Kelebihan dan kekurangan pembangunan berkelanjutan

Kelebihan dan kekurangan pembangunan berkelanjutan

Kelebihan dan kekurangan pembangunan berkelanjutan
Lihat Foto

KOMPAS.com/Vanya Karunia Mulia Putri

Kelebihan sistem ekonomi kerakyatan adalah meningkatnya kesejahteraan rakyat. Sementara kekurangan sistem ekonomi kerakyatan adalah dominannya peran negara.

KOMPAS.com - Sistem ekonomi kerakyatan didasarkan pada prinsip demokrasi ekonomi. Kemakmuran masyarakat menjadi tujuan utama yang ingin diraih.

Dalam sistem ini, produksi dikerjakan oleh rakyat dan untuk semua anggota masyarakat tanpa terkecuali.

Menurut Natalia Artha Malau dalam jurnal Ekonomi Kerakyatan sebagai Paradigma dan Strategi Baru dalam Pembangunan Ekonomi Indonesia (2016), sistem ekonomi kerakyatan bertumpu pada kekuatan ekonomi masyarakat.

Sistem ekonomi ini lebih sering disebut ekonomi kerakyatan. Adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan rakyat dengan mengelola sumber daya ekonomi yang dapat dikuasainya.

Ekonomi kerakyatan tidak hanya mengandalkan kekuatan rakyat, melainkan peran pemerintah yang turut menjamin kemakmuran masyarakat.

Baca juga: Kelebihan dan Kekurangan Sistem Ekonomi Pancasila

Dikutip dari buku Hukum Ekonomi Syariah (2020) karya Asih Suyadi dkk, ciri-ciri sistem ekonomi kerakyatan adalah:

  • Bertumpu pada mekanisme pasar yang berkeadilan
  • Memperhatikan pertumbuhan ekonomi, nilai keadilan, kepentingan sosial, juga kualitas hidup
  • Mampu mewujudkan pembangunan yang berwawasan lingkungan dan berkelanjutan.

Sistem ekonomi kerakyatan memiliki sejumlah kelebihan dan kekurangan. Apa sajakah itu?

Kelebihan sistem ekonomi kerakyatan

Ada empat kelebihan sistem ekonomi kerakyatan, yakni:

Rakyat terlindungi dari persaingan tidak seimbang

Karena mengandalkan kekuatan ekonomi rakyat, persaingan yang tidak seimbang bisa diminimalkan bahkan dihindari.

Adapun yang dimaksud persaingan tidak seimbang adalah persaingan antara rakyat biasa dengan pemilik modal besar.

Meningkatkan kesejahteraan rakyat

Kelebihan sistem ekonomi kerakyatan adalah meningkatnya kesejahteraan rakyat. Karena mereka bisa memanfaatkan faktor produksi yang ada untuk melaksanakan kegiatan ekonomi.

Baca juga: Kelebihan dan Kekurangan Sistem Ekonomi Liberal

Meminimalkan kesenjangan ekonomi

Sistem ekonomi kerakyatan dapat memperkecil atau meminimalkan kesenjangan ekonomi antara orang kaya dengan kurang mampu.

Menciptakan hubungan yang baik di antara rakyat

Salah satu kelebihan sistem ekonomi kerakyatan adalah menciptakan hubungan yang baik di antara rakyat.

Dalam hal ini, rakyat yang dimaksud, yaitu pemilik modal besar dan masyarakat sebagai mitra kerjanya.

Kekurangan sistem ekonomi kerakyatan

Meski memiliki sejumlah kelebihan, sistem ekonomi kerakyatan juga memiliki beberapa kekurangan, yakni:

Kurang diminati para pemilik modal besar

Kekurangan sistem ekonomi kerakyatan, yaitu kurangnya minat dari pemilik modal besar untuk bekerja sama dengan masyarakat lainnya.

Peran negara lebih dominan

Kekurangan sistem ekonomi kerakyatan adalah peran negara lebih dominan dibanding masyarakat itu sendiri.

Sebab, tidak semua faktor produksi bisa dikuasai masyarakat. Begitu pula dengan adanya regulasi atau peraturan yang terkadang memberatkan masyarakat.

Baca juga: Kelebihan dan Kekurangan Sistem Ekonomi Campuran

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

JAKARTA - Sejak amandemen UUD 1945 yang telah menghilangkan GBHN sebagai haluan  pembangunan nasional, perencanaan pembangunan nasional kita dirancang berdasarkan  Sistem  Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) yang diatur dalam Undang-Undang No.25 tahun 2004.  Sesuai dengan SPPN tersebut, proses perencanaan pembangunan nasional dilakukan melalui  proses  politik,  proses  teknokratik,  dan  proses  partisipatif untuk menghasilkan  dokumen  perencanaan  jangka  panjang,  jangka  menengah, dan rencana pembangunan tahunan.

Ketua Aliansi Kebangsaan/Ketua Umum FKPPI/Pembina Yayasan Suluh Nuswantara Bakti, Pontjo Sutowo mengatakan, penjabaran untuk pencapaian tujuan nasional dituangkan ke dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) dalam bentuk visi, misi, dan  arah  pembangunan  nasional  jangka  panjang.  Sementara  pembangunan  lima  tahunan yang seharusnya menjadi tahapan pelaksanaan secara berkelanjutan dari visi, misi, dan arah pembangunan nasional yang tertuang dalam  RPJPN tersebut, dirumuskan dengan rujukan utamanya adalah  visi-misi Presiden/Wakil Presiden yang  dipilih  secara  langsung  melalui  Pemilu  kemudian  dituangkan  ke  dalam  Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).

“Dengan sistem perencanaan seperti ini yang telah diberlakukan lebih dari enam belas tahun, sejumlah persoalan mengemuka yang mengindikasikan adanya kelemahan-kelemahan dalam SPPN kita. Dari  berbagai  sumber, ada beberapa catatan terkait SPPN yang dapat saya sampaikan, di antaranya : (1) SPPN yang ada sekarang  dinilai  tidak  mampu  mengintegrasikan  dan  mensinkronisasikan pembangunan antar waktu, antar ruang, antar daerah, dan antara pusat dan daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia; (2) Cenderung bias terhadap agenda Eksekutif, kurang menampung agenda cabang-cabang  kekuasaan lainnya secara  menyeluruh,  sehingga  dinilai  tidak  mencerminkan  wujud  kehendak  rakyat seperti  halnya  GBHN;  (3)  Rencana  Pembangunan  Jangka  Panjang  Nasional (RPJPN)  yang  ditetapkan  dengan  Undang-Undang  Nomor:  17  tahun  2007   dinilai tidak mampu menjamin kesinambungan pembangunan antar rejim pemerintah; (4) RPJPN secara substantif tidak memberikan arah yang jelas tentang pembangunan yang  kita  tuju  dalam  masa  dua  puluh  tahun  ke  depan;  (5)  Karena  Presiden  ikut menetapkan  Undang-Undang,  pelaksanaan  Rencana  Pembangunan  Nasional cenderung  bias  terhadap  agenda  kampanye  Kepresidenan,  sehingga  banyak  hal yang kurang mendapat perhatian,” tegas Pontjo Sutowo dalam Acara Webdinar Restorasi Haluan Negara Dengan Paradigma Pancasila, di Jakarta, Senin (9/11/2020).

Hadir Ketua MPR-RI Bambang Soesatyo, Wakil Ketua Forum Rektor Indonesia Dr. Nasrullah Yusuf, Ketua Umum Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia Prof. Satryo Brodjonegoro, Ketua Umum Asosiasi Ilmu Politik Indonesia Dr. Alfitra Salamm, dan narasumber Prof. Ravik Karsidi, Prof. Sofian Effendi, Sdr. Yudi Latif.

Menurut Pontjo Sutowo, dengan  berbagai  catatan  atas  kelemahan  SPPN  tersebut,  pembangunan nasional yang seharusnya merupakan gerak kemajuan secara terencana, terpadu, menyeluruh, dan  berkesinambungan, justru  kerap  kali  membuat  agenda pembangunan lebih banyak merespon hal-hal  mendesak berjangka pendek yang seringkali  bersifat  tambal-sulam,  dengan  mengabaikan  persoalan-persoalan fundamental  yang  berjangka  panjang.  Ia menilai, pengabaian  hal-hal  fundamental  itulah sesungguhnya yang menjadi biang kemunculan aneka kelemahan, ketimpangan, dan ketertinggalan pembangunan kita yang melahirkan beragam ekspresi kekecewaan sosial.

“Barangkali  karena  sejumlah catatan kelemahan dan kekurangan dari SPPN tersebut, muncullah  berbagai  pemikiran dan desakan  untuk melakukan reformulasi sistem perencanaan pembangunan nasional kita. Bahkan ada arus sangat kuat yang menghendaki  untuk  kembali  menggunakan  “model  GBHN”  seperti  pernah  berlaku dalam  sistem  perencanaan  pembangunan  kita di  masa  lalu.  Untuk mengkaji  lebih dalam tentang kemungkinan restorasi “Haluan  Negara”, Aliansi Kebangsaan  pernah menyelenggarakan konvensi  Nasional Halua Negara  pada tahun 2016 yang dihadiri berbagai  kalangan  dan  tokoh  bangsa,  serta  FGD  Tata  Kelola  Perencanaan Pembangunan  Nasional  tahun  2019  yang  lalu.  Saya  juga  mengetahui  bahwa Lembaga  Ilmu  Pengetahuan  Indonesia  (LIPI),  sejak  2013,  beberapa  kali merekomendasikan revitalisasi GBHN atau model lain haluan negara.   Forum Rektor Indonesia bahkan sudah melangkah jauh dengan menyusun Kajian Akademik GBHN yang sudah diserahkan kepada MPR,” katanya.

Pihaknya menjelaskan, satu  hal  yang  perlu  kita  sadari  bersama  bahwa  “Rencana  Pembangunan Nasional”  adalah  instrumen  untuk  mewujudkan  cita-cita  para pendiri  bangsa  yang diperjuangkan  dan  dirumuskan  dalam  alinea  kedua  Pembukaan  UUD  1945  yaitu Negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Oleh karena itu, apapun pilihan model perencanaan pembangunan  yang kita anggap paling sesuai bagi  Indonesia,  maka  harus  menjamin  bahwa  pembangunan  nasional  yang  dilaksanakan  merupakan  gerak  berkelanjutan  menuju  pencapaian  cita-cita  nasional kita  tersebut.  Perencanaan  Pembangunan  Nasional  harus  mampu  merancang pembangunan  nasional  yang  menghadirkan  kemerdekaan,  ke-bersatu-an,  keberdaulat-an, keadilan dan kemakmuran bagi bangsa Indonesia.

“Kalau  kita  dalami  alam  pemikiran  para  pendiri  bangsa,  usaha  bangsa Indonesia untuk mewujudkan  cita-cita dan  tujuan nasionalnya, haruslah bersandar pada tiga konsensus fundamental, yaitu: Pancasila sebagai falsafah dasar, Konstitusi sebagai  hukum/norma  dasar,  dan  Haluan  Negara  sebagai  kebijakan  dasar. Kalau Pancasila  mengandung  prinsip-prinsip  filosofis,  Konstitusi  mengandung  prinsipprinsip normatif, maka Haluan Negara sudah sepatutnya mengandung suatu kaidah penuntun (guiding principles) yang berisi arahan dasar (directive principles) tentang bagaimana  cara  melembagakan  nilai-nilai  Pancasila  dan  Konstitusi  itu  ke  dalam berbagai pranata publik, yang dapat memandu para penyelenggara negara dalam merumuskan dan menjalankan kebijakan pembangunan secara terpimpin, terencana dan terpadu. Dengan memahami maksud asal (original intent) para pendiri bangsa seperti itu, maka menurut hemat saya, bangsa kita memerlukan semacam “Haluan Negara” yang  memuat arahan   dasar yang mengandung dua tuntunan, yaitu: haluan yang bersifat  ideologis  dan  haluan  yang  bersifat  strategis-teknokratis dalam ranah pembangunan tata nilai (mental-spiritual-karakter), tata kelola (kelembagaan sosialpolitik),  dan  tata  sejahtera  (material-teknologikal),” ujarnya. 

Pontjo menegaskan, pengembangan ranah  tata  nilai  mental-spiritual  diarahkan  untuk  menjadikan  bangsa  yang berkepribadian  (berkarakter)  dengan  nilai  utamanya  berlandaskan  sila  pertama, kedua,  dan  ketiga  dari  Pancasila.  Pengembangan  institusi  sosial-politik  diarahkan untuk  menjadi  bangsa  yang  berdaulat  dengan  nilai  utamanya  berlandaskan  sila keempat.  Pengembangan  ranah  material-teknologikal  diarahkan  untuk  menjadi bangsa  yang  mandiri  dan  berkesejahteraan  umum  dengan  nilai  utamanya berlandaskan sila kelima. Karena menurutnya, haluan ideologis berisi prinsip-prinsip fundamental sebagai kaidah penuntun dalam menjabarkan falsafah negara dan pasal-pasal Konstitusi ke dalam berbagai kebijakan  publik,  dan  kebijakan  pembangunan  di  segala  bidang  dan  lapisan.  Sedangkan haluan strategis-teknokratis berisi pola perencanaan pembangunan yang menyeluruh,  terpadu  dan  terpimpin  dalam  jangka  panjang  secara  bertahap  dan berkesinambungan, dengan memperhatikan prioritas bidang dan ruang (wilayah).

“Haluan Negara memiliki fungsi penting untuk mewujudkan konsepsi negara kekeluargaan  dan  kesejahteraan  dalam  masyarakat  kita  yang  majemuk.  Dalam konsep  Negara  kekeluargaan,  tentu  pembangunan  nasional  harus  dilaksanakan berdasarkan  semangat  kekeluargaan  yang  menampung  aspirasi  seluruh  lapisan masyarakat  dan  daerah,  serta  ikut  menentukan  arah  kebijakan  pembangunan nasional.  Oleh  karena  itu,  “Haluan  Negara”  berfungsi  menjadi  saluran  aspirasi kelompok minoritas atau kelompok marginal  sekalipun. Dengan demikian,  akan menjadi alat komunikasi dalam menghubungkan dan mempersatukan semua elemen bangsa dan daerah,” tegasnya. (ANP)