Kemungkinan hal hal yang akan terjadi jika listrik tidak pernah ditemukan

Merdeka.com - Saya dan kiranya sebagian besar masyarakat kerap mengeluh saat listrik mati. Meski berbeda keperluan, orang yang tinggal di desa dan di kota sama-sama merasa susah mendapati terputusnya aliran listrik walaupun terjadi dalam durasi waktu sebentar. Kita sama-sama percaya listrik hanya mati sementara dan akan segera menyala seperti sediakala. Ketergantungan kita akan listrik mengaburkan kemungkinan terburuk lain, bagaimana jika listrik tak pernah hidup lagi?

Mendapati pertanyaan itu, sangat wajar jika kita kelabakan mencari jawaban. Pasalnya, listrik sangat lekat dengan kehidupan sebagian besar masyarakat bahkan seperti sudah menjadi kebutuhan primer. Konsumennya mulai dari tingkat rumah tangga, perkantoran, institusi pendidikan, rumah sakit, hingga industri lintas bidang. Untuk konsumen skala rumahan, listrik mati sontak mengkhawatirkan atau bahkan menghentikan aktivitas yang sedang berlangsung, seperti memasak nasi di periuk listrik, menghaluskan bumbu atau membuat jus buah dengan blender, menyimak berita di televisi, dan lain sebagainya.

Bahkan, seandainya listrik di indekos saya saat ini tiba-tiba mati, aktivitas mengetik yang sedang saya lakukan juga terancam berhenti lantaran daya baterai laptop habis dan tidak bisa segera terisi ulang. Selanjutnya, bagaimana jika listrik di indekos saya mati untuk selamanya. Walhasil, gagasan yang saya tuangkan melalui tulisan ini pun gagal menyapa pembaca.

Sementara itu, gedung-gedung dengan aktivitas krusial menggunakan diesel yang menyala otomatis saat listrik mati. Bagaimana jika diesel tidak bisa dioperasikan lagi lantaran ketiadaan sumber energi minyak bumi sebagai bahan bakarnya. Di sebuah rumah sakit saja, kita bisa membayangkan rumitnya keadaan yang akan dihadapi. Alat-alat medis yang terpasang di tubuh para pasien berhenti berfungsi, tindakan operasi yang sedang dilakukan terhadap pasien tak bisa dilanjutkan, dan masih banyak kemungkinan buruk lain. Ini baru di satu rumah sakit, belum di rumah sakit lain dan bahkan di sektor-sektor lain yang tak kalah penting.

2 dari 3 halaman

Kemungkinan hal hal yang akan terjadi jika listrik tidak pernah ditemukan
©2016 Merdeka.com

Terkait ketersediaan jaringan listrik, selama ini Pulau Jawa memiliki privilese. Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang mendominasi pemenuhan kebutuhan listrik masyarakat Jawa beroperasi dengan lancar. Pasokan batu bara yang menjadi bahan baku utama penghasil listrik PLTU selalu terpenuhi. Film Sexy Killers (2019) merekam bagaimana aktivitas penambangan batu bara di Kalimantan Timur tidak pernah berhenti. Sebagian besar batu bara itu kemudian diangkut dengan tongkang-tongkang besar melintasi lautan, menuju Pulau Jawa dan Bali.

Dalam hal ini, jagung yang dalam buku terbaru jurnalis Ahmad Arif berjudul Sorgum (KPG, 2020) disebut akronim dari Jawa Agung kiranya cukup representatif menggambarkan Pulau Jawa. Pulau dengan penduduk terpadat sekaligus paling sibuk itu rasanya tidak berlebihan disebut “pusat peradaban” Indonesia. Di pulau ini, pusat pemerintahan, ekonomi, pendidikan, kesehatan, transportasi menunjukkan kekuatan dan peran besarnya. Kondisi tersebut menjamin ketersediaan infrastruktur yang memadai.  

Di sisi lain, seluhur apapun visi pemerintah menyusun program pemerataan kualitas sumber daya manusia dan pembangunan infrastruktur, ketimpangan antara pulau pusat segala hal dengan pulau-pulau lain menjadi fakta tak terelakkan. Bukannya pemerintah gagal merealisasikan program-program kerja yang telah disusun, tetapi sejumlah faktor di lapangan menjadi kerikil-kerikil yang mengganjal pelaksanaan program secara tuntas.

Per April 2020, ada 433 desa di Indonesia yang dinyatakan belum teraliri listrik. Desa-desa itu ada di daerah terpencil, sebagian besar berada di Pulau Papua. Belum tersedianya listrik di daerah-daerah terpencil itu lantaran terbatasnya infrastruktur dan sumber energi berupa bahan bakar fosil. Bahkan, elektrifikasi di beberapa daerah rawan dikhawatirkan keamanannya, seperti dilansir Antara (3/4/2020).

3 dari 3 halaman

Kemungkinan hal hal yang akan terjadi jika listrik tidak pernah ditemukan
©2020 Merdeka.com/ebtke.esdm.go.id

Selain persoalan infrastruktur, keterbatasan sumber energi juga menjadi kendala utama. Oleh karena itu, diperlukan upaya serius dalam pemanfaatan energi baru terbarukan serta konservasi energi. Gagasan ini sudah lama menjadi perhatian pemerintah, terutama dengan keberadaan Direktorat Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Perumusan hingga pelaksanaan kebijakan EBTKE menjadi tupoksi direktorat ini. Dukungan terhadap keberadaan pembangkit listrik berbasis energi baru terbarukan (EBT) seperti Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP), Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLTBm), hingga Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) semakin gencar dilakukan. Upaya konversi sejumlah pembangkit listrik beremisi tinggi ke pembangkit listrik berbasis EBT juga terus digalakkan.

Menteri ESDM dalam acara Strategic Session Discussion bertema “Mobilizing Energy Investment” pada Kamis, 30 Januari 2020 menyatakan, penggunaan energi baru terbarukan menjadi keniscayaan yang tak bisa ditawar lagi. Di tengah semakin menipisnya cadangan energi konvensional bahan bakar fosil seperti batu bara dan minyak bumi serta kemungkinan habis sama sekali di masa depan, pemanfaatan energi baru terbarukan menjadi program prioritas dengan target sebesar 23% dalam bauran energi nasional tahun 2025.

Dalam Siaran Pers Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor 053.Pers/04/SJI/2020 tentang Konversi Pembangkit Listrik Fosil ke EBT, disebutkan ada 2.246 unit Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD), 23 unit Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dan 46 Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap (PLTGU) yang rencananya akan dikonversi.

Target pemanfaatan EBT dalam bauran energi nasional itu menjadi bagian dari komitmen pemerintah Indonesia mengurangi emisi karbon sesuai dengan Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-bangsa mengenai Perubahan Iklim (Paris Agreement to United Nations Framework Convention on Climate Change). Persetujuan yang dinegosiasikan oleh 195 negara itu ditandatangani di New York, 22 April 2016 bertepatan dengan Hari Bumi Sedunia. Indonesia membuktikan keseriusan komitmennya mengurangi emisi karbon dengan menambah kuantitas dan kualitas pembangkit listrik berbasis EBT.

Tahun 2014, PLN Gorontalo, Sulawesi Tenggara berhasil mengoperasikan Pembangkit Listrik Tenaga Biomassa (PLTBm) pertama di Indonesia yang memanfaatkan tongkol jagung sebagai sumber energi penghasil listrik. Setelah PLTB Pulubala di Gorontalo, pemerintah melalui anak usahanya, serta menggandeng pemerintah daerah dan pihak swasta membangun pembangkit listrik berbasis EBT di sejumlah daerah lain. Tak tanggung-tanggung, Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) terbesar di Asia Tenggara dibangun di Sidrap, Sulawesi Selatan. Pembangunan PLTB berkapasitas 75 MW di Sidrap merupakan langkah nyata pemanfaatan potensi energi angin di wilayah setempat. Pasalnya, PLTB memang tidak bisa dibangun di sembarang tempat. Dibutuhkan sumber energi angin yang memadai guna menggerakkan kincir yang akan mengubah energi angin menjadi listrik.

Selain pemerintah melalui Dirjen EBTKE Kementerian ESDM dan PLN, jumlah anak muda yang meniti bisnis listrik berbasis EBT juga meningkat. Belum lagi peran perguruan tinggi dan organisasi-organisasi lingkungan melalui program pembinaan dan pengabdian masyarakat terkait penyediaan sumber listrik berbasis EBT.

Tak kalah penting yakni munculnya para inisiator dari masing-masing daerah yang mempelopori ketersediaan jaringan listrik ramah lingkungan. Menyebut satu di antaranya adalah Umbu Hinggu Panjanji, tokoh adat yang menjadi pelopor masuknya air bersih dan listrik di Desa Kamanggi. Desa di Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur itu kemudian menjadi desa energi mandiri yang berhasil memenuhi kebutuhan listrik warganya tanpa bahan bakar fosil. Sebelum listrik masuk desa, aktivitas warga di malam hari sangat terbatas karena ketiadaan penerangan.

Sementara itu, lebih dari separuh warga Sumba yang terisolir dan belum teraliri jaringan listrik nasional memanfaatkan panel surya untuk menyimpan dan mengubah energi panas matahari menjadi listrik. PLN juga membangun sejumlah Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) di titik-titik potensial di Sumba. Sinergi PLN, pemerintah daerah, tokoh adat, hingga masyarakat setempat dalam memanfaatkan potensi energi baru terbarukan di wilayahnya sendiri mendekatkan Sumba kepada cita-citanya sebagai daerah mandiri energi. 

Kenyataan di Indonesia Timur itu semakin mengukuhkan pemanfaatan potensi energi baru terbarukan di masing-masing daerah seperti angin, air, panas bumi, hingga biomassa sangat diperlukan. Upaya pemerintah maupun swasta di bidang penyediaan pembangkit listrik berbasis energi baru terbarukan di sejumlah daerah di Indonesia membuahkan hasil cukup memuaskan. Tidak hanya berhasil menyediakan listrik bagi seluruh warga Indonesia, penggunaan energi baru terbarukan serta konservasi energi akan menyelamatkan Indonesia (bahkan dunia) dari ancaman kerusakan lingkungan dan krisis iklim yang berlebihan.

Sebaliknya, tanpa kesadaran dan upaya pemanfaatan energi baru terbarukan, siapkah kita mengalami masa di mana listrik mati selamanya yang juga dibersamai dengan habisnya stok bahan bakar fosil di seluruh dunia? Jika kenyataan itu tiba, manusia harus belajar kembali untuk hidup bersama alam. Orang-orang yang terjebak dalam lift mungkin baru akan ditemukan seratus tahun kemudian, seloroh sastrawan Seno Gumira Ajidarma dalam esainya yang berjudul Listrik Mati (Mizan, 2015: hlm. 154).

Perkaranya, sejarah manusia lantas menjadi konyol. Manusia berasal dari alam, mempelajari alam, menaklukkan alam, tergantung sekaligus tersaring dari alam, ujung-ujungnya harus kembali belajar hidup bersama alam. Tapi, alam yang dihidupinya adalah alam tanpa alam, tersisa belantara beton tandus tanpa tumbuh-tumbuhan, tanpa hewan, tanpa sumber daya alam, dan tanpa apa-apa.

Hari ini, kita mungkin sadar sekaligus tidak sadar apa yang sudah umat manusia lakukan terhadap sumber kehidupannya dengan dalih menciptakan peradaban. Menyitir Rektor Institut Kesenian Jakarta (IKJ) yang humoris itu, belum terlambat untuk mencegah imajinasi mengerikan itu menjadi kenyataan.

Penulis merupakan reporter merdeka.com. Beberapa tulisannya juga pernah tersiar di Koran Tempo, Kompas, Solopos, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, detik.com, dan lain sebagainya.

(mdk/rka)