Kasus Ambalat merupakan contoh kasus sengketa perbatasan antara Indonesia dan Malaysia

Konflik Ambalat bermula sejak tahun 1969. Indonesia dan Malaysia menandatangani Perjanjian Tapal Batas Landas Kontinen pada tanggal 27 Oktober 1969. Indonesia meratifikasi perjanjian tersebut pada tanggal 7 November 1969 (Bakhtiar, 2011). Malaysia memasukkan Ambalat ke dalam wilayahnya pada tahun 1979 secara sepihak. Klaim Malaysia atas Ambalat waktu menuai protes negara-negara tetangga seperti Singapura, Filipina, China, Thailand, Vietnam dan Inggris.

ADVERTISEMENT

Indonesia kemudian mengleuarkan protes pada tahun 1980 atas pelanggaran tersebut. Klaim Malaysia atas blok Ambalat ini dinilai sebagai keputusan politis yang tidak memiliki dasar hukum (Gambaran Historik Sengketa di Perairan Ambalat, hal. 65). Menurut Indoensia, garis batas yang ditentukan Malaysia melebihi ketentuan garis ZEE yang telah diatur sejauh 200 mil laut. Klaim Malaysia atas Ambalat disebabkan kandungan minyak bumi yang ada di blok in

Keputusan nomor 102 tanggal 17 Desember 2002 memenangkan Malaysia dengan bukti penguasaan dan pengendalian efektif (Gambaran Historik Sengketa di Perairan Ambalat, hal. 62). Malaysia memang sudah mempunyai kontrol atas kedua pulau tersebut. Ketika Malaysia dijajah Inggris, Inggris pernah melakukan penarikan pajak ke peternak penyu di pulau itu pada tahun 1930-an. Di samping itu, terdapat mercusuar yang bertuliskan dibuat oleh Inggris.

ADVERTISEMENT

Setelah keputusan ICJ pada tahun 2002, konflik blok Ambalat semakin mencapai eskalasi. Malaysia terlibat beberapa kali pelanggaran kedaulatan wilayah NKRI. Pada16 Februari 2005, Malaysia secara sepihak mengumumkan bahwa Blok ND-6 dan ND-7 merupakan konsensi perminyakan baru yang dioperasikan oleh Shell dan Petronas Carigali. Padahal wilayah tersebut merupakan wilayah yang bertumpang tindih dengan wilayah Ambalat dan Ambalat Timur. Malaysia juga melakukan pengejaran terhadap kapal nelayan Indonesia. KD Sri Melaka mengejar dan menembak KM Jaya Sakti 6005, KM Irwan dan KM Wahyu-II di Laut Sulawesi pada tanggal 7 Januari 2005 (Gambaran Historik Sengketa di Perairan Ambalat, hal. 77). Sampai dengan tahun 2012 berdasarkan data yang berhasil dikumpulkan telah terjadi sekitar 475 kali pelanggaran yang dilakukan Malaysia baik lewat laut,darat dan udara dengan perincian sebagai berikut : (a) Tahun 2005 ada 38 kali pelanggaran,(b) Tahun 2006 ada 62 kali pelanggaran,(c) Tahun 2007 ada 143 kali pelanggaran,(d) Tahun 2008 ada 104 kali pelanggaran, (e) Tahun 2009 ada 25 kali pelanggaran, (f) Tahun 2010 ada 44 kali pelanggaran,(g) Tahun 2011 ada 24 kali pelanggaran, (h) Tahun 2012 ada 35 kali pelanggaran.

ADVERTISEMENT

Setelah lama bertikai, konflik Ambalat mulai mendapatkan titik perdamaian. Masa de-eskalasi dimulai sejak tahun 2009 ketika kedua negara menahan diri dari serangan. Pemimpin kedua negar mempunyai andil dalam timbulnya de-eskalasi konflik Ambalat. Presiden Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Malaysia Abdullah Ahmad Badawi berusaha untuk mencegah adanya konflik di antara kedua negara. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memiliki beberapa pertimbangan dalam menjalin hubungan damai dengan Malaysia pasca sengketa Ambalat. Pertama, Indonesia dan Malaysia memilik kedekatan budaya dan sejarah yang telah terjalin ratusan tahun lalu serta perlu dijaga,kedua, hubungan bilateral antara kedua pendiri ASEAN adalah pilar penting bagi ASEAN dan membantu perkembangannya yang pesat, ketiga, 1,2 juta penduduk Indonesia di Malaysia, termasuk di antaranya 13.000 pelajar Indonesia merupakan aset berharga kedua negara. PM Malaysia Abdullah Ahmad Badawi sendiri memperkenalkan konsep Islam Hadhari (peradaban Islam). Dalam konteks hubungan internasional, Islam Hadhari menekankan adanya menghormati hukum internasional, kedaulatan negara, institusi internasional dan integrasi wilayah. Dalam kaitannya dengan konflik, Islam Hadhari mengajarkan untuk mengutamakan negosiasi dan mencegah adanya penggunaan militer

ADVERTISEMENT

Indonesia tetap berpegang pada aturan UNCLOS yang menentukan bahwa batas landas kontinen dihitung sejauh 200 mil laut dari garis pangkal (UNCLOS pasal 76) dan Zona Ekonomi Ekslusif suatu negara juga diukur sebesar 200 mil laut (UNCLOS pasal 57). Lebih dari itu, Indonesia mengwali konsep negara kepulauan (archipelagic state) melalui Deklarasi Djuanda 1957, kemudian memperjuangkan konsep yang ada di dalam Deklarasi Djuanda ke dalam forum UNCLOS sehingga batas landas kontinen 200 mil dapat diakui secara internasional.

Indonesia dalam kasus Ambalat tetap berpegang pada posisinya yang memasukkan Ambalat sebagai wilayah Indonesia. Ambalat merupakan kelanjutan alamiah dari lempeng benua Kalimantan. Letaknya pun masih di dalam 200 mil dari garis dasar. Fakta inilah yang menguatkan bahwa Ambalat berada dalam kedaulatan Indonesia. Indonesia pun telah melakukan eksploitasi pada blok Ambalat

ADVERTISEMENT

Malaysia telah melakukan klaim sepihak dengan memasukkan Ambalat ke dalam wilayah mereka sejak 1979. Malaysia sendiri menyebut Ambalat sebagai blok ND6 dan ND7. Malaysia telah mengkaim dirinya sebagai negara kepulauan dengan dasar bahwa mereka telah memiliki hak pengelolaan atas dua pulau yaitu Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. Kedua pulau tersebut jatuh ke tangan Malaysia berdasarkan keputusan akhir ICJ No. 102 tahun 2002. Sebagai negara pantai biasa oleh pengaturan dalam United NationsConvention on the Law Of the Sea 1982 dinyatakan bahwa Malaysia hanya diperbolehkan menarik garis pangkal biasa (normal baselines) atau garis pangkal lurus (Straight Baselines), karena alasan ini seharusnya Malaysia tidak diperbolehkan menarik garis pangkal lautnya dari pulau Sipadan danLigitan karena Malaysia bukan merupakan negara pantai

ADVERTISEMENT

Terdapat tiga faktor yang meningkatkan eskalasi konflik Indonesia dan Malaysia di wilayah Ambalat menurut Druce dan Baikoeni. Ketiga faktor tersebut adalah:

1. Faktor ekonomi. Baik Indonesia dan Malaysia sama-sama menginginkan Sebagaimana yang telah penulis bahas sebelumnya, Ambalat merupakan wilayah laut yang memiliki kekayaan alam berupa minyak bumi.

2. edia dan sentimen kebangsaan. Dalam konflik Ambalat, media sangat mempengaruhi kebijakan negara dan sikap masyarakat terhadap sebuah peristiwa. Druce dan Baikoeni menggambarkan bagaimana media di Indonesia dan Malaysia mampun menggiring opini publik untuk menyerang lawan masing-masing.

3. Pemerintah dan penegak hukum. Druce dan Baikoeni menggambarkan bagaimana perang opini antara pemerintah Indonesia dan Malaysia begitu sengit. Masing-masing memprovokasi massa dalam menanggapi kasus Ambalat.

ADVERTISEMENT

NCLOS (United nations convention law of the sea) merupakan suatu badan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang membuat peraturan, dan salah satunya mengenai perikanan intemasional. Semua negara yang menjadi anggotanya berkewajiban mengacu pada pasal-pasal yang telah disetujui, dalam mengelola sumberdaya perikanannya dan yang berhubungan antara satu negara dengan negara yang lain. Dalam konflik Ambalat pasal-pasal yang dapat dianalisis adalah sebagai berikut:

1. UNCLOS 1982 article 46, Archipelagic States

2. UNCLOS 1982 article 47, Archipelagic Baselines

3. UNCLOS 1982 article 57

4. UNCLOS 1982 article 76

5. UNCLOS1982 article 77, Continental Shelf

Dari tulisan ini, dapat diambil kesimpulan bahwa sengketa wilayah Ambalat merupakan konflik bilateral antara Indonesia dengan Malaysia. Konflik Ambalat dipicu pelanggaran Malaysia yang memasukkan Ambalat ke dalam wilayah negaranya tahun 1979. Indonesia beerkali-kali melakukan protes kepada Malaysia hingga membawa kasus ini ke ranah ICJ. Namun, ICJ memutuskan bahwa Sipadan dan Ligitan menjadi wilayah Malaysia pada tahun 2002. Setelah keputusan ICJ tersebut, Indonesia dan Malaysia berkonfrontasi secara militer di perairan Sulawesi. Barulah pada tahun 2009 kedua negara sepakat untuk menahan diri dari serangan dan menyelesaikan kasus ini secara diplomatis

Foto ini mungkin mengganggumu, apakah tetap ingin melihat?

Lihat
ADVERTISEMENT

Video

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA