Kapan putusan mk tentang pilpres 2022

  • detikcom
    • Terpopuler
    • Kirim Tulisan
    • Live TV NEW
    • Ramadan NEW

Daerah

  • Jateng
  • Jatim
  • Jabar
  • Sulsel
  • Sumut
  • Bali

MAHKAMAH Konstitusi (MK) kembali menolak permohonan uji materi soal ambang batas pencalonan presiden yang diatur dalam Pasal 222 Undang-Undang No.7/2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) terhadap UUD 1945.

Pasal itu sudah diuji beberapa kali di MK, kali ini Mahkamah berpendapat perseorangan atau warga negara yang punya hak pilih, tidak mempunyai kedudukan hukum mengajukan permohonan ambang batas pencalonan presiden.

"Bahwa subjek hukum yang memiliki hak konstitusional untuk mencalonkan presiden dan wakil presiden adalah partai politik, atau gabungan partai politik peserta pemilu. Hal itu telah secara eksplisit dalam Pasal 6 A ayat 2 UUD 1945," ujar Hakim Konstitusi Arief Hidayat membacakan pertimbangan hukum dalam putusan perkara No. 66/PUU-XIX/2021 yang diajukan oleh Ferry Joko Yuliantoro di ruang sidang pleno MK, Jakarta, Kamis (24/2).

Bunyi Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945 adalah "Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum." Lalu,

Pasal 222 UU Pemilu berbunyi "Pasangan calon diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya".

Mahkamah, terang Hakim Konstitusi Arief Hidayat, pernah memberikan memberikan kedudukan hukum pada perseorangan warga negara yang menguji norma ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden. Namun, karena ada perbedaan sistem pencalonan pada pemilu 2014 dan 2019 dengan pemilu 2024, ujarnya, putusan MK pada 2020 bergeser bahwa pihak yang berhak mengajukan permohonan persyaratan ambang batas untuk calon presiden dan wakil presiden in casu Pasal 222 UU Pemilu adalah partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu.

"Sedangkan pada pemilih tahun 2019, pemilih telah mengetahui bahwa hasil pemilihan anggota legislatif dipakai untuk menentukan presiden dan calon presiden pada pemilu 2024," tuturnya.

Mahkamah menilai, perseorangan warga negara yang memiliki hak untuk dipilih juga dapat mengajukan pengujian norma ambang batas pencalonan presiden, sepanjang ia dapat membuktikan dukungan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu.

Baca juga: Gus Yaqut Dituding Bandingkan Suara Adzan dan Anjing, Ini Pembelaan Kemenag

Adapun mengenai dalil pemohon yang menyebut ketentuan Pasal 222 UU No.7/2017 membatasi hak konstitusional pemohon untuk mendapatkan calon alternatif presiden dan wakil presiden lebih dari dua, atau besar kemungkinan calon tunggal, menurut Mahkamah hal tersebut tidak beralasan. Sebab, terang Arief, pemohon mengetahui hasil hak pilihnya pada pemilu 2019 akan digunakan sebagai bagian dari ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden 2024.

"Persoalan jumlah calon yang berkontestasi pada pemilu 2024, menurut Mahkamah tidak berkolerasi dengan Pasal 222 UU Pemilu karena tidak membatasi hak konstitusional pemohon dalam memilih," ujar dia.

Karena alasan-alasan itu, Mahkamah menyatakan permohonan itu tidak dapat

diterima. "Menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima," ucap Ketua MK Anwar Usman membacakan putusan.

Mahkamah juga menyatakan permohoan pengujian pasal yang sama tidak dapat diterima karena para pemohon dianggap tidak memiliki kedudukan hukum. Perkara-perkara itu yakni Nomor 70/PUU-XIX/2021 yang diajukan oleh mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo,

perkara Nomor 68/PUU-XIX/2021 yang dimohonkan Bustami Zainuddin anggota DPD RI, perkara Nomor 5/PUU-XX/2022 oleh pemohon Lieus Sungkharisma, perkara Nomor 6/PUU-XX/2022 oleh pemohon Tamsil Linrung, dan perkara Nomor 7/PUU-XX/2022 pemohon Ikhwan Mansyur Situmeang.

Perbedaan Pendapat

Empat hakim konstitusi yakni Enny Nurbaningsih, Manahan MP Sitompul, Saldi Isra dan Suhartoyo mempunyai pandangan berbeda (dissenting opinion) dalam putusan mengenai ambang batas pencalonan presiden. Menurut mereka,

pemohon seharusnya dinyatakan memiliki kedudukan hukum dalam mengajukan pengujian pasal a quo.

"Pemohon telah dapat mengkonstruksikan argumentasi hubungan sebab-akibat antara anggapan kerugian konstitusional pemohon dengan berlakunya norma Pasal 222 UU No.7/2017 sehingga apabila permohonan dikabulkan, kerugian tersebut tidak terjadi," ujar Hakim Konstitusi Manahan MP. Sitompul.

Keempat hakim mengangap para pemohon punya kedudukan hukum karena pemberlakuan Pasal 222 UU No.7/2017 menyebabkan para pemohon tidak mendapatkan jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil. "Demi melindungi hak konstitusional warga negara, empat hakim konstitusi berpendapat tidak terdapat alasan yang mendasar untuk menyatakan pemohon tidak memiliki kedudukan hukum mengajukan permohonan a quo," tuturnya

Pada kesempatan itu, MK juga memutus perkara Nomor 71/PUU-XIX-2021 terkait materi Pasal 372 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Pasal 30 UU No.42/1999 tentang Jaminan Fudisia terhadap UUD 1945. Mahkamah mengabulkan permohonan para pemohon yakni Johanes Halim dan Syifani Lovatta Halim untuk sebagian.

"Mengabulkan permohonan para pemohon untuk sebagain. menyatakan frasa "pihak yang berwenang" dalam penjelasan Pasal 30 UU No.42/1999 tentang Jaminan Fudisia bertentangan dengan UUD 1945 yang tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai pengadilan negeri," ucap Hakim Konstitusi Anwar Usman.

Lalu, Mahkamah juga membacakan putusan perkara PUU 1/PUU-XX/2022

perihal batas mininum usia calon anggota Komisi Pemilihan Umum. Pemohon Musa Darwin Pane, menguji norma Pasal 21 ayat (1) huruf b UU No.7/2017 tentang Pemilihan Umum yang menyatakan usia minimum menjadi calon anggota KPU RI adalah 40 tahun. Ia beralasan bakal calon anggota KPU 2022-2027 karena ketika mendaftar baru berusia 39 tahun 7 bulan.

Menurut Mahkamah pemohon hanya menguraikan kerugian konstitusional yang dialaminya padahal dalam permohonan a quo, pemohon memohon pengujian seluruh materi muatan Pasal 21 ayat (1) huruf b UU Pemilu.

Pasal itu tidak hanya mengatur batasan usia mendaftar anggota KPU saja, tapi juga anggota KPU provinsi dan kabupaten/kota.

"Pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo sehingga permohonan pemohon tidak dipertimbangkan," ucap Hakim Konstitusi Anwar Usman. (OL-4)

Mahkamah Konstitusi hari ini menggelar sidang perdana pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang diajukan oleh Yusril Ihza Mahendra.

Berdasarkan jadwal sidang MK hari ini, sidang beragenda pemeriksaan pendahuluan akan dilangsungkan pukul 13.30 WIB dan dipimpin majelis panel terdiri dari Hakim Konstitusi Arief Hidayat sebagai ketua didampingi Hakim Konstitusi Fadlil Sumadi dan Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati.

Dalam permohonannya, Yusril menguji Pasal 3 ayat (4) UU Pilpres yang mengatur: "Hari, tanggal, dan waktu pemungutan suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden ditetapkan dengan keputusan KPU".

Selanjutnya Pasal 9 UU Pilpres yang mengatur: "Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

Pasal 14 ayat (2) UU Pilpres yang mengatur: "Masa pendaftaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, paling lama tujuh hari terhitung sejak penetapan secara nasional hasil Pemilu anggota DPR".

Dan Pasal 112 UU Pilpres yang mengatur: "Pemungutan suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan paling lama tiga bulan setelah pengumuman hasil pemilihan umum anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.

Yusril yang telah diputuskan Partai Politik Bulan Bintang sebagai Calon Presiden pada Pilpres 2014 merasa dirugikan atau berpotensi dirugikan hak-hak konstitusionalnya dengan berlakunya pasal-pasal tersebut.

Yusril menilai Pasal 9 UU Pilpres bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) dan Pasal 22E ayat (3) UUD 1945, karena memanipulasi kata "pemilihan umum".

"Apabila perolehan kursi masing-masing partai peserta pemilihan umum telah diketahui, maka partai politik tersebut bukanlah partai politik peserta Pemilu, juga kata sebelum pelaksanaan pemilihan umum karena yang dimaksud adalah pemilihan umum DPR dan DPRD yang pesertanya partai politik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6A ayat (2) dan Pasal 22E ayat (3) UUD 1945," demikian bunyi permohonan Yusril.

Sedangkan norma Pasal 14 UU Pilpres bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945, karena jika yang dimaksudkan dalam mendaftarkan setelah penetapan secara nasional hasil Pemilu anggota DPR, maka pada saat itu partai politik atau gabungan partai politik bukan lagi peserta pemilihan umum.

Menurut Yusril, UUD 1945 tidak secara spesifik mengatur urutan penyelenggaraan pemilihan umum, namun jika dibaca Pasal 22E ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 menunjukan bahwa pemilihan umum yang dimaksudkan diadakan satu kali (secara serentak), sehingga Pasal 3 ayat (4), Pasal 9, Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 112 bertentangan dengan norma Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 7C UUD 1945.

Yusril juga menilai hal-hal yang diatur dalam Pasal 3 ayat (4), Pasal 9, Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 112 UU Pilpres tidaklah sungguh-sungguh untuk melaksanakan atau menegakkan norma-norma konstitusi, namun justru untuk menghalangi munculnya calon Presiden dan Wakil Presiden dari kekuatan partai lain.

Bahwa kekhawatiran calon Presiden dan Wakil Presiden akan terlalu banyak sehingga harus dibatasi dengan presidential threshold menjadi kehilangan relevansinya karena pada Pemilu 2014 hanya diikuti oleh 12 Partai Politik Nasional dan 3 Partai Lokal Aceh.

Jika Pemilu 2014 akan diikuti oleh 12 Pasang Calon menurut pemohon masih berada dalam batas yang wajar, kata Yusril.

Sumber: antaranews.com

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA