KKN Desa penari termasuk film apa?

Suara.com - Sejak perdana tayang di bioskop, film KKN di Desa Penari memang ramai diperbincangkan banyak orang. Bahkan para penonton rela antri berjam-jam demi bisa menyaksikan film ini di bioskop. Perlu diketahui, bahwa film ini memiliki tiga versi yang berbeda. Penasaran, apa perbedaan film KKN di Desa Penari versi biasa, uncut, dan extended? Langsung saja simak ulasannya di bawah ini, yuk! 

Perbedaan KKN di Desa Penari Versi Biasa, Uncut dan Extended

1. Film KKN di Desa Penari Versi Biasa

Film KKN di Desa Penari versi biasa merupakan film yang sudah mendapatkan editing sampai akhirnya tayang di bioskop. Awi Suryadi mengatakan bahwa versi biasa yang tayang di bioskop ini mengalami banyak pemotongan adegan karena dianggap tidak perlu. Sebagian besar adegan yang dipotong di antaranya adalah drama karena MD Entertainment ingin fokus menonjolkan cerita horor di film itu.

Baca Juga: Sinopsis dan Link Nonton KKN Desa Penari di Disney Hotstar versi Uncut

2. Film KKN di Desa Penari Versi Uncut

Film KKN di Desa Penari versi uncut yang sudah bisa dinikmati di Disney+Hotstar memiliki durasi yang lebih panjang daripada versi biasa. Dilansir situs resmi Lembaga Sensor Film (LSF), film KKN di Desa Penari versi uncut ini berdurasi sepuluh menit lebih panjang dari versi bioskop. LSF juga menuliskan bahwa film KKN di Desa Penari versi uncut ini berdurasi 130 menit atau 2 jam 10 menit.

Namun, layanan Disney+ Hotstar menuliskan KKN di Desa Penari versi uncut berdurasi 2 jam 9 menit, selisih satu menit dibandingkan keterangan yang diberikan oleh LSF. Terlepas dari perbedaan satu menit itu, film KKN di Desa Penari dipastikan menambah adegan yang memang gagal masuk ke versi biasa atau yang tayang di bioskop.

3. Film KKN di Desa Penari Versi Extended

Film KKN di Desa Penari versi extended ini akan menampilkan lebih banyak lagi adegan tambahan yang sebelumnya gagal lolos editing. Manoj Punjabi selaku produser mengatakan bahwa versi extended yang akan dirilis akhir tahun 2022 ini memiliki durasi 40 menit lebih lama. Kemudian, Manoj Punjabi juga sengaja ingin mengeluarkan versi extended ini untuk memuaskan penggemar yang masih penasaran adegan apa saja yang memang dipotong dari cerita utas ke filmnya.

Baca Juga: Belum Sehari, Jumlah Penonton Pengabdi Setan 2 Pecahkan Rekor KKN di Desa Penari

Lembaga Sensor Film telah mengklasifikasikan film KKN di Desa Penari versi biasa untuk penonton usia 13 tahun ke atas, dan versi uncut untuk penonton usia 17 tahun ke atas. Jadi, para penonton harus bijak dalam memilah dan memilih tontonan sesuai klasifikasi usia, termasuk film KKN di Desa Penari ini.

Itulah perbedaan KKN di Desa Penari versi biasa, uncut dan extended. Selamat menonton! 

Kontributor : Rishna Maulina Pratama

Mobile_AP_Rectangle 1

Sejak ramai diperbincangkan di Twitter pada 2019 silam, saya penasaran untuk mengikuti update cerita KKN di Desa Penari. Bagi saya, cerita itu menarik, karena diangkat dari kisah nyata yang bersumber dari teman Simpleman. Simpleman adalah akun Twitter (@simpleM81378523) yang menceritakan pengalaman horor Widya dan Nur (nama samaran). Kisah itu berhasil membetot perhatian masyarakat khususnya, warganet. Maklum, khalayak negeri ini kenyataannya masih suka dengan bacaan dan tontonan semacam reality show di TV yang berbau mistis, beberapa akun Youtube berkonten mistis pun mendapat view tinggi.

