Jenis kesenian yang dikembangkan oleh lesbumi antara lain sebagai berikut kecuali

Lesbumi Hadapi Tantangan Pragmatisme Kebudayaan
Ahad, 10 Juni 2007 20:49

Jenis kesenian yang dikembangkan oleh lesbumi antara lain sebagai berikut kecuali
Jakarta, NU Online
Sifat kebudayaan yang pragmatis atau lebih dikenal dengan kebudayaan populer, kini menjadi tantangan bagi Lembaga Seni dan Budaya Muslim Indonesia (Lesbumi) untuk menghasilkan kebudayaan dan kesenian yang manusiawi dan berkualitas.

“Ini membutuhkan pemikiran besar dan visioner bahwa ke depan kita harus menguasai dan kita berjuang kembali dari nol. Sebenarnya orang yang segaris dengan Lesbumi masih banyak, cuma masih berserakan, ” tutur Pemimpin Redaksi NU Online Mun’im DZ saat memberikan kilas balik Lesbumi dalam rapat koordinasi Pimpinan Pusat Lesbumi di Jakarta, Sabtu.

Dikatakan Peneliti Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi Sosial (LP3ES) itu, Lesbumi sendiri dilahirkan pada tahun 1962 sebagai respon terhadap kondisi politik saat itu. Lesbumi menentang Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra) dengan konsep Manifesto Kebudayaan-nya atau dikenal dengan istilah Manikebu. Selain PKI sendiri, Lesbumi menentang keras imperialisme Barat.

Sejak awal berdirinya, Lesbumi tidak hanya hidup untuk berkesenian seperti prinsip yang dimiliki oleh Manikebu dengan prinsip art for art atau berkesenian untuk kesenian sementara Lesbumi prinsipnya art for humanity atau seni untuk kemanusiaan. “Apakah ini masih bisa kita pegangi terus atau kita ikut manikebu yang indah-indah, yang bagus-bagus, tanpa ada misi-misi kebudayaan dan moral tertentu,” paparnya.

Namun Mun’im percaya bahwa sebuah arus akan mengalami titik jenuh, hal yang sama juga akan dialami oleh kesenian pop. Karena itu Lesbumi diharapkan bisa menampilkan karya-karya lama berkualitas yang dimasa mendatang bisa menjadi spirit dan mainstream baru.

Dijelaskannya bahwa sebenarnya keberadaan Lesbumi waktu itu tidak hanya berfungsi sebagai badan otonom atau lembaga NU, tetapi sebagai think thank di bidang politik kebudayaan. Karena itu, keberadaan dewan kebudayaan saat ini sangat penting untuk menjalankan fungsi tersebut.

Pada masa Trikora untuk memperebutkan Irian Barat Lesbumi mendukung dalam berbagai kegiatan kesenian. “Disini, dewan kebudayaan bisa mengendalikan arah politik dan menjalankan misi politik untuk kebebasan,” katanya.

NU juga mendukung revoluasi yang belum selesai yang dicetuskan oleh Soekarno. Dukungan ini terkait dengan pembelaan NU terhadap Pancasila yang menurut Soekarno merupakan produk filsafat yang sangat tinggi, lebih tinggi daripada Declaration of Human Right dan Manifesto Komunis.

Mun’im menjelaskan kekuatan imperialis Barat bekerjasama dengan Orde Baru telah mematikan budaya dan kesenian yang berbasis pada kerakyatan dan kebangsaan. Ini untuk menjaga kepentingan politik imperialis, dan hal ini menguntungkan Orde Baru karena dengan hilangnya nuansa kerakyatan dan kebangsaan pada seni dan budaya maka akan muncul seni dan budaya baru yang menjadi ciri khas Orde Baru.

Pada waktu itu, Lesbumi paling menguasai teknologi perfilman dan mampu menghasilkan film-film berkualitas ketika Lekra yang dianggap paling maju belum bisa membuatnya. Film seperti Darah dan Doa dan Film Pagar Kawat Berduri mencerminkan visi yang dimiliki Lesbumi.

Di sisi lain, Lesbumi juga tidak meninggalkan kesenian tradisional di masyarakat tingkat bawah mengingat NU sangat menghargai keragaman seni. “Ada yang selera seninya tinggi, menengah, atau rendah, sehingga semua harus dikelola, kalau seleranya baru kuda lumping atau reog ya harus ditanggapi,” (mkf)

Lesbumi, Ikon Modernitas NU

A Qorib Hidayatullah, Pustakawan Poestaka Rakjat Malang Peresensi: A Qorib Hidayatullah Beragam judul buku bermunculan guna merekam gerak avonturus NU menjelang satu abad. Nur Khalik Ridwan, misalnya, beberapa bulan silam ia bikin buku yang berjudul NU dan Neoliberalisme: Tantangan dan Harapan Menjelang Satu Abad (Februari 2008). Nur Khalik merupakan penulis prolifik intelektual muda NU yang berijtihad literasi kreatif karena prihatin akan tempaan nasib yang dialami organisasinya ke depan. Dalam bukunya, Nur Khalik membaca gejala amuk neoliberalisme yang ditengarai gampang meremuk-redamkan masa depan warga NU. Pendeknya, Nur Khalik melacak tantangan NU di masa mendatang. Berbeda dengan Nur Khalik, penulis buku ini, Choirotun Chisaan, malah bernostalgia hendak meraih ikon berharga NU yang kini lambat laun ditengarai terancam lenyap. Ikon itu adalah Lesbumi (Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia) yang konon dielu-elukan sebagai penanda kemodernan di tubuh NU. Sejak menarik diri dari Partai Masyumi pada 1952, Partai NU berupaya memodernisasi dirinya. Hal ini dibuktikan bahwa di tubuh Partai NU pun memiliki perhatian pada bidang pendidikan, dakwah, sosial, ekonomi, pertanian, perempuan, pemuda, dan buruh. Sehingga pada gilirannya, Partai NU mulai merangsek ke bidang lainnya, yaitu Lesbumi. Lesbumi dibentuk pada 1962. Berbagai macam artis, pelukis, bintang film, pemain panggung, dan sastrawan terhimpun di lembaga ini. Tak ayal, Lesbumi pun beranggotakan ulama yang memiliki dasar seni yang cukup baik. Kehadiran Lesbumi tak semulus yang diharapkan. Lembaga ini mengundang polemik dengan munculnya anggapan bahwa Lesbumi sebagai penggerogot martabat NU (hlm. 117). Ekses gerak kesenian Lesbumi berimplikasi memicu keresahan di kalangan ulama. Ulama berbeda perspektif (ikhtilaf) dalam menyikapi ihwal kesenian modern yang diusung Lesbumi. Misalnya, sikap ulama Pasuruan yang mengharamkan drama, sementara ulama Jogjakarta membolehkannya. Kendati demikian, kesan kuat tampilnya Lesbumi di tubuh NU menjadikan penanda kemodernan penting, di mana seni budaya merupakan bidang fokus perhatian baru bagi NU. Bahkan, pengurus Ranting NU Telogosari, Pasuruan, Jatim, lewat sebuah surat yang dilayangkan ke PBNU (PP Lesbumi) tertanggal 1 Maret 1963, menghendaki agar PP Lesbumi memberi tuntunan untuk melaksanakan kesenian dalam Islam selain kesenian diba', hadrah, jam'iyatul qurra', dan pencak (hlm. 119). Mereka menginginkan agar bentuk kesenian modern, seperti gambus, drama, teater, dll, diberikan tuntunannya karena mereka tidak ingin ketinggalan zaman. Di samping itu, Lesbumi sebagai ikon modernitas NU tentu tak luput dari siapa yang berperan dan terlibat aktif mengurusi lembaga ini. Pengurus-pengurus Lesbumi memiliki latar belakang berbeda dibanding warga NU kebanyakan. Bila berkomitmen merujuk AD dan ART NU menyangkut keanggotaan --baik sebelum NU menjadi partai politik (1926) maupun sesudahnya (1952)-- bisa dimahfumi bahwa seniman dan budayawan leluasa bergabung dengan Partai NU. Dengan begitu, seniman-budayawan dapat dikategorikan sebagai anggota ''bukan guru agama'' (ulama). Citra Lesbumi memodernkan NU tak lepas dari personifikasi dari ketiga tokoh pendirinya: Djamaluddin Malik (1917-1970), Usmar Ismail (1921-1971), dan Asrul Sani (1927-2004). Lewat Lesbumilah NU mengekplorasi wujud relasi antara agama, seni, dan politik. Sebagai organisasi kebudayaan di bawah naungan NU, Lesbumi telah melakukan kompromi politik dan agama dalam konteks ''kemusliman'' melalui upaya pendefinisian seni-budaya ''Islam''. Seperti hasil musyawarah besar yang diselenggarakan empat bulan pasca Lesbumi dibentuk, ialah merumuskan tiga hal pokok yang menjadi pedoman bagi kaum seni Lesbumi. Ketiga hal pokok itu meliputi penafsiran tentang kebudayaan Islam, seni Islam, dan seniman dan budayawan Islam. Tiga komponen asasi itu mencerminkan prinsip yang dianut kaum Lesbumi dengan menjadikan seni untuk mengabdi kepada Tuhan. Inilah titik penting yang membedakan Lesbumi dengan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) PKI. Pendapat ekstrim mengemukakan bahwa muasal Lesbumi muncul terkait dengan faktor ekstern kedekatan hubungan antara Lekra dengan PKI. Dus, kelahiran Lesbumi merupakan bagian dari pola umum reaksi Lekra-PKI. Tujuannya ialah pendefinisian ''agama'' (Islam) sebagai unsur mutlak dalam nation-building yang sedang dijalankan oleh pemerintah Indonesia, khususnya di bidang kebudayaan. Kemunculan Lesbumi juga tak bisa dilepaskan dari momen politik dan momen budaya sekaligus. Lesbumi berkait-kelindan dengan momen politik munculnya Manifesto Politik pada 1959 oleh Presiden Soekarno (hlm. 133). Saat itu, lagi gencar-gencarnya pengarusutamaan Nasakom dalam tata kehidupan sosio-budaya dan politik Indonesia, serta perkembangan Lekra yang makin menampakkan kedekatannya dengan PKI. Pada saat yang bersamaan, Lesbumi juga tak dapat dilepaskan dari momen budaya. Lesbumi dijadikan payung pemenuhan kebutuhan akan pendampingan pada kelompok-kelompok seni budaya di lingkungan nahdhiyyin dan modernisasi seni-budaya. Hingga pada akhirnya, dengan latar belakang momen politik dan momen budaya itulah Lesbumi lahir dan berkembang. Pada sejarah zamannya, seni-budaya pesantren merupakan basis kultural Lesbumi, sehingga pesantren menemukan ruang sosio-kulturalnya dalam pentas budaya nasional. Kalau tidak berlebihan, kehadiran Lesbumi bisa dikatakan menjadi pendobrak fenomena seni-budaya pesantren yang lazim dipandang tradisional, kolot, kearab-araban, dan tak sejalan dengan modernitas. Choirotun Chisaan lewat bukunya ini --di mana sebelumnya merupakan penelitian tesis S2-nya di Program Magister Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma, Jogjakarta-- meneroka mengapa Lesbumi lenyap dari perbincangan sejarah seni-budaya dan politik di Indonesia. Buku ini memiliki data yang cukup matang. Seperti pengakuan penulis di dalam bukunya ini, riset pustaka tentang Lesbumi dilakukan hingga perpustakaan ARI dan NUS Singapura. Buku semacam ini tergolong langka hingga layak diapresiasi dengan membacanya. (*)

Lesbumi

 “Lesbumi” (Lembaga seniman budayawan muslimin Indonesia) merupakan lembaga seni-budaya yang di usung oleh NU pada tahun 1950-1960-an. Di lembaga itu para seniman dan budayawan muslim NU berkumpul. Lembaga ini sempat stagnan hingga pasca pemerintahan Soeharto.

Lesbumi kembali dihadirkan melalui Muktamar NU ke-30 (1999) dan ke-31 (2004) . Apa yang dilakukan NU merupakan bagian dari semangat kembali ke Khittah 1926 yang menggelindingkan trilogi transformasi: sosio-politik, sosio-kultural dan sosio-ekonomi. Fakta historis ini membedakan kehadiran Lesbumi selama hampir satu dasawarsa terakhir dengan kelahiran awalnya pada dekade 1960-an.

Sejalan dengan penegasan itu, Ketua Lesbumi Al-Zastrow mengatakan, keinginan menghadirkan kembali Lesbumi antara lain juga dilandasi oleh keprihatinan akan fenomena kering dan sepinya agama dari sentuhan kebudayaan sehingga yang nampak adalah penampilan agama yang sangar dan beku, tidak memiliki kelenturan-kelenturan. Agama tidak lagi merupakan sesuatu yang hidup dan bahkan tidak lagi memberi kenyamanan bagi pemeluknya.

Agama dewasa ini, demikian menurut Al-Zastrow, terjebak dalam ritualisme, simbolisme dan formalisme. Dimensi-dimensi kebudayaan dan kesenian sebagai pilar dari sikap kemanusiaan yang sebetulnya tak dapat dipisahkan dari agama itu hilang. Agama berjalan mengisi kemanusiaan tanpa ada sentuhan-sentuhan budaya sehingga terkesan kering, keras, dan kaku.

Atas keprihatinan inilah, maka Lesbumi akan membentuk dewan kebudayaan yang terdiri dari para budayawan, pemikir, intelektual yang memiliki perhatian terhadap masalah kebudayaan Indonesia dan juga seniman dalam segala bentuknya. Lesbumi ingin memberikan peran atau memfasilitasi kesenian yang sifatnya menumbuhkan kreatifitas masyarakat. Program utamanya adalah, melakukan dokumentasi terhadap kesenian masyarakat, bahkan yang langka dan hampir hilang. Pembentukan Lesbumi secara bertahap akan dilakukan di seluruh Jawa dan Sumatra.

LESBUMI: Kini, Lampau dan Datang

Chisaan Mansoer

SURAT KEPERCAYAAN

Dengan ini jelaslah bahwa dalam penilaian kita, kita akan memberikan tempat yang sentral pada permasalahan masyarakat dan kehidupan. Kita tidak berpegang pada semboyan "kata untuk kata, puisi untuk puisi". Kita tidak mau melepaskan sajak dari fungsi sosial dan komunikatifnya. Adalah hal yang wajar jika seniman mencipta berdasarkan masalah-masalah konkret yang diakibatkan oleh ketegangan-ketegangan masyarakat di mana ia hidup. Kita tidak menolak "isme" apapun dalam kesenian – artinya "isme" dalam kesenian bagi kita tidak penting sama sekali. Yang penting adalah gaya pribadi seniman yang ia pergunakan untuk mengungkap sesuatu yang hendak ia sampaikan pada masyarakat.

Tidak usah dikatakan lagi bahwa kita adalah penentang yang keras pendirian "politik adalah panglima". Pendirian ini telah menghambat kebebasan seniman dan telah menjadikan seluruh kehidupan kreatif menjadi korup. Pendirian ini telah mengingkari hak tanggung jawab dan kebebasan memilih pertanggungan jawab kaum seniman dan inteligensia (budayawan), dengan memaksa mereka menyerahkan pertanggungan jawab itu pada suatu ideologi, pada suatu sistem pemikiran yang bersifat memaksa.

Sesungguhnya kami percaya firman Tuhan yang terkandung dalam Al-Qur’an:
ﺿﺮﺑﺖ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﺍﻟﺬﻟﺔ ﺍﻳﻦ ﻣﺎ ﺛﻘﻔﻮﺁ إﻻ
ﺒﻞ ﻣﻦ ﺍﷲ ﻭ ﺣﺒﻞ ﻣﻦ ﺍﻟﻨﺎﺱ

"Mereka bakal ditimpa kehinaan di mana saja ditemukan, kecuali kalau mereka berpegang pada tali Allah dan tali manusia". (Ali Imran, 112)

Gelanggang, No. 1, Th. 1, Desember 1966

Ada dua peristiwa penting di dalam Nahdlatul Ulama (NU) yang mendorong Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi) (di)hadir(kan) kembali. Pertama adalah Muktamar NU ke-30 di Lirboyo Jawa Timur (1999) diikuti dengan Muktamar NU ke-31 di Boyolali Jawa Tengah (2004). Kedua adalah Musyawarah Besar (Mubes) Warga NU di Ciwaringin Jawa Barat (2004).

Baik Muktamar NU maupun Mubes Warga NU adalah forum yang sama-sama diselenggarakan dan dihadiri oleh warga NU seluruh Indonesia. Hanya saja bedanya, bila Muktamar NU diselenggarakan dan dihadiri oleh pengurus resmi NU yang sering dilekati dengan sebutan ‘NU struktural’, sedangkan Mubes Warga NU diselenggarakan dan dihadiri oleh warga NU bukan pengurus yang biasa dilekati dengan sebutan ‘NU kultural’. Meski keduanya berada dalam posisi dan sikap yang (seringkali) berbeda secara diametral, namun mereka mempunyai harapan dan cita-cita yang sama terhadap Lesbumi: hadirkan kembali!

Dilihat dari pentingnya kedua peristiwa itu, layak apabila kita mengajukan pertanyaan: apa yang mendasari keinginan warga NU untuk menghadirkan ulang Lesbumi di saat NU telah menegaskan ‘kembali ke Khittah 1926’ yang berarti melepaskan diri dari afiliasi politik dengan partai-partai yang ada di Indonesia (political equidistance)? Pertanyaan ini penting untuk diajukan sebab kehadiran awal Lesbumi tahun 1962 justru pada saat NU sedang giat-giatnya bergumul di arena politik praktis. Sekadar ber-nostalgia-kah?

Tulisan ini bermaksud menengok kembali perjalanan Lesbumi yang kini mulai membuka lembaran sejarah, membandingkannya dengan perkembangan Lesbumi ketika berafiliasi dengan partai politik NU, kemudian mencoba melakukan tatapan ke depan. Akan dikemukakan bahwa kehadiran kembali Lesbumi dalam konteks sejarah yang sama sekali berbeda dari masa awal kelahirannya memerlukan perhatian yang seksama.

Lesbumi Kini

Penegasan NU untuk menghadirkan kembali Lesbumi melalui Muktamar NU ke-30 (1999) dan ke-31 (2004) tidak dimaksudkan untuk ber-nostalgia dengan masa lalu. Butir penting keinginan itu adalah mengajak seluruh anggota NU agar mengembalikan ruh kebudayaan sebagai medium beragama dan bersosial. Apa yang dilakukan NU merupakan bagian dari semangat kembali ke Khittah 1926 yang menggelindingkan trilogi transformasi: sosio-politik, sosio-kultural dan sosio-ekonomi. Fakta historis ini membedakan kehadiran Lesbumi selama hampir satu dasawarsa terakhir dengan kelahiran awalnya pada dekade 1960-an.

Sejalan dengan penegasan itu, Ketua Lesbumi Al-Zastrow mengatakan, keinginan menghadirkan kembali Lesbumi antara lain juga dilandasi oleh keprihatinan akan fenomena kering dan sepinya agama dari sentuhan kebudayaan sehingga yang nampak adalah penampilan agama yang sangar dan beku, tidak memiliki kelenturan-kelenturan. Agama tidak lagi merupakan sesuatu yang hidup dan bahkan tidak lagi memberi kenyamanan bagi pemeluknya.

Agama dewasa ini, demikian al-Zastrow, terjebak dalam ritualisme, simbolisme dan formalisme. Dimensi-dimensi kebudayaan dan kesenian sebagai pilar dari sikap kemanusiaan yang sebetulnya tak dapat dipisahkan dari agama itu hilang. Agama berjalan mengisi kemanusiaan tanpa ada sentuhan-sentuhan budaya sehingga terkesan kering, keras, dan kaku.

Atas keprihatinan inilah, maka Lesbumi akan membentuk dewan kebudayaan yang terdiri dari para budayawan, pemikir, intelektual yang memiliki perhatian terhadap masalah kebudayaan Indonesia dan juga seniman dalam segala bentuknya. Lesbumi ingin memberikan peran atau memfasilitasi kesenian yang sifatnya menumbuhkan kreatifitas masyarakat. Program utamanya adalah, lanjut Al-Zastrow, melakukan dokumentasi terhadap kesenian masyarakat, bahkan yang langka dan hampir hilang. Pembentukan Lesbumi secara bertahap akan dilakukan di seluruh Jawa dan Sumatra.

Dalam kesempatan lain, Mubes Warga NU (2004) pun mencatat adanya proses alienasi kesenian rakyat dari komunitasnya. Hal ini disebabkan oleh fenomena komersialisasi dan komodifikasi kesenian yang diciptakan oleh pasar. Ditambahkan pula, tidak adanya lembaga yang serius menangani kesenian dan kebudayaan rakyat sehingga mereka selalu (di)kalah(kan) oleh kebudayaan dan kesenian kapitalis.

NU – dengan mempertimbangkan historisitas Lesbumi – sudah pasti memiliki basis massa pelaku yang terdiri dari seniman dan budayawan. Oleh sebab itu, NU seharusnya mempunyai perhatian khusus pada dunia seni dan budaya serta menjawab persoalan-persoalan yang dihadapi oleh para seniman dan budayawan tersebut.

Penegasan ini berarti menempatkan warga NU untuk bergumul dengan keprihatinan-keprihatinan yang dihadapi oleh seniman dan budayawan sekaligus mencari jawab atasnya. Konsekuensinya adalah NU harus memperkaya bahtsul masail kebudayaan dan kesenian yang dapat memberikan jawaban atas persoalan-persoalan itu.

Masa Lampau Lesbumi

Fenomena munculnya berbagai lembaga kesenian dan kebudayaan yang berafiliasi dengan partai politik tertentu dapat ditemukan dalam sejarah Indonesia kontemporer kurun waktu 1950-1960-an, khususnya pada masa "Demokrasi Terpimpin". Fenomena ini setidaknya menunjukkan adanya relasi yang sangat erat antara seni budaya dan politik. Bahkan pada fase tertentu, seni budaya dipandang sebagai produk sebuah proses politik.

Di samping muncul sebagai fenomena adanya relasi antara seni budaya dan politik, berdirinya Lesbumi tahun 1962 merupakan muara dari berbagai kegiatan seni budaya yang sebelumnya telah dilakukan oleh kalangan nahdliyyin (baca: warga NU). Ditengarai bahwa di kalangan orang-orang Islam (termasuk didalamnya warga nahdliyyin) telah dilakukan kegiatan-kegiatan seni budaya yang sesuai dengan tradisi, kebiasaan dan ajaran-ajaran Islam, meskipun seringkali kegiatan-kegiatan seni budaya itu dilakukan tanpa kesadaran.

Tradisi pembacaan kitab Barzanji dan Burdah – dua karya sastra Islam yang mengekspresikan kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai latar belakang penciptaan karyanya – telah melahirkan berbagai kreasi seni yang kaya. Kesenian tetabuhan seperti shalawatan, terbangan, genjring, rebana, kasidah, samrah dan yalilan adalah bentuk ekspresi rasa seni yang memadukan unsur rekreatif, estetika dan ritus keagamaan. Bentuk kesenian ini tumbuh subur, dihidupi dan dilestarikan di lingkungan masyarakat NU. Selain itu, kesenian gerak seperti stambulan, hadrah, radad, jipinan dan kubrosiswo juga merupakan kesenian populer di berbagai daerah basis NU.

Fenomena tersebut menunjukkan bahwa warga NU sebenarnya telah memiliki modal seni budaya yang telah berkembang dengan cukup baik. Pada tahap tertentu, kehadiran Lesbumi selain berfungsi melembagakan berbagai bentuk kesenian yang ada – dengan maksud menghidupi dan melestarikan – juga berfungsi sebagai pengembang (bukan pembaharu) kegiatan seni budaya di lingkungan nahdliyyin.

Penegasan fungsi Lesbumi ini nampaknya sesuai dengan apa yang dinyatakan oleh Saifuddin Zuhri pada saat meresmikan Lesbumi, 28 Maret 1962, bahwa Lesbumi bukanlah mengadakan kegiatan seni budaya yang baru, melainkan mengembangkan seni budaya yang telah ada dan dibawa sesuai dengan cita-cita Lesbumi. Kehadiran Lesbumi, dengan demikian, bukan merupakan titik awal perjumpaannya dengan dunia seni budaya, melainkan upaya lebih lanjut untuk memperkaya ragam seni budaya yang sebelumnya telah (di)hidup(i) di lingkungan nahdliyyin.

Himbauan Saifuddin Zuhri di atas dapat dilihat, misalnya, melalui peresmian Lesbumi yang nampak sedikit unik. Kendati pemrakarsa berdirinya Lesbumi adalah tiga serangkai Djamaluddin Malik, Usmar Ismail dan Asrul Sani – seniman budayawan yang datang dari kalangan ‘modernis’, namun peresmian Lesbumi pada saat itu justru dimeriahkan dengan demonstrasi pencak silat dan orkes gambus al-Wathan, bukan pementasan drama, pemutaran film, pembacaan puisi atau kegiatan sastra lainnya yang barangkali ‘asing’ bagi warga nahdliyyin.

Adalah tiga serangkai Djamaluddin Malik, Usmar Ismail dan Asrul Sani yang memprakarsai berdirinya Lesbumi di lingkungan NU. Ketokohan Djamaluddin Malik, Usmar Ismail dan Asrul Sani di bidang sinematografi tidak diragukan lagi. Berbagai terobosan telah dilakukan oleh ketiga tokoh ini di bidang sinematografi, mulai dari mendirikan industri film, mengikuti festival-festival film di luar negeri, menyelenggarakan festival film di dalam negeri dan meletakkan dasar kerjasama kebudayaan yang dapat mempertinggi mutu seni film Indonesia. Sementara itu, basis massa NU memiliki latar belakang seni budaya yang sering disebut ‘tradisional’.

Kontras seni budaya seperti ini bukan tanpa sadar untuk dilakukan. NU sangat menyadari bahwa seniman budayawan pemrakarsa Lesbumi memiliki latar belakang seni budaya yang dapat dikategorikan ‘modern’ dan sama sekali berbeda dari warga NU. Justru perbedaan inilah yang coba didayagunakan oleh warga NU sehingga – dalam entitas seni budaya masing-masing – keduanya dapat saling menyapa. Persentuhan NU dengan Lesbumi, dengan demikian, telah mendorong warga NU untuk berkecimpung di dunia seni ‘kontemporer’ seperti seni lukis, seni drama, sastra dan film.

Di samping upaya ‘pemodernan’ di bidang seni budaya yang coba dilakukan oleh seniman budayawan Lesbumi, persoalan utama yang nampaknya dihadapi oleh tokoh-tokoh Lesbumi, seperti Djamaluddin Malik, Usmar Ismail dan Asrul Sani, ketika bergaul dengan komunitas seni nahdliyyin adalah bagaimana memadukan tradisi seni budaya yang ‘modern’ sekaligus ‘religius’, suatu pemaduan yang dalam pandangan Asrul Sani dinyatakan sebagai ‘keharusan baru’ bagi kehidupan seni budaya Indonesia.

Satu prestasi awal penting Lesbumi membawa nuansa ‘religius’ ke dalam dunia perfilman Indonesia adalah diproduksinya film bertema haji: "Panggilan Tanah Sutji" (1964). Pada saat film ini diputar di bioskop-bioskop, banyak warga NU dari kalangan pesantren yang mengapresiasi secara positif kecenderungan yang sama sekali baru ini. Menonton film di bioskop menjadi sesuatu yang biasa bahkan di kalangan santri dan kiai meski mereka menonton dengan mengenakan sarung dan peci. Bagi pengamat budaya waktu itu, peristiwa ini merupakan fenomena yang sangat luar biasa. Sebab, warga NU yang diidentikkan dengan kaum tradisionalis mampu mengapresiasi produk seni budaya dari kalangan modernis.

Melalui perkenalan pertamanya dengan film "Panggilan Tanah Sutji" inilah, warga NU kemudian terbiasa mengapresiasi film-film lain garapan Djamaluddin Malik, Usmar Ismail dan Asrul Sani yang memang berkualitas, baik dari segi penceritaan maupun garapan sinematografisnya meski tidak selalu bertema "islami".
Realitas ini meniscayakan Lesbumi memfungsikan diri sebagai taman budaya dan – meminjam istilah Denys Lombard – "laboratorium istimewa". Sebab, Lesbumi dapat menjadi tempat pendampingan dua sistem kesenian yang berbeda, menjadi tempat kontestasi seni budaya modern dan tradisional sekaligus. Fenomena ini menampakkan ketiadaan konfrontasi dalam arti yang sebenarnya antara tradisionalitas dan modernitas dan belum tentu akan diupayakan sintesis, sesuatu yang memang sangat sulit untuk dilakukan.

Warga NU pada saat itu memang membutuhkan seniman budayawan modernis yang dapat membangun toleransi budaya, penghargaan terhadap perbedaan dan demokratis sesuai dengan watak budaya Nusantara. Dan nampaknya, hasrat tersebut terpenuhi melalui performa ketiga serangkai Djamaluddin Malik, Usmar Ismail dan Asrul Sani yang meskipun datang dari kalangan modernis namun mampu menghidupi tradisi (folklore) yang ada dan berkembang di lingkungan masyarakat NU.

Rabu, 26/01/2011 16:12 WIB
Laksamana Cheng Ho dalam Sendratari versi Lesbumi
Is Mujiarso

Jenis kesenian yang dikembangkan oleh lesbumi antara lain sebagai berikut kecuali
Jenis kesenian yang dikembangkan oleh lesbumi antara lain sebagai berikut kecuali

Jakarta

 Lesbumi, lembaga kebudayaan milik organisasi Islam terbesar di Tanah Air, NU akan mementaskan pertunjukkan bertajuk 'Laksamana Cheng Ho'. Selain mengangkat lakon yang sudah dikenal, pementasan tersebut juga menampilkan aktor dan aktris yang sudah tak asing lagi. Pementasan 'Laksamana Cheng Ho' oleh Lesbumi bertempat di Teater kecil, Taman Ismail Marzuki, Sabtu dan Minggu (29-30/1/2011) pukul 20.00 WIB. Pementasan lakon tersebut akan mengambil bentuk sendratari. Cheng Ho adalah seorang pelaut dan penjelajah muslim dari Tiongkok yang telah melakukan ekspedisi sebelum Vasco da Gama. Diyakini, Cheng Ho telah melakukan 7 kali ekspedisi dan beberapa di antara sampai ke wilayah Indonesia. Sejarah bahkan mencatat, Cheng Ho pernah mendamaikan kerajaan Blambanan dan Majapahit di Jawa. Demikian populernya kisah kepahlawanan Cheng Ho, pakar hukum dan mantan menteri Yuzril Ihza Mahendra sampai pernah memproduksi sinetronnya, yang dia perankan sendiri, dan diputar di Metro TV pada 2008.

Pertunjukan sendratari dengan lakon 'Laksamana Cheng Ho' versi Lesbumi akan menampilkan aktor dan aktris terkenal seperti Ray Sahetapy, Rieke Diah Pitaloka, Soultan Saladin, Dorman Borisman, Sri Hardini, Oim Ibrahim, Fuad Idris, dan Budi Tompel(mmu/mmu)

Selasa, 08 Pebruari 2011 23:24 | Oleh : Rifnaldi |




Jenis kesenian yang dikembangkan oleh lesbumi antara lain sebagai berikut kecuali
 

KOPI, PADANG PANJANG - Lembaga Seni Budaya Masyarakat Islam (Lesbumi) yang berdiri tahun 60-an adalah sebuah Lembaga yang menangani seni dan budaya nilai ke-Islam-an. Dan beberapa seniman besar pernah memimpin Lembaga ini, diantaranya Jamaluddin Malik, Usmar Ismail dan Asrul Sani.


Meski secara institusioanal Lembaga ini mati, namum secara faktual, di beberapa daerah, ativitas berkesenian masyarakat Islam masih terus berjalan. Karena maraknya aktivitas kesenian yang dilakukan oleh aktivis Islam di beberapa daerah, dan munculnya kebutuhan untuk melestarikan dan menjadikan kesenian sebagai media sosialisasi nilai ke-Islam-an. Maka pada muktamar di Solo tahun 2004, Nahdlatul Ulama (NU) memutuskan untuk menghidupakan kembali Lembaga Lesbumi ini.
“Karena Lembaga ini sudah cukup lama vakum dan mati saat situasi sosial politik Orde Baru, akhirnya pengurus kini mencoba melacak dan menggali berbagai sumber informasi untuk melakukan rekonstruksi dan reformulasi terhadap Lembaga,” kata ketua Lesbumi DR. Al-Zastrouw Ng, ketika Kabag Humas Sekdako Padangpanjang yang didampingi Wartawan www.pewarta-indonesia.com berkunjung ke tempat sanggar latihan pergelaran Laksamana Cheng Ho di Taman Ismail Marzuki Jakarta Pusat, Kamis (27/1) yang lalu.
Hal ini lanjutnya, untuk menjaga kontinyutas Lembaga ini dengan kipra dan perjuangan sebelumnya. Artinya, keberadaan Lesbumi kali ini ibarat orang yang baru bangkit dari tidur panjang, yang sedang berupaya bangun dan memulihkan kesadaran untuk kembali bergerak dan berkarya.
Semenjak dibentuk kembali pada tahun 2004, Lesbumi telah menyelenggarakan berbagai event kesenian. "Sebagai lembaga seni budaya bernilai ke-Islam-an di bawah panji NU, Lesbumi bertugas mengembangkan bebagai bentuk kesenian yang bisa dijadikan sebagai sarana mengaktualisasikan ajaran Islam," kata Al-Zastrouw.
Ketua Lesbumi DR. Al-Zastrouw Ng dan Pembina Ray Sahetapy, menawarkan pergelaran seribu salung (seruling) yang akan digelar di Ranah Minang.
Hal ini disambut baik oleh Ketua Lesbumi Sumatera Barat (Sumbar) Drs. Ampera Salim, SH, M,Si. Karena, “Salung adalah salah suatu kebudayaan seni di Ranah Minang. Dan salung juga merupakan cermin kehidupan masyarakat Minang. Tentu tawaran ini sangat pas kita gelar di Ranah Minang,” sambutnya.
Hal ini tentunya memerlukan penggemblengan dan pelibatan semua lapisan seniman salung/seruling yang ada di tanah air. Karena dengan bergabungnya para seniman salung/serulingm tentu kombinasi salung ini nantinya bakal menjadi sebuah catatan sejarah tersendiri di Indonesia, kususnya di Ranah Minang. (ce)

Posted by PuJa on September 6, 2010

Viddy A.D. Daery
TANPA gembar-gembor, telah terselenggara kongres atau rapat kerja pengurus pusat Lesbumi (Lembaga Seni-Budaya Muslimin Indonesia) Nahdlatul Ulama di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) Jakarta, 25-26 Agustus lalu, yang amat heroik dan dramatis.
Lesbumi pernah berjaya ketika didirikan para seniman besar seperti Asrul Sani, Jamaluddin Malik, dan Usmar Ismail untuk membendung agresivitas Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) milik PKI di zaman Orde Lama. Lalu, sempat ”pingsan” lama ketika para tokoh NU lebih peduli kepada politik. Kini bangkit kembali di bawah kepemimpinan intelektual muda, Dr Ngatawi Al Zastrow.
Lesbumi modern dibangkitkan karena melihat realitas masyarakat Indonesia kiwari yang hancur jati dirinya karena hantaman budaya asing yang bertolak belakang ideologinya. Yakni, neoliberalisme yang materialistis dan ateis-kapitalistis serta neofundamentalis yang anti kearifan lokal.
Lesbumi NU ingin memperjuangkan kebudayaan jalan tengah, yakni jati diri asli Nusantara, yang sudah terbukti mempunyai kearifan lokal yang berderajat tinggi. Di tengah kemiskinan bangsa yang ditelantarkan oleh para pemimpinnya -yang tidak tertutup kemungkinan bahwa sebagian di antara para pemimpin itu dari kalangan NU- dan di tengah terombang-ambingnya pengetahuan kesejarahan bangsa, sehingga bisa diadu domba oleh kekuatan asing untuk melawan saudaranya sendiri (kasus konflik Indonesia-Malaysia), Lesbumi ingin menjadi ”think tank” bagi negara, siapa pun rezim yang berkuasa.
Realitas sejarah mengakui bahwa pada rentang waktu 1950-1960 terjadi semacam persekutuan antara kebudayaan dan partai politik (parpol). Itu ditandai oleh maraknya lembaga kebudayaan yang lahir dari perut parpol. Pada fase-fase tertentu, seni-budaya dipandang sebagai produk suatu proses politik. Artinya, ruang-ruang partai politik melahirkan suatu lembaga kesenian. Misalnya, Lekra dari rahim PKI, Lesbumi dari Partai NU, LKN dari PNI, HSBI dari Masyumi, dan lain-lain.
Lesbumi pada awalnya lembaga kebudayaan yang berafiliasi dengan Partai NU, saat ormas keagamaan ini menjadi partai politik pada 1960-an. Kelahiran Lesbumi di tubuh partai NU sebenarnya mengusung sebuah jargon politik yang mengidealkan adanya nilai-nilai religius dalam kesenian dan politik Indonesia.
Memang, pada masa-masa 1960-an kiprah lembaga kebudayaan NU itu luar biasa dan hampir mampu menyaingi Lekra. Tetapi, mulai periode 70-an Lesbumi seakan lenyap terempas angin modernitas. Kabar eksistensinya tidak banyak diketahui orang. Dengan kata lain, Lesbumi seakan hilang karena ditelan bumi kebudayaan Indonesia.
Buku berjudul Lesbumi, Strategi Politik Kebudayaan yang ditulis Choirotun Chisaan dan diterbitkan LKiS pada 2008 lumayan memberikan pengetahuan kiwari kepada generasi baru Indonesia karena membicarakan perjalanan panjang Lesbumi secara komprehensif dan detail, khususnya pada era 1950-1960-an sampai sekarang.
Boleh dibilang, buku itu merupakan buku pertama yang mengkaji seluk-beluk sebuah lembaga kebudayaan yang berafiliasi dengan partai NU, yaitu Lesbumi, yang didirikan pada 1962. Menurut Choirotun Chisaan, kelahiran Lesbumi ditandai dengan tiga momen historis. Pertama, dikeluarkannya manifesto politik oleh Presiden Soekarno.
Kedua, pengarusutamaan Nasakom dalam tata kehidupan sosio-budaya dan politik Indonesia pada awal 1960-an. Ketiga, keberadaan Lekra (1950) yang makin menampakkan kedekatan hubungan dengan PKI, baik secara kelembagaan maupun ideologis.
Tiga momen historis itulah yang secara eksternal melatarbelakangi kelahiran Lesbumi. Di samping itu, adanya keinginan dalam tubuh NU untuk semakin meningkatkan seni-budaya ”kader-kader”-nya menjadi faktor internal lahirnya Lesbumi.

Lesbumi Kiwari


Setelah kongres di TMII, yang salah satunya mengagendakan adanya Muktamar Kebudayaan Lesbumi-NU pada awal 2011, Lesbumi akan menyusun dan mengodifikasi pemikiran-pemikiran serta kekayaan budaya dan kearifan lokal Nusantara yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam yang berprinsip ”rahmatan lil alamin”.
Lesbumi juga akan memperjuangkan adanya ”fikih kebudayaan” agar para seniman NU dan para seniman Islam tidak lagi beradu ketegangan otot dengan para kiai di pondok-pondok pesantren, sebagaimana banyak laporan yang masuk ke meja litbang kebudayaan Lesbumi maupun PB NU.
Diharapkan, Muktamar Kebudayaan Lesbumi NU pada awal 2011 nanti mampu menjadi pencerah bagi mindset bangsa Indonesia dan Nusantara yang sedang jatuh terpuruk ke dalam ”kegelapan kebudayaan”.
*) Anggota pengurus pusat Lesbumi PB NU.

Posted by PuJa on September 6, 2010

Siti Sa’adah
Bapak tidak pernah mengancang-ancangkan jika kita mencuri maka dia akan memotong tangan kita, apalagi untuk tanganmu yang indah mulus seperti gagang cangkul itu. Jikapun pernah, aku tidak akan mencuri kak. Bukan karena takut bendo ayah yang selalu dia bawa untuk menebang rumpun bambu untuk dianyam, bukan pula karena takut tanganku di potong polisi, toh tidak ada hukum potong tangan bagi pencuri di negara ini, namun karena aku takut kepada yang menciptakan tangan ini, aku takut benar. Sabda nabi bahwa dia akan memotong tangan putri tercintanya Fatimah jika mencuri, terus menggenang dalam ingatanku. Pernah terbersit untuk memiliki barang orang lain yang kusukai, tapi langsung terbayang olehku pemiliknya kecewa dan jelas aku mendzoliminya.
Aku tak berani merampas hak orang lain meski itu hal kecil seperti yang sering kau lakukan padaku sejak kecil. Mengambil lauk dipiringku saat ku tinggal mengambil minum, mengurangi jatah uang sakuku yang dipasrahkan ibu dan bapak kepadamu, sampai kau pisahkan aku dengan lelaki yang akan melamarku! Kau adalah tuan putri di keluarga, memarahimu sama saja menggores hatiku sendiri, karena bapak akan segera menikam kekesalanku dengan bentakannya, sedang untuk lelakiku, bapak percaya dustamu bahwa dia suka mempermainkan wanita! Begitulah, lama-lama kelakuanmu kubiarkan saja. Kesalahan yang berulang akan menjadi lumrah.
Kemursalanmu saat ini tidak hanya kepadaku sebenarnya, tetapi kepada ibu, bapak, bahkan suamimu yang kau tilap bersama lelaki lain dan sekarang berujung seperti ini!
”Dia hanya mempedulikan perutku. Batinku ini kesepian. Apalagi setiap mendengar cerita teman-temanku tentang kebiasaan pelayar memeluk wanita lain di rantau. Aku tak tahu apa yang dilakukan suamiku di pulau sana, Dik!”. Bantahmu waktu itu setelah aku tidak tahan untuk menegurmu. Begitu tahu kau tidak lagi pulang ke rumah gedong yang dibangun suamimu, tepat di samping rumah mertuamu.
Perasaan malu menjelma linggis yang menghujam keluarga di rumah, aku, ibu, ayah, mungkin juga dua adik kita yang masih ingusan.
“Pamitnya pulang kesini, si kecil kok di tinggal sampai seminggu?!” begitu adu mertuamu yang tandang ke rumah hendak menjemputmu. “Maaf ya Bu, Pak, dia sering pergi sehari sampai dua hari, katanya merawat njenengan berdua yang sedang sakit, tiap kali saya akan ikut selalu di larang, biar saya menjaga si kecil saja”. Lagi-lagi mertuamu menuturkan cerita yang tidak pernah terlintas di benakku. Kebohonganmu kepada suami dan mertuamu terkuak.
“Pacarmu itu kerja dimana?” tanyaku beberapa hari sebelum putusan talak melayang atas paksaan orang tua suamimu. Putus sudah aliran uang yang melimpah dari suamimu.
“Pabrik gula”.
“O”. Pasti pejabat pabrik pikirku. Aku tahu dari dulu seleramu sejak remaja, selalu berhasil menggaet lelaki kaya tanpa berkeringat, cukup dengan senyum dan rajuk manjamu. Aku tahu itu, begitu juga bapak sehingga beliau begitu bersemangat dan optimis menjodohkanmu dengan pelayar kaya, yang setiap pulang kerja seperti membawa harta karun dari laut. Kau akan hidup bahagia, begitu pertimbangan bapak untuk masa depan putri kesayangannya.
Hanya dua tahun, tubuhmu seperti gatal ditinggal suami berbulan-bulan, dia hanya beberapa hari di rumah menumpahkan oleh-oleh dan uang, setelah itu pergi lagi, membawa rindu yang belum sempat kikis untuk bersua denganmu. Ah, aku tahu benar dari sikap suamimu yang kalem itu, dia begitu menyayangimu. Tapi kau menindihnya dengan penghianatan.
“kau seperti itu karena kau belum menikah! Belum pernah ketagihan sentuhan lelaki! Guling di ranjangmu itu tidak bisa mendekapmu!” makianmu membungkam mulutku untuk terus mengingatkan.
“Dan satu lagi, kau tidak bisa membedakan kokoh peluk kekasihku dengan suamiku yang banci itu hahaha…”
Kebiasaan buruk yang kau semai sejak kecil sekarang memuncak sampai disini.
Begitu kokoh pendirianmu untuk menuruti cinta yang berawal dari penghianatan. Mungkin ada sensasi tersendiri yang kau rasakan saat bercinta dengan selingkuhan. Seperti di guyur hujan, rahimmu yang berbulan-bulan kerontang menanti suami.
Memang kekasihmu itu gagah. Pasti kau puas setiap bermain dengannya. Tidak peduli di atas amben reot dirumahnya. Inilah yang baru aku tahu, rupanya tubuh kekar kekasihmu itu bukan karena rutin gym seperti orang kantoran yang kaya, tetapi karena sejak kecil di latih menjadi kuli batu sampai menjadi buruh pabrik gula. Ah, bukankah dia tidak bekerja tiap bulan. Dia hanya pekerja borongan setiap giling tebu di mulai. Dan kecintaanmu itu membutakan. Kau seperti setitik cat yang menempel di dinding tidak mau dibersihkan, dan akhirnya kau rela memenuhi tembok dengan cat. Tentu saja kecemerlangan dan kecantikanmu itu dimanfaatkannya.
Lelaki itu berbulan-bulan ongkang-ongkang di gubuknya bersama ibunya yang renta, yang sudah tidak tahu apa-apa, tentu denganmu yang baru pulang setiap malam dalam keadaan lelah setelah seharian bekerja di toko emas di kota, namun katamu suatu kali “lelahku buyar begitu bergulung dengannya…”
Cih! Aku muak. Aku ingin memuntahkan isi perutku, aku ingin memuntahkan pula semua kesadaran bahwa kau adalah kakakku. Kakak seorang guru muda. Aku malu memiliki saudara sepertimu. Di sekolah selalu ada gerenengan tentangmu di belakangku, di toko, dibalai desa, di pasar… apalagi hari ini, begitu penjual Koran mengecer dagangannya masuk desa.
“Kasus Fatimah! Fatimah tertangkap basah. Fatimah basah!” promosi tukang Koran seperti mengolok-olok.
Aku langsung teringat kakakku satu-satunya. Kamu. Tadi pagi rumah sepi, dua adik kita ikut ibu ke pasar. Sedang bapak menebang bambu di kampung sebelah. Kau rutin mengutil perhiasan di toko emas tempatmu bekerja, itu bukan barang murah, jutaan rupiah! Setelah berkali-kali selamat, sekarang jalan mursalmu buntu di jeruji besi.
“Karena saya kepepet. Perhiasan itu saya jual untuk membiayai ibu saya yang sakit-sakitan” wartawan menulis pengakuanmu. Kabar runyam tentang rumah tanggamu juga ditulisnya.
Apa yang bisa menutupi mukaku di depan teman-teman guru, murid dan tetangga? Menguar kisah yang memedihkan dari omongan orang-orang tentang masa lalu orang tua kita. Namun aku hanya diam.
“Keluarga pintar, tapi mursal”. Maki bu Atim pemilik toko sayuran.
“adiknya yang kecil kemarin ketangkap mengutil sandal di pasar, padahal di kelas jadi juara” . sahut seseorang di sebelahnya. Sebenarnya aku ingin membenarkan bahwa adikku tidak salah, dia tidak bermaksud akan mengambil, dia sudah lama menginginkan sandal, dan ingin menunjukkan sandal itu kepada ibu yang sedang berjualan, tapi memang cara adikku yang salah..
“Mbok ya inget Yu, bapak ibunya juga pinter”.
“Iya ya, mengapa bu Nunung berhenti mengajar, padahal dulu hidupnya makmur, sekarang malah jadi penjual klanting”. Ku dengar nama ibuku di sebut-sebut.
“Oalah… suaminya kan ketahuan korupsi di tempatnya mondok dulu, jadi pemborong pembangunan pondok. Waktu itu dia juga sedang mbangun rumah gedong. Rumah belum selesai sudah ketahuan belangnya”.
“O, begitu, jangan-jangan bu Nunung dulu juga korupsi uang muridnya”.
“Mungkin saja”.
“Eh, bukan! Mungkin bu Nunung dulu selingkuh dengan sesama guru. Lha sekarang Fatimah seperti itu”.

“Kalau begitu perpaduan dosa kedua orang tuanya.” Ha..ha..ha.. tawa berderai dari toko bu Atim, aku mendengar jelas, karena tepat di samping rumah. “Sekarang bagaimana dengan adiknya yang mengajar itu?”


Fatimah, bapak tidak pernah mengancam memotong tangan anak-anaknya jika mencuri. Dan sabda Nabi pun tidak kau hiraukan. Juga perasaan orang yang kau rampas haknya, suamimu, majikanmu, bapak, ibu dan aku. Kecermelangan semua anggota keluarga kita memang sudah tekenal, sejak bapak ibu menikah, saat mereka berdua bersekolah, sampai ibu di angkat menjadi guru. Bapak menjadi santri pemborong dan melahirkan empat benih putra-putrinya yang tumbuh sampai seperti ini. Semuanya cerdas. Cemerlang. Tapi mengapa semakin hari kecermelangan ini terus mengeruh?
Biarlah ku kubur kenangan tentangmu kak. Meski sudah bebas dari penjara kau tetap seperti dulu, pulang ke rumah kekasihmu tanpa pernikahan, sedang bapak begitu terpukul, dia menyadari kekeliruannya karena telah memanjakanmu. Dan aku ingin menggusur kisah perih masa lalu keluarga kita dengan lelakiku yang sempat pergi, dia kembali untukku. Memang terasa berat membangun istana dari puing-puing kehancuran, tapi tetap ada kemungkinan. Ada lelakiku yang siap membimbing. Bagaimana denganmu kak?

Posted by PuJa on September 6, 2010

Abidah El Khalieqy*
USAI mandi dan memilih pakaian paling bersih, Gotap menyemprotkan minyak wangi di bawah daun telinga. Di dada kiri tempat jantung bersembunyi, dan sedikit olesan di denyut nadi pergelangan tangan. Senyum cerah tersungging dalam cermin besar dan jernih. Seperti kuncup putih melati, senyum itu ditatapnya berulang kali. Entah siapa yang perintah, tiba-tiba tangannya bergerak, mengambil kembali botol parfum dari atas meja, dan menyemprotkannya di kedua telapak kaki. Tapi, pikirnya, masih ada yang kurang. Telapak tangan dan jari-jariku mesti wangi, agar setiap orang yang kusalami akan dilekati keharuman yang sama.
”Kau ini mau ke mana, Tap?”
”Mudik!”
”Ini hari masih pagi. Bukankah kita akan berangkat nanti malam?”
”Ah! Kau tunggu sajalah di sini. Istirahatlah dulu. Aku mau pamitan dengan penduduk di kampung ini.”
”Haa…!?”
Wajah Segap ternganga. Lebih ternganga lagi ketika melihat Gotap, sohib lawasnya itu, keluar dari kamar dan berjalan menuju gang tanpa sandal atau sepatu. Begitu mantap, melangkah pasti ke rumah tetangga paling dekat. Tak sedikit pun ada keraguan tercium, selain bau wangi yang meruap dari kedua telapak tangan dan kakinya. Dengan bersalaman atau tersentuh jari-jarinya, semua orang akan mencium aroma segar yang nguar di udara. Apalagi di bekas jabat tangannya, serasa mekar bunga kenanga.
Bukan hanya itu, yang membuat para tetangga tersipu, merasa heran, dan terbengong-bengong di depan pintu, satu demi satu, dari rumah ke rumah penduduk kampung itu, Gotap masuk dan keluar seperti petugas sensus sedang mendata. Bahkan masih menyempatkan diri memberi salam dan pamitan pada setiap orang yang dijumpainya sepanjang jalan. Kenal atau tidak, hanya sekadar tahu atau yang pura-pura tak mau tahu, disalaminya sepenuh hati.
Aku harus minta maaf kepada semua penduduk kampung, tegasnya dalam hati sembari mencium bau wangi yang masih nempel di tangannya, di jari-jari bersih dan halus miliknya, karena jari itu tak pernah menyentuh beban berat dunia. Terutama sejak dirinya mengemban benda ajaib yang dikuasai dan menguasainya, bukan lagi kepalan tangan yang menghantam atau ninju para lawan. Ada kekuatan dahsyat dalam jiwa raganya, yang jika digunakan dapat melumpuhkan para musuh dan saingan. Kadang mematikan. Mengunci gerak lengan para korban.
Orang bilang, Gotap memiliki ilmu kebal. Urat kawat tulang besi. Keluar asap dan percikan api saat dihantam pedang. Walau tubuh dan perawakannya sangat biasa dan tak menampilkan sosok jagoan. Tidak pula berwajah serem preman bertatto ular naga di lengannya, atau kepala Medusa di punggungnya. Menyerupai kekar petinju kelas bulu pun masih harus fitnes selama satu tahun.
Penampilan Gotap memang nyekli. Lebih mirip guru ngaji, meski sepanjang hidupnya tidak sempat berurusan dengan ayat-ayat suci. Bahkan seumur-umur, belum pernah sekali pun masuk masjid, kelenteng atau gereja. Entah dari mana diperoleh banyak mantra yang melekat dalam kepalanya. Yang jika dirapal agak mirip dengan bunyi salawat, kadang juga seperti nyanyian baheula atau senandung rindu dari arwah para dewa.
Tak ada yang tahu. Tak ada yang mengerti.
Tapi siapa tak kenal Gotap di kampung ibu kota negeri ini. Dari Pak Lurah sampai anak-anak, dari ustad Farid lulusan Madinah sampai preman pasar dan kuli bangunan, juga ibu-ibu, para janda dan remaja sekolahan, tak ada yang ketinggalan. Sohornya bak selebriti, seperti koruptor yang sering nongol di televisi. Sejak kedatangannya bertahun-tahun lalu, tak seorang pun tahu dari mana asal-usulnya. Apa nama desa, siapa nama orang tua, apalagi nenek moyangnya. Warga kampung hanya tahu, sejak ia tinggal di situ, semua perkelahian yang sering dan bersumber dari pasar di jalan besar itu, selalu beres digenggamnya.
Bahkan Segap, sohib lawas sesama rantauan, tetangga desa saat masih di seberang lautan, tidak memiliki bahan untuk mengupas misteri kehidupannya. Terutama jika menyangkut soal ilmu kebal. Karena urusan itu, Gotap sangat menjaga rahasia hatta terhadap kawan dekatnya. Berbeda kalau membincang urusan lain, masalah duit dan perempuan misalnya, mereka demikian akur. Seia-sekata, selagu-seirama. Tanpa perbedaan, persaingan atau perseteruan.
Maka Segap hanya menunggu. Tidur-tiduran di kamar. Membayangkan capek sohibnya berjabat tangan sampai senja nyaris tiba. Membaris usia di langit jelaga.
”Gap, apa menurutmu bibi masih ingat padaku?”
”Kau tak banyak berubah, Tap. Wajahmu masih seperti dulu. Orang desa pastilah ingat padamu, apalagi bibimu itu.”
”Kalau Melinda, bagaimana?”
”Tak tahulah kalau itu. Mungkin sudah menikah dengan Gasrul. Mungkin pula sudah lima anaknya. Cinta itu cepat berubah, Tap. Hikhikhik…!”
”Tak ada cinta dalam hidupku. Sejak kecil aku hanya kenal bagaimana cara membakar kayu agar tidak menjadi arang atau abu.”
Sudah lebih lima belas tahun Gotap pergi meninggalkan tanah kelahirannya. Tak sesuatu pun yang diingat selain tetesan air mata bibi. Seorang perempuan biasa yang merawatnya sejak balita, sejak ia sebatangkara. Seperti apakah wajah bibi sekarang. Apakah ia masih merindukan kehadiranku, atau kemarahannya belum reda juga setelah sekian tahun berpisah. Meski kepergianku semata meringankan beban hidup yang harus ditanggungnya. Tapi bibi tak mau mengerti. Rasa sayang dan tak mau berpisah, tentu kuhargai. Tapi aku sudah cukup dewasa untuk berdiri di atas kaki sendiri.
Wajah Gotap digulung awan, mencari alasan sekuat pikiran.
Tak ada kontak sejak pergi dari desa. Begitu pun sebaliknya. Padahal, apa susahnya memencet ponsel, kirim surat, atau titip pesan. Rupanya ia sengaja ingin hidup di dunia lain yang asing, penuh misteri dan menggoda. Ingin bikin kejutan, suatu saat pulang dengan rindu sekolam. Penampilan berubah. Tampak kaya dan gagah. Sebab rantau bisa bikin segala sesuatu jadi kejutan. Jadi kotak bersisi delapan seperti hidup itu sendiri. Pelan namun pasti, terus berjalan nuju perubahan demi perubahan. Tak ada yang abadi, kecuali Yang Maha Abadi.
”Memang benar, Gap. Rasa-rasanya baru kemarin kita datang ke ibu kota. Eh, sudah belasan kali Lebaran rupanya. Sudah panjang pula jenggot kita.”
”Ayolah, Tap. Beresi barang-barangmu, tiga jam lagi kita berangkat.” Segap menegur sohibnya untuk tidak mengulur-ulur waktu, agar perjalanan mudik ke desa masa silam segera nyata. Bukan sekadar impian dan kata-kata.
”Jangan pikir aku tak serius, Gap. Desa masa silam memang tujuanku.”
Gotap tertambat. Mengingat-ingat sekali lagi, siapa kiranya tokoh kampung yang belum disentuh jari-jari wanginya. Belum disalaminya. Berat nian rasanya meninggalkan mereka, meski hanya sementara. Sekian puluh ribu hari hidupku terukir di sini, di tanah di air di api dan udara ibu kota ini. Dari rindang pohon jalanan, trotoar, dan gorong-gorong, sejuk mata perawan, tante girang, menguntai jalinan hidupku penuh kebanggaan. Aku tidak menipu, tidak kemplang uang rakyat, apalagi sengaja menyakiti. Aku hanya menolong orang susah, membantu sarjana cari kerja, memasok tenaga pada pabrik raksasa tanpa girik, tanpa lamaran. Apa salah jika orang takut padaku, mengirim amplop berisi lembaran merah setiap minggu dan bulan.
”Apalagi yang kau tunggu, Tap. Ayolah kita berangkat!?”
”Ngebet bener kau ini, Gap. Kangen siapa, Nita atau Juwita.”
”Siapa pun di sana, aku rindui semua.” Segap melotot mata. ”Ah! Lama kali kau ini. Aku tinggal sajalah.”
”Jangan begitu, Kawan. Lihat dulu baju yang kupakai ini. Menurutmu, sudah oke atau belum?”
”Ya, okelah! Sudah pas untuk membungkus tubuhmu, mengantarmu ke tanah asalmu, bertemu Melinda, hahaha…”
”Mantap kalau begitu. Ayolah segera kita berangkat!”
Mereka naik bus malam eksekutif Tri Marga. Lari cepat nuju pulau seberang. Tak banyak cakap selain hitam bayang-bayang. Karena baru beberapa saat saja, tidak lebih satu jam, lampu-lampu dimatikan. Mata pun kian menyipit oleh kantuk dan mesin pendingin. Tahu-tahu mengapung di atas lautan. Saat itu, jarum jam menunjuk pukul 00.00 tengah malam. Antara tidur dan jaga, Segap menggeragap. Setengah sadarnya diikuti sosok bayangan. Jubah Hitam. Sosok itu terbang sembari sesekali mengetuk-ngetuk kaca jendela di sisi Gotap. Namun Gotap tampak pulas agaknya. Segap sedikit takut dan menutup wajah sendiri dengan selimut. Tapi Gotap malah gagap dari tidur, ngajak bicara bak orang ngelindur.
”Aku mau pulang, Gap!”
”Ya. Kita memang mau pulang.”
”Gelap. Ada lorong berliku-liku.”
”Mimpi kali?”
”Ada orang berjubah hitam mengajakku terbang.”
”Sadar, Tap. Sadar. Kita sedang dalam kapal, dalam bus, sedang nuju pulau seberang.”
Napas sohibnya tersengal. Diam. Tak yakin pada pendengaran, kian penasaran Segap mengintip sosok hitam itu dari lubang selimut. Tak ada bayangan apa-apa. Belum hakul yakin. Diluruhkan selimut ke pangkuan dan coba melongok keluar jendela, juga seluruh pelosok perut bus, kalau-kalau bayangan itu telah nyusup di antara kursi. Tak ada gerak apa pun selain pengemudi di depan, dan dengkur kondektur di pojok belakang. Namun perasaan belum nyaman. Ada ambang pikiran yang terus mendesak ke otak.
Hantu lautkah itu. Mengapa pula mengetuk-ngetuk kaca jendela di sisiku, bukan yang lain. Apa karena hanya aku yang terjaga. Dan tentu, tak sampai hati menakuti pengemudi yang sudah pengalaman bertahun-tahun menembusi malam legam. Sebaiknya aku tidur dan syukur jika terbangun esuk hari saat telah sampai. Tegas Segap dalam hati. Bahagia rasanya andai bisa menghindar detik-detik menjemukan ini.
Lindap. Kantuk pun nguap.
Namun sial, kepala Gotap tiba-tiba teleng ke pundak. Segera didorong kepala sohibnya itu agar tegak tak mengganggu. Eh, bandel juga ini kepala. Tiap kali didorong, kembali teleng. Segap jengkel dan mendorong lebih kuat ke arah jendela. Eh, malah terjungkal. Merasa kasihan, biarlah sementara nyandar di pundak. Hitung-hitung balas budi karena sering pinjami uang tiap kali kelimpungan.
”Gelap, Gap. Gelap…”
”Hah! Apa?”
”Jubah hitam datang lagi.”
”Hah! Apa?”
“Aku pulang…”
Kepala Gotap kian berat di pundak, seperti karung gula. Mimpi apa sohibku ini, disodok kiri tak bangun, ditarik kanan tak bangun juga. Jatuh lagi membentur sandaran kursi. Aneh! Segap kasihan, dan mendekap kepala itu serasa es batu. Tengkuknya dingin dan beku. Diraba punggungnya, lebih dingin dari dahinya.
Terkesiap Segap. Diletakkan jari telunjuknya di bawah lubang hidung Gotap. Tak ada nafas, tak ada kehangatan terhempas. Denyut nadi pergelangan tangan berhenti. Segap kaget dan terguncang. Adakah ini kematian, atau sekadar pingsan. Dijelajahinya awak bus, tak sesuatu pun yang bergerak selain pengemudi dan bunyi ngorok beberapa penumpang. Dan semua telah tertidur. Berselimut malam dan jubah hitam. Menembus kegelapan, kota-kota kecil dan desa terpencil. Lampu-lampu di persimpangan jalan, nyanyian jangkrik dan belalang hutan.
Benarkah ini bukan mimpi, tanya Segap pada diri sendiri. Ingin teriak ke penjuru malam, tapi siapa yang mendengar kecuali Yang Maha Mendengar. Apa jadinya jika aku kabarkan kejadian ini pada pengemudi atau kondektur. Malah nanti disangka aku membunuhnya. Pengemudi pun tak mungkin mau menungguinya di kantor polisi. Sama artinya aku harus ditinggal, ditahan polisi bersama jasad Gotap.
Benar-benar linglung. Seluruh kantuk Segap raib tak bersisa. Nervous. Takut luar biasa. Memangku mayat teman sendiri. Waktu sementara terus berjalan, membuat Segap terbayang-bayang sosok makhluk berjubah hitam. Mungkinkah itu Izrail, sang pencabut nyawa, atau hantu terbang di dekat jendela. Serem betul sorot matanya. Menikam ulu hati, menarik ruh inci demi inci, dan kabur entah ke mana. Detik-detik sakaratul maut telah direnggutnya. Benar-benar perjalanan membingungkan. Segap berusaha tenang. Menutupi seluruh badan sohibnya dengan selimut kusam bus malam.
Beruntung Segap tidak kencing di celana. Namun keringat telanjur basah di sekujur badannya. Seperti usai lari, detak jantungnya berkejaran. Sebisanya bertahan, menjaga Gotap sampai tujuan. Tapi ke mana tujuan dan di mana alamat sebenarnya, Segap lupa menanyakan. Ia hanya tahu bahwa Gotap ingin pulang bersama-sama menuju desa terpencil di pulau seberang.
Secepat pikiran, Segap kontak beberapa kawan. Sekiranya ada yang bisa menjemputnya di depan restoran X, tempat bus malam itu terakhir kalinya mendinginkan mesin, dan sarapan bagi penumpang. Meski hari masih terlalu dini untuk itu. Nomor demi nomor dihubunginya. Tak ada sambutan. Kawan lama masih tidur agaknya. Kirim SMS saja, siapa tahu malah kena.
/Kawan, aku butuh bantuan. Darurat. Tolong jemput di depan restoran X. Gotap sakit parah tak bisa jalan!/
Empat kawan lama di SMS serupa. Di-miscall kencang dan lama, untuk membangunkan mereka. Pokoknya harus nyambung sebelum bus ini sampai. Segap berpikir lagi, bagaimana kalau mereka tak datang. Serta merta dipanggil ulang kawan lama. Begitu gencar dan nervous. Berjuang keras untuk memperoleh jawaban dan sia-sia. Segap lunglai, menyerah, dan menyiapkan diri untuk menerima apa pun yang bakal terjadi. Toh aku tak bersalah, bukan pembunuh, pikirnya.
Beberapa menit kemudian, bus malam itu mulai perlahan dan berhenti di taman parkir restoran. Masih sepi. Hati Segap mendetak berkali-kali. Satu per satu penumpang turun dan akhirnya tinggal berdua. Mayat Gotap telah membengkak dan menyebarkan aroma tak enak. Segap ingin nangis, bingung tak tahu apa yang mesti dikerjakan. Dup!! Dada Segap berdegup kencang. Bahagia bercampur duka cita, melihat kawan lama mendekat pintu. Jos, Jodil, Barman, dan Jengki, langsung masuk ke dalam lambung Tri Marga.
”Sakit apa, Gotap?” tanya Jodil.
”Tak usah Tanya.” Segap berdiri dan menjawab pelan. ”Gotap mati di tengah jalan, di atas laut semalam.”
”Mati?” Serempak empat kawan mendelong.
”Ceritanya nanti. Hanya aku yang tahu. Ayo kita angkat mayatnya sekarang, dan katakan jika ada yang bertanya, ia kena stroke. Oke?”
Saat seluruh penumpang masuk restoran, pengemudi dan kondektur sedang ke toliet karena tak tahan buang air, mayat Gotap yang kaku dan bau, diangkut ke dalam mobil Kijang milik Barman. Segera berlalu tinggalkan restoran nuju jalan. Bisu. Belum ada bayangan mau dibawa ke mana mayat Gotap. Yang penting pergi menjauh dari mata curiga, jika mata itu ada.
”Bibi dan pamannya sudah lama meninggal. Rumah pun sudah dijual. Kira-kira tiga tahunan sejak Gotap ke ibu kota.”
”Terus, dibawa ke mana ini mayat?”.
”Ke masjid, gereja atau kelenteng desa. Siapa tahu ada yang terima.”
”Lho, memang apa agama Gotap. Kau pasti tahulah, Gap?”
”Ah, aku juga tak tahu,” jawab Segap sedikit bingung, ”kita lihat saja KTP-nya.”
Gotap sebatangkara saat diambil bibinya, karena bibi itu tak punya anak. Dan Segap, juga empat kawan lama semasa di desa, tak juga tahu siapa saudara lain yang ada pertalian darah dengannya. Yang mereka tahu, Gotap rajin semedi sejak kanak, tidur di kuburan berminggu-minggu, dan kadang menghilang entah ke mana.
Mobil Kijang berjalan pelan, berupaya menemukan jalan akhir kepulangan Gotap. Bingung kian menumpuk. Mau diapakan mayat ini. Dimandikan, dikafani dan disalatkan, atau dandani dan diberi minyak wangi, diawetkan, dan dinyanyikan, atau langsung dikubur saja. Tapi di mana pula kuburnya?
Lima sekawan itu gelisah. Bau mayat kian menyengat. Lebih satu jam putar-putar mencari tempat perhentian. Karena bingung dan tak tahan lagi dengan aroma bangkai, Jengki yang dari tadi membisu, tiba-tiba bersuara.
”Bagaimana kalau mayat Gotap kita buang saja ke jurang?”
”Aku setuju.”
”Bagaimana menurutmu, Jos?”
”Masalahnya, jurang terdalam masih jauh dari tempat kita jalan?”
”Tak ada pilihan lain.”
”Ada. Kita lihat KTP-nya.”
Meski campur ngeri, mereka mencari-cari KTP-nya di saku baju, celana, dan tas punggung. Tak ada. Sampai akhirnya temukan dompet kulit macan dalam saku jaket. Ada tiga KTP, namun bukan atas nama Gotap. Satu milik Sahudi, kedua atas nama Krisman, ketiga tercantum nama Salimin. Di mana simpan alamat Gotap? Dicari lagi di saku baju dan celana, dalam tas punggungnya. Tak ada. Hingga jurang itu kian menganga di depan mata, alamat dimaksud tak ketemu juga. Mereka pun pasrah.
”Sudah nasibmu, Kawan!”
Jos turun sembari periksa sekeliling. Sepi. Kabut menutup bumi. Tak ada makhluk melintas selain babi hutan. Anjing menggonggong di kejauhan. Aku sudah berusaha mengurusmu, namun gagal mengetahui alamat tujuanmu, bisik Segap di telinga Gotap. Maafkan jika langkah ini keliru. Lima sekawan kembali jalan dalam mobil Kijang dengan satu pertanyaan di benak masing-masing. Manakah alamat pasti yang kan kutuju jika aku harus pulang nanti? ***
Ramadhan, 2010
*) Pengarang kelahiran Jombang yang kini tinggal di Jogja. Bukunya, antara lain Geni Jora (pemenang novel DKJ 2003) dan Perempuan Berkalung Sorban yang telah difilmkan dengan judul yang sama.

LESBUMI: Strategi Politik Kebudayaan

by Choirotun Chisaan

LESBUMI, Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia, adalah sebuah lembaga kebudayaan yang berafiliasi dengan Partai NU (Nahdhatul Ulama) saat organisasi ini menjadi partai politik tahun 1960-an.Kehadiran Lesbumi dianggap sebagai penanda kemodernan di tubuh NU. Modern jika dilihat dari pandangan NU melalui Lesbumi yang sama sekali baru terhadap seni budaya, dan modern ji...moreLESBUMI, Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia, adalah sebuah lembaga kebudayaan yang berafiliasi dengan Partai NU (Nahdhatul Ulama) saat organisasi ini menjadi partai politik tahun 1960-an.Kehadiran Lesbumi dianggap sebagai penanda kemodernan di tubuh NU. Modern jika dilihat dari pandangan NU melalui Lesbumi yang sama sekali baru terhadap seni budaya, dan modern jika dilihat dari personifikasi ketiga tokoh pendirinya: Djamaluddin Malik, Usmar Ismail, dan Asrul Sani. Inilah respons NU terhadap modernitas, terutama menyangkut relasi agama dan politik dalam konteks “kemusliman” melalui pendefinisian ulang seni-budaya “Islam”.
Pertanyaannya: Mengapa Lesbumi 'seolah' lenyap dari perbincangan sejarah seni-budaya dan politik (di) Indonesia?(less)

Lesbumi
by  Choirotun Chisaan, LKIS, xvi+247 halaman, ISBN-9791283435

Harga: 

Rp 34.500 :: Rp 29.325 ::

Hemat: 

Rp 5.175 (15,00%)

Kategori: 

Jenis kesenian yang dikembangkan oleh lesbumi antara lain sebagai berikut kecuali
Jenis kesenian yang dikembangkan oleh lesbumi antara lain sebagai berikut kecuali
Jenis kesenian yang dikembangkan oleh lesbumi antara lain sebagai berikut kecuali


LESBUMI, Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia, adalah sebuah lembaga kebudayaan yang berafiliasi dengan Partai NU (Nahdhatul Ulama) saat organisasi ini menjadi partai politik tahun 1960-an.Kehadiran Lesbumi dianggap sebagai penanda kemodernan di tubuh NU. Modern jika dilihat dari pandangan NU melalui Lesbumi yang sama sekali baru terhadap seni budaya, dan modern jika dilihat dari personifikasi ketiga tokoh pendirinya: Djamaluddin Malik, Usmar Ismail, dan Asrul Sani. Inilah respons NU terhadap modernitas, terutama menyangkut relasi agama dan politik dalam konteks
kemusliman melalui pendefinisian ulang seni-budaya Islam.

Lesbumi Hibur Pengungsi Merapi Lewat Tarian

Sabtu, 13 November 2010 17:36 WIB | 1023 Views

Berita Terkait

Magelang (ANTARA News) - Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia (Lesbumi) Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, bekerja sama dengan grup kesenian tradisional "Budaya Tunas Muda" Desa Gondangsari, Kecamatan Pakis, menyuguhkan hiburan tarian soreng kepada pengungsi Gunung Merapi di beberapa lokasi, Sabtu. Ketua Lesbumi Kabupaten Magelang, Abet Nugroho, di Magelang mengatakan, para seniman petani yang tergabung di grup itu menyuguhkan hiburan soreng kepada ribuan pengungsi yang menempati penampungan di Lapangan Tembak Akademi Militer (Akmil) Plempungan, Kecamatan Salaman, rumah dinas Ketua DPRD Kabupaten Magelang di Kota Mungkid, dan Balai Desa Gulon, Kecamatan Salam. "Selain untuk memberikan hiburan kepada pengungsi pada umumnya, juga untuk membangkitkan keceriaan anak-anak pengungsi, agar tidak hanya pasif atau monoton kegiatannya di berbagai penampungan," katanya. Jumlah tim kesenian soreng yang pentas keliling di sejumlah penampungan pengungsi pada Sabtu itu sekitar 50 orang. Tarian tradisional dengan iringan tabuhan gamelan itu menggambarkan kegagahan prajurit suatu kerajaan pada masa lampau. Abet Nugroho mengatakan, tari soreng relatif cukup dikenal oleh masyarakat di Kabupaten Magelang termasuk mereka yang tinggal di berbagai desa terakhir dari puncak Gunung Merapi. Oleh sebab itu perlunya para pengungsi mendapatkan hiburan selama berada di berbagai penampungan. "Kalau terlalu lama di pengungsian tentu mereka merasa jenuh sehingga butuh hiburan, kami mencoba membantu mereka dengan mementaskan kesenian ini," katanya. Para pengungsi Merapi yang menempati Lapangan Tembak Akmil terlihat bergembira menyaksikan sajian tari soreng sekitar pukul 13.00 WIB itu. Pihaknya juga sedang membicarakan kerja sama dengan seniman kawasan Candi Borobudur yang tergabung di Komunitas Seniman Borobudur Indonesia (KSBI) pimpinan Umar Khusaeni untuk menyuguhkan hiburan berupa kesenian melalui panggung bergerak. "Sedang kami pikirkan, secepatnya semoga bisa diwujudkan sehingga lebih banyak lagi lokasi pengungsian yang bisa kami jangkau dengan suguhan kesenian," katanya. Abet Nugroho mengatakan, pentas kesenian dengan panggung bergerak itu antara lain akan menyuguhkan performa seni, musik religi grup Kalimasada, dan pengajian oleh ulama setempat.

Pada 21 November 2010, katanya, direncanakan sejumlah artis berasal dari Jakarta yang digalang pengurus Lesbumi pusat di Jakarta juga akan turun ke sejumlah lokasi pengungsian Merapi di Kabupaten Magelang untuk memberikan hiburan.

Edisi 31 Agustus 2008

U L A S A N


Lesbumi Tak Mati Suri

Jenis kesenian yang dikembangkan oleh lesbumi antara lain sebagai berikut kecuali
Judul :

Lesbumi: Strategi Politik Kebudayaan

Penulis : Choirotun Chisaan

Penerbit : LKiS, Yogyakarta

Cetakan : I, Maret 2008

Tebal : xvi+247 halaman

Digawangi tiga orang berpengaruh pada masa itu--Djamaluddin Malik, Usmar Ismail, dan Asrul Sani--, Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi) didirikan. Tahun 1962 tepatnya. Lembaga kesenian ini lahir guna merespon perkembangan zaman.

Di bawah naungan "partai politik" Nahdlatul Ulama (NU), Lesbumi mencoba menandingi gaung Lekra dari Partai Komunis Indonesia (PKI) yang mendominasi warna berkesenian masyarakat pada masa itu. Namun, kita juga tak dapat menafikan bahwa kelahiran Lesbumi merupakan hasil dari gumpalan kegelisahan penghuninya, yang dicap sebagai pemegang tahta tradisonalisme.

Supaya gamblang, marilah kita mengingat-ingat kembali sejarah yang telah tumpah. NU sebagai "bapak-ibu" Lesbumi sendiri berdiri pada 1926. Seiring berjalannya waktu organisasi keagamaan ini mulai memperlihatkan kepeduliannya terhadap seni dan budaya. NU sendiri secara kultural merupakan tangan panjang pesantren yang notabene pada saat itu masih ndesa, ketinggalan zaman.

Pesantren yang identik dengan kultur Timur dan pedesaan dihadapkan dengan Hollands-Indische School (HIS) dan Europeesche Lagere School (ELS) yang berporos pada kultur Barat dan berkarakteristik kekotaan. NU dipandang tradisonalis, sedangkan HIS dan ELS diagungkan sebagai pemilik kemodernan dan kemajuan.

Maka, segala upaya pun ditunaikan guna menghilangkan prasangka tersebut. Salah satu langkah jitu yang diambil adalah memodernkan terlebih dulu benihnya: pesantren. Pengotaan pesantren ini dimulai ketika organisasi NU dirintis di Surabaya pada 31 Januari 1926. Upaya lain yang dilakukan adalah mendirikan lembaga pendidikan bernama madrasah di kota-kota besar, utamanya di Pulau Jawa.

Singkat kata, setelah Lesbumi dilahirkan, NU terlihat lebih berwarna. Corak yang disuguhkan tak melulu urusan doktrin keagamaan, tapi merambah ke aspek yang lebih luas dan membumi. Kepedulian NU terhadap seniman dan budayawan memperlihatkan tanda-tanda positif. Ini wajar saja karena suatu organisasi akan ditanggalkan penghuninya tatkala ia tak mampu menyediakan ladang berkreasi dan berekspresi.

Secara terang-terangan penulis buku ini menegaskan bahwa penempatan pesantren di kota-kota besar tak dimaksudkan untuk menentang kehadiran Barat. Namun, kehadiran pesantren sendiri secara nyata didengung-dengungkan guna membendung arus Barat yang mewabah di segala lini kehidupan. Ia muncul untuk menguatkan pondasi Timur supaya tak tergerus habis oleh arus budaya baru tersebut.

Selain itu, gencarnya PKI dalam mengibarkan paham komunis yang "menggerahkan" pun ikut andil dalam memberi batasan cita rasa seni-budaya yang sama sekali melepaskan agama. Hal ini ditanggapi dengan seni-budaya yang agamis oleh Lesbumi. Ini bukan berarti mengaburkan batas antara dunia seni-budaya dan agama, tapi justru memberikan cita rasa baru kepada masyarakat.

Berkaitan dengan PKI ada baiknya kita menyimak apa yang dikatakan Saifudin Zuhri bahwa, "Pada tahun 1960-an PKI sedang meningkat kejayaannya, terutama di kota Surabaya. Hari-hari diwarnai oleh bendera-bendera palu arit dalam warna merah membara. Suasana dipanaskan oleh berbagai gejolak dan sesumbar seolah-olah PKI unggul di mana-mana. Tetapi PKI terbentur oleh perlawanan orang-orang Islam, khususnya NU di Jawa Timur."

Ini bisa dilihat dari pelbagai fenomena yang terjadi pada masa itu. Sejarah mencatat tak ada kiprah PKI yang tidak ditandingi oleh NU. Saat PKI membanggakan massanya, NU mengerahkan jamaahnya. Ketika Gerwani dipropagandakan, Muslimat menjadi tandingan. Pun ketika muncul Pemuda Rakyat selaku pasukan pelopor mereka, Gerakan Pemuda Ansor mulai bergerak.

PKI menggerakkan Barisan Tani Indonesia (BTI), NU mengaktifkan Pertanu. Di tubuh PKI ada Sobsi, Sarbumusi menghiasi NU dengan corak tersendiri. Terakhir, PKI memilki Lekra, NU mempunyai Lesbumi sebagai punggawa kebudayaan warga Islam.

Pokoknya, tiap terobosan yang diciptakan NU merupakan niatan perlawanan. Gerak langkah PKI wajib dicegah, kalau tidak bisa mewabah. Jika ini tak dilakukan, maka tamatlah riwayat umat Islam.

Melihat kondisi yang demikian, ke mana gaung Lesbumi sekarang ini? Kenapa tak terdengar lagi pergulatannya? Bahkan, di buku-buku sejarah pun kiprah Lesbumi tak mendapatkan perhatian. Benarkah pernyataan penulis bahwa Lesbumi "mati suri"?

Amien Rais dalam buku Agenda-Mendesak Bangsa Selamatkan Indonesia! menyebutkan siklus sejarah akhirnya patah dan sejarah akhirnya berakhir. Sejarah akan mati. Tak salah jika Amien berujar demikian. Toh, sejarah memang tak akan lagi berulang. Ia akan menjadi sebentuk nostalgia yang kadang harus menerima koksekuensi terpahit: dilupakan.

Kehadiran Lesbumi merupakan respon terhadap Lekra, meskipun tak seutuhnya, mengingat terdapat dua momen historis, yakni momen politik dan momen budaya. Maka, mati surinya Lesbumi beriringan dengan melemahnya gaung organisasi kebudayaan PKI ini. Kematian Lekra seolah-olah mengakhiri tugasnya.

Terlepas dari itu semua, testimoni Misbach Yusa Biran yang menjadi landasan buku ini patut kita perhatikan. Ketika Misbach mengajukan pertanyaan kepada Abdurrahman Wahid, apakah NU tidak akan menghidupkan lagi Lesbumi, beliau diam saja. Pada masa hangat-hangatnya Lesbumi berjuang, para kia juga bersikap "pura-pura tidak tahu". Kalau ditanya bagaimana hukumnya di bidang kesenian, jawabnya: "Lebih baik ente jangan tanya." Lho, kok?

Pada suatu kesempatan, karena tertarik dengan sejarah Lesbumi, saya bertanya kepada sesepuh desa perihal keberadaan Lesbumi di tanah pertiwi. Kegelisahan akan mati surinya Lesbumi terobati karena orang tua berusia 60-an tahun itu dengan semangat bercerita demikian:

"Tiap tahun, bertepatan dengan perayaan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus di Lengkong, sebuah desa di Pati, digelar pertunjukkan hebat. Di sana beberapa lembaga kebudayaan beradu ambil posisi: Lekra, Lesbumi, dan LKN (Lembaga Kebudayaan Nasional). Mereka menarik perhatian masyarakat. Tapi, yang paling semarak itu Lesbumi. Pengunjungnya banyak. Sebelum Lesbumi lahir, Lekralah yang paling terkenal. Lambat-laun posisinya digeser oleh Lesbumi. Tapi, sayang, sekarang zaman telah berubah. Saat perayaan kemerdekaan tiba, yang ada hanyalah hura-hura. Semangat perjuangan sudah luntur. Pemudanya tak lagi punya semangat seperti pemuda pada zaman bapak dulu."

Mendengar pernyataan tersebut kekhawatiran yang diajukan penulis buku ini tertepis, karena Lesbumi masih lekat di hati para sesepuh ini. Permasalahan yang muncul, bukankah mereka juga mempunyai batasan umur. Lalu, siapakah yang akan terus mengabadikan sekaligus mengenang Lesbumi nantinya? Buku ini setidaknya akan mengingatkan orang akan perjuangan Lesbumi itu.

Ahmad Khotim Muzakka, Pegiat pustaka Pesanggerahan Kalamende, Replika.com, Semarang

Home  »  General  »  Lesbumi NU Gelar Teater Laksamana Cheng Ho

  • Thursday, January 27, 2011, 9:50
  • General
  • 92 views
  • Add a comment
UmmatOnline.Net–Lembaga Seni dan Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi) Nahdlatul Ulama akan menyelenggarakan pagelaran seni teater yang mengangkat kisah Laksamana Cheng Ho. Pagelaran ini akan dilaksanakan pada 29-30 Januari pukul 19.30 WIB di Gedung Teater Kecil Pusat Kesenian Jakarta, Taman Ismail Marzuki (TIM) Jl. Cikini Raya 73 Jakarta. “Cheng Ho adalah tokoh besar yang memiliki peran penting dalam proses Islamisasi di Nusantara. Dia cikal bakal gerakan kultural,” kata Ketua Lesbumi, Dr Ngatawi Al Zastrouw dalam konferensi pers di Gedung PBNU Jl. Kramat raya 164 Jakarta, Kamis (27/1). “Pagelaran ini dimaksudkan sebagai kegiatan untuk memperingati Harlah NU ke-85. Diharapkan pagelaran ini dapat memperkokoh gerakan kultural dalam menjalankan fungsi Lesbumi PBNU sebagai ormas keagamaan,” kata Zastrouw seraya menambahkan, pagelaran Cheng Ho kali ini memiliki nuansa yang berbeda karena memadukan antara unsur teater modern dengan seni tradisi, khususnya wayang. Wakil Sekretaris Lesbumi PBNU Dienaldo menyatakan, NU adalah organisasi keislaman yang menggunakan kebudayaan dan tradisi sebagai sarana dakwah Islamiyah. “Di sini ada kesamaan strategi dakwah Islam antara yang dilakukan NU dan Cheng Ho,” terang Dienaldo. Selain para budayawan yang berdedikasi tinggi terhadap kualitas budaya pertunjukan, pagelaran didukung oleh para artis papan atas sepertiRay Sahetapi Rieke Dyah Pitaloka, Soultan Saladin dan Ki Entus Susmono, dengan sutradara Siti Artati, seorang dosen teater dan tari dari IKJ. “Cheng Ho lebih mengutamakan perdamaian daripada peperangan,” ujar Siti. Ray Sahetapy, aktor kawakan yang memerankan Cheng Ho mengatakan, tokoh Cheng Ho adalah tokoh yang unik. “Susah untuk memerankan tokoh ini, karena tokoh ini sangat bersih, gerakannya sulit dibaca, tapi punya sikap yang tegas,” ujar pemain beberapa film antara lain Kabut Ungu di Bibir Pantai, Tirai Kasih, Secangkir Kopi Pahit, Hati Seorang Perawan, Pelangi di Balik Awan, Kerikil-Kerikil Tajam, Kabut Perkawinan. Noesa Penida, Secangkir Kopi Pahit, Kerikil-Kerikil Tajam, Opera Jakarta, dan Jangan Bilang Siapa-Siapa. (Kadar Santoso)

Posisi LESBUMI Di Tengah Polemik Kebudayaan

Kamis, 05 Juni 2008

Last Updated Kamis, 05 Juni 2008

Indonesia mulai menemukan bentuknya. Di tahun 1920-an para tokoh nasional waktu itu telah merancang

'design' bagaimana Negara harus diformulasikan mulai dari urusan pendidikan, perekonomian hingga urusan

kebudayaan .

Pada tahun-tahun tersebut tokoh-tokoh nasional mulai memperdebatkan sistem pemerintahan, hingga muncul sistem

'demokrasi terpimpin' oleh presiden Soekarno. Demokrasi terpimpin adalah sebuah demokrasi yang seluruh keputusan

serta pemikiran berpusat pada pemimpinnya saja. PKI menyambut "Demokrasi Terpimpin" Soekarno dengan hangat dan

anggapan bahwa PKI mempunyai mandat untuk persekutuan Konsepsi yaitu antara nasionalisme, agama (Islam) dan

komunisme yang dinamakan NASAKOM.

Khusus soal kebudayaan Soekarno memberi perhatian khusus dengan pidatonya pada 17 Agustus 1959 yang isinya

menyemangati pemuda-pemudi untuk tidak hanya mengusir penjajah dalam bentuk imperalisme politik, imperalisme

ekonomi tetapi juga imperalisme budaya. Berikut kutipannya:

"Saudara-saudara melihat, bahwa dus tidak benar, kalau dikira bahwa kita hanja mengiichtiarkan "sandang pangan"

sadja. Demikian pula tidak benar, kalau orang mengira, bahwa karena fasal 3 program cabinet berbunji "melandjutkan

perdjoangan menentang imperialisme ekonomi dan imperialisme politik", maka kalau tidak akan mengambil pusing akan

mengambil pusing hal imperialisme-imperialisme lain, misalnja imperialisme kebudajaan. Saja telah memberi instruksi

kepada menteri-muda Pendidikan, pengadjaran dan kebudajaan untuk mengambil tindakan-tindakan dibidang

kebudajaan ini, untuk melindungi kebudajaan nasional dan mendjamin berkembangnja kebudajaan nasional.

Era "Demokrasi Terpimpin", yaitu kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan kaum borjuis nasional dalam menekan

pergerakan-pergerakan independen kaum buruh dan petani, gagal memecahkan masalah-masalah politis dan ekonomi

yang mendesak. Pendapatan ekspor menurun, cadangan devisa menurun, inflasi terus menaik dan korupsi birokrat dan

militer menjadi wabah.

Di tengah-tengah kondisi tersebut NU sebagai organisasi yang mengurusi pendidikan dan sosial keagamaan tidak

tinggal diam dengan caranya sendiri, NU ikut mewarnai sejarah perkembangan untuk Indonesia Raya. Sebagaimana

penelitian yang dilakukan oleh Greg Fealy adalah satu kajian "organisation-historic" mengenai NU, terutama mengenai

keterlibatan NU dalam "mimbar" politik praktis yang dimainkan oleh elite-elite NU itu sendiri. Mulai dari latar belakang

sejarah NU, pemikiran politik keagamaannya, penarikan diri NU dari Masyumi tahun pada tahun 1952, perjuangan

meraih kekuasaan (1953-1955), kemenangan dan pemulihan nama baik (1955-1956), politik akomodasi (1957-1962),

militansi, konflik, dan kompromi (1963-1967).

Perjumpaan NU dengan kebudayaan di Indonesia ada sesuatu yang unik, dalam lintasan sejarah di mana tahapan

tersebut dapat dirunut sejak awal NU berdiri pada 1926 sebagai organisasi pendidikan dan sosial-keagamaan.

Perjumpaan itu terus berlangsung secara intensif dan terus-menerus seiring dengan perubahan NU yang menjadi

gerakan politik pada 1952 hingga mencapai mementumnya pada 1960-an. Politik dengan mengambil domain 'seni dan

kebudayaan', NU mendirikan Lembaga Seniman dan Budayawan Muslimin Indonesia (Lesbumi) merupakan lembaga

kebudayaan yang berafiliasi dengan politik seperti partai Nahdlatul Ulama (NU) saat organisasi itu menjadi partai politik

pada tahun 1952. Di tahun-tahun tersebut sebuah lembaga kebudayaan tidak afdhol kalau tidak berafiliasi dengan partai

politik. Sebagaimana Lekra (PKI), LKN (PNI), Lesbumi (NU) juga ambil bagian.

Hiruk pikuk politik saat itu sangat mempengaruhi 'seni dan kebudayaan di tanah air' khususnya di Jakarta, dari mulai

polemik kebudayaan, Surat kepercayaan gelanggang hingga munculnya manifes kebudayaan disamping manivesto

politik dengan konsep Nasakomnya Soekarno.

Lesbumi dianggap sebagai penanda kemodernan di tubuh NU. Modern di sini jika dilihat dari kacamata NU melalui

Lesbumi yang sama sekali baru terhadap perkembangan seni-budaya. Jika dilihat dari para pendapat tokohnya, seperti,

Djamaluddin Malik, Usman Ismail, dan Asrul Sani. Inilah bentuk apresiatif NU terhadap modernitas, terutama

menyangkut relasi agama dan politik dalam konteks 'kemusliman' melalui pendefinisian ulang terhadap seni-budaya

'Islam'. Kemudian, mengapa Lesbumi seakan-akan lenyap dari wacana perbincangan sejarah seni-budaya dan politik di

Indonesia File

http://indonesiafile.com Powered by MI.eNGINE! Generated: 5 March, 2011, 23:26

Indonesia. Inilah sebenarnya yang dijawab dalam buku ini, yaitu polemik kebudayaan Lesbumi yang terjadi pada kurun

waktu 1950-1960.

Tiga serangkai tokoh Lesbumi Djamaluddin Malik, Usmar Ismail, dan Asrul Sani. Mulai menata kembali format seni dan

budaya ala NU yang berpegang erat pada ahlussunah wal jama'ah. Sehingga dengan cara membentuk sendiri sentrum

budaya NU (Lesbumi) dapat memoderasi di tengah-tengah ketegangan aliran seni budaya yang berhaluan 'realisme

sosialis versus humanisme universal'.

Dua aliran yang bersitegang 'perang pena' tersebut, Lekra (PKI) memenangi seni sastra dan seni lukis dibanding LKN

(PNI) walaupun partai terakhir ini adalah milik pemerintah (Soekarnois). Sementara, Lesbumi (NU) mengambil segment

seni perfilman dan sandiwara, disamping kesenian tradisional ala NU (bordah dan tilawatil qur'an).

Pertanyaan mengapa Lekra (PKI) mengambil segment seni sastra dan seni lukis karena dalam urusan sinematografi

tokoh-tokoh Lekra (PKI) tidak menguasai. Suatu ketika pernah seorang produser Lesbumi Munir Abu Sudjak berkenan

memberikan akses kepada orang Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) untuk mendistribusikan film tapi akhirnya di

sabotase dengan menggunting bagian film. Sebenarnya Asrul Sani sudah mengingatkan Abu Sudjak untuk tidak

bekerjasama dengan Lekra (PKI) namun tidak dihiraukan. Hingga akhirnya Lesbumi rugi besar karena peristiwa itu.

Djamaluddin Malik, Usmar Ismail, Asrul Sani dan sebagainya (Lesbumi) berhasil menciptakan film yang digandrungi

masyarakat pada saat itu seperti 'Pagar Kawat Berduri', 'Tauhid', dan sebagainya.

Memang jika karya-karya bapak Asrul Sani sangat begitu baik sebagai seorang penulis sekenario. Namun pak asrul

sendiri pernah menyatakan kalau film-film Usmar pernah berbau Hollywood, hingga Usmar pun harus

mengkompromikan idealismenya dalam film 'Tiga Dara'. Namun, bagaimanapun karya para pejuang-pejuang dalam

bidang kebudayaan patut dihormati karena saat itu Indonesia memang membutuhkan Kebudayaan anak Indonesia yang

benar-benar muncul dan lahir dari ide kreatif anak bangsa.

PKI dengan semangat menggebu-ngebu melarang masuknya kebudayaan bangsa Amerika. karena Amerika yang

Liberal Kapitalis tidak sesuai dengan ide semangat bangsa yang anti Kapitalis (sosialis-komunis).

Lekra melakukan itu demi menyelamatkan kebudayaan bangsa. Mungkin caranya yang salah. Masuknya kebudayaan

memang tak dapat dibendung melainkan kita yang harus pintar-pintar memproteksi diri terhadap pengaruh dari luar

dengan memfilter kebudayaan yang masuk. Apa yang dicita-citakan oleh Lekra untuk membangun kebudayaan rakyat

sebagai kebudayaan bangsa adalah hal yang wajar karena itu didukung rasa nasionalisme, kecintaannya kepada

bangsa Indonesia. Tetapi Lesbumi tetap berkhidmat pada perjuangannya dalam memperjuangkan NU dan aswaja-nya

melalui domain kebudayaan.

by: Taufiq attamzirien

Indonesia File

http://

LESBUMI di Tengah-Tengah Aliran Realisme Sosialis VS Humanisme Universal

Kamis, 29 Mei 2008

Last Updated Senin, 02 Juni 2008

Gejolak politik kebudayaan di Indonesia selama 1950-an dan 1960-an sangat mengesankan bagi budayawan,

sastrawan, seniman dan politisi pada waktu itu. Dapat dibayangkan situasi-kondisi pada tahun-tahun itu sangat

menguras energi banyak pihak. Dalam skripsi Alexander Supartono dikatakan bahwa gejolak yang terjadi antara tahun

1960-1965 adalah fenomena yang paling dikenal dan sekaligus tidak jelas.

Gejolak yang terkenal dengan 'Peristiwa Manikebu' (manifes kebudayaan) ini kemudian menuntut multitafsir sesuai

kepentingan setiap penafsir dan terutama sesuai dengan tingkat kesempatan (atau kemampuan) mengakses bahan

sejarah yang sezaman. Sebagian menafsirkan 'Peristiwa Manikebu' sebagai perdebatan antara penganut realismesosialis

dan pendukung humanisme-universal, pertarungan antara Lekra dan angkatan '45 sebagai cikal bakal pencetus

Manifes Kebudayaan. Sebagian lainnya menyatakan sebagai penindasan Lekra 'lembaga kebudayaan yang dominan

pada masa itu' terhadap paham-paham lain, terutama terhadap kelompok Manifes Kebudayaan yang secara frontal

menghadangnya. Ada juga yang menyatakan bahwa pergolakan itu tidak lain dari sebuah pertarungan politik yang

mengambil domain kebudayaan.

Persis di tengah-tengah riuhnya pertarungan tersebut, sebagai 'gerakan alternatif' para seniman dan budayawan NU

meresponnya dengan membentuk LESBUMI yang lahir pada 21 syawal 1381 H (28 Maret 1962) yang peresmiannya

berlangsung di gedung Pemuda Jakarta. Tiga tokoh pelopor utamanya yaitu Djamaludin Malik, Usmar Ismail, Asrul Sani

ditambah tokoh lainnya Misbah Yusa Biran, Anas Ma'ruf, dan sebagainya. Karakter utama yang membedakan Lesbumi

dari Lekra dan Manifes Kebudayaan adalah kentalnya warna 'religius' dalam produksi seni budayanya. Hal ini

dimaksudkan untuk menghindari dua titik ekstrim antara kubu Lekra dan Manifes Kebudayaan.

Pada titik ini, Lesbumi yang mendasarkan ekspresi keseniannya tetap pada garis ideologi ahlussunnah wal jama'ah

(Aswaja) walaupun pada saat itu ulama-ulama NU pura-pura tidak tahu menahu soal keberadaan Lesbumi karena

secara hukum fiqh masih dalam pembahasan apakah diperbolehkan atau tidak. Seni budaya Islam/Pesantren yang nota

bene 'tradisional' dan 'religius' (qasidah, tilawah/seni baca al-Qur'an) dan seni budaya 'modern' (sastra, film, dan teater)

ini boleh dipadukan atau tidak juga tidak pernah difatwakan. Tapi bagaimanapun latar budaya NU sangat terkait dengan

pesantren.

Meningkatnya suhu politik di Indonesia yang berujung pada peristiwa '30 September 1965' dan masa-masa yang

mengikutinya telah mengakibatkan 'mati-suri'-nya dinamika seni budaya di Indonesia hingga saat ini. Dengan sendirinya,

proses pencarian format seni budaya yang coba dilakukan oleh Lesbumi mengalami 'jeda'. Pandangan lain juga

dikemukakan oleh Hersri Setiawan seorang mantan tahanan politik yang pernah aktif di Lekra mengisyaratkan bahwa

terlalu dini untuk meyakini Lesbumi sebagai lembaga seni budaya yang 'mapan' setara dengan Lekra. Menurut Hersri,

Lesbumi sebenarnya memang belum pernah lebih dari sekedar nama plus Mahbub Djunaidi sebagai kolumnis Duta

Masyarakat dan Djamaluddin Malik sebagai sutradara film Persari.

Masalah relasi antara seni budaya, agama, dan politik mendapat perhatian mendalam dalam buku ini. Rentang waktu

yang diambil, 1952-1967 menggunakan acuan kesejarahan NU. Pertimbangan utamanya adalah karena pada tahun

1952, NU menyatakan keluar dari Masyumi. Kurun waktu 1952 hingga 1967, seperti dinyatakan penulis buku Ijtihad

Ulama NU Greg Fealy, merupakan masa giat-giatnya NU berpolitik. Sikap moderat dan akomodatif telah ditempuh NU

untuk memperluas pengaruhnya di masyarakat. Dalam rentang waktu tersebut (1962) Lesbumi lahir.

Polemik Kebudayaan

Satu isu penting muncul dari polemik kebudayaan, yakni soal sejauhmana kebudayaan Indonesia yang dibangun pada

saat itu menoleh ke arah 'Barat' (Eropa), ke arah 'Timur' (India), atau ke arah masa lalu pulau-pulau yang diimajinasikan

sebagai Indonesia asli.

Munculnya isu pesantren dalam 'Polemik Kebudayaan' menjadi titik temu dan sekaligus pengantar bagi NU memasuki

wacana kebudayaan di Indonesia dalam 'dua momentum penting'. Titik pertemuan NU dengan wacana kebudayaan di

Indonesia sejalan dengan proses pembentukan negara-bangsa dan kesadaran akan 'nasionalisme Indonesia' satu

fenomena kemodernan.

Indonesia File

http://indonesiafile.com Powered by MI.eNGINE! Generated: 5 March, 2011, 23:32

Dalam perjumpaannya dengan budaya, pesantren 'pesantren yang di polemikkan oleh para intelektuil pada waktu itu,

seperti Dr. Sutomo, Tjindarbumi, adi Negoro, Ki Hajar Dewantara, dan Alisjahbana dalam 'peristiwa kebudayaan' di

tahun 1930-an 'menjadi titik temu bagi NU. Munculnya isu pesantren dalam 'peristiwa kebudayaan' tahun 1930-an tidak

dapat dilepaskan begitu saja dari polemik tentang pendidikan dan perguruan nasional di Indonesia. Polemik tersebut

dilihat dalam konteks perdebatan antara 'Timur' dan 'Barat'. Hal ini menunjukkan bahwa pesantren 'sebagai bagian dari

lembaga pendidikan dan perguruan nasional' telah menjadi arena perebutan wacana tentang kebudayaan Indonesia.

Pesantren yang diimajinasikan sebagai 'asli' berkultur 'Timur' dan berkarakteristik kedesaan diperhadapkan dengan

H.I.S. dan E.L.S. yang diimajinasikan sebagai berkultur 'Barat' dan berkarakteristik kekotaan. Kultur 'Timur' dan karakter

'desa' dipandang tradisional. Sedangkan kultur 'Barat' dan karakter 'kota' dipandang modern dan maju. Pengimajinasian

dan pengkarakterisasian ini mendorong usaha-usaha pemodernan dan pemajuan terhadap pesantren. Artinya, ada

usaha untuk membaratkan dan mengotakan pesantren agar modern dan maju.

Usaha untuk mengotakan pesantren berhasil dilakukan. Pengotaan pesantren dilakukan melalui mediun 'organisasi' NU

yang lahir pada 31 Januari 1926 di 'kota besar' Surabaya. Usaha ini, antara lain mewujud dalam bentuk pendirian

madrasah di 'kota-kota besar', khususnya di pulau Jawa. Langkah ini sejalan dengan gagasan Dr. Sutomo. Sementara

itu, mengingat bahwa basis massa NU berada di pedesaan, upaya pemodernan juga dilakukan dengan mendirikan

madrasah di desa-desa. Dalam hal tertentu, langkah ini sejalan dengan gagasan Alisyahbana. Pemodernan dalam ruang

sosio-budaya kota dan desa ini meniscayakan ulama untuk melakukan peran 'translasi dua arah'.

Upaya modernisasi kaitannya dengan pembaratan yang dinilai berhasil adalah ketika NU menarik diri dari partai

Masyumi dan menjadi 'partai politik' tersendiri pada tahun 1952. Modernisasi dilakukan untuk mengimbangi kemodernan

Partai Masyumi. Satu 'penanda kemodernan penting' dalam proses itu adalah kehadiran Lesbumi di dalam Partai NU.

Namun, kehadiran Lesbumi sebenarnya tidak hanya menjadi 'satu penanda kemodernan penting', tetapi juga sebagai ?

pada saat yang bersamaan 'peniruan' terhadap organisasi yang ekspresi kebudayaannya mencerminkan

'tradisionalisme' dan bercorak 'kerakyatan', Lekra. Jadi, kehadiran Lesbumi di dalam NU seolah nampak sebagai sebuah

paradoks: menghadirkan modernitas dan tradisionalitas sekaligus. Hal ini menandakan bahwa proses pembaratan dan

penimuran yang dilakukan NU masih sedang berlangsung.

Di NU istilah 'kebudayaan' baru muncul dalam Muktamar ke-19 di Palembang pada tahun 1952. Istilah kebudayaan

muncul bersamaan dengan istilah pendidikan dalam rumusan tentang 'Program Perjuangan NU'. Yang menarik adalah

wacana tentang kebudayaan ini muncul di saat NU memutuskan untuk menarik diri dari Partai Masyumi dan menjadi

partai politik tersendiri. Artinya, kebudayaan di sini lahir dari kehendak politik. Perhatian NU pada masalah kebudayaan,

yang sejalan dengan perhatiannya pada masalah pendidikan, mengingatkan kita pada 'peristiwa kebudayaan' tahun

1930-an yang sedang mempolemikkan masalah pendidikan dan perguruan nasional di Indonesia. Jadi, isu pendidikan

dan perguruan nasional memang tak bisa dilepaskan begitu saja dari isu kebudayaan.

Oleh: Taufiq attamzirien

Indonesia File

http://indonesiafile.com Powered by MI.eNGINE! Generated: 5 March, 2011, 23:32

Posted on 14. Jul, 2008 by ave in Review

PADA masa “Demokrasi Terpimpin” lembaga seni budaya banyak yang berafiliasi dengan partai. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa seni budaya telah dimanfaatkan secara ekstensif sebagai alat tindakan politik. Hampir dapat dipastikan partai politik yang berbasis massa besar hingga yang terkecil memiliki lembaga seni budayanya masing-masing. Yang pada pempublikasiannya, akhirnya memicu timbulnya polemik dalam domain kebudayaan. Polemik tersebut berawal dari persoalan ‘Timur dan Barat’ (1930-an) sebelum terbentuknya lembaga kesenian dan kebudayaan, yang mengkerucut pada persoalan ‘Kebudayaan Nasional dan Kebudayaan Dunia’ (1950-an), dan ‘Politik Aliran Kebudayaan’ (1960-an) setelah lembaga kesenian dan kebudayaan terbentuk.

Buku yang berjudul Lesbumi: Strategi Politik Kebudayaan yang di tulis oleh Choirotun Chisaan ini hendak mengungkap sisi lain NU yang selama ini diidentikkan dengan organisasi kaum bersarung sebagai partai politik Islam dalam pergaulannya, yang juga mempunyai peranan penting dalam pertumbuhan dan perkembangan kebudayaan di Indonesia demi menjawab segala tantangan modernitas yang terjadi pada saat itu dengan lembaga keseniannya Lesbumi (Lembaga Seniman Budayawan Muslim Indonesia).

Indonesia yang berada dalam proses pembentukan negara-bangsa menghadapi banyak tantangan baik dari dalam maupun luar negeri, yang memerlukan pembenahan dalam berbagai sektor kehidupan. NU mempunyai badan otonom yang mencerminkan perhatiannya pada masalah pendidikan, sosial, dakwah, perempuan, pemuda, dan buruh. Dalam perkembangan selanjutnya, bagian-bagian dan badan-badan yang otonom yang ada di tubuh NU semakin bertambah seiring meluasnya perhatian pada masalah lain. Termasuk Lesbumi yang dibentuk pada tahun 1962 yang berkonsentrasi pada seni budaya.

Ada dua faktor yang mendorong lahirnya Lesbumi. Pertama adalah faktor ekstern, yang meliputi; dikeluarkannya Manifesto Politik pada tahun 1959, pengarusutamaan Nasakom dalam tata kehidupan sosio-budaya dan politik Indonesia pada tahun 1960-an, dan perkembangan Lekra (1950), organisasi kebudayaan yang sejak akhir tahun 1950-an dan seterusnya semakin menampakkan kedekatan hubungan dengan PKI baik secara kelembagaan maupun ideologis. Kedua, adalah faktor intern yakni, kebutuhan pendampingan terhadap kelompok-kelompok seni budaya di lingkungan nahdiyyin, dan kebutuhan akan modernisasi seni budaya.

Lesbumi adalah merupakan reaksi terhadap perkembangan Lekra, karena kemunculannya baru pada tahun 1962, dua belas tahun setelah kelahiran Lekra. Akan tetapi, kelahiran Lesbumi dalam konteks politik kebudayaan merupakan satu kemestian, satu conditio sine qua non atas jalannya revolusi Indonesia yang menganut gagasan Nasakom Soekarno. Kemestian inilah yang menegaskan kehadiran Lesbumi bukan untuk mendirikan organisasi kebudayaan. Kehadiran Lesbumi juga merupakan reaksi terhadap berbagai macam tantangan yang datang dari berbagai arah yang mengitari kaum muslimin.

Lesbumi membawa warna yang berbeda dari Lekra. Lesbumi membawa genre “religius”. Ia merupakan manifestasi dari cita-cita dan gagasan kesatuan Nasakom Soekarno yang meniscayakan terhadap agama sebagai unsur mutlak dalam nation and character building di bidang kebudayaan. Pendefinisian ini sejalan dengan tujuan revolusi Indonesia yang menginginkan tercapainya masyarakat yang adil makmur lahir batin yang diridlai Allah. Diyakini bahwa jalannya revolusi Indonesia, sebagaimana dinyatakan dalam Manifesto Politik, menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa di dalam kesatuan Pancasila sebagai landasan ideal.
Sehubungan dengan itu, penegasan Soekarno bahwa pancasila adalah satu hogere optreking dari pada Deklartion of Independence (yang tidak membawa keadilan sosial bagi sosialisme) dan Manifesto Komunis (yang harus disublimir dengan Ketuhanan Yang Maha Esa) memunculkan acuan penting mengenai sosialisme yang bertaut dengan religiusitas di dalam praktik kehidupan masyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Humanisme religius adalah istilah yang muncul sebagai turunan. Yang dalam konteks Lesbumi, religiusitas menjadi tendensi, bukan hanya dalam ekspresi dan produksi seni budayanya, melainkan juga aktivis-aktivis yang menggerakkannya seperti yang dikemukakan oleh tiga tokohnya, Djamaluddin Malik, Usmar Ismail dan Asrul Sani.

Lesbumi dengan semboyan Humanisme religius­-nya juga memberikan alternatif baