Konsekuensi dari Gereja yang mengumat bagi pimpinan Gereja adalah


A.    Arti dan Makna Gereja sebagai Umat Allah

Istilah “Umat Allah” sudah digunakan dalam Perjanjian Lama yang kemudian dimunculkan dan dihidupkan kembali oleh Konsili Vatikan II setelah sekian lama Gereja menjadi terlalu hierarkis; didominasi oleh kaum rohaniwan dan awam yang adalah mayoritas dalam Gereja agak terdesak ke pinggir. Dengan paham Gereja sebagai Umat Allah, diakui kembali kesamaan martabat dan peranan semua anggota Gereja. Semua anggota Gereja memiliki martabat yang sama, hanya berbeda dalam hal fungsi.

Menurut Minear, umat Allah adalah umat yang kepadanya Allah mengutus Anak-Nya sebagai Penyelamat dan Raja. Umat Allah tidak lepas dari kelahiran Yesus atau PelayananNya, dan dari pesta Perjamuan Kudus atau Kebangkitan atau bahkan keturunan Roh pada hari Pentakosta.[5] Tetapi juga harus diingat bahwa Umat Allah juga tidak bisa lepas dari perjanjian yang mana aktivitas Allah dalam zaman Abraham dan Musa. Kenyataan ini, tentu tidak mengecualikan realitas pemilihan atau mengurangi makna yang abadi.

Dalam pemahaman ini, Tom Jacobs lebih menyetujui Ekaristi sebagai artian Gereja[6] khususnya dalam artian “umat Allah” atau dengan perjamuan Ekaristi, terbentuklah jemaat. Perayaan ekaristi tertuju pada pembentukan jemaat hal itu jelas dalam 1 Kor 11:22. Bagi paulus, Jemaat Allah sama artinya dengan umat Allah, tetapi dalam kata Yunani, “Umat (Laos) Allah” tidak tepatnya sama dengan “Jemaat (Ekklesia) Allah” dan yang sangat menyolok, “umat Allah yang dipakai oleh Paulus, hanya dipakai untuk kutipan-kutipan Perjanjian Lama

Geraja sebagai Umat Allah memiliki ciri khasnya yakni:

1.      Umat Allah merupakan suatu pilihan dan panggilan dari Allah sendiri. Umat Allah adalah bangsa terpilih, bangsa terpanggil.

2.      Umat Allah dipanggil dan dipilih untuk Allah dan untuk misi tertentu, yaitu menyelamatkan dunia.

3.      Hubungan antara Allah dan umatNya dimeteraikan olehsuatu perjanjian. Umat harus menaati perintah-perintah Allah dan Allah akan selalu menepati janji-janjiNya.

4.      Umat Allah selalu dalam perjalanan melewati padang pasir menuju Tanah Terjanji.

Dalam Perjanjian Baru, Gereja merupakan satu Umat Allah yang sehati sejiwa, seperti yang ditunjukkan oleh Umat Purba.[7] Gereja harus merupakan seluruh umat, bukan hanya hierarki saja dan awam seolah-olah hanya merupakan tambahan, pendengar dan pelaksana. Singkatnya: Gereja hendaknya MENGUMAT.

B.     Dasar dan Konsekuensi Gereja yang Mengumat

1.      Dasar dari Gereja yang Mengumat

Setiap orang dipanggil untuk melibatkan diri secara penuh dalam kehidupan Umat Allah atau MENGUMAT. Mengapa harus demikian?

a.       Hidup  mengumat pada dasarnya merupakan hakikat dari Gereja itu sendiri, sebab hakekat Gereja adalahpersaudaraan cinta kasih seperti yang dicerminkan oleh hidup Umat Purba.[8]

b.      Dalam hidup mengumat banyak karisma dan rupa-rupa karunia dapat dilihat, diterima dan digunakan bagi kekayaan seluruh Gereja. Hidup Gereja yang terlalu menampilkan segi organisatoris dan structural dapat mematikan banyak karisma dan karunia yang muncul dari bawah.[9]

c.       Dalam hidup mengumat, semua orang yang merasamenghayati martabat yang sama akan bertanggungjawab secara aktif dalam fungsinya masing-masing untuk membangun Gereja dan memberi kesaksian kepada dunia.[10]

2.      Konsekuensi dari Gereja yang Mengumat

a.      Konsekuensi bagi Pimpinan Gereja (Hierarki)

·         Menyadari fungsi pimpinan sebagai fungsi pelayanan. Pimpinan bukan di atas umat, tetapi di tengah umat.

·         Harus peka untuk melihat dan mendengar karisma dan karunia-karunia yang bertumbuh di kalangan umat.

b.      Konsekuensi bagi setiap Anggota Umat

·         Menyadari dan menghayati persatuannya dengan umat lain. Orang tak dapat menghayati kehidupan imannya secara individu saja.

·         Aktif dalam kehidupan mengumat, menggunakan segala karisma, karunia dan fungsi yang dipercayakan kepadanya untuk kepentingan dan misi Gereja di tengah masyarakat. Semua bertanggung jawab dalam hidup dan misi Gereja.

c.       Konsekuensi bagi Hubungan Awam dan Hierarki

·         Paham Gereja sebagai Umat Allah jelas membawa konsekuensi dalam hubungan antara hierarki dan kaum awam. Kaum awam bukan lagi pelengkap penyerta, melainkan partner hierarki.

·         Awam dan hierarki memiliki martabat yang sama, hanyaberbeda dalam hal fungsi.

Page 2

SMA KELAS 11 SEMESTER 1

Pelajaran 1

Gereja sebagai Umat Allah



Istilah “Umat Allah” sudah digunakan dalam Perjanjian Lama, yang dimunculkan dan dihidupkan kembali oleh Konsili Vatikan II. Gereja sebagai Umat Allah dimunculkan kembali, mungkin karena sudah terlalu lama Gereja menjadi terlalu hierarkis, didominasi oleh kaum rohaniawi dan awam yang adalah mayoritas dalam Gereja agak terdesak ke pinggir. Dengan paham Gereja sebagai Umat Allah, diakui kembali kesamaan martabat dan peranan semua anggota Gereja. Semua anggota Gereja memiliki martabat yang sama, hanya berbeda dalam hal fungsi.

Arti dan Makna Gereja “Umat  Allah”

Istilah Umat Allah ini sebenarnya sudah kuno, sudah dipakai sejak dalam Perjanjian Lama.  Kemudian istilah ini dihidupkan dan dipopulerkan lagi oleh Konsili Vatikan II.

Pergertian Umat allah mempunyai ciri khas sebagai berikut.

  1. Umat Allah merupakan suatu pilihan dan panggilan dari Allah sendiri. Umat Allah adalah bangsa terpilih, bangsa terpanggil.
  2. Umat Allah dipanggil dan dipilih untuk Allah dan untuk misi tertentu, yaitu menyelamatkan dunia.
  3. Hubungan antar Allah dan umat-Nya dimeteraikan oleh suatu perjanjian.
  4. Umat Allah selalu dalam perjalanan, melewati padang pasir, menuju Tanah Terjanji.

Demikianlah, Gereja sungguh merupakan Umat Allah yang sedan dalam perjalanan menuju ke rumah Bapa.

Pengertian Gereja sebagai Umat Allah ini sungguh dimunculkan tepat pada waktunya karena pada abad-abad terakhir Gereja sudah menjadi sangat organisatoris dan struktural-hierarkis. Sekarang kita  kembali kepada Kitab Suci, khususnya Kitab Suci Perjanjian Baru, di mana Gereja sungguh merupakan satu Umat Allah yang sehati sejiwa, seperti yang ditunjukkan oleh Umat Purba, yang imannya kita anut sampai saat ini (lih. Kis 2: 41 - 47). Gereja harus merupakan seluruh umat, bukan hanya hierarki saja dan awan seolah-olah hanya merupakan tambahan, pendengar, dan pelaksana. Singkatnya: Gereja hendaknya MENGUMAT.

DASAR DAN KONSEKUENSI GEREJA YANG MENGUMAT

1.   Dasar dari Gereja yang Mengumat

  1. Kita masing-masing secara pribadi dipanggil untuk melibatkan diri secara penuh dalam kehidupan Umat Allah ini. Atau secara singkat dikatakan kita harus MENGUMAT.     Mengapa?  Hidup mengumat pada dasarnya merupakan hakikat dari Gereja itu sendiri, sebab hakikat Gereja adalah persaudaraan cinta kasih seperti yang dicerminkan oleh hidup Umat Purba (lih. Kis 2: 41 - 47).
  2. Dalam hidup mengumat banyak karisma dan rupa-rupa karunia dapat dilihat, diterima, dan digunakan bagi kekayaan seluruh Gereja. Hidup Gereja yang terlalu menampilkan segi organisatoris dan struktural dapat mematikan banyak karisma dan karunia yang muncul dari bawah ( lih. 1Kor 23: 7-10).
  3. Dalam hidup mengumat, semua orang yang merasa menghayati martabat sama akan bertanggung jawab secara aktif dalam fungsinya masing-masing untuk membangun  Gereja dan memberi kesaksian kepada Dunia ( lih. Ef 4: 11-13; 1Kor 12: 12-28; 26-27 ).

2.   Konsekuensi dari Gereja yang Mengumat 

Selanjutnya, kalau Gereja sunggu umat Allah, maka konsekuensi bagi Gereja itu sendiri adalah: a.    Konsekuensi bagi pimpinan gereja (hierarki)
  • Menyadari fungsi pimpinan sebagai fungsi Pollyanna. Pimpinan bukan di atas umat, tetapi di tengah umat.
  • Harus peka untuk melihat dan mendengar karisma dan karunia-karunia yang bertumbuh di kalangan umat.
b.     Konsekuensi bagi setiap anggota umat
  • Menyadari dan menghayati persatuannya dengan umat lain. Orang tak dapat menghayati kehidupan imannya secara individu.
  • Aktif dalam kehidupan mengumat, menggunakan segala karisma, karunia, dan fungsi yang dipercayakan kepadanya untuk kepentingan dan misi gereja di tengah masyarakat. Semua bertanggung jawab dalam hidup dan misi gereja.
c.   Konsekuensi bagi hubungan awam dan hierarki
  •  Paham Gereja sebagai Umat Allah jelas membawa konsekuensi dalam hubungan antar hierarki dan kaum awam. Kaum awam bukan lagi pelengkap penyerta (malah kadang-kadang pelengkap penderita), melainkan partner hierarki.
  • Awan dan hierarki memiliki martabat yang sama, hanya berbeda dalam hal fungsi.

Page 2

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA