Kenapa kita harus mengapresiasi tradisi dan adat kebudayaan Islam di Nusantara?

Banyak tradisi Islam di Nusantara yang tersebar hingga ke seluruh pelosok Indonesia.

Sebab, pendekatan awal Islam di Indonesia beriringan dengan tradisi yang ada agar bisa lebih diterima oleh masyarakat secara luas.

Ad-Dhuha Jurnal Pendidikan Bahasa Arab dan Budaya Islam mencatat bahwa tradisi Islam di Nusantara merupakan jejak peninggalan para wali yang mampu mengakulturasikan tradisi sebelumnya.

Yuk, kenali seluk-beluk tradisi Islam seiring perayaan Pekan Kebudayaan Nasional, Moms!

Baca Juga: 10 Budaya Jakarta yang Wajib Diperkenalkan pada Anak

Tradisi Islam di Nusantara

Kenapa kita harus mengapresiasi tradisi dan adat kebudayaan Islam di Nusantara?

Foto: Rumah Adat Jambi (Orami Photo Stocks)

Tradisi adalah kebiasaan atau adat istiadat yang dilakukan turun-temurun oleh masyarakat.

Sebelum Islam datang, masyarakat Indonesia sudah mengenal berbagai kepercayaan dan memiliki beragam tradisi lokal.

Hadirnya Islam turut berbaur dengan tradisi tersebut hingga tercipta beberapa tradisi Islam di Nusantara.

Hal ini digunakan sebagai metode dakwah para ulama zaman itu dengan tidak memusnahkan secara total tradisi yang telah ada di masyarakat.

Seni budaya, adat, dan tradisi yang berlandaskan Islam tumbuh serta berkembang di Nusantara yang sangat bermanfaat bagi penyebaran Islam di Nusantara.

Para ulama dan wali pada zaman dahulu tentu telah mempertimbangkan tradisi-tradisi tersebut dengan sangat matang, baik dari segi mudarat, mafsadat maupun halal-haramnya.

Baca Juga: 10+ Resep Sambal Nusantara Terpopuler, Ada Sambal Embe!

Aneka Tradisi Islam di Tanah Air

Kenapa kita harus mengapresiasi tradisi dan adat kebudayaan Islam di Nusantara?

Foto: Batik Keraton, Yogyakarta (Grahabatik.com)

Banyak sekali tradisi Islam di Nusantara yang berkembang hingga saat ini.

Semuanya mencerminkan kekhasan daerah atau tempat masing-masing.

Berikut ini adalah beberapa tradisi Islam di Nusantara yang perlu diketahui:

1. Tradisi Halal Bihalal

Halal bihalal dilakukan pada Bulan Syawal yang berupa acara saling bermaaf-maafan.

Setelah umat Islam selesai puasa Ramadan sebulan penuh, maka dosa-dosanya telah diampuni oleh Allah SWT.

Namun, dosa kepada sesama manusia belum akan diampuni jika belum mendapat kehalalan atau dimaafkan oleh orang tersebut.

Oleh karena itu, tradisi halal bihalal dilakukan dalam rangka saling memaafkan atas dosa dan kesalahan yang pernah dilakukan agar kembali kepada fitrah (kesucian).

Tujuan halal bihalal selain saling bermaafan adalah untuk menjalin tali silaturahmi dan mempererat tali persaudaraan.

Halal bihalal sebagai sebuah tradisi Islam di Nusantara lahir dari sebuah proses sejarah.

Ini dibuat untuk membangun hubungan yang harmonis (silaturahmi) antar umat untuk berkumpul, saling berinteraksi dan saling bertukar informasi.

2. Tradisi Kupatan (Bakdo Kupat)

Kenapa kita harus mengapresiasi tradisi dan adat kebudayaan Islam di Nusantara?

Foto: Cara Bikin Ketupat Berbungkus Plastik (Cookpad/creative_iva)

Di Pulau Jawa terdapat tradisi Kupatan, yang bahkan sudah berkembang hingga ke daerah-daerah lain.

Tradisi membuat kupat ini biasanya dilakukan seminggu setelah hari raya Idulfitri.

Biasanya, masyarakat akan berkumpul di suatu tempat seperti musala dan masjid untuk mengadakan selamatan dengan hidangan yang didominasi kupat (ketupat).

Kupat merupakan makanan yang terbuat dari beras dan dibungkus anyaman (longsong) dari janur kuning atau daun kelapa yang masih muda.

Sampai saat ini ketupat menjadi maskot Hari Raya Idulfitri karena sebagai makanan khas Lebaran.

Oleh para Wali, tradisi membuat kupat itu dijadikan sebagai sarana untuk syiar agama.

Oleh sebagian besar masyarakat, kupat juga menjadi singkatan atau di-jarwo dhosok-kan menjadi rangkaian kata yang sesuai dengan momennya yaitu Lebaran.

Kupat adalah singkatan dari ngaku lepat (mengakui kesalahan) dan menjadi simbol untuk saling memaafkan.

Baca Juga: 5 Tradisi Menyusui dari Berbagai Negara di Dunia

3. Tradisi Sekaten di Surakarta dan Yogyakarta

Tradisi Sekaten dilaksanakan setiap tahun di Keraton Surakarta Jawa Tengah dan Keraton Yogyakarta.

Tradisi ini dilestarikan sebagai wujud mengenang jasa-jasa para Walisongo yang telah berhasil menyebarkan Islam di tanah Jawa.

Peringatan yang lazim dinamai Maulid Nabi itu oleh para wali disebut Sekaten, yang berasal dari kata Syahadatain (dua kalimat Syahadat).

Tradisi ini sebagai sarana penyebaran agama Islam yang pada mulanya dilakukan oleh Sunan Bonang.

Dahulu setiap Sunan Bonang membunyikan gamelan diselingi dengan lagu-lagu yang berisi ajaran agama Islam.

Serta setiap pergantian pukulan gamelan diselingi dengan membaca syahadatain.

Jadi, Sekaten diadakan untuk melestarikan tradisi para wali dalam memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW.

4. Tradisi Grebeg di Jawa

Kenapa kita harus mengapresiasi tradisi dan adat kebudayaan Islam di Nusantara?

Foto: Rumah Adat Jawa Tengah (Orami Photo Stocks)

Tradisi Grebeg adalah untuk mengiringi para raja atau pembesar kerajaan.

Grebeg pertama kali diselenggarakan oleh keraton Yogyakarta oleh Sultan Hamengkubuwono ke-1.

Grebeg dilaksanakan saat Sultan memiliki hajat dalem berupa menikahkan putra mahkotanya.

Grebeg di Yogyakarta diselenggarakan 3 tahun sekali yaitu saat Bulan Syawal, Dzulhijjah, dan Rabiul Awwal.

Pertama, Grebeg Pasa-Syawal diadakan setiap tanggal 1 Syawal bertujuan untuk menghormati Bulan Ramadan dan Lailatul Qadr.

Kedua, Grebeg Besar, diadakan setiap tanggal 10 dzulhijjah untuk merayakan hari raya kurban.

Ketiga, Grebeg Maulud setiap tanggal 12 Rabiul awwal untuk memperingati hari Maulid Nabi Muhammad SAW.

Selain kota Yogyakarta yang menyelenggarakan pesta Grebeg adalah kota Solo, Cirebon dan Demak.

Baca Juga: Mengenal Berbagai Fungsi dari Laring atau Kotak Suara

5. Tradisi Grebeg Besar di Demak

Tradisi Grebeg Besar merupakan upacara tradisional yang setiap tahun dilaksanakan di Kabupaten Demak Jawa Tengah.

Tradisi ini dilaksanakan pada tanggal 10 Dzulhijjah bertepatan dengan datangnya Hari Raya Iduladha atau Idul Kurban.

Tradisi ini cukup menarik karena Demak merupakan pusat perjuangan Walisongo dalam dakwah.

Pada awalnya Grebeg Besar dilakukan tanggal 10 Dzulhijjah tahun 1428 Caka dan dimaksudkan sekaligus untuk memperingati genap 40 hari peresmian penyempurnaan Masjid Agung Demak.

6. Sesaji Rewanda di Semarang

Kenapa kita harus mengapresiasi tradisi dan adat kebudayaan Islam di Nusantara?

Foto: Sesaji Rewanda di Semarang (Sonora.id)

Tradisi ini dilakukan sebagai bentuk rasa syukur atas rezeki yang diberikan oleh Allah SWT.

Serta, sebagai mengenang napak tilas perjuangan Sunan Kalijaga untuk membangun Masjid Demak.

Tradisi bulan Syawal di Indonesia ini biasanya diadakan pada hari ketiga setelah Idulfitri.

Warga akan membawa gunungan yang berisi sego kethek (nasi monyet), buah-buahan, hasil bumi, lepet, dan ketupat dari Kampung Kandri ke Goa Kreo.

Replika kayu jati tiang Masjid Demak juga akan diarak dalam acara ini. Ratusan penari dan pemusik tradisional pun akan memeriahkan acara.

Baca Juga: 9 Tradisi Pernikahan Berbagai Negara yang Aneh dan 'Menyebalkan

7. Njimbungan di Klaten

Tradisi Islam di Nusantara pada bulan Syawal di Indonesia berikutnya ada di daerah Klaten.

Para warga lebih mengenal acara ini sebagai acara Njimbungan.

Njimbrungan yakni berupa arak-arakan gunungan ketupat dan hasil bumi di Bukit Sidoguro, Krakitan Bayat, Klaten.

Nantinya, gunungan ketupat dan hasil bumi ini akan dibagikan ke seluruh peserta yang mengikuti acara ini.

Walaupun terlihat ricuh saat prosesi pembagian ini, sebenarnya ritual ini tetap berlangsung dengan aman.

Tradisi ini peninggalan Keraton Surakarta yang digelar enam hari setelah Lebaran.

8. Grebeg Syawal Yogyakarta

Kenapa kita harus mengapresiasi tradisi dan adat kebudayaan Islam di Nusantara?

Foto: Grebeg Gunungan (Visitingjogja.com)

Grebeg Syawal Yogyakarta dilaksanakan pada hari pertama bulan Syawal tepatnya saat Lebaran berlangsung atau setelah salat Id.

Tradisi ini merupakan wujud kedermawanan sultan kepada rakyat Yogyakarta.

Pada Grebeg Syawal ini, gunungan hasil bumi akan diarak dari Keraton Yogyakarta menuju Masjid Agung Kauman.

Setelah itu, gunungan tersebut akan jadi rebutan warga.

Mereka percaya, aneka hasil bumi di gunungan tersebut mampu membawa keberuntungan karena telah didoakan saat ritual berlangsung.

9. Syawalan Pekalongan

Berbeda dengan yang daerah lain yang menyediakan gunungan hasil bumi, daerah Pekalongan justru menghadirkan lopis raksasa.

Tradisi bernama Syawalan ini dilakukan di daerah Krapyak.

Alasan dipilihnya lopis adalah karena makanan berbahan beras ketan ini dapat menjadi simbol persatuan yang erat.

Nantinya, lopis tersebut akan dipotong-potong untuk kemudian dibagikan ke seluruh warga Pekalongan.

Baca Juga: 6+ Alat Musik Betawi yang Dipengaruhi Berbagai Campuran Budaya, Seperti Apa Ciri Khasnya?

10. Tradisi Tabuik

Kenapa kita harus mengapresiasi tradisi dan adat kebudayaan Islam di Nusantara?

Foto: Tradisi Tabuik (En.wikipedia.org)

Tradisi Tabuik adalah upacara tradisional masyarakat Bengkulu untuk mengenang kisah kepahlawanan dan kematian Hasan dan Husein bin Ali bin Abi Thalib.

Keduanya merupakan cucu Nabi Muhammad SAW yang telah gugur dalam peperangan di Karbala, Irak pada tanggal 10 Muharam 61 Hijriah (681 M).

Kata Tabuik dari bahasa Arab memiliki arti kotak kayu atau peti kematian.

Awalnya, tradisi Islam di nusantara ini pertama kali dirayakan pada tahun 1685.

Upacara ini dilaksanakan dari 1 sampai 10 Muharram setiap tahunnya.

11. Tradisi Rabu Kasan

Adat istiadat lainnya yang juga masih dirayakan adalah tradisi Rabu Kasan yang dirayakan tepatnya hari rabu terakhir di bulan Safar.

Hal ini sesuai dengan namanya, yakni Rabu Kasan berasal dari kata Rabu Pungkasan (terakhir).

Upacara Rabu Kasan awalnya dirayakan di Bangka, namun seiring zaman juga dilakukan di Bogor hingga Gresik.

Perayaan yang bertujuan untuk meminta pertolongan pada Allah SWT, tak lain agar terhindar dari segala musibah dan bencana.

Di Kabupaten Bangka, tradisi ini dipusatkan di desa Air Anyer, Kecamatan Merawang.

Perayaan akan dilakukan pukul 7 pagi yang diramaikan para penduduk setempat membawa makanan dan ketupat tolak bala.

12. Acara Dugderan di Semarang

Kenapa kita harus mengapresiasi tradisi dan adat kebudayaan Islam di Nusantara?

Foto: Dugderan di Semarang (Ppid.semarangkota.go.id)

Tradisi Dugderan adalah tradisi khas yang dilakukan oleh masyarakat Semarang, Jawa Tengah.

Tak seperti perayaan budaya sebelumnya, tradisi ini dilakukan untuk menyambut datangnya bulan puasa.

Dugderan biasanya diawali dengan pemberangkatan peserta karnaval dari Balaikota Semarang.

Ritual budaya ini akan dilakukan setelah salat Asar dengan diawali rapat penting untuk menentukan awal bulan Ramadan setiap tahunnya.

Nantinya, hasil dari rapat tersebut akan diserahkan kepada Kanjeng Gubernur Jawa Tengah untuk diumumkan secara resmi.

Baca Juga: Serba-Serbi Kampung Betawi Setu Babakan, Nikmati Rekreasi Sambil Apresiasi Budaya

Sebagai negara kepulauan yang memiliki banyak suku, etnis, dan kepercayaan, tidak heran bahwa Indonesia memiliki beragam tradisi.

Beberapa tradisi Islam di Nusantara tersebut masih ada hingga kini dan dilestarikan juga oleh masyarakat sebagai bagian dari kebudayaan.

Oleh karena itu, perlu selalu dijaga setiap keunikan dari setiap budaya, ya, Moms!

Sumber

  • https://online-journal.unja.ac.id/Ad-Dhuha/article/view/9727
  • https://www.bacaanmadani.com/2018/02/10-contoh-tradisi-islam-di-nusantara.html
  • https://blog.reservasi.com/5-tradisi-bulan-syawal-di-indonesia-yang-fenomenal/