Alasan lain, hampir semua mahasiswa pernah menjalani dan mengalami kisah unik, romantisme (cinta lokasi), termasuk kisah horor saat KKN (kuliah kerja nyata). Bagi yang pernah menjalani KKN, mungkin saja berpikir pengalaman itu serupa dengan pengalaman mereka. Sedang yang belum menjalani, merasa penasaran apa yang bakal terjadi jika tiba waktunya menjalani KKN.

Film KKN di Desa Penari tayang perdana pada 30 April 2022 lalu. Hingga kini di sejumlah bioskop termasuk di Jember masih digemari oleh berbagai kalangan usia mulai remaja hingga dewasa. Tak ayal jumlah penonton sampai saat ini telah mencapai 8,5 juta mengalahkan film Avengers Infinity War dan Spider-Man No Way Home. Penonton merasa puas setelah sempat dua kali tertunda. Semula dijadwalkan tayang di bioskop 24 Februari dan 19 Maret.

Mobile_AP_Rectangle 2

Hal menarik dari suksesnya film itu menurut saya bukan hanya jumlah penonton yang fantastis dan mengalahkan film Hollywood, tapi pesan film itu mudah dipahami. Dari beberapa pesan moral yang telah banyak dikupas, pesan menjaga etika (ahlaqul karimah) di mana pun kita berada adalah pesan moral yang amat berarti (meaningful). Film ini tidak hanya memvisualisasi cerita seram/horor saja. Namun, di balik cerita itu ada banyak pesan yang dapat dipetik. Salah satunya menghargai serta menghormati adat istiadat budaya setempat.

Sinyal Kebangkitan Industri Film?

Antusiasme penonton film KKN di Desa Penari ternyata tidak hanya dari dalam negeri, namun disukai juga penonton Malaysia dan Singapura. Informasi yang dilansir liputan6.com menyebutkan bahwa penonton Malaysia mencapai satu juta lebih. Lantas, apakah ini menjadi sinyal bangkitnya industri film?

Jika menengok jauh ke belakang, kita akan kembali merasakan pasang surut industri film, termasuk keberadaan bioskop di Jember. Dulu kita mengenal Bioskop Rex, kemudian berganti nama Bioskop Jaya. Sederetan gedung bioskop lain di antaranya Bioskop Sampurna, Indra, Cineplex 21, Kusuma, yang kini menjadi New Kusuma, bahkan ada ‘misbar’ (gerimis bubar) yang berlokasi di Pasar Gebang. Saya pun beberapa kali nonton di sana. Padahal lokasi itu sebelumnya adalah kuburan. Rata-rata gedung bioskop sekira tahun 1980 itu selalu ramai penonton. Namun pasca-tahun 1990, bioskop-bioskop itu rontok ketika TV swasta bermunculan. Di antaranya RCTI, SCTV, dan TPI. Kondisi itu diperparah lahirnya teknologi video compact disc (VCD) yang menyediakan film dan hiburan audio visual. Industri film pun lesu, karena karya para insan film diperjualbelikan secara bebas (bajakan) dalam bentuk VCD, tanpa ada royalty bagi jerih payah mereka. Tahun 2019 menurut artikel yang dilansir parfi.or.id adalah masa kejayaan industri film nasional. Rata-rata film yang tayang di bioskop itu penjualan tiketnya mencapai satu juta lebih. Film Dilan 1991 merupakan film terlaris dengan jumlah tiket terjual sebesar lima juta lebih. Industri film tak lama kemudian kembali lesu, saat pandemi Covid-19 terjadi.

Film KKN di Desa Penari cukup fenomenal, namun bukan berarti menjadi sinyal bangkitnya industri film. Menurut hemat saya, kepiawaian produser MD Pictures, Manoj Punjabi, memainkan promosi sensasional (hype) menjadi penentu suksesnya film itu. Pertama, viral thread Twitter Simpleman memengaruhi pembaca untuk melihat visualisasi dari kisah itu. Khalayak penasaran dan berburu visual untuk memuaskan kebutuhan hiburannya (entertainment needs). Maka tak heran penelusuran Desa Penari di kanal Youtube mendapat view tinggi. Kedua, jadwal tayang tertunda. Ketika thread Simpleman diangkat ke layar lebar, publik penasaran untuk segera menonton. Namun, pihak MD Pictures mencoba melihat antusiasme penonton dengan menundanya dua kali.

Menurut sutradara Awi, penundaan itu memantik warganet bertanya dan bahkan marah di akun media sosialnya. Inilah feedback yang ditunggu-tunggu manajemen MD Pictures, yakni membuat penasaran publik. Ketiga, strategi bauran pemasaran (integrated marketing communication). seluruh saluran komunikasi dimainkan untuk mempromosikan film KKN di Desa Penari. Keempat, social media engagement. Memainkan komunikasi dua arah dengan pengguna media sosial. Strategi ini cukup jitu untuk ‘mendorong’ khalayak datang ke bioskop-bioskop dan menonton film KKN di Desa Penari. Yang sudah nonton akan berkomentar film itu baik dengan segala prespektifnya, sehingga yang belum nonton tak mau ketinggalan untuk segera membeli tiket. Kelima, longgarnya PPKM. Tampaknya alasan ini juga menjadi penentu suksesnya film KKN di Desa Penari. Publik serasa terbebas dari belenggu Covid-19. Dua tahun lamanya aktivitas dibatasi, dan bahkan hanya beraktivitas dari rumah (work from home). Ini tak hanya terlihat dari fenomena tingginya penonton film KKN di Desa Penari, namun eforia masyarakat terlihat saat mudik Lebaran. Maka, liburan Lebaran dan saat publik khususnya kawula sedang berdompet tebal mendapat ‘THR Lebaran’ menjadi momentum yang pas untuk tayangan perdana.

Industri film di era media disruptif ini dituntut lebih jeli. Saat ini budaya khalayak menonton film telah bergeser (shifting). Khalayak banyak pilihan untuk menonton film tanpa harus hadir di gedung bioskop. Munculnya beragam aplikasi seperti Netflix, HBO Go, Iflix, VIU, Disney+hotstar, menjadi pilihan publik untuk menonton film kesayangan. Tantangan insan perfilman sangat berat untuk tetap mempertahankan eksistensi industri film khususnya menonton di gedung bioskop. Namun, tantangan seberat apa pun bisa saja diatasi dengan strategi jitu bauran pemasaran. Apalagi media massa memiliki karakteristik berbeda-beda.        

Melek Media

Sebulan film KKN di Desa Penari tayang di bioskop, namun hype-nya masih terasa. Publik masih membicarakan dan para youtuber semakin bersemangat (exited) mengisi konten kanal dengan berusaha menelusuri ke lokasi yang diduga Desa Penari. Sudut pandangnya pun (angle) berbeda-beda. Bahkan Menteri BUMN Erick Thohir juga penasaran untuk ikut-ikutan menelusuri Desa Penari.

Sisi lain kesuksesan film KKN di Desa Penari selayaknya menjadi kajian dan kearifan publik. Seperti kita ketahui, setiap produk media massa memiliki dampak positif maupun negatif. Untuk itu, keterampilan kita sebagai pengguna (user) seyogianya lebih cerdas memilih hal positif dari paparan media massa. Itulah melek media, yakni kemampuan memahami informasi yang disebarluaskan media massa. Menurut James Potter, dalam Media Literacy, mendefinisikan melek media sebagai cara pandang seseorang dalam mengakses dan menginterpretasi makna dengan benar.

Saya tertarik untuk berbagi pemikiran dari pandangan Stanley J. Baran pengarang buku Pengantar Komunikasi Massa, Melek Media dan Budaya (Introduction to Mass Communication, Media Leteracy and Culture 10th edition, 2019) dalam  mengasah keterampilan melek media. Menurut Stanley, menyerap media itu sangat mudah, cukup tekan tombol maka Anda bisa melihat TV, mendengarkan radio, termasuk internet, dan dengan uang bisa nonton film dan membeli majalah. Tapi yang perlu diasah adalah keterampilan memahami media (melek media).

Melek media amatlah penting agar selalu kritis dengan media dan isi media yang kita konsumsi. Apalagi di era new media saat ini, perkembangan media sosial lebih mengedepankan audio visual seperti Tiktok, reels, dan short, dibanding teks atau narasi. Nah, marilah kita tingkatkan keterampilan melek media agar tidak menjadi ‘korban’ media massa.

Kaprodi Ilmu Komunikasi

Universitas Islam Jember

- Advertisement -

Sejak ramai diperbincangkan di Twitter pada 2019 silam, saya penasaran untuk mengikuti update cerita KKN di Desa Penari. Bagi saya, cerita itu menarik, karena diangkat dari kisah nyata yang bersumber dari teman Simpleman. Simpleman adalah akun Twitter (@simpleM81378523) yang menceritakan pengalaman horor Widya dan Nur (nama samaran). Kisah itu berhasil membetot perhatian masyarakat khususnya, warganet. Maklum, khalayak negeri ini kenyataannya masih suka dengan bacaan dan tontonan semacam reality show di TV yang berbau mistis, beberapa akun Youtube berkonten mistis pun mendapat view tinggi.

Alasan lain, hampir semua mahasiswa pernah menjalani dan mengalami kisah unik, romantisme (cinta lokasi), termasuk kisah horor saat KKN (kuliah kerja nyata). Bagi yang pernah menjalani KKN, mungkin saja berpikir pengalaman itu serupa dengan pengalaman mereka. Sedang yang belum menjalani, merasa penasaran apa yang bakal terjadi jika tiba waktunya menjalani KKN.

Film KKN di Desa Penari tayang perdana pada 30 April 2022 lalu. Hingga kini di sejumlah bioskop termasuk di Jember masih digemari oleh berbagai kalangan usia mulai remaja hingga dewasa. Tak ayal jumlah penonton sampai saat ini telah mencapai 8,5 juta mengalahkan film Avengers Infinity War dan Spider-Man No Way Home. Penonton merasa puas setelah sempat dua kali tertunda. Semula dijadwalkan tayang di bioskop 24 Februari dan 19 Maret.

Hal menarik dari suksesnya film itu menurut saya bukan hanya jumlah penonton yang fantastis dan mengalahkan film Hollywood, tapi pesan film itu mudah dipahami. Dari beberapa pesan moral yang telah banyak dikupas, pesan menjaga etika (ahlaqul karimah) di mana pun kita berada adalah pesan moral yang amat berarti (meaningful). Film ini tidak hanya memvisualisasi cerita seram/horor saja. Namun, di balik cerita itu ada banyak pesan yang dapat dipetik. Salah satunya menghargai serta menghormati adat istiadat budaya setempat.

Sinyal Kebangkitan Industri Film?

Antusiasme penonton film KKN di Desa Penari ternyata tidak hanya dari dalam negeri, namun disukai juga penonton Malaysia dan Singapura. Informasi yang dilansir liputan6.com menyebutkan bahwa penonton Malaysia mencapai satu juta lebih. Lantas, apakah ini menjadi sinyal bangkitnya industri film?

Jika menengok jauh ke belakang, kita akan kembali merasakan pasang surut industri film, termasuk keberadaan bioskop di Jember. Dulu kita mengenal Bioskop Rex, kemudian berganti nama Bioskop Jaya. Sederetan gedung bioskop lain di antaranya Bioskop Sampurna, Indra, Cineplex 21, Kusuma, yang kini menjadi New Kusuma, bahkan ada ‘misbar’ (gerimis bubar) yang berlokasi di Pasar Gebang. Saya pun beberapa kali nonton di sana. Padahal lokasi itu sebelumnya adalah kuburan. Rata-rata gedung bioskop sekira tahun 1980 itu selalu ramai penonton. Namun pasca-tahun 1990, bioskop-bioskop itu rontok ketika TV swasta bermunculan. Di antaranya RCTI, SCTV, dan TPI. Kondisi itu diperparah lahirnya teknologi video compact disc (VCD) yang menyediakan film dan hiburan audio visual. Industri film pun lesu, karena karya para insan film diperjualbelikan secara bebas (bajakan) dalam bentuk VCD, tanpa ada royalty bagi jerih payah mereka. Tahun 2019 menurut artikel yang dilansir parfi.or.id adalah masa kejayaan industri film nasional. Rata-rata film yang tayang di bioskop itu penjualan tiketnya mencapai satu juta lebih. Film Dilan 1991 merupakan film terlaris dengan jumlah tiket terjual sebesar lima juta lebih. Industri film tak lama kemudian kembali lesu, saat pandemi Covid-19 terjadi.

Film KKN di Desa Penari cukup fenomenal, namun bukan berarti menjadi sinyal bangkitnya industri film. Menurut hemat saya, kepiawaian produser MD Pictures, Manoj Punjabi, memainkan promosi sensasional (hype) menjadi penentu suksesnya film itu. Pertama, viral thread Twitter Simpleman memengaruhi pembaca untuk melihat visualisasi dari kisah itu. Khalayak penasaran dan berburu visual untuk memuaskan kebutuhan hiburannya (entertainment needs). Maka tak heran penelusuran Desa Penari di kanal Youtube mendapat view tinggi. Kedua, jadwal tayang tertunda. Ketika thread Simpleman diangkat ke layar lebar, publik penasaran untuk segera menonton. Namun, pihak MD Pictures mencoba melihat antusiasme penonton dengan menundanya dua kali.

Menurut sutradara Awi, penundaan itu memantik warganet bertanya dan bahkan marah di akun media sosialnya. Inilah feedback yang ditunggu-tunggu manajemen MD Pictures, yakni membuat penasaran publik. Ketiga, strategi bauran pemasaran (integrated marketing communication). seluruh saluran komunikasi dimainkan untuk mempromosikan film KKN di Desa Penari. Keempat, social media engagement. Memainkan komunikasi dua arah dengan pengguna media sosial. Strategi ini cukup jitu untuk ‘mendorong’ khalayak datang ke bioskop-bioskop dan menonton film KKN di Desa Penari. Yang sudah nonton akan berkomentar film itu baik dengan segala prespektifnya, sehingga yang belum nonton tak mau ketinggalan untuk segera membeli tiket. Kelima, longgarnya PPKM. Tampaknya alasan ini juga menjadi penentu suksesnya film KKN di Desa Penari. Publik serasa terbebas dari belenggu Covid-19. Dua tahun lamanya aktivitas dibatasi, dan bahkan hanya beraktivitas dari rumah (work from home). Ini tak hanya terlihat dari fenomena tingginya penonton film KKN di Desa Penari, namun eforia masyarakat terlihat saat mudik Lebaran. Maka, liburan Lebaran dan saat publik khususnya kawula sedang berdompet tebal mendapat ‘THR Lebaran’ menjadi momentum yang pas untuk tayangan perdana.

Industri film di era media disruptif ini dituntut lebih jeli. Saat ini budaya khalayak menonton film telah bergeser (shifting). Khalayak banyak pilihan untuk menonton film tanpa harus hadir di gedung bioskop. Munculnya beragam aplikasi seperti Netflix, HBO Go, Iflix, VIU, Disney+hotstar, menjadi pilihan publik untuk menonton film kesayangan. Tantangan insan perfilman sangat berat untuk tetap mempertahankan eksistensi industri film khususnya menonton di gedung bioskop. Namun, tantangan seberat apa pun bisa saja diatasi dengan strategi jitu bauran pemasaran. Apalagi media massa memiliki karakteristik berbeda-beda.        

Melek Media

Sebulan film KKN di Desa Penari tayang di bioskop, namun hype-nya masih terasa. Publik masih membicarakan dan para youtuber semakin bersemangat (exited) mengisi konten kanal dengan berusaha menelusuri ke lokasi yang diduga Desa Penari. Sudut pandangnya pun (angle) berbeda-beda. Bahkan Menteri BUMN Erick Thohir juga penasaran untuk ikut-ikutan menelusuri Desa Penari.

Sisi lain kesuksesan film KKN di Desa Penari selayaknya menjadi kajian dan kearifan publik. Seperti kita ketahui, setiap produk media massa memiliki dampak positif maupun negatif. Untuk itu, keterampilan kita sebagai pengguna (user) seyogianya lebih cerdas memilih hal positif dari paparan media massa. Itulah melek media, yakni kemampuan memahami informasi yang disebarluaskan media massa. Menurut James Potter, dalam Media Literacy, mendefinisikan melek media sebagai cara pandang seseorang dalam mengakses dan menginterpretasi makna dengan benar.

Saya tertarik untuk berbagi pemikiran dari pandangan Stanley J. Baran pengarang buku Pengantar Komunikasi Massa, Melek Media dan Budaya (Introduction to Mass Communication, Media Leteracy and Culture 10th edition, 2019) dalam  mengasah keterampilan melek media. Menurut Stanley, menyerap media itu sangat mudah, cukup tekan tombol maka Anda bisa melihat TV, mendengarkan radio, termasuk internet, dan dengan uang bisa nonton film dan membeli majalah. Tapi yang perlu diasah adalah keterampilan memahami media (melek media).

Melek media amatlah penting agar selalu kritis dengan media dan isi media yang kita konsumsi. Apalagi di era new media saat ini, perkembangan media sosial lebih mengedepankan audio visual seperti Tiktok, reels, dan short, dibanding teks atau narasi. Nah, marilah kita tingkatkan keterampilan melek media agar tidak menjadi ‘korban’ media massa.

Kaprodi Ilmu Komunikasi

Universitas Islam Jember

Sejak ramai diperbincangkan di Twitter pada 2019 silam, saya penasaran untuk mengikuti update cerita KKN di Desa Penari. Bagi saya, cerita itu menarik, karena diangkat dari kisah nyata yang bersumber dari teman Simpleman. Simpleman adalah akun Twitter (@simpleM81378523) yang menceritakan pengalaman horor Widya dan Nur (nama samaran). Kisah itu berhasil membetot perhatian masyarakat khususnya, warganet. Maklum, khalayak negeri ini kenyataannya masih suka dengan bacaan dan tontonan semacam reality show di TV yang berbau mistis, beberapa akun Youtube berkonten mistis pun mendapat view tinggi.

Alasan lain, hampir semua mahasiswa pernah menjalani dan mengalami kisah unik, romantisme (cinta lokasi), termasuk kisah horor saat KKN (kuliah kerja nyata). Bagi yang pernah menjalani KKN, mungkin saja berpikir pengalaman itu serupa dengan pengalaman mereka. Sedang yang belum menjalani, merasa penasaran apa yang bakal terjadi jika tiba waktunya menjalani KKN.

Film KKN di Desa Penari tayang perdana pada 30 April 2022 lalu. Hingga kini di sejumlah bioskop termasuk di Jember masih digemari oleh berbagai kalangan usia mulai remaja hingga dewasa. Tak ayal jumlah penonton sampai saat ini telah mencapai 8,5 juta mengalahkan film Avengers Infinity War dan Spider-Man No Way Home. Penonton merasa puas setelah sempat dua kali tertunda. Semula dijadwalkan tayang di bioskop 24 Februari dan 19 Maret.

Hal menarik dari suksesnya film itu menurut saya bukan hanya jumlah penonton yang fantastis dan mengalahkan film Hollywood, tapi pesan film itu mudah dipahami. Dari beberapa pesan moral yang telah banyak dikupas, pesan menjaga etika (ahlaqul karimah) di mana pun kita berada adalah pesan moral yang amat berarti (meaningful). Film ini tidak hanya memvisualisasi cerita seram/horor saja. Namun, di balik cerita itu ada banyak pesan yang dapat dipetik. Salah satunya menghargai serta menghormati adat istiadat budaya setempat.

Sinyal Kebangkitan Industri Film?

Antusiasme penonton film KKN di Desa Penari ternyata tidak hanya dari dalam negeri, namun disukai juga penonton Malaysia dan Singapura. Informasi yang dilansir liputan6.com menyebutkan bahwa penonton Malaysia mencapai satu juta lebih. Lantas, apakah ini menjadi sinyal bangkitnya industri film?

Jika menengok jauh ke belakang, kita akan kembali merasakan pasang surut industri film, termasuk keberadaan bioskop di Jember. Dulu kita mengenal Bioskop Rex, kemudian berganti nama Bioskop Jaya. Sederetan gedung bioskop lain di antaranya Bioskop Sampurna, Indra, Cineplex 21, Kusuma, yang kini menjadi New Kusuma, bahkan ada ‘misbar’ (gerimis bubar) yang berlokasi di Pasar Gebang. Saya pun beberapa kali nonton di sana. Padahal lokasi itu sebelumnya adalah kuburan. Rata-rata gedung bioskop sekira tahun 1980 itu selalu ramai penonton. Namun pasca-tahun 1990, bioskop-bioskop itu rontok ketika TV swasta bermunculan. Di antaranya RCTI, SCTV, dan TPI. Kondisi itu diperparah lahirnya teknologi video compact disc (VCD) yang menyediakan film dan hiburan audio visual. Industri film pun lesu, karena karya para insan film diperjualbelikan secara bebas (bajakan) dalam bentuk VCD, tanpa ada royalty bagi jerih payah mereka. Tahun 2019 menurut artikel yang dilansir parfi.or.id adalah masa kejayaan industri film nasional. Rata-rata film yang tayang di bioskop itu penjualan tiketnya mencapai satu juta lebih. Film Dilan 1991 merupakan film terlaris dengan jumlah tiket terjual sebesar lima juta lebih. Industri film tak lama kemudian kembali lesu, saat pandemi Covid-19 terjadi.

Film KKN di Desa Penari cukup fenomenal, namun bukan berarti menjadi sinyal bangkitnya industri film. Menurut hemat saya, kepiawaian produser MD Pictures, Manoj Punjabi, memainkan promosi sensasional (hype) menjadi penentu suksesnya film itu. Pertama, viral thread Twitter Simpleman memengaruhi pembaca untuk melihat visualisasi dari kisah itu. Khalayak penasaran dan berburu visual untuk memuaskan kebutuhan hiburannya (entertainment needs). Maka tak heran penelusuran Desa Penari di kanal Youtube mendapat view tinggi. Kedua, jadwal tayang tertunda. Ketika thread Simpleman diangkat ke layar lebar, publik penasaran untuk segera menonton. Namun, pihak MD Pictures mencoba melihat antusiasme penonton dengan menundanya dua kali.

Menurut sutradara Awi, penundaan itu memantik warganet bertanya dan bahkan marah di akun media sosialnya. Inilah feedback yang ditunggu-tunggu manajemen MD Pictures, yakni membuat penasaran publik. Ketiga, strategi bauran pemasaran (integrated marketing communication). seluruh saluran komunikasi dimainkan untuk mempromosikan film KKN di Desa Penari. Keempat, social media engagement. Memainkan komunikasi dua arah dengan pengguna media sosial. Strategi ini cukup jitu untuk ‘mendorong’ khalayak datang ke bioskop-bioskop dan menonton film KKN di Desa Penari. Yang sudah nonton akan berkomentar film itu baik dengan segala prespektifnya, sehingga yang belum nonton tak mau ketinggalan untuk segera membeli tiket. Kelima, longgarnya PPKM. Tampaknya alasan ini juga menjadi penentu suksesnya film KKN di Desa Penari. Publik serasa terbebas dari belenggu Covid-19. Dua tahun lamanya aktivitas dibatasi, dan bahkan hanya beraktivitas dari rumah (work from home). Ini tak hanya terlihat dari fenomena tingginya penonton film KKN di Desa Penari, namun eforia masyarakat terlihat saat mudik Lebaran. Maka, liburan Lebaran dan saat publik khususnya kawula sedang berdompet tebal mendapat ‘THR Lebaran’ menjadi momentum yang pas untuk tayangan perdana.

Industri film di era media disruptif ini dituntut lebih jeli. Saat ini budaya khalayak menonton film telah bergeser (shifting). Khalayak banyak pilihan untuk menonton film tanpa harus hadir di gedung bioskop. Munculnya beragam aplikasi seperti Netflix, HBO Go, Iflix, VIU, Disney+hotstar, menjadi pilihan publik untuk menonton film kesayangan. Tantangan insan perfilman sangat berat untuk tetap mempertahankan eksistensi industri film khususnya menonton di gedung bioskop. Namun, tantangan seberat apa pun bisa saja diatasi dengan strategi jitu bauran pemasaran. Apalagi media massa memiliki karakteristik berbeda-beda.        

Melek Media

Sebulan film KKN di Desa Penari tayang di bioskop, namun hype-nya masih terasa. Publik masih membicarakan dan para youtuber semakin bersemangat (exited) mengisi konten kanal dengan berusaha menelusuri ke lokasi yang diduga Desa Penari. Sudut pandangnya pun (angle) berbeda-beda. Bahkan Menteri BUMN Erick Thohir juga penasaran untuk ikut-ikutan menelusuri Desa Penari.

Sisi lain kesuksesan film KKN di Desa Penari selayaknya menjadi kajian dan kearifan publik. Seperti kita ketahui, setiap produk media massa memiliki dampak positif maupun negatif. Untuk itu, keterampilan kita sebagai pengguna (user) seyogianya lebih cerdas memilih hal positif dari paparan media massa. Itulah melek media, yakni kemampuan memahami informasi yang disebarluaskan media massa. Menurut James Potter, dalam Media Literacy, mendefinisikan melek media sebagai cara pandang seseorang dalam mengakses dan menginterpretasi makna dengan benar.

Saya tertarik untuk berbagi pemikiran dari pandangan Stanley J. Baran pengarang buku Pengantar Komunikasi Massa, Melek Media dan Budaya (Introduction to Mass Communication, Media Leteracy and Culture 10th edition, 2019) dalam  mengasah keterampilan melek media. Menurut Stanley, menyerap media itu sangat mudah, cukup tekan tombol maka Anda bisa melihat TV, mendengarkan radio, termasuk internet, dan dengan uang bisa nonton film dan membeli majalah. Tapi yang perlu diasah adalah keterampilan memahami media (melek media).

Melek media amatlah penting agar selalu kritis dengan media dan isi media yang kita konsumsi. Apalagi di era new media saat ini, perkembangan media sosial lebih mengedepankan audio visual seperti Tiktok, reels, dan short, dibanding teks atau narasi. Nah, marilah kita tingkatkan keterampilan melek media agar tidak menjadi ‘korban’ media massa.

Kaprodi Ilmu Komunikasi

Universitas Islam Jember

KKN di Desa Penari termasuk film apa?

Jakarta (ANTARA) - Film horor terlaris di Indonesia "KKN di Desa Penari" tayang mulai 30 Agustus 2022 di Disney+ Hotstar.

Film KKN di Desa Penari cerita tentang apa?

KKN Di Desa Penari diadaptasi dari salah satu cerita horror yang telah viral di tahun 2019 melalui Twitter, menurut sang penulis, cerita ini diambil dari sebuah kisah nyata sekelompok mahasiswa yang tengah melakukan program KKN (Kuliah Kerja Nyata) di Desa Penari. Tak berjalan mulus, serentetan pengalaman horror pun menghantui mereka hingga program KKN tersebut berakhir tragis.KKN di Desa Penari / sinopsisnull

Apakah film KKN Desa Penari diambil dari kisah nyata?

Karena film ini di ambil berdasarkan kisah nyata Sejak utas viral tentang KKN di desa penari pada 2019, sosok penulis yang menamakan dirinya sebagai simpleman tampaknya masih belum diketahui sampai sekarang, belum ada yang tau mengenai sosok asli sang penulis.

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA