Kenapa kain songket mahal?

KOMPAS.com -Minat masyarakat terhadap kain tenun Nusa Tenggara Timur (NTT) terus meningkat. Hal ini antara lain didorong oleh para perancang busana yang mengangkat tenun NTT dalam karyanya.

Namun, masih banyak yang memandang kain tenun NTT terlalu mahal, sehingga mereka yang berminat biasanya untuk tujuan mengoleksi kain tersebut. Sebagai ilustrasi, kain tenun ukuran sekitar dua meter bisa menembus harga puluhan juta Rupiah.

Citra mahal pada kain tenun sebenarnya tak sepenuhnya benar. Dengan perkembangan variasi tekstil, kini tenun NTT dengan harga relatif terjangkau juga bisa dimiliki.

Ketua Dekranasda Provinsi NTT, Julie Sutrisno Laiskodat mengatakan, tenun NTT yang mahal biasanya dibuat dari kapas asli.

Sementara saat ini, banyak kain tenun NTT yang juga sudah dibuat dari benang katun atau sintesis.

Baca juga: Mengenal Tenun Tarutung, Tenun Terbaik dari Tapanuli Utara

"Sekarang sudah jarang sekali yang menenun dengan kapas asli dan pohon kapas juga sudah mau punah. Kalau yang dipakai sehari-hari sudah dari benang katun atau benang sintesis," kata Julie ketika ditemui di gelaran JFW, Senayan City, Selasa (22/10/2019).

Julie mencontohkan, dengan mengganti bahan baku benang, kain tenun kecil bisa dijual hanya Rp 50 ribu dari yang semula mencapai sekitar Rp 150 ribu.

Citra mahal yang melekat pada tenun NTT akan berupaya dihilangkan agar semua orang bisa memilikinya.

"Saya tidak mau image tenun NTT mahal sehingga hanya orang-orang yang mengoleksi yang punya. Kami butuh pangsa pasar yang terus-menerus dalam arti fesyen," tuturnya.

Lihat Foto
KOMPAS.com/Nabilla Tashandra
Ketua Dekranasda Provinsi NTT, Julie Sutrisno Laiskodat saat ditemui di gelaran Jakarta Fashion Week 2020 di Senayan City, Jakarta Selatan, Selasa (22/10/2019).

Tantangannya saat ini adalah belum semua kabupaten di NTT mudah mendapatkan akses benang-benang tersebut. Sehingga mereka harus mengeluarkan biaya transportasi untuk mendapatkannya.

Di samping itu, masih banyak masyarakat yang juga belum mampu menghitung harga jual yang tepat. Sehingga tak jarang kondisi itu menjadi aji mumpung bagi mereka ketika ada konsumen yang mau membeli.

Itulah mengapa banyak tenun NTT kerap dijual dengan harga tinggi.

"Karena memang pangsa pasar mereka tidak rutin. Makanya Dekranasda membuka pangsa pasar itu, memberikan wadahnya supaya menjadi rutin sehingga mereka tahu ini berlangsung terus menerus," ucapnya.

Baca juga: Cerita dari Kain Tenun Wakatobi

Beberapa hal yang telah dilakukan Dekranasda antara lain mengajari para pengrajin, bukan hanya memberi benang tapi juga mengajari bagaimana memberi harga jual kain yang pas.

"Wajib mendapat untung, tapi dihitung modalnya berapa, tingkat kesulitannya seperti apa. Kami bantu hitung," ucapnya.

Selain itu, Dekranasda juga membeli putus hasil tenun dari para pengrajin. Sehingga mereka mendapatkan pemasukan secara rutin.

"Supaya perputaran ekonominya mereka dapat," ucap Julie.

Saat ini, ada sekitar 3026 desa di seluruh NTT dengan satu kelompok penenun di setiap desa. Namun, Dekranasda baru berkolaborasi dengan sekitar 300 penenun selama satu tahun.

"Kami lagi memperbaiki diri, sumber daya manusianya, etos kerja, cara berpikir, standar kualitas, agar sesuai standar nasional dan bisa bersaing secara luas," katanya.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link //t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Video

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA