Academia.edu no longer supports Internet Explorer. Show To browse Academia.edu and the wider internet faster and more securely, please take a few seconds to upgrade your browser. Bagi saya, tradisi palang pintu masyarakat Betawi akan selalu menjadi kenangan indah masa kecil. Sebagai seseorang yang menghabiskan masa kecilnya di perkampungan Betawi di Depok, Jawa Barat, saya cukup familiar dengan kemeriahan pesta warga Betawi. Perayaan pernikahan adalah salah satu favorit saya. Bagian yang paling saya ingat tentunya adalah rentetan suara petasan yang membahana serta adegan adu silat menggunakan golok yang memacu adrenalin para penonton. Bahkan tidak jarang mereka (penyelenggara pernikahan) menyediakan atraksi yang cukup ngeri layaknya jathilan ala Betawi. Bagi anak usia SD macam saya waktu itu, pernikahan tak hanya menjadi sesuatu yang formal maupun sakral. Justru prosesi pernikahan menjadi sebuah pesta yang menebar hiburan dan kebahagiaan bagi warga sekitar. Meriah. Itulah kata yang saya akan pilih jika saya diminta mendeskripsikan budaya masyarakat Betawi dalam satu kata. Tak terkecuali tradisi palang pintu. Sejarah dan asal-usul tradisi palang pintuTidak ada yang tahu pasti sejak kapan tradisi palang pintu ini dimulai. Namun berdasarkan banyak sumber, tradisi ini sudah dimulai dari cerita Si Pitung (1874-1903) sebagai salah satu tokoh Betawi yang tersohor. Kala itu Si Pitung hendak memperistri Aisyah, putri dari Murtadho, seorang Jawara yang memiliki julukan Macan Kemayoran. Konon katanya, Si Pitung berhasil membuat sang Macan Kemayoran tunduk. Dalam konteks ini, Murtadho berperan sebagai palang pintu bagi putrinya. Seperti namanya, tradisi palang pintu dapat didefinisikan dari kata ‘palang’ dan ‘pintu’. ‘Palang’ dapat diartikan sebagai penghalang agar siapapun tidak mudah lewat, sedangkan ‘pintu’ dapat diartikan sebagai akses masuk ke tempat tertentu. Dengan kata lain, palang pintu ini dapat dimaknai sebagai proses menghalangi pria sebelum bisa mendapatkan perempuan yang ingin ia pinang. Secara umum, palang pintu adalah upaya untuk menghalangi dan menguji kepiawaian mempelai laki-laki agar mampu memperhatikan norma dan adat yang berlaku di lingkungan pihak keluarga mempelai perempuan. Tindakan menghalangi ini dulu dilakukan dengan adu seni bela diri. Proses tradisi palang pintuTerdapat beberapa tahapan dalam rangkaian tradisi palang pintu, yakni salawat dustur, balas pantun, beklai, dan lantun sike. Keempat tahapan ini merupakan sebuah keharusan bagi pengantin laki-laki sebagai syarat pelaksanaan palang pintu.
Pelaku tradisi palang pintu terdiri atas 3 jawara atau jagoan silat (2 dari pihak perempuan dan 1 dari pihak laki-laki, 2 orang juru pantun dari masing-masing pihak mempelai, 3 pemukul rebana ketimpring, 3 pembaca salawat, dan 1 orang pembaca sike. Makna dan harapanMeski dilakukan dengan sandiwara dan akting, tradisi palang pintu ini mampu menjadi hiburan yang menarik. Dan yang paling penting adalah maknanya. Adu silat yang seharusnya dapat berarti taruhan nyawa menunjukkan bahwa tali pernikahan tidak mudah untuk didapatkan, sehingga juga tidak mudah untuk diputuskan. Para mempelai harus paham bahwa untuk menikah perlu ada pengorbanan. Selain makna di dalamnya, tradisi palang pintu juga memiliki manfaat dari kemeriahannya. Dengan menjadikan proses pernikahan yang meriah dan menghibur warga sekitar, kedua mempelai akan terhindar dari segala bentuk fitnah dan dikenal oleh masyarakat sekitar sebagai pasangan yang sah. Selain itu, dalam tradisi palang pintu kita bisa pahami terdapat 2 jenis tindakan, yakni tindakan lewat mulut (adu pantun dan melafalkan salawat) serta lewat aksi fisik (adu silat). Harapannya, pihak laki-laki sebagai kepala keluarga harus mampu mendidik keluarganya dengan lembut dan penuh kasih sayang di dalam rumah. Sedangkan di luar rumah ia juga harus mampu menjaga dan melindungi keluarganya dari bahaya apapun. Karena menurut para budayawan Betawi, “buat apa jago kelahi tapi gak bisa mengaji.” Harus ada keseimbangan antara tutur bahasa dan gerakan tubuh; antara hati dan tangan; antara pikiran dan perbuatan. Semoga tradisi palang pintu ini dapat menjadi inspirasi bagi tiap pasangan di luar sana. Tak hanya sebagai hiburan maupun tradisi, maknanya juga harus kita tanamkan dalam hati. ReferensiLahama, T. B. (2018, Juli 4). MENGENAL “PALANG PINTU”, TRADISI ORANG BETAWI. Diambil kembali dari Muda Kompas Prosesi Palang Pintu Pernikahan Adat Betawi. (2016, Januari 18). Diambil kembali dari Seputar Pernikahan Rizky, M. (2019, Februari 16). Hikayat Palang Pintu, Tradisi Betawi yang Sarat Makna. Diambil kembali dari Okenews Roswita, D. (2013). Tradisi Buka Palang Pintu : Transformasi Tradisi Upacara Menuju Komoditas. FISIP UI. Palang Pintu merupakan tradisi yang menjadi bagian dari upacara pernikahan masyarakat Betawi. Palang pintu menggabungkan seni beladiri dengan seni sastra pantun. Dalam tradisi ini, jawara yang bertindak sebagai perwakilan mempelai laki-laki dan perempuan akan saling menunjukan kemampuan memperagakan gerakan silat dan melontarkan pantun satu sama lain.[1] Setelah menunjukkan beberapa gerakan silat dan saling berbalas pantun, baru rombongan mempelai pria bisa masuk ke area rumah mempelai perempuan untuk melanjutkan prosesi pernikahan.
Tradisi palang pintu menyimbolkan ujian yang harus dilalui mempelai laki-laki untuk meminang pihak perempuan. Jawara dari daerah asal laki-laki harus bisa mengalahkan jawara yang berasal dari daerah tempat tinggal perempuan. Hal ini sesuai dengan pelaksanaannya di mana rombongan mempelai laki-laki harus melewati hadangan tantangan yang diberikan oleh pihak perempuan. Sementara itu, berbalas pantun dimaknai sebagai manifestasi dari diplomasi. Palang Pintu juga berfungsi untuk mendekatan hubungan antarkampung dan antarkeluarga.[2] Meski identik dengan acara pernikahan, Palang Pintu juga bisa digunakan untuk acara lain seperti penyambutan tamu dan peresmian kantor.[3]Tiga pemain legendaris Liverpool F.C., Gary McAllister, Patrik Berger, dan Jason McAteer pernah merasakan disambut dengan Palang Pintu dalam kunjungannya ke Indonesia sebagai bagian dari rangkaian acara LFC World Tour Jakarta. Saat menyambangi Setu Babakan pada Maret 2018, ketiganya menyaksikan dengan saksama prosesi tersebut.[4]
Menguji Kemampuan Pendatang Untuk acara perkawinan, tradisi palang pintu berguna untuk menguji ilmu dari pengantin laki-laki untuk berani mempersunting mempelai perempuan. Pada dasarnya, jawara suatu daerah pasti akan menguji kemampuan kita sebagai pendatang setiap kita pergi ke kampung lain. “Jika nggak bisa kalahin jawara dia nggak boleh kawin, walaupun dia sama-sama suka” ujar Adit. Proses Palang Pintu Pada tradisi ini, terdapat beberapa orang yang melakukan proses tersebut. Terdiri atas dua jagoan dari pihak perempuan, satu jagoan dari pihak laki-laki, satu orang juru pantun dari masing-masing pihak, tiga pembaca shalawat dustur, satu pembaca sike, dan tim musik yang memainkan alat musik Rebana Kecimpring untuk mengiringi mempelai laki-laki. Syarat utama mempelai laki-laki mempersunting mempelai perempuan ada dua, yaitu bisa mengalahkan jawara dan pintar dalam mengaji. Laki-laki jika berada dirumah berkewajiban untuk pandai mengaji agar bisa menjadi kepala keluarga yang baik. Sementara diluar, laki-laki haruslah pandai bersilat agar bisa melindungi keluarganya. “Tidak boleh asal mukul saja, makanya harus belajar ngaji sebelumnya” ungkap Adit. Dengan hal itu, kita dapat mengetahui kualitas pengantin laki-laki. Selain itu, terdapat tahapan-tahapan dalam menjalankan proses palang pintu, yaitu Shalawat dustur, beklai, dan lantun sike. Terdapat Unsur Silat Dalam tradisi palang pintu juga terdapat unsur bela diri, yaitu silat. Jenis yang dipakai adalah silat cingkrik dari wilayah Rawa Belong, daerah Sukabumi Utara dan Kebon Jeruk Jakarta Barat. Sekilas terlihat seperti tarian, akan tetapi kecepatan tangan dan kaki membuat kita yakin seperti sungguhan. Silat Cingkrik sendiri merupakan murni bela diri, namun sekarang ini ia juga digunakan sebagai seni pertunjukan. Tim Sanggar Kelapa sedang memeragakan gerakan silat.
Pelengkap dalam Setiap Penampilan Dalam setiap pertunjukannya, Adit bersama tim membawa kembang kelapa. Adit mengungkapkan alasan diambilnya pohon kelapa karena semua bagian pohon kelapa yang ada dapat digunakan mulai dari akar hingga buahnya. Sehingga dengan adanya kembang kelapa tersebut bertujuan agar ketika sudah menjadi kepala rumah rumah tangga yang sah dapat berguna dari segala hal baik keluarga maupun di masyarakat. Tidak lupa kita juga harus membawa roti buaya sebagai seserahan kepada mempelai perempuan yang menandakan mempelai laki-laki telah siap menikah dan akan setia selamanya seperti filosofi buaya yang tidak akan menikah lagi meskipun pasangannya mati. “Namanya buaya tuh seumur hidupnya nggak bakal ganti pasangan” ucap Adit. Tidak hanya itu roti buaya sebagai simbol keberanian dari mempelai laki-laki akan melibas semua tantangan yang ada sebagai kepala rumah tangga. “Buaya adalah hewan yang berani melawan arus sebagai simbol berani yang menerjang apapun yang ada di keluarganya” kata Adi.
Alasan roti yang dibawa pada seserahan pada nikahan karena pada zaman dahulu bagi orang Betawi, roti adalah makanan yang paling mewah. Pada zaman itu hanya orang Belanda saja yang memakan roti dan orang Betawi hanya memakan jenis umbi-umbian seperti singkong, ubi, dan lain-lain. Seorang anak muda sedang menancapkan kembang kelapa.
Penampilan saat Beraksi Penampilan saat beraksi harus sangat diperhatikan, terutama masalah pakaian. Kostum yang dikenakan para pemain palang pintu terdiri atas pakaian adat Betawi sehari-hari. Untuk laki laki adalah berupa baju Koko (Sadariah). Baju Koko Betawi berwarna polos, sedangkan pada bagian bawah memakai celana panjang dengan corak batik yang dengan warna dasar putih, coklat atau hitam. Sebagai aksesoris /pelengkap memakai pelekat berupa sarung yang ditaruh di pundak dan peci hitam. Lebih Peduli dengan Kebudayaan Daerah Sebagai generasi muda, seharusnya kita dapat menjaga dan melestarikan budaya dari masing-masing daerah termasuk budaya Betawi. Adit berpesan agar generasi muda lebih peduli dengan kebudayaan daerah dan dapat melestarikannya melalui tindakan nyata. “ Dari Ciawi ke Cabang Bugin, Ke Cipete lewat Semanggi… Ini Budaya Betawi kudu dikembangin, kalau bukan kita siapa lagi?” tutup Adit dengan pantun. Penulis : Theodorus Budiarjo Lahama/Muda Berkata Editor : Kompas Corner/Nico Wiranito Foto : Theodorus Budiarjo Lahama |