Membuat cerita tampak lebih hidup dan menggambarkan situasi psikologis tokoh merupakan fungsi

Roman adalah sejenis karya sastra dalam bentuk prosa atau gancaran yang isinya melukiskan perbuatan pelakunya menurut watak dan isi jiwa masing-masing. Roman atau novel dapat dibangun dan ditulis melalui beberapa Unsur pembangun roman berikut ini:

1. Tema

Tema adalah pandangan hidup tertentu atau perasaan tertentu mengenai kehidupan atau rangkaian nilai-nilai tertentu, yang membangun dasar atau ide utama suatu karya sastra (Brooks, Pusher dan Warren dalam Tarigan, 2008:80). Menurut pandangan Hartoko dan Rahmanto (dalam Nurgiyantoro, 1995:68), tema merupakan gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra dan yang terkandung di dalam teks sebagai struktur semantis dan yang menyangkut persamaan-persamaan atau perbedaan-perbedaan.

Tema dalam roman atau novel dapat menawarkan lebih dari satu tema, yaitu tema utama dan tema-tema tambahan. Hal itu sejalan dengan adanya plot utama dan subplot yang menampilkan satu konflik utama dan konflik-konflik pendukung (tambahan). Sejalan dengan kemampuan roman atau novel yang mampu mengungkapkan berbagai masalah kehidupan yang disampaikan pengarang lewat karya sastra jenis ini. Tema dalam roman atau novel sama halnya dengan peran subplot terhadap plot utama, tema-tema tambahan tersebut bersifat menopang dan berkaitan dengan tema utama untuk mencapai kepaduan.

Untuk menentukan tema, kita perlu memiliki kejelasan pengertian tentang makna tema itu sendiri. Tema merupakan ide sentral yang mendasari suatu cerita (Zulfahnur, dkk., 1996:25). Menurut Aminuddin (2002:91), tema adalah ide yang mendasari suatu cerita sehingga berperan sebagai pangkal tolak pengarang memaparkan karya fiksi ciptaannya. Sejalan dengan pendapat di atas tema adalah pokok pikiran dalam sebuah cerita yang hendak disampaikan pengarang melalui jalan cerita. Jadi, cerita tidak hanya berisi rentetan kejadian yang disusun dalam sebuah bagan, tetapi mempunyai maksud tertentu.

2. Alur

Aminuddin (2002:83) menyatakan bahwa alur adalah rangkaian cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehigga menjalin suatu cerita yang dihadirkan oleh para pelaku dalam suatu cerita. Menurut Nurgiyantoro (2007:110), alur merupakan unsur fiksi yang penting, bahkan tak sedikit orang yang menganggapnya sebagai yang terpenting diantara  berbagai unsur fiksi yang lain. Alur dalam prosa naratif atau drama mengandung konflik yang menjadi dasar lakuan dan membuat tokoh terus bergerak dari satu peristiwa ke peristiwa lain hingga mencapai klimaks (Budianta dkk, 2008:174).

Bagi pengarang, alur dapat diibaratkan sebagai suatu kerangka karangan yang dijadikan pedoman dalam mengembangkan keseluruhan isi cerita, sedangkan bagi pembaca pemahaman alur berarti juga pemahaman terhadap keseluruhan isi cerita secara runtun dan jelas, sebab itulah dalam kegiatan membaca novel atau karya fiksi lainya kita perlu mamahami alur dengan baik.

Alur dapat ditinjau dari beberapa segi, yaitu sebagai berikut.

1.    Dari segi kuantitas

  • Alur tunggal, bila dalam cerita tersebut hanya terdapat satu alur cerita yang berhubungan dengan seorang tokoh/ pelaku utama.
  • Alur ganda, bila dalam cerita tersebut terdapat lebih dari satu alur.

2.    Dari segi kualitas

  • Alur erat, bila hubungan peristiwa-peristiwa sangat padu dan kompak. Alur ini tidak memungkinkan pencabangan cerita.
  • Alur longgar, alur yang memungkinkan pencabangan cerita.

3.    Dari segi urutan pengisahan

  • Urutan kronologis/ progresif, bila pengarang menyusun ceritanya menurut urutan waktu kejadiannya atau menurut urutan waktu alamiah.
  • Urutan nonkronologis/ regresif, bila alur ceritanya bukan mulai dari awal peristiwa tetapi dari akhir peristiwa.
  • Gabungan, yaitu jalinan peristiwa menggunakan alur progresif dan alur regresif.

4.    Dari segi tegangan

  • Alur menanjak, bila cerita dimulai dengan peristiwa biasa kemudian meningkat menjadi makin tegang.
  • Alur menurun, bila cerita dimulai dengan peristiwa yang paling tegang, kemudian mengendor dan diakhiri dengan peristiwa yang biasa saja.
  • Alur piramida, puncak tegangan tidak terdapat pada akhir ataupun awal cerita, tetapi pada pertengahan (Mido dalam Rosalita, 2011:15).

Pendapat-pendapat yang telah diuraikan memberikan gambaran bahwa alur merupakan rangkaian peristiwa atau kejadian yang diberikan oleh pengarang sehingga cerita tersebut mudah dipahami oleh pembaca. Dari beberapa pendapat dapat disimpulkan bahwa alur adalah rangkaian peritiwa yang berdasarkan sebab akibat. Tiap peristiwa hanya dihubungkan secara sebab akibat, peritiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan terjadinya peritiwa yang lain.

Karakteristik dari alur adalah rangkaian cerita dari awal sampai akhir yang merupakan rangkaian peristiwa yang satu dengan yang lain dihubungkan dengan hubungan kausalitas. Artinya, peristiwa pertama menyebabkan terjadinya peristiwa kedua, peristiwa kedua mengakibatkan terjadinya peristiwa ketiga, dan dengan demikian selanjutnya sehingga pada dasarnya peristiwa terakhir ditentukan oleh peristiwa pertama (Sumardjo dan Saini, 1997:139).

Alur menampilkan kejadian-kejadian yang mengandung konflik yang mampu menarik atau mencekam pembaca, suatu konflik dalam suatu cerita tidak bisa dipaparkan begitu saja. Melalui alur akan tampak bagaimana cara  tokoh tersebut berpikir dan bertindak dalam menghadapi persoalan. Peristiwa-peristiwa yang ditampilkan melalui rangkaian cerita tersebut pada umumnya menampilkan perbuatan dan tingkah laku para tokoh, secara mendetil atau tidak.

3. Unsur Pembangun Roman: Tokoh dan Penokohan

Menurut Aminuddin (2002:79), peristiwa dalam karya fiksi seperti halnya peristiwa dalam kehidupan sehari-hari, selalu digambarkan oleh tokoh atau pelaku-pelaku tertentu. Berdasarkan pendapat di atas maka yang dimaksud dengan tokoh adalah orang yang mengambarkan suatu peristiwa dalam sebuah cerita yang diperankan.

Para tokoh yang terdapat dalam suatu cerita memiliki peranan yang berbeda-beda. Tokoh yang membuat suatu cerita lebih hidup dan menarik dengan demikian seolah-olah terjadi di alam nyata. Seorang tokoh memiliki peranan penting dalam suatu cerita disebut tokoh utama, sedangkan tokoh yang memiliki peranan tidak penting karena permunculannya hanya melengkapi, melayani, mendukung pelaku utama disebut tokoh tambahan atau tokoh pembantu.

Selain menampilkan tokoh dalam suatu cerita, pengarang juga memberikan watak masing-masing setiap tokohnya sesuai degan peran yang dimainkan. Dalam menentukan siapa tokoh utama dan tokoh tambahan pembaca dapat menentukannya dengan melihat keseringan pemuculannya dalam suatu cerita. Pembaca juga dapat menentukan tokoh utama lewat pengarang yang sering memberikan tokoh utama komentar dan dibicarakannya  dalam cerita tersebut.

Tokoh dalam cerita seperti halnya manusia dalam kehidupan sehari-hari disekitar kita, selalu memilki watak-watak tertentu. Sehubungan dengan watak ini tentunya pelaku yang protagonis dan antagonis. Protagonis adalah pelaku yang memiliki watak yang baik sehingga disenangi pembaca. Antagonis adalah pelaku yang tidak disenangi pembaca yang tidak sesuai dengan apa yang didambakan oleh pembaca.

Untuk menampilkan tokoh dalam suatu cerita terutama dalam menggambarkan atau melukiskan watak tokoh dapat dilakukan dengan cara yaitu:

1    Cara Analitik

Cara analitik adalah pengarang menceritakan atau menjelaskan watak tokoh cerita secara langsung.

2    Cara Dramatik

Cara dramatik adalah pengarang tidak secara langsung menceritakan watak tokoh seperti pada cara analitik, melainkan menggambarkan watak tokoh dengan melukiskan tempat atau lingkungan, menampilkan dialog antartokoh yang mana tampak watak tokoh akan terlihat, dan menceritakan tingkah laku, perbuatan, dan reaksi tokoh terhadap suatu peristiwa.

3    Cara Gabungan Analitik dan Dramatik

Pengarang menggunakan kedua cara tersebut di atas secara bersamaan dengan anggapan bahwa keduanya bersifat saling melengkapi.

Selain tokoh ada istilah lain yang sering digunakan dalam teori sastra yaitu penokohan. Penokohan adalah perwatakan orang dalam karya naratif dan drama, yang mencakupi pemberian sifat-sifat tertentu baik secara langsung melalui deskripsi maupun secara tidak langsung melalui kata-kata dan penampilan tokoh (Budianta dkk, 2008:186).

Menurut Jones (dalam Nurgiyantoro, 2010:166), istilah “penokohan” lebih luas pengertiannya daripada “tokoh” dan “perwatakan” sebab ia sekaligus mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca.

4. Unsur Pembangun roman: Latar

Menurut Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2010: 216), latar atau setting adalah landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Sedangkan menurut Budianta dkk. (2008:182) latar adalah waktu dan tempat terjadinya peristiwa dalam sebuah drama atau kisah. Berdasarkan beberapa pendapat di atas disimpulkan pengertian dari latar adalah lingkungan fisik tempat kegiatan berlangsung terjadinya suatu peristiwa. Latar juga dibedakan menjadi tiga yaitu latar tempat, latar waktu, dan latar sosial.

1. Latar Tempat

Latar tempat menyarankan pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi unsur tempat yang biasanya digunakan berupa tempat-tempat dengan nama tertentu, inisial tertentu, dan lokasi tertentu. Latar yang berupa inisial tempat tertentu, biasanya berupa hurup awal (kapital) nama suatu tempat, misalnya kota J, S, B, dan desa M. Latar tempat dengan nama jelas biasanya hanya berupa penyebutan jenis dan sifat umum tempat-tempat tertentu, misalnya desa, sungai, hutan, kota, kecamatan, dan sebagainya, sedangkan penggunaan nama latar tempat dengan nama-nama tertentu haruslah mencerminkan atau setidaknya tidak bertentangan dengan sifat dan keadaan geografis tempat yang bersangkutan.

Masing-masing tempat tentu memiliki karakteristiknya tersendiri yang membedakannya dengan tempat yang lain. Jika terjadi ketidaksesuaian deskripsi antara keadaan tempat secara realitis dengan yang terdapat di dalam roman/novel, terutama jika pembaca mengenalinya, hal itu akan menyebabkan karya yang bersangkutan kurang meyakinkan. Deskripsi tempat secara teliti dan realitis ini sangat penting untuk mengesankan pembaca seolah-olah hal yang diceritakan itu sungguh-sungguh ada dan terjadi, yaitu tempat dan waktu seperti yang diceritakan. Menurut Aminuddin (2002:69), latar tempat adalah.

  • Latar yang bersifat  fisikal berhubungan dengan tempat, misalnya kota Jakarta, daerah pedesaan, pasar, sekolah, dan lain-lain yang tidak menuansakan apa-apa.
  • Latar fisikal hanya terbatas pada sesuatu yang bersifat fisik.
  • Untuk memahami yang bersifat fisikal pembaca hanya cukup melihat apa yang tersurat.

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa latar tempat adalah latar yang berhubungan secara jelas yang menyangkut nama lokasi tempat terjadinya peristiwa secara konkret dan dapat menunjukan pada latar pedesaan, jalan, hutan, dan lain-lain.

2.    Latar Waktu

Latar waktu berkaitan dengan masalah kapan terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi (Nurgiyantoro, 2010:230). Masalah kapan biasanya dihubungkan dengan waktu faktual. Waktu faktual adalah waktu yang ada kaitannya dengan peristiwa yang terjadi.

Segala sesuatu yang berhubungan dengan latar waktu terjadinya peristiwa sesungguhnya sebagai acuan. Hal ini dikarenakan jika tidak ada kesesuaian waktu dalam cerita dengan waktu terjadinya peristiwa akan menyebabkan cerita menjadi tidak wajar bagi pembaca, bahkan mungkin sekali untuk tidak masuk akal misalnya, pada suatu saaat, suatu ketika, pagi, siang sore, malam, maupun bulan dan tahun. Dalam hal ini waktu berkaitan dengan berlangsungnya suatu cerita rekaan karena tidak mungkin ada rentetan peristiwa tanpa hadirnya waktu.

Penggolongan waktu dalam sebuah cerita dapat digolongkan menjadi tiga yaitu.

  • Lampau, yang dapat berarti waktu yang telah lewat.
  • Kini, dapat berarti sekarang atau sedang berlangsung sekarang.
  • Akan, dapat berarti nanti, besok, lusa, dan lain-lain.

Berdasarkan uaraian latar waktu tersebut maka dapat disimpulkan bahwa waktu adalah sesuatu yang berhubungan dengan masalah kapan terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam karya fiksi. Latar waktu dalam sebuah karya sastra dapat berupa latar waktu nyata dan latar waktu tidak nyata.

3. Latar Sosial

Latar sosial menyarankan pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat disuatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi (Nurgiyantoro, 2010:233). Tata cara kehidupan sosial masyarakat mencakup berbagai masalah dalam lingkup yang cukup komleks. Ia dapat berupa kebiasaan hidup, adat-istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berfikir, cara bersikap, dan lain-lain. Selain itu hubungan status sosial tokoh yang bersangkutan misalnya, rendah, menengah, dan atas.

Jika mengangkat latar tempat tertentu kedalam karya fiksi pengarang perlu menguasai medan, hal itu juga berlaku untuk latar sosial, tepatnya sosial budaya. Pengertian penguasaan medan lebih menyarankan pada penguasaan latar. Ia mencangkup unsur tempat, waktu, dan sosial budaya sekaligus.

Latar sosial berperan menentukan apakah sebuah latar, khususnya latar tempat menjadi khas tipikal atau sebaliknya bersifat netral. Dengan kata lain, untuk menjadi tipikal atau bersifat netral, deskripsi latar tempat harus sekaligus disertai deskripsi latar sosial, tingkah laku kehidupan sosial masyarakat ditempat yang bersangkutan.

5. Unsur pembangun roman  Konflik

Konflik adalah percekcokan, perselisihan atau pertentangan. Dalam sastra diartikan bahwa konflik merupakan ketegangan atau pertentangan di dalam cerita rekaan atau drama. Menurut Wellek dan Warren (1995:285), konflik merupkan sesuatu yang dramatik, mengacu pada pertaruhan antara dua kekuatan seimbang dan menyiratkan adanya aksi balasan. Pertentangan ini dapat terjadi dalam diri satu tokoh, antara dua tokoh, antara tokoh  masyarakat, dan lingkungannya.

Menurut Meredith dan Fitzgerald (dalam Nurgiyantoro, 2010: 122), konflik adalah sesuatu yang bersifat tidak menyenangkan yang terjadi dan atau dialami oleh tokoh-tokoh cerita, yang jika tokoh-tokoh itu mempunyai kebebasan untuk memilih, ia (mereka) tidak akan memilih peristiwa itu menimpa dirinya. Sejalan dengan itu, menurut Keraf (2007:169), konflik akan menimbulkan kekuatan-kekuatan yang saling bertentangan dalam batin seseorang, keberanian melawan ketakutan, kejujuran melawan kecurangan, dan kekikiran melawan kedermawanan.

Konflik dalam suatu cerita pasti bersumber pada kehidupan, sehingga pembaca dapat terlibat langsung secara emosional dengan apa yang terjadi dalam cerita. Pembaca bukan semata-mata sebagai penonton yang menyaksikan peristiwa demi peristiwa atau adegan demi adegan dalam cerita, melainkan dia pun dibangkitkan emosinya untuk kemudian dibawa kepada peristiwa yang terjadi.

Peristiwa dapat menjadi cerita (plot) jika memunculkan konflik, yaitu masalah sensasional dan bersifat dramatik, sehingga menarik untuk diceritakan. Jika hal tersebut tidak dapat ditemui dalam kehidupan nyata, pengarang sengaja menciptakan konflik secara imajinatif dalam karyanya karena kekuatan sebuah cerita terdapat pada bagaimana seorang pengarang membawa pembacanya mengikuti timbulnya konflik, memuncaknya konflik, dan berakhirnya konflik. Hal tersebut dipertegas oleh Nurgiyantoro, (2010: 122) kemampuan pengarang untuk memilih dan membangun konflik melalui peristiwa akan sangat menentukan kadar kemenarikan, kadar suspense, cerita yang dihasilkan. Bahkan sebenarnya yang dihadapi dan menyita pembaca sewaktu membaca suatu karya naratif adalah (terutama) peristiwa-peristiwa konflik, konflik yang semakin memuncak, klimaks, dan kemudian penyelesaian.

Berdasarkan pendapat – pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa konflik adalah ketegangan dalam cerita rekaan atau drama, pertentangan antara dua kekuatan yang seimbang di dalam cerita rekaan, menyiratkan aksi dan aksi balasan. Konflik dapat terjadi dalam diri tokoh, antara tokoh satu dengan tokoh lain, dan antara tokoh dengan masyarakat atau lingkungannya.

Peristiwa yang menyebabkan munculnya konflik-konflik biasanya cenderung disenangi pembaca. Bahkan sebenarnya, yang dihadapi dan menyita perhatian pembaca sewaktu membaca novel adalah peristiwa-peristiwa konflik, konflik yang semakin memuncak, klimaks, dan kemudian penyelesaian. Memang harus diakui bahwa konflik itu merupakan bagian penting dari alur suatu cerita.

Menurut Tarigan, konflik dapat dibagi atas lima macam, antara lain.

  1. manusia dengan manusia
  2. manusia dengan masyarakat
  3. manusia dengan alam sekitar
  4. satu ide dengan ide lain
  5. seseorang dengan kata hatinya (Tarigan, 2008:82).

Konflik dapat digali melalui alur yaitu dengan tahap pengenalan, timbulnya konflik, konflik memuncak, klimaks, dan pemecahan masalah. Melalui beberapa tahapan alur tersebut, maka dapat ditemukan konflik, sehingga dengan diketahuinya konflik maka karakter tokoh juga dapat diketahui. Konflik adalah pertentangan percekcokkan antara dua kekuatan yang seimbang menyirat adanya aksi dan aksi balasan dalam cerita rekaan atau drama.

Hal yang sama mengenai konflik juga dikemukakan oleh Stanton (dalam Nurgiyantoro, 2010:124) konflik dalam cerita dapat dibedakan menjadi dua jenis seperti berikut ini.

1.    Konflik eksternal, adalah konflik yang terjadi antara seorang tokoh dengan sesuatu di luar dirinya, mungkin dengan lingkungan alam atau mungkin dengan lingkungan manusia, maka konflik dapat dibedakan ke dalam dua kategori yaitu:

  • Konflik fisik adalah konflik yang disebabkan adanya benturan antara tokoh dengan lingkungan sekitar. Misalnya: konflik atau permasalahan yang dialami seorang tokoh akibat adanya banjir besar, kemarau panjang, dan gunung meletus.
  • Konflik sosial adalah konflik yang disebabkan adanya kontak sosial antar manusia. Misalnya: percekcokkan, peperangan, atau kasus-kasus hubungan sosial lainnya.

2.    Konflik internal adalah konflik kejiwaan yang terjadi dalam hati jiwa seseorang tokoh atau tokoh cerita. Konflik internal pada umumnya dialami oleh tokoh utama cerita yaitu tokoh protagonis. Hal tersebut dapat terlihat pada karya-karya yang bersudut pandang orang pertama (gaya aku).

Konflik terjadi akibat perbedaan yang tidak dapat diatasi antara kebutuhan individu dan kemampuan potensial. Konflik dapat diselesaikan melalui keputusan hati. Menurut Effendi dan Praja (dalam Wirwan, 2009:7)  konflik  dibedakan menjadi empat katagori, yaitu:

  1. Approach-approach conflict, yaitu konflik-konflik psikis yang dialami oleh individu karena individu tersebut mengalami dua atau lebih motif yang positif dan sama kuat. Misalnya, seorang mahasiswa pergi kuliah atau menemui temannya karena sudah berjanji.
  2. Approach avoidance conflict, yaitu konflik psikis yang dialami individu karena dalam waktu yang bersamaan menghadapi situasi yang mengandung motif positif dan motif negatif yang sama kuat. Misalnya, mahasiswa diangkat menjadi pegawai negeri (positif) di daerah terpencil (negatif).
  3. Avoidance-avoidance conflict, yaitu konflik psikis yang dialami individu karena menghadapi dua motif yang sama-sama negatif dan sama-sama kuat. Misalnya, seorang penjahat yang tertangkap dan harus membuka rahasia kelompoknya dan apabila ia melakukan akan mendapat ancaman dari kelompoknya.
  4. Double approach avoidance conflict, yaitu konflik psikis yang dialami individu karena menghadapi dua situasi yang masing-masing mengandung motif negatif dan motif positif yang sama kuat. Misalnya, seorang mahasiswa harus menikah dengan orang yang tidak disukai (negatif) atau melanjutkan studi (positif).

Referensi: 

  • Aminuddin. 2002. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algesindo.
  • Budianta, Melani, dkk. 2008. Membaca sastra. Magelang: Indonesia Tera.
  • Hartoko, Dick dan B. Rahmanto. 1986. Pemandu di Dunia Sastra. Yogyakarta: Kanisius.
  • Keraf, Gorys. 2007. Argumentasi dan Narasi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
  • Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
  • Rosalita, Icha. 2011. “Analisis Kumpulan Cerpen Kemboja Terkulai Di Pangkuan Karya Irwan Kelana”. Pontianak: FKIP Untan.
  • Sumardjo, Jakob & Saini K.M. 1997.  Apresiasi Kesusastraan. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
  • Tarigan, Henry Guntur. 2008. Membaca Sebagai Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa.
  • Wellek, Rane dan Austin Waren. 1995. Teori Kesusasteraan. Jakarta: Gramedia.
  • Wirwan, Teguh. 2009. “Analisis Psikologi Sastra dalam roman larasati karya Pramoedya Ananta Toer”. Online. (dikunjungi 16 Januari 2012)
  • Zulfahnur, dkk. 1996. Teori Sastra. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah Bagian Proyek Penataran Guru SLTP setara D-III 1996/1997

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA