan pemikiran Cet. 5. Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2002

Abu Zahroh, Ushul Fiqh, Bulan Bintang, Jakarta, 1980

Al-Shiddieqie, T.M. Hasbi, Pengantar Ilmu Fiqh, Bulan Bintang, Jakarta, 1999

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA