Menurut Ifdal, selama ini ketidakmampuan pemerintah untuk memenuhi hak ekonomi, sosial dan budaya bagi masyarakat tidak dilihat sebagai suatu pelanggaran HAM. Padahal, pengangguran, penggusuran masyarakat miskin, pelanggaran hak pangan dan kesehatan, merupakan pelanggaran HAM yang secara mencolok dilakukan oleh pemerintah.
Selain itu, pelanggaran di bidang hak ekonomi, sosial dan budaya, tidak dianggap sebagai pelanggaran yang serius, atau dalam bahasa undang-undang, sebagai pelanggaran HAM berat.
Padahal, apa yang selama ini dipandang sebagai pemulihan ekonomi, tidak lain adalah proses pemiskinan dan kekerasan. Sejak krisis, prekonomian Indonesia ditopang oleh hutang dari IMF. Kebijakan-kebijakan yang disponsori oleh IMF, seperti privatisasi, membawa implikasi pada kebijakan negara di bidang pemenuhan hak ekonomi, sosial dan budaya.
Subsidi berkurang
Dalam laporan Elsam yang bertajuk "Melemahnya Daya Penegakkan HAM: Hutang, Kemiskinan dan Kekerasan", disebutkan, kebijakan yang mendorong percepatan liberalisasi sektor-sektor pelayanan dasar (essential services), secara langsung berdampak pada terus terjadinya pengurangan subsidi secara signifikan yang terakumulasi sejak 1998. Pada saat yang sama, tuntutan besarnya peran swasta menggeser fungsi pelayanan publik dalam penyediaan layanan dasar, seperti kesehatan dan pendidikan.
Dari tabel dibawah, jelas terlihat betapa tingkat kenaikan anggaran sosial dari tahun ke tahun selalu jauh lebih kecil ketimbang besarnya anggaran yang harus disediakan untuk membayar cicilan pokok dan bunga hutang.
Perbandingan Anggaran Sosial dan Utang Luar Negeri Tahun 2000-2002 (dalam juta rupiah)
2000
2001
2002
2003
Anggaran Sosial (Kesehatan, pendidikan dan Pangan)
24,385,200
24.222.699
26.977.500
27.000.000
Pembayaran cicilan pokok dan bunga utang LN
25,313,300
40.052.642
72.966.800
80,900.000
Sebaliknya, pemasukan dalam negeri ditumpukan pada peningkatan jumlah pemasukan dari sektor pajak akibat lambannya laju pertumbuhan ekonomi domestik. Dalam skema efisiensi ini, perubahan mendasar terjadi dengan semakin kecilnya subsidi pada pelayanan dasar dari tahun ke tahun sebagaimana terlihat pada tabel berikut.
Perbandingan Subsidi Pemerintah dalam APBN 2003 dan 2004 (dalam triliun)
Kategori subsidi
2001
Rp
2002
Rp
2003
Rp
2004
Rp
Pangan
2.435
5.3
4.8
5.4
BBM
66.3
30.4
13.6
12.7
Listrik
4.110
4.2
4.5
3.4
Pupuk
Na
1.2
1.3
0.95
Berbagai bentuk pelayanan dasar didorong untuk menjadi urusan privat lebih daripada sebagai layanan publik. Salah-satu yang mecolok adalah perkembangan di bidang kesehatan. Pada 1988, total RS swasta berkisar 289 buah, pada 1998 berkembang menjadi 589 RS atau naik hampir 100%. Sebaliknya, pada periode tahun yang sama, jumlah RS pemerintah hampir tidak mengalami penambahan.
Dalam tahun 2003, besarnya angka bunuh diri yang terjadi akibat ketidakmampuan ekonomi dan menanggung biaya kesehatan, secara jelas menunjukkan ketiadaan akses bagi penduduk miskin atas kesehatan. Dalam tahun 2003, setidaknya terdapat 76 kasus bunuh diri hanya untuk wilayah Jakarta dan sekitarnya, yang sebagaian besar dilandasi ketidakmampuan ekonomi.
Kenaikan pertumbuhan ekonomi sebesar 3,1 persenpada tahun 2003 belum mampu mengurangi jumlah orang miskin yang mengalami kenaikan sebesar 155 persen dari 37,4 juta orang miskin pada 2002.
Penyelesaian konflik
Hal penting lain dari rendahnya pemenuhan masyarakat atas kebutuhan dasar adalah, terfokusnya perhatian pemerintah pada penyelesaian konflik-konflik di tingkat propinsi. Pada 2003 tercatat terjadi lonjakan alokasi anggaran keamanan dengan diajukannya permintaan dana tambahan untuk operasi militer sebesar hampir Rp2,03 triliun.
Secara keseluruhan, penambahan itu membuat proporsi anggaran kemanan pada 2003 mencapai hampir Rp16 triliun, jauh lebih tinggi dari anggaran kesejahteraan sosial yang hanya mencapai sekitar Rp 7 triliun.
Munculnya aksi bersenjata oleh organisasi-organisasi pembebasan di Aceh dan Papua, yang direspon Jakarta dengan menggelar sejumlah OMSP, menjadi penyebab utama menurunnya akses masyarakat terhadap hak atas pangan. Di Papua, tiga warga kampung Kuyawage-Wamena, dilaporkan mati kelaparan menyusul blokade militer di daerah itu dalam rangka operasi pencarian tujuh pucuk senjata yang dirampas anggota Organisasi Papua Merdeka Pada Mei 2003.
Di Aceh, gerakan pemberlakuan Darurat Militer untuk menghancurkan aksi perlawanan GAM menyebabkan sebagian besar pengungsi menderita kelaparan dan kekurangan gizi karena blokade militer dan aksi penyerangan angkutan bahan pangan menghambat penyaluran bahan bantuan.
Penggunaan gedung sekolah sebagai lokasi penempatan pasukan militer dan Brimob di Aceh, yang berlanjut dengan aksi pembakaran gedung sekolah secara masif oleh gerilyawan GAM, menyebabkan ratusan ribu anak sekolah tidak bisa melanjutkan pendidikannya. 15.000 anak SD di Aceh dilaporkan putus sekolah. Dalam tahun 2003, dilaporkan 3,3 juta anak usia 13-15 tahun tersebar di seluruh propinsi belum mendapat layanan pendidikan.
Di Jakarta, sepanjang 2003 tercatat 16 kasus penggusuran yang menyebabkan lebih 8000Kepala Keluargakehilangan tempat tinggal dan lahan bekerja. Aksi penggusuran dilakukan tanpa pengumuman , kompensasi yang memadai atau program relokasi selanjutnya. Dalam eksekusi Pemda bekerjasama dengan polisi, polisi pamong praja, Linmas dan sejumlah preman.