Keterkaitan antara Sejarah dan Ilmu sosial dalam artikel Perempuan Bicara dalam Majalah Dunia Wanita

Perempuan Bicara dalam Majalah Dunia Wanita:
Wacana Kesetaraan Gender dalam Keluarga di Indonesia tahun 1950-an1
Oleh:
Siti Utami Dewi Ningrum2
Latar Belakang
Tutur perempuan merupakan hal yang menarik untuk terus diperbincangkan. Hal ini
karena dalam diri perempuan terdapat pemikiran yang belum sepenuhnya dipahami oleh
masyarakat. Perjuangan perempuan dalam mendapatkan hak – haknya sering disebut dengan
pemikiran feminis. Pemikiran

tersebut tidak dapat diuniversalkan dalam satu bentuk

kebenaran dan tidak dapat pula ditentukan akhir ceritanya. Hal ini terjadi karena masing –
masing perempuan memiliki bentuk ideal tersediri mengenai kesetaraan yang mereka
idamkan. Seperti halnya yang diungkapkan oleh Rosemarie Putnam Tong dalam bukunya
Feminist Thought, bahwa dalam pemikiran perempuan, bukanlah sebuah kebenaran yang
dijadikan tujuan, namun kebenaran itu sendiri yang akan membebaskan perempuan.3
Makalah ini mencoba untuk menuturkan kembali apa yang dipikirkan dan dituturkan
oleh perempuan pada tahun 1950-an mengenai kesetaraan yang mereka impikan untuk
kemajuan sesama perempuan. Tutur tersebut termuat dalam sebuah majalah perempuan
Dunia Wanita, sebuah majalah perempuan yang populer pada masanya. Di tengah pergolakan


dan penyusunan kekuatan bangsa pasca kemerdekaan, apa yang dipikirkan perempuan
Indonesia mengenai dirinya, terutama pada ranah yang “dikodratkan” oleh masyarakat
padanya sebagai seorang ibu dan istri di dalam keluarga maupun di dalam masyarakat.
Kata kunci: wacana kesetaraan, perempuan, majalah Dunia Wanita, 1950
Gendering4 dalam Keluarga dan Masyarakat
1 Makalah ini dipresentasikan pada “The Second Graduate Seminar on Urban History of
Indonesia 2014, Kota dan Permasalahan Sosial: Dari Masa Kolonial Hingga Pasca Kolonial”,
Prodi Sejarah, Program Pascasarjana, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta, tanggal 18-19 Juni 2013.
2Mahasiswi S2 Ilmu Sejarah 2013, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada.
Email: , Hp. 085724920870.
3Rosemarie Putnam Tong, Feminist Thought:Pengantar Paling Komprehensif kepada
Arus Utama Pemikiran Feminis, alih bahasa Aruarini Priyatna Prabasmoro, (Yogyakarta,
Jalasutra), hlm. 408.

1

Gender merupakan sebuah terminologi yang digunakan untuk menyebutkan sebuah
sifat manusia, yaitu maskulin (kuat, perkasa, rasional dan jantan) dan feminin (lemah lembut,
emosional, keibuan, cantik). Sifat tersebut dapat melekat pada laki – laki maupun perempuan,


karena bersifat universal. Berbeda dengan itu, seks merupakan kodrat Tuhan yang
membedakan manusia berdasarkan jenis kelamin yang memiliki perbedaan pada fungsi
sistem reproduksinya, yaitu laki – laki berpenis dan menghasilkan sperma sedangkan
perempuan bervagina, berkelenjar susu untuk menyusui dan memiliki rahim untuk
mengandung dan melahirkan.5 Gender dan seks kemudian mengalami peleburan dan
pergeseran makna menjadi sebuah kodrat6 yang dikonstruksikan dan disosialisasikan oleh
masyarakat, baik melalui budaya, agama maupun negara, bahwa dalam seks termaktub sifat
yang terpisah antara feminin dan maskulin, sehingga dibedakan apa yang harus diajarkan dan
perannya. Laki – laki diajarkan dan dituntut untuk menjadi maskulin dan ditempatkan pada
ranah publik, sedangkan perempuan diajarkan dan dituntut untuk menjadi feminin dan
ditempatkan di dalam ranah domestik.7
Gendering kemudian diterapkan di dalam keluarga. Keluarga merupakan unit
kekerabatan dan sosial masyarakat terkecil.8 Keluarga dapat diartikan sebagai hubungan yang
lebih bersifat biologis yang ditandai dengan adanya perkawinan dan adanya hubungan darah
antara individu yang satu dengan yang lainnya. 9 Keluarga inti terdiri dari ayah, ibu dan anak
yang masing – masing telah ditentukan perannya, di mana ayah menjadi kepala rumah tangga
yang berarti ia bertanggung jawab dalam menjamin perekonomian dan keamanan dalam
rumah tangga yang berarti berhubungan dengan dunia luar dan ibu sebagai ibu rumah tangga
bertugas mengurus anak, suami dan mengerjakan seluruh pekerjaan rumah tangga.
4Gendering dapat diartikan sebagai pembagian tugas berdasarkan konstruksi gender,


yaitu laki – laki dalam rnah publik dan perempuan dalam ranah domestik. Mary Hancock,
“Gendering the Modern: Women and Home Science in British India”, dalam Antoinette
Burton, Gender, Sexuality and Colonial Modernities”, (New York: Routledge, 2005), hlm.
149.
5Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2012), hlm. 8.
6Kodrat adalah sifat asli, sifat bawaan yang diberikan oleh Tuhan dan tidak dapat
ditentang oleh manusia. Dalam kbbi.web.id/kodrat, diakses pada 20 September 2014 pukul
03.56 WIB.
7Saparinah Sadli, Berbeda tapi Setara: Pemikiran Tentang Kajian Perempuan, (Jakarta:
Penerbit Buku Kompas, 2010), hlm. 172.
8Pudjiwati Sajogyo, Peranan Wanita dalam Perkembangan Masyarakat Desa, (Jakarta:
CV. Rajawali, 1985), hlm. 27.
9Ratna Saptari, “Women, Family and Household: Tension in Culture and Practice”, dalam
Juliette Koning, dkk (ed.s), Women and Households in Indonesia: Cultural Notions and
Social Practices, (NIAS in Asian Topics: Curzon, 2000), hlm. 11.

2

Konsep gendering kemudian diterapkan pula dalam masyarakat. Hal ini seperti yang


dilakukan pada masa pergerakan nasional dalam melawan kolonialisme. Laki – laki
memainkan peranannya dalam dalam ranah publik, terutama bidang politik sebagai tonggak
utama perjuangan bangsa, sedangkan perempuan diarahkan untuk aktif dalam ranah
domestik, mendukung laki – laki dengan menjadi istri dan ibu yang baik untuk menciptakan
generasi penerus yang berkualitas. Peran perempuan tersebut dianggap sebagai bagian dari
peranan politik mereka dalam menciptakan nasionalisme yaitu contoh ibu yang baik bagi
masyarakat dan istri yang baik sebagai pembantu laki – laki. 10 Hal ini ditandai dengan
banyaknya organisasi pada masa pergerakan nasional yang memiliki sayap perempuan,
seperti Muhamadiyah dengan Aisyiyah-nya, Budi Utomo dengan Wanita Utomo dan Taman
Siswa dengan Wanita Taman Siwa-nya.
Pembagian peran dalam perjuangan pun tidak terlepas dari jenis pendidikan yang
diberikan. Laki – laki diberikan pendidikan yang memang mengarahkannya untuk terjun aktif
dalam kegiatan publik. Perempuan memang diberi kesempatan yang sama, namun karena
terbentur dengan kultur hanya sedikit saja perempuan yang terus bersekolah hingga tingkatan
yang tinggi. Para orang tua lebih memilih untuk memasukkan anaknya pada sekolah khusus
perempuan yang dirasa lebih “aman dan sesuai” untuk anaknya. 11 Perempuan dipersiapkan
agar dapat menjadi mitra laki – laki yang berpendidikan dan modern melalui sekolah khusus
perempuan dengan pendidikan yang mempersiapkan mereka untuk menjadi ibu dan istri yang
baik dengan keterampilan – keterampilan keperempuanan, seperti menjahit, mengurus anak
dan rumah tangga dan sebagainya.12


Setelah Indonesia memroklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945,
pemerintah mulai bebenah diri. Salah satunya ialah dengan menetapkan kesamaan warga
negara dalam berpolitik dan hukum. Hak warga negara dijamin oleh negara dalam UUD 1945
pasal 27 yang berbunyi:
“(1) Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak
10Saskia E. Wieringa, Penghancuran Gerakan Perempuan Indonesia, (Jakarta: Garba
Budaya dan Kalyanamitra, 1999), hlm. 222.
11Para orang tua mempertimbangkan pendidikan tersebut karena sekolah campuran
terlalu mahal, khawatir jika anak gadisnya bergaul dengan laki – laki dan merasa tidak
memerlukan ilmu tersebut untuk dapat menjadi istri dan ibu yang baik di rumah. Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan dan Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan
Kebudayaan, Pendidikan di Indonesia 1900-1940, 1977., hlm. 10-14.
12Frances Gouda, Dutch Culture Overseas: Praktik Kolonial di Hindia Belanda 19001942, (Jakarta: Serambi, 2007), hlm. 137.

3

ada kecualinya, (2) tiap – tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan
yang layak bagi kemanusiaan”.13
Jaminan untuk aktif dalam memperjuangkan dan membangun bangsa Indonesia kepada


warga negara Indonesia baik laki – laki dan perempuan tidak main – main diberikan oleh
pemerintah. Bahkan dalam bukunya yang berjudul Sarinah, Soekarno menanamkan semangat
kepada perempuan untuk terlibat dalam perjuangan Republik Indonesia. Soekarno
menghimbau bahwa perempuan harus sadar akan haknya. Ia juga mengkritik laki – laki yang
menempatkan perempuan sebagai blasteran antara si dewi dan si tolol. Menurutnya laki –
laki harus ikut serta mendorong dan menggandeng perempuan menuju kemajuan bersama. 14
Perempuan harus sadar akan dirinya dan apa yang dapat diperbuatnya untuk bangsanya, di
antaranya menjadi ibu yang baik untuk menciptakan generasi yang maju dan sebagai istri
yang berjuang bersama suami membangun bangsa. Kowani yang merupakan organisasi
perempuan terbesar di Indonesia tahun 1950-an banyak terlibat dalam kegiatan sosial,
masalah rumah tangga, hak perempuan dan beberapa programnya menuju pada usaha
menyadarkan perempuan untuk berpartisipasi dalam dunia politik dan kemajuan negara.15
Pada masa awal pemerintahan Indonesia menggunakan sistem demokrasi liberal.
Kebebasan untuk berserikat dan berkumpul serta berpendapat pun telah dijamin dalam pasal
28 UUD 1945.16 Kebebasan pers dibuka lebar. Masyarakat bebas mengutarakan pendapatnya
yang merupakan cerminan dari terjaminnya hak asasi manusia dan kunci dari demokrasi yang
asli.17 Dengan kebebasan berpendapat, perempuan turut aktif menyuarakan apa yang mereka
rasakan. Kesempatan teresebut tidak disia-siakan oleh perempuan. Mereka pun menyuarakan
pemikirannya dan terus memperjuangkan hak – haknya, baik dalam berpolitik, bermasyarakat
13Undang



– undang Dasar Republik Indonesia 1945, Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia, 2006.
14Sukarno, Sarinah, Kewajiban Wanita dalam Perjuangan Republik Indonesia
(Djogjakarta: Panitya Penerbit Buku – buku Karangan Presiden Sukarno, 1963).
15Kongres Wanita Indonesia awalnya bernama Kowani (Badan Kongres Wanita
Indonesia), gabungan dari Perwari dan PPII, dibentuk di Solo pada tahun 1946. Organisasi ini
kemudian berganti nama menjadi Kongres Wanita Indonesia pada kongres Kowani yang
kelima di Jakarta 24-26 November 1950. Cora Vreede-De Steurs, Sejarah Perempuan
Indonesia: Gerakan dan Pencapaian, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2008), hlm. 176-180.
Lihat beberapa keputusan – keputusan yang diambil oleh Kowani pada beberapa rapatnya
pasca Indonesia merdeka hingga tahun 1950-an, dalam Nani Soewondo, Kedudukan Wanita
Indonesia dalam Hukum dan Masyarakat, (Jakarta: Ghalia Indoneisa, 1984), hlm. 207-222.
16Undang – undang Dasar Republik Indonesia 1945, Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik Indonesia, 2006.
17I. Taufik, Sejarah dan Perkembangan Pers di Indonesia, (Jakarta: Trinity Press, 1977),
hlm. 50-51.
4

maupun berumah tangga.18 Hal tersebut dilihat berbeda oleh Saskia E. Wieringa yang


berpendapat bajwa perempuan tetap belum bisa keluar dari sangkar domestiknya akibat
pengambilalihan kekuasaan negara oleh laki – laki sebagai miliknya dan menganggap
perempuan sebagai pesaing. Laki – laki mendominasi ranah di luar rumah tangga dan
perempuan dikonstruksikan sebagai bagian yang tidak bisa lepas dari dunia rumah tangganya
sebagai kodrat alami sehingga pengabdiannya untuk bangsa ialah pengabdian dalam
keluarga.19 Pernyataan tersebut bukanlah sebuah pendapat yang keliru, namun bukan pula
sebuah hal yang harus dikecewakan, karena dalam opresi yang dialaminya beberapa
perempuan terus mengalami negoisasi dengan keadaan. Salah satu usaha yang dilakukan
ialah melalui penyuaraan pendapatnya melalui majalah perempuan.
Perkembangan Majalah Perempuan di Indonesia
Majalah merupakan salah satu jenis media massa cetak berbentuk tulisan yang
berisikan pikiran dan ide seseorang atau sekelompok orang. Majalah menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia ialah terbitan berkala yang isinya meliputi berbagai liputan jurnalistik,
pandangan tentang topik aktual yang patut diketahui pembaca, dan menurut waktu
penerbitannya dibedakan atas majalah bulanan, tengah bulanan, mingguan, dan sebagainya,
dan menurut pengkhususan isinya dibedakan atas majalah berita, wanita, remaja, olahraga,
sastra, ilmu pengetahuan tertentu, dan sebagainya.20 Majalah perempuan berbeda dengan
majalah lainnya, visi dan misi serta konten – konten yang dimasukkan adalah karangan –
karangan yang isinya seputar perempuan dan kebutuhannya yang difokuskan lebih kepada
pembaca perempuan, seperti mode, resep makanan, kekeluargaan dan sebagainya yang


dilengkapi dengan foto.21
De Bataviase Nouvellers merupakan media cetak pertama di Indonesia yang diterbitkan
di Batavia pada tahun 1744, disusul oleh de Locomotief di Semarang oada 1852 serta
Bataviaasch Nieuwsblad di Batavia pada 1885.22 Media cetak semakin berkembang pada
18Mengenai penyeruan untuk sadar akan haknya sering dibahas dalam majalah Dunia
Wanita, lihat: NN, “Perdana Menteri dan Ibu Hatta beristirahat di Perapat” , dalam Dunia
Wanita, 1950, No. 18 Tahun II, 15 Maret 1950, hlm. 8-11. dan Nj. Jusupadi, “Wanita
Indonesia dengan Negara”, dalam Dunia Wanita, No 21 Tahun II, 1 Juni 1950, hlm. 10.
19Saskia E. Wieringa, op.cit., hlm. 276.
20kamusbahasaindonesia.org/majalah, diakses pada 13 Juni 2014, pukul 21:13.
21ibid; Elsye Meilani, Majalah Dunia Wanita 1949-1950, Suatu Jembatan Menuju
Kemajuan Wanita, skripsi Jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indoneisa,
1996, hlm. 3.
22Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan
Nasional, dari Kolonialisme sampai Nasionalisme, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama,

5

sekitar peralihan abad ke 19 menuju abad ke 2. Hal tersebut didorong oleh beberapa faktor, di
antaranya ialah perkembangan perekonomian dan kehidupan modern di perkotaan terus


tumbuh dan mempengaruhi gaya hidup masyarakatnya, tata nilai dan kebudayaan mereka
secara umum. Masyarakat kota semakin menyadari akan pentingnya informasi untuk
mengetahui perkembangan dunia luar yang pada saat itu hanya dapat diperoleh melalui media
cetak.23 Media cetak diproduksi tidak hanya oleh orang Eropa, namun juga orang – orang
Tionghoa dan pribumi. Kemunculan media cetak pribumi atau kemudian yang dikenal
dengan pers nasional tidak lepas dari pengaruh politik etis. Melalui pendidikan yang
merupakan program dari politik etis, muncullah elit – elit pribumi baru. Melalui media cetak
mereka dapat berinteraksi dan menuangkan gagasan serta ide – ide baru mengenai nasib
bangsanya.24 Ide – ide baru dan semangat untuk membangun bangsanya muncul melalui
pemikiran – pemikiran para elit baru yang dituangkan dalam bentuk majalah milik organisasi,
baik laki – laki maupun perempuan. Contoh majalah yang diterbitkan oleh organisasi
perempuan antara lain Soeara Aisjijah milik organisasi Aisyiyah, Sedar milik Isteri Sedar dan
Bale-warti Wanito Oetomo milik Wanito Oetomo.
Menurut Adriane Huijzer masing – masing majalah tersebut memiliki fokus informasi
yang berbeda yang dipengaruhi oleh ideologi organisasinya. Soeara Aisjijah milik organisasi
Aisyiyah, sayap perempuan dari Muhammadiyah lebih mengarahkan perempuan untuk
menjadi perempuan modern yang sesuai dengan Islam dan budaya Jawa, seperti yang
ditunjukkan dalam gambaran perempuan yang sedang mengajari membaca, mengenakan
sepatu dengan hak namun tetap menggunakan kebaya dan kain serta berhijab. 25 Istri Sedar
dengan ideologi yang lebih radikal dari Aisyiyah menghendaki perempuan untuk dapat


mencapai hak yang sama dengan laki – laki. Perempuan yang ideal ialah perempuan yang
aktif dalam dunia politik selain mengurusi rumah tangganya. 26 Wanito Oetomo merupakan
organisasi sayap perempuan dari Budi Utomo, di mana anggotanya adalah istri pegawai
dalam pemerintahan Hindia Belanda yang merupakan para priyayi. Perempuan ideal yang
digambarkan dalam majalah Bale-warti Wanito Oetomo tersebut ialah perempuan Jawa yang
1992), hlm.112.
23Widya Fitria Ningsih, “Perempuan dalam Iklan Media Cetak di Jawa pada Masa
Kolonial (1900-1942), skripsi Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah
Mada, 2008, hlm. 22.
24Bedjo Riyanto, Iklan Surat Kabar dan Perubahan Masyarakat di Jawa Masa Kolonial
(1870-1915), (Yogyakarta: Tarawang Press, 2000), hlm. 3.
25Lihat gambar 1 pada lampiran Adriane Huijzer, “Indonesian Women as Agents in a
Changing Colonial Society, 1900-1942” tesis S2, Vrije Universiteit, Amsterdam, hlm. 69.
26Ibid., hlm. 77.
6

modern, di mana menjadi seorang istri dan ibu yang baik yaitu mengurus dan mendidik anak
dengan baik, menjaga kebersihan serta mengatur keuangan dan menjadi teman yang baik
untuk pasangannya. Mereka juga harus mampu menjunjung martabatnya.27
Melalui apa yang dijelaskan oleh Adriane dapat disimpulkan bahwa majalah yang
diterbitkan oleh organisasi perempuan pribumi pada masa pergerakan merepresentasikan
sebuah wacana di mana perempuan ideal ialah perempuan modern yang dapat berperan
sebagai ibu, istri dan pengatur rumah tangga. Selain itu, isu – isu yang diangkat ialah isu
seputar perkawinan dan rumah tangga. Menurut Jakob Sumardjo apa yang dipikirkan
perempuan pada masa kolonial tersebut terus dibawa pasca kemerdekaan dan mempengaruhi
isi bacaan, baik novel maupun majalah perempuan masih berisi seputar perempuan dalam
rumah tangga sebagai istri dan ibu yang mengidamkan kedamaian rumah tangga. 28 Hal
tersebut dikarenakan perempuan yang aktif pada masa pasca kemerdekaan merupakan
perempuan Indonesia yang mendapatkan pendidikan pada masa kolonial, di mana ada wacana
nuclear household model Barat mengupayakan perempuan mengembangkan kemampuanya
untuk menjadi perempuan modern dan aktif dalam kegiatan rumah tangganya. 29 Melihat hal
tersebut, maka wacana mengenai “ibu dan istri yang baik” terus langgeng dipertahankan dan
dosisialisasikan terlebih dengan adanya pelegitimasian pembagian peran dalam keluarga dan
masyarakat yang dilakukan oleh negara, baik melalui hukum, sosok personal seperti
Soekarno maupun organisasi seperti Kowani.
Pada masa kemerdekaan, majalah perempuan terus mengalami perkembangan, tidak
hanya majalah organisasi perempuan, namun juga majalah perempuan yang independen.
Majalah - majalah tersebut antara lain Soeloeh Wanita di Malang tahun 1945, Karja yang
diterbitkan oleh Perkumpulan Pekerja Perempuan Indoneisa tahun 1947 dan tahun 1948

27Ibid.,

hlm. 81.
28Jakob Sumardjo, “Perempuan Indonesia dan Kesustraannya”, dalam Mayling OeyGardiner, dkk (ed.s) Perempuan Indonesia: Dulu dan Kini, (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 1996), hlm. 35.
29 Nuclear household adalah konsep rumah tangga inti di mana ada suami dan istri yang
berbagi peran. Pada masa kolonial, laki – laki aktif dalam kegiatan pergerakan untuk
kemerdekaan dalam bidang politik dan sosial, sedangkan perempuan ditempatkan untuk
dapat mendukung usaha para laki – laki dan suaminya melalui kegiatan dalam rumah
tangganya dengan menjadi istri dan ibu yang baik. Ini juga merupakan ciri organisasi
perempuan yang muncul sebagai sayap perempuan dari organisasi laki – laki, seperti Aisiyah
dengan Muhamaniyah. Barbara Hatley dan Susan Blackburn, “Representations of Women’s
Roles in Household and Society in Indonesian Women’s Writing of the 1930s”, dalam Juliette
Koning, dkk (ed.s), op.cit., hlm. 47.
7

majalah Wanita terbit di Solo.30 Majalah Dunia Wanita baru muncul pada 15 Juni 1949 di
Medan di bawah pimpinan Ani Idrus.31
Menjamurnya majalah perempuan pasca kemerdekaan menunjukkan bahwa antusias
dan semangat perempuan untuk menyuarakan pendapatnya dan memberikan informasi
kepada sesama perempuan Indonesia mengalami perkembangan. Hal tersebut juga
menunjukkan tingkat minat untuk membaca mulai tertanam dalam masyarakat. meskipun
perkembangan tersebut masih terbatas pada perempuan kalangan menengah ke atas dan
perkotaan, namun dapat dikatakan sebagai kemajuan yang berarti bagi perempuan di
Indonesia.
Tutur Perempuan32 dalam Majalah Dunia Wanita
Majalah Dunia Wanita merupakan sebuah majalah perempuan yang didirikan oleh Ani
Idrus33 di Medan. Berbekal dengan pengalaman hidupnya, Ani Idrus mencoba menyuarakan
pemikirannya tentang posisi perempuan, seperti yang pernah ia jelaskan dalam sebuah siaran
radio R.N.I. di Medan. Menurutnya emansipasi bukan berarti mengharuskan perempuan
untuk menggantikan laki – laki dalam segala urusan, bukan pula terus menerus mengejar
karirnya dan melawan laki – laki. Emansipasi yang Ani Idrus maksudkan ialah mengenai
kesadaran perempuan untuk berpartisipasi dalam memutuskan dan menyelesaikan perkara
dalam masyarakat. Hal tersebut tidak selalu berupa partisipasi perempuan dalam politik,

30Elyse Meilani, op.cit., hlm. 23.
31Ibid.
32Tutur perempuan berarti kisah perempuan

yang diceritakan atas apa yang mereka alami
yang berkaitan dengan kegiatan reproduksi sosial, produksi di sekitar rumah dan relasinya
dengan anggota keluarga, tetangga, harga dan penyediaan bahan makanan. Ruth Indiah
Rahayu, “Konstruksi Historiografi Feminisme Indonesia dari Tutur Perempuan”, makalah
dalam Workshop Historiografi Indonesia: di antara Historiografi Nasional dan Alternatif,
Pusat Studi Sosial Asia Tenggara UGM dan Australia Research Council, Hotel Yogya Plaza,
Yogyakarta, 2-4 Juli 2007, hlm. 13.
33Ani Idrus lahir di Sawah Lunto 25 November 1918. Ani kecil tinggal dalam
masyarakat yang bersifat matrilineal di Minangkabau, di mana rumah tangga dikuasai oleh
nenek perempuan dan laki – laki tidak dibebani untuk mengurus anak – anaknya karena anak
diurus oleh paman atau yang disebut mamak. Akibatnya laki – laki Minang dapat bertindak
semaunya dalam rumah tangga dan menentukan nasib istrinya. Mereka juga rentan
melakukan poligini. Itu pula yang dialami Ani Idrus, di mana ia menyaksikan orang tuanya
bercerai, sehingga ia tinggal bersama ibu dan kakak perempuannya di Medan. Ia tertarik
dengan jurnalisme sejak berusia 12 tahun saat bersekolah di meisjeskopschool di Medan dan
tulisannya berhasil dimuat dalam majalah Pandji Poestaka di Batavia pada tahun 1930. Saat
dewasa ia menerbitkaan buletin Wanita yang masih berupa lembaran kecil yang merupakan
cikal baka majalah Dunia Wanita. Elyse Meilani, Ibid., hlm. 27-31.
8

sosial maupun ekonomi, namun bisa dilakukan dari hal terkecil, yaitu dari rumah tangga dan
keluarganya dengan berpendapat dan turut serta dalam menyelesaikan permasalahan.34
Pandangan Ani Idrus tersebut sedikit banyak menjadi landasan ideologi majalah Dunia
Wanita, di mana perempuan diarahkan untuk mengetahui keberadaan dirinya akan hak –
haknya dan mengisi kemerdekaan dengan kemampuan dalam dirinya. Ani Idrus menyebarkan
wacana kesetaraan yang ia pahami dalam majalah Dunia Wanita. Dari apa yang ia alami dan
pahami tersebut ia coba tanamkan kepada perempuan di Indonesia. Seperti yang dijelaskan
oleh Michel Foucault bahwa wacana adalah apa yang dipahami seseorang sebagai sebuah
kebenaran dan mempengaruhi tindakan orang tersebut. Wacana dapat menjadi cara untuk
mendominasi suatu waktu dan tempat karena dapat mempengaruhi cara berfikir dan
pandangan dunia tertentu.35
Majalah Dunia Wanita diterbitkan pada tahun 1949 hingga 1993 di Medan. Tujuan dari
Dunia Wanita dengan jelas dipaparkan dalam kata pengantar majalah Dunia Wanita yang
diterbitkan pertama kali pada 15 Juni 1949, yaitu:
“[...] Oleh sebab itulah kami menerbitkan madjallah ini karena kami merasa insaf
dengan djalan memberikan penerangan – penerangan dalam madjallah ini kami dapat
menjumbangkan bakti untuk kemadjuan wanita. [...]”36
Meskipun majalah perempuan, Gadis Rasid memperkenalkan pada edisi perdananya
bahwa majalah Dunia Wanita dapat pula dibaca oleh laki – laki. Tidak ada pemisahan antara
laki – laki dan perempuan dalam masyarakat, meskipun ada beberapa kepentingannya yang
berbeda seperti apa yang dituliskan dalam Dunia Wanita. Keduanya harus aktif bersama
untuk mencapai kebahagiaan dalam masyarakat dan memperjuangkan cita – cita bangsa.37
Majalah Dunia Wanita terbit satu bulan dua kali dan merupakan salah satu majalah
yang poluler pada masanya. Kualitas cetak yang bagus dengan harga f. 1.50 majalah ini
berhasil dijual sebanyak 1000 eksemplar.38 Agen pemasarannya menyebar di kota – kota
Indonesia seperti Toko E Abd. Gani di Bangkalan-Madura, Maxim di Surabaya, Eveline Tio
di Pekalongan, Nj. Dr. S. Djojopoespito di Yogyakarta, Nj. D. Sudarma di Bogor, toko buku
34Siaran

tersebut kemudian dituliskan dalam majalah Dunia Wanita. Ani Idrus,
“Emansipasi Wanita dalam Arti jang Lebih Tepat”, dalam Dunia Wanita, No. 26. Tahun II, 1
September 1950, hlm. 8.
35Pip Jones, Pengantar Teori – teori Sosial: Dari Teori Fungsionalisme hingga Postmodernisme, (Jakarta: Obor, 2010), hlm. 173-174.
36 Dunia Wanita, No. 1 Tahun 1, 15 Juni 1949, hlm. 5.
37 Gadis Rasid, “Dunia Wanita”, dalam Dunia Wanita, No. 1 Tahun 1, 15 Juni 1949, hlm.
6.
38Pada tahun 1952, harga Dunia Wanita berubah menjadi Rp. 2. Wawancara dengan Ani
Idrus, 10 Oktober 1995., dalam Elyse Meilani, op.cit., hlm. 36.
9

“Obor” di Martapura, An Lok di Makasar, A.S. Riduan Wahidin di Alabio-Banjarmasin, toko
buku “Hamda” di Amuntai, “Perdis” di Tanjung Karang, Sitti Roesdijah di Baturaja, Kwee
Tiang Mo di Muara Enim-Palembang, pustakan “d’Orient” dan Lie Kheng Ho di Padang, J.
Sihombing di Tarutung, Go Tie Tiong di Samarinda, bahkan hingga ke Singapura oleh agen
Marjam Saman.39 Hal tersebut menunjukkan masyarakat sangat antusias dalam membaca
majalah Dunia Wanita, termasuk ibu negara Fatmawati dan Rahmi Hatta.40
Seluruh staff yang ada dalam Dunia Wanita merupakan perempuan, baik yang ada di
Medan maupun pembantu tetap yang ada di Jawa, seperti Gadis Rasid di Jakarta, Nj. Dr. S.
Djojopoespito di Yogyakarta dan Nona Chen Hsiang-Niang di Banjaran.41 Dalam Dunia
Wanita edisi no. 12-13 tahun ke 4,15 Juni 1952 pun dijelaskan mengenai staff yang ada dalam
Dunia Wanita di Medan, seperti Ani Idrus sebagai ketua, Asminah Hasibuan dibantu Anna
dalam bagian tata usaha dan keuangan, Sabariah dan Effa bagian redaksi, dan Nurmia bagian
tatausaha dan redaksi.42 Laki – laki memang diberi kesempatan untuk menulis di Dunia
Wanita, namun harus menulis mengenai perempuan dan hanya sebatas bagaimana
pandangannya mengenai perempuan. Hal ini tidak berlaku bagi perempuan, di mana
perempuan menjadi penulis utama dalam Dunia Wanita dan dibebaskan dalam menuliskan
temanya mulai dari politik, ekonomi hingga masalah rumah tangga. 43 Pembaca juga dihimbau
untuk menuangkan pemikirannya dan mengirimkan hasil karangannya tersebut ke redaksi
Dunia Wanita.44
Suara – suara perempuan dalam majalah Dunia Wanita disajikan dalam berbagai rubik
Pada awal terbit, Dunia Wanita menampilkan beberapa rubik, seperti kata pengantar, profil
perempuan, artikel dan opini tentang perempuan, “Tanah Air” mengenai keadaan dalam
negeri, “Surat Menyurat”, “Djahit Mendjahit”, “Kesehatan”, “Halaman Bergambar” yang
berisi foto kegiatan perempuan di dalam dan di luar negeri, “Pendidikan”, “Dalam Rumah
Tangga”, “Masak-masakan”, “Untuk Wanita Sadja”, “Tjerita Pendek”, “Rudjak Petis” yang
berisi humor, juga karikatur dan beberapa catatan tambahan serta iklan. 45 Beberapa dari rubik
tersebut beberapa kali mengalami perubahan, seperti rubik “Untuk Wanita Sadja”. Dalam
39Dunia Wanita, No.1 Tahun 1, 15 Juni 1949, hlm. 6.
40Fatmawati dan Rahmi Hatta bertemu dengan suami

Ani Idrus, Mohammad Said di
Yogyakarta dan menanyakan majalah Dunia Wanita dan menyatakan antusiasnya terhadap
majalah tersebut. Elyse Meilani, op.cit., hlm. 37.
41ibid.
42Dunia Wanita , No.12-13 Tahun IV,15 Juni 1952, hlm. 24-24 dan 39.
43Elyse Meilani, op.cit., hlm. 36.
44Dunia Wanita, No.1 Tahun I, 15 Juni 1949, hlm. 10.
45Dunia Wanita, No.1 Tahun I, 15 Juni 1949.
10

rubik tersebut berisi opini dan juga sebuah himbauan mengenai bagaimana perempuan harus
bertindak dalam hidupnya, juga beberapa strategi dalam rumah tangga dan menghadapi
suaminya. Rubik – rubik tersebut sifatnya tidak tetap, di mana beberapa kali terjadi
perubahan. Hal ini diperkirakan sebagai salah satu bentuk strategi dari redaksi majalah Dunia
Wanita untuk tetap eksis, mengikuti perkembangan zaman sehingga para pembaca
mendapatkan berita yang aktual mengenai.
“Keluarga Ideal” versi Majalah Dunia Wanita
Memiliki keluarga yang harmonis merupakan dambaan setiap manusia. Untuk dapat
mewujudkannya, masing – masing orang biasanya memiliki kriteria tersendri yang
dipengaruhi oleh pengalaman pribadi masing – masing. Sebagai majalah perempuan yang
memuat ide – ide yang dimiliki oleh perempuan, peempuan – perempuan dalam majalah
Dunia Wanita pun memiliki idealisasi keluarga sehingga dapat tercipta keharmonisan di
dalamnya.
Menurut majalah Dunia Wanita, keharmonisan dalam rumah tangga dapat terwujud
jika terdapat kesetaraan antara suami dan istri di dalamnya. Menurut Ani Idrus, kesetaraan
tersebut bukan melulu masalah antara suami dan istri menempatkan dirinya dalam “peran
domestik-publik”. Kesetaraan dalam rumah tangga lebih daripada itu, yaitu kesetaraan dalam
relasi antara suami dan istri. Kendatipun terdapat pembagian peran domestik-publik antara
suami dan istri, namun keduanya harus menjalankan perannya tersebut dengan lebih
demokratis. Dengan tujuan tersebut, maka majalah Dunia Wanita mencoba berbagi informasi
informasi kepada para pembaca yang notabennya perempuan mengenai apa yang seharusnya
mereka sadari sebagai haknya dalam rumah tangga sehingga tercipta keharmonisan.
Sebagai ibu rumah tangga, pekerjaan domestik, seperti mengurusi anak dan kebutuhan
rumah tangga dan sebagainya tidak boleh dipandang sebagai pekerjaan yang rendah oleh
perempuan. Mereka harus bangga atas perannya tersebut karena peran yang ia lakukan
tidaklah mudah. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Ida dalam tulisannya “Beratkah
Pekerdjaan Seorang Ibu?” sebagai berikut:
“Setiap hari pekerdjaan wanita itu sebagai ibu sangat banjaknja. Hari2
pekerdjaan itu djuga jang dikerdjakan. Pekerdjaan bertimbun-timbun dan tidak pula
habis2nja. Pagi – pagi sekali pukul 4 atau 4 anak jang ketjil sekali menangis. [...]
Tengah hari rusuh pula di dapur. Tengah memasak datang pula tamu. Bagaimana?
Harus diladeni djuga. [...].Dan djanganlah wanita Indonesia menjangka atau

11

menganggap bahwa pekerdjaan itu rendah, karena anggapan seperti ini salah besar.
[...]”46
Melihat hal tersebut, maka seharusnya laki – laki menghargai juga pekerjaan
perempuan dalam ranah domestik. Apalagi saat perempuan juga aktif dalam ranah publik, ia
harus tetap profesional dalam tugas – tugasnya. Menurut S. Diah dalam tulisannya, laki – laki
tidak diperkenannkan untuk menganggap perempuan sebagai alat dapur:
“[...] Untuk dapat memenuhi teriakan orang banjak ini, kita harus mempunjai
sjarat2 jang tjukup dan sempurna. Dan sokongan dari kaum laki2, guna ikut serta
membimbing dan mengadjak kaum wanita ke arah kemadjuan. Sebab kerdja sama
antara laki2 dan wanita akan tampak pula pada kemadjuan masjarakat. Djanganlah
kaum laki2 menjerahkan kewadjiban dapur sadja kepada para wanita, karena wanita
bukan alat daput semata2. Tahukah, bahwa wanita lebih berat bebannja daripada laki2.
Kenjataan, kewajiban wanita itu bermatjam2, seperti memomong putera2nja,
mengurus rumah tangga, kadang2 bekerdja di kantor atau mengurus rumah tangga
organisasi. Tetapi kaum laki2 hindar dari memasak dan memomong puteranja. Inilah
maka wanita tak dapat diabaikan begitu sadja. Dan mengertilah kaum laki2 akan
kewadjiban wanita, bahwa wanita bukan alat dapur semata. [...]”47
Penghargaan atas peran domestik perempuan bukan merupakan satu – satunya hal
yang perlu dilakukan oleh laki – laki, namun penghargaan tersebut dapat pula diwujudkan
dalam sebuah bentuk tindakan. Hal ini sebagai bentuk adanya kesetaraan relasi, bahwa saat
relasi itu setara, maka kendatipun terdpat pembagian peran antara suami dan istri dalam
rumah tangga, penyelesaian tugas peran tersebut akan dilakukan dengan lebih cair.
Idealisasi keluarga dalam menyelesaikan tugas untuk mengurus anak dituangkan
dalam artikel yang diambil dari The Parent Magazine diterbitkan oleh Dunia Wanita dengan
judul “Untuk Mendjadi Ajah Sedjati”. Artikel tersebut merupakan bentuk idealisasi seorang
suami bagi seorang istri untuk bekerjasama dalam mengurus anak. Hal ini agar saat anak
tumbuh, ia tidak hanya mendapat kasih sayang dan dekat dengan ibunya, namun juga dengan
ayahnya. Upaya tersebut dilakukan agar terjadi kedekatan emosional di dalam keluarga
tersebut.
“Seorang ajah angkatan sekarang mudah mendjadi seorang ajah jang ditjintai oleh
dan bertanggung djawab terhadap anak2nja. Ia lebih banjak mengurus baji2nja daripada
apa jang telah dikerdjakan orang tuanja terhadap dirinja; bahkan ia tak segan2 menukar
lampin bajinja. Banjak pula ajah sekarang jang bersedia memandikan bajinya.[...] Si
ajah harus pandai mengetahui, menjesuaikan diri dan mempunjai pandangan kedepan,
supaja dapat mengikuti perobahan2 itu. Bila ia ta’ dapat mengikuti perobahan ini, maka
46Ida, “Beratkah Pekerdjaan Seorang Ibu?”, dalam Dunia Wanita, No 18 Tahun II, 15
Maret 1950, hlm. 14-15.
47S. Diah, “Wanita Bukan Alat Dapur”, dalam Dunia Wanita, No. 26 Tahun II , 1
September 1950, hlm. 14.

12

ada kemungkinan, bahwa anaknja akan mengalami masa2 jang tidak tjotjok dengan
perawakannja sementara ia balig.[...]”48
Mengenai kesetaraan relasi sebagai seorang individu, baik istri dan suami harus saling
menghargai, termasuk dalam memberikan waktu untuk beristirahat. Hal ini tertuang dalam
sebuah artikel yang berjudul “Seorang Ibupun Memerlukan Istirahat”, di mana suami
sepatutnya memperhatikan dan menghargai diri seorang istri sebagai individu untuk dapat
memiliki waktu dalam “menikmati dan merasakan” dirinya sendiri, sementara itu suami dapat
menyelesaikan tugas – tugas dari istrinya tersebut sebagai bentuk kasih sayang dan
membahagiakan istrinya.
“[...] Manakala si ibu dapat berdjalan2 dengan anak2, maka kepala keluarga
menjiapkan makanan. [...] Kegembiraan dan terimakasih akan bertjermin pada mukanja
[...]49
Cara lain untuk dapat untuk saling menghargai satu sama lain sebagai seorang individu
ialah dengan mengetahui apa yang harus ia lakukan untuk menyenangkan pasangannya.
Untuk dapat “menghegemoni” suaminya, Ida menyarankan agar istri harus bisa memahami
suami dengan baik, seperti berbicara pada saat yang tepat dan dengan bahasa yang halus
tanpa ada nada memerintah.50 Ukuran suami yang patut dibanggakan oleh istri ialah yang
dapat menghormati keluarga istri, tidak tempramen, tidak banyak omong, menjaga kebersihan
dan kesehatannya serta pekerja keras.51 Sebuah karikatur menggambarkan istri yang mencoba
memahami keinginan suaminya dengan memasak masakan yang disukainya, namun suami
tidak dapat mengontrol dirinya dengan baik sehingga tampil beratakan dan tidak memikirkan
makanan untuk anak dan istrinya.52
Demi menciptakan keluarga yang harmonis, majalah Dunia Wanita pun memberikan
kesempatan kepada para pembacanya untuk menuliskan apa yang menjadi persoalan dalam
rumah tangga dan harapannya dalam rubik “Suara Seorang Suami dan Harapan Istri”.
Pemberian ruang tersebut merupakan sebuah bentuk pemberian demokrasi kepada para
pembaca untuk mengungkapkan apa yang mereka pikirkan. Selain itu tulisan tersebut dapat
pula menjadi sebuah pembelajaran bagi para pembaca lainnya.
48Lihat gambar 4 pada lampiran. NN, “Untuk Mendjadi Ajah Sedjati”, dalam Dunia
Wanita, No.30 Tahun II, 15 Desember 1950, hlm. 14 dan 18.
49Nj. J.C. Kimball, “Seorang Ibupun Memerlukan Istirahat”, Dunia Wanita No. 9 Tahun
IV, 1 Mei 1952, hlm. 5 dan 18.
50Ida, “Isteri”, dalam Dunia Wanita, 1 Juli 1949 tahun ke I, no. 2, hlm. 19.
51Ida, “Banggakah Njonja Melihat Suami Njonja?”, dalam Dunia Wanita, 1 Juli 1949
tahun ke I, no. 2.
52Lihat gambar 3 pada lampiran, Dunia Wanita, No.30 Tahun II, 15 Desember 1950, hlm.
11.
13

Beberapa curahan hati tersebut berasal dari pembaca berinisial M. R. dan ST. R
menceritakan pengalaman rumah tangganya yang kacau akibat tidak dipahaminya emansipasi
dan kebebasan baik untuk suami maupun istri dengan benar. Untuk itu mereka berharap agar
suami maupun istri dapat menggunakan hak kesetaraan dengan baik dan saling menjaga
kepercayaan satu sama lain karena jika tidak dipahami justru akan menimbulkan percecokan
dan bahkan perceraian.53 Berbeda dengan itu, O.R.M. menginginkan agar istrinya dapat
menjaga penampilan meskipun sudah memiliki anak dan sibuk dengan pekerjaannya,
sedangkan M.S. menginginkan suaminya agar mengerti dengan tidak sering membawa
banyak temannya bertamu di rumah, karena selain ia harus terus mengurusi tamu tersebut,
pengeluaran untuk suguhan pun mengurangi keuangan rumah tangga di saat sedang krisis. 54
Suharti di Medan mengeluh karena suaminya sangat rewel dan galak terhadap anak –
anaknya, sedangkan Suami X mengeluhkan istrinya yang kurang berpendidikan.55
Ketimpangan antara hak suami-istri masing sering terjadi dalam rumah tangga. Yanti,
Seorang pembaca Dunia Wanita mempertanyakan kedudukan suami istri dalam rumah tangga
yang menurutnya tidak seimbang. Istri dituntut untuk memahami suami, namun tidak
sebaliknya. Istri yang meninggalkan suami dianggap tidak bersusila rendah, namun tidak
sebaliknya.56 Pelimpahan masalah rumah tangga sebagai perempuan yang tidak dapat
mengurus rumah tangganya juga diungkapkan oleh seorang ustadz bahwa perceraian ialah
akibat kelalaian istri sehingga perempuan harus diingatkan dan diajari moral dengan baik.
Hal tersebut menurut Ida merupakan sebuah kemunduran, di mana hak dan kewajiban istri
ialah hanya untuk memuaskan suaminya. Permasalahan – permasalahan yang ada bukanlah
semata – mata tanggung jawab perempuan, namun tanggung jawab masyarakat, yang di
dalamnya ada perempuan juga laki – laki. Caranya ialah dengan bersama – sama
memperbaiki moral masyarakat melalui agama, suami memberi kesempatan kepada istri
berorganisasi untuk menambah wawasannya dan bermasyarakat.57
Lagipula perceraian dalam rumah tangga bukanlah sesuatu yang salah. Menurut
Sukeni jika suami istri memang sudah tidak memiliki kecocokan, maka perceraian dapat
53
54

M.R. dan ST. R. Dunia Wanita, No. 1 Tahun IX, 1 Januari 1957, hlm. 13 dan 17.
O.R.M. dan M.S., Dunia Wanita, No. 3 Tahun IX, 1 1957, 1 Februari 1957, hlm. 9 dan

21.
55 Ny. Suharti dan Suami X, Dunia Wanita, No. 4 Tahun IX, 15 Februari 1957, hlm. 18
dan 19.
56 Sukeni, “Suami-Istri”, dalam Dunia Wanita, tahun ke 2 no. 26, 1 September 1950,
hlm. 17.
57Ida, “Berilah Hak-hak Kaum Wanita”, dalam Dunia Wanita, No. 26 Tahun II, 1
September 1950, hlm. 9-10.

14

dilakukan daripada memberatkan kedua belah pihak. Bahkan menurutnya, istri boleh
meminta cerai pada suaminya jika memang suaminya tidak berlaku baik padanya karena itu
adalah bagian dari hak perempuan.58 Perempuan harus sadar akan haknya, karena meskipun
ia dilindungi oleh hukum negara dan agama jika ia tidak memahaminya dan menerapkan
pada dirinya, maka ia akan selamanya ditindas. Pada gambar 3 dalam lampiran digambarkan
bahwa laki – laki yang sudah sadar emansipasi sekalipun seringkali membatasi kebebasan
istrinya untuk mengaktualisasikan dirinya. Akhirnya si istri berinisiatif untuk mengabaikan
apa yang diinginkan suaminya tersebut karena ia merasa memiliki hak untuk berpendapat.59
Mengenai persamaan hak asasi, sesama perempuan pun harus saling dapat menghargai,
terutama dalam kasus poligini. Jika poligini terlanjur terjadi, maka hal itu harus berjalan
dengan cara yang damai, di mana sesama istri harus saling menghormati satu sama lain. 60
Laki – laki yang melakukan poligini harus izin pada istri yang sebelumnya. 61 Pro dan kontra
poligini pun dibahas kembali, bahwa poligini boleh saja dilakukan selama itu tidak
merugikan perempuan, namun yang kontra menganggap bagaimanapun juga poligini
merupakan bentuk perbudakan terhadap perempuan. S.K. Trimurti sebagai pihak yang pro
mengungkapkan bahwa poligini harus memenuhi syarat, yaitu istri kedua harus
berpendidikan dan keibuan. Hal tersebut sebagai indikator bahwa istri baru itu dapat menjalin
hubungan baik dengan istri sebelumnya serta anak – anaknya. Namun pihak yang kontra tetap
saja menilai poligini sebagai perbudakan terhadap perempuan dan bukan ciri perempuan yang
maju.62 Poligini dianggap akan mengacaukan keharmonisan rumah tangga.63
Dalam sebuah artikel yang sangat panjang ditulis oleh Dharmawati dengan judul
“Rumah Tangga Saja?” terdapat sepuluh anjuran yang perlu diperhatikan untuk mencapai
rumah tangga yang harmonis. Artikel ini dapat dikatakan bentuk lengkap atas beberapa
58Sukeni, “Soal Pertjeraian, Perlukah Mendjadi Perhatian Wanita?”, dalam Dunia
Wanita, No. 18 Tahun II, 15 Maret 1950, hlm. 11.
59Lihat gambar 5 pada lampiran. “Masjarakat Mengharapkan Tenaga Wanita Djuga”,
dalam Dunia Wanita, , No.12-13 Tahun IV, 15 Juli 1952, hlm. 9.
60 Siti Danilah St. M, “Penderitaan Wanita”, dalam Dunia Wanita, No. 18 Tahun II, 15
Maret 1950, hlm. 3 dan 20.
61 NN, “Dilarang Beristeri Dua dengan Tidak Seizin Isteri Tua, Perkawinan Mesti
Merupakan Persetujuan Kedua Belah Pihak”, Dunia Wanita, No. ? Tahun III, 15 Mei 1951,
hlm. 9.
62NN, “Pro dan Contra Poligami, Poligami Menjamin Wanita? Prakteknya Poligami
Berakibat Wanita Diperbudak”, dalam Dunia Wanita no. 1 tahun ke III, 1 Januari 1951, hlm.6
dan 21.
63 Lihat gambar 6 pada lampiran yang menunjukkan ketidakharmonisan saat poligini
terjadi. Siti Danilah St. M, “Penderitaan Wanita”, dalam Dunia Wanita, No. 18 Tahun II, 15
Maret 1950, hlm. 3.

15

artikel yang sidajikan sebelumnya mengenai apa – apa yang harus diperhatikan, yaitu sebagai
berikut:
“Sekedar pedoman menudju suasana rumah tangga jang damai, baiklah kami
tjatetkan disini beberapa petundjuk, jang tentunya dapat ditambah dan dikurangi. [...]
antara suami dan istri sebainja dalam semua soal berterus terang. Kalau ada tindakan
masing2 jang buat satu pihak dianggapnja tidak tepat njatakan setjara terus terang. [...]
Baik suami maupun isteri harus menundjukan penghargaan dan kedjernihan muka
(ramah taman) dalam menerima kedatangan keluarga kedua belah pihak. [...] Buat
seorang suami, walaupun bagaimana sekalipun sibuknja harus diambil waktu untuk
menghibur isteri diluar rumah, misalnja menonton atau ber-djalan2. [...]. Kalau suami
pulang dari perdjalanan, terutama perdjalanan keluar kota haruslah pulangnja
membawa oleh2 [...] demikian djuga sebaliknja. [...] Baik isteri maupun suami, djika
menerima pemberian misalnja cadeau sewaktu hari ulang tahun salah satu pihak,
harus menerimanja dengan gembira. [...] Walaupun isteri dapat membeli dan memilih
sesuatu jang dianggapnja perlu, tetapi dia lebih puas kalau dalam membeli itu dapat
meminta pertimbangan suaminja [...] demikian pun sebaliknja. [...] Baik suami
maupun istri djangan terpengaruh dengan kemewahan orang lain, sehingga dapat
mendjadi pikiran salah satu pihak. [...] Kalau suami kembali dari pekerdjaan, sitri
harus bersih dan gembira [...] demikian djuga kalau suami akan pergi ke pekerdjaan.
Buat suami harus diperlihatkan kegembiraan atas sambutan atau antaran isteri ketika
kembali untuk pergi ke pekerdjaan itu. [...] Baik suami maupun isteri djangan
mengganggu djika dilihat suami sedang bekerdja, atau ada tamu jang sedang diladeni.
Djika untuk mengambil sesuatu uruslah sendiri [...] baik suami maupun isteri djika
akan pergi meninggalkan rumah, harus memberitahu kepada jang tinggal. [...] Kalau
istri maupun suami sakit, oleh pihak yang sehat harus ditunjukkan rawatan jang bisa
memuaskan jang sakit. [...] Demikianlah sekedar pedoman singkat untuk menudju
kepada kedamaian dalam rumah tangga. [...]”64
Dari sepuluh hal tersebut dapat disimpulkan bahwa antara suami dan istri yang ideal
ialah yang dapat menjadi partner dan orang tua yang baik dengan terlibat langsung mengurus
anak dan rumah tangganya, mengerti cara untuk menghargai satu sama lain, baik sebagai
suami-istri maupun individu yang merdeka.
Beberapa artikel yang diambil dari majalah Dunia Wanita kurang lebih dapat
mencerminkan mengenai ide kesetaraan relasi antara laki – laki dan perempuan di dalam
rumah tangga yang merupakan bentuk ideal sebuah keluarga versi majalah Dunia Wanita.
Rumah tangga yang ideal dan dapat menciptakan keharmonisan rumah tangga yang di
dalamnya terdapat rasa tanggung jawab bersama antara suami dan istri, sehingga mereka
harus bekerjasama dalam menjalankan rumah tangga tersebut. Jadi masalah – masalah dalam
rumah tangga, seperti mengurus anak, mengurus rumah, menyelesaikan masalah dan
berpendapat merupakan tanggung jawab bersama dalam relasi yang setara. Hal ini seperti
64Lihat

gambar 2 pada lampiran, di mana suami mengajak istrinya jalan-jalan.
Dharmawati, “Rumah Tangga Saja?”, dalam Dunia Wanita, No. 3 Tahun VI, Februari 1954.,
hlm. 5 dan 16.
16

yang diidamkan oleh feminis Radikal-Kultural, Marilyn French yaitu masyarakat yang
androgini, di mana setiap individu laki – laki dan perempuan di dalamnya dapat merangkul
nilai feminin, yaitu kemauan untuk saling menjaga setara dalam rasa saling memiliki dan
status.65
Timbul dan Tenggelam, Termakan Politik
Wacana kesetaraan relasi dalam keluarga yang diberikan oleh majalah Dunia Wanita
lambat laun mengalami penggeseran isu dari majalah itu sendiri. Hal ini ditandai dengan
menghilangnya beberapa rubik dan artikel yang membahas mengenai tema tersebut. Rubik
“Untuk Wanita Sadja”

sempat ditiadakan pada terbitan tahun 1950. Redaksi tidak

menjelaskan mengenai penghilangan rubik tersebut, namun sepertinya rubik tersebut menuai
kesalahpahaman pada pembaca laki – laki seperti yang dijelaskan oleh redaksi sebagai
berikut:
“Banjak orang laki – laki tidak mengerti maksud “D.W.” tentang iklan – iklan yang
dimuat di surat – surat chabar tentang satu rubiek jang kami harap djangan dibatja oleh
laki-laki. Sangka mereka semua isi madjallah itu dilarang dibatja oleh laki – laki. Untuk
mendjaga supaya djangan terdapat salah paham, maka perlu kami terangkan di sini
bahwa “Dunia Wanita” bukan tidak boleh dibatja laki – laki tetapi di dalam madjallah
itu ada satu rubiek jang hanja untuk WANITA sadja, jang mana kalau boleh djangan
dibatja oleh laki – laki, karena di dalemnja dibitjarakan soal perempuan sadja yang
tidak perlu diketahui laki-laki. [...]66
Rubik “Untuk Wanita Sadja” kembali muncul pada edisi No. 24 Tahun ke IV 15
Desember 1952 dalam isi yang lebih banyak.67 Pada edisi No. 1 tahun ke IX 1 Januari 1957
muncul rubik yang memberikan kolom semacam surat terbuka dari pembaca yang
dikategorikan sebagai “Harapan Istri” dan “Suara Seorang Suami” sebagai jalan untuk
mengutarakan pendapat dan apa yang ia alami dalam rumah tangganya dan ingin dibagi
kepada pembaca Dunia Wanita. Sayangnya rubik tersebut pun tak berlangsung lama, hanya
bertahan pada edisi No. 7 tahun ke IX 1 April 1957 dan menghilang tanpa penjelasan dari
redaksi majalah Dunia Wanita. Karikatur yang berisi sindiran dan ide – ide kesetaraan pun
menghilang dan digantikan dengan karikatur yang bersifat humor. Setelah saat itu, ide
mengenai kesetaraan relasi dalam keluarga di majalah Dunia Wanita terus menglami
penurunan dan hilang perlahan digantkan dengan isu yang lain, seperti politik dan
keterlibatan perempuan dalam masyarakat. Hal ini berkitan dengan sepak terjang perempuan
65Rosemarie Putnam Tong, ibid, hlm. 81
66Dunia Wanita, No. 2 Tahun 1, 1 Juli 1949, hlm. 22.
67Dunia Wanita, No. 24 Tahun ke IV 15 Desember 1952,

hlm. 8-9.
17

dalam dunia politik pada masa demokrasi terpimpin yang ditandai dengan masuknya Gerwani
dalam kancah politik yang membuat mereka menjadi terkotak – kotak dan saling bersaing
sehingga lupa akan perjuangan kepentingan feminis mengenai ide kesetaraan gender itu
sendiri.68
Kesimpulan
Dalam Dunia Wanita, keluarga ideal yang menciptakan suasana harmonis dapat
tercapai jika suami dan istri dilibatkan dalam seluruh tugas dan menyelesaikan bersama
masalah rumah tangga serta saling menghargai pribadi masing – masing. Di dalam keluarga
diciptakan suasana demokratis, di mana pendapat dan pemikiran masing – masing dihargai
dan dipertimbangkan. Itulah salah satu bentuk kesetaraan yang terkadang dilupakan saat
kesetaraan selalu diartikan sebagai pencapaian posisi dalam ranah publik. Ini pula yang
ditekankan oleh feminis kultural, bahwa kesetaraan relasi merupakan hal pokok yang harus
dicapai, apapun peran yang dimainkan oleh perempuan maupun laki – laki. Jika kesetaraan
relasi telah tercapai, maka tugas akibat pembagian peran akan dapat lebih cair untuk
dikerjakan.
Masalah rumah tangga yang menampilkan ide kesetaraan menjadi bagian yang
menarik dalam konteks tahun 1950-an dalam tulisan – tulisan yang dimuat dalam majalah
Dunia Wanita. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada masa demokrasi liberal dan
penjaminan hak berpendapat diberikan oleh negara dimanfaatkan betul oleh perempuan
melalui majalah Dunia Wanita ini dalam menyuarakan pendapatnya mengenai partisipasi istri
dan suami secara setara dalam rumah tangganya untuk mencapai keharmonisan. Inilah bentuk
negoisasi perempuan yang tidak dapat dilihat oleh Saskia mengenai kesetaraan relasi antara
suami dan istri dalam rumah tangga.
Demikianlah ide kesetaraan dalam rumah tangga yang disuarakan Dunia Wanita pada
tahun 1950-an. Sesuai dengan tujuannya, yaitu memberikan pengetahuan untuk kemajuan
perempuan. Kemajuan perempuan tidak harus selalu mengenai kesetaraan perempuan dan
laki - laki dalam ranah publik, baik berpolitik dan bersosial, namun juga dari kemajuan pada
rumah tangganya sendiri. Perempuan dan laki – laki bersama – sama dalam relasi yang setara
membangun keluarga yang harmonis.
68Menurut Saskia E. Wieringa keterlibatan perempuan dalam dunia politik yang dikuasai
oleh sayap kiri membuat mereka menjadi terkotak – kotak dan saling bersaing sehingga lupa
akan perjuangan kepentingan feminis mengenai ide kesetaraan gender itu sendiri. Saskia E.
Wieringa, hlm. 278-279.

18

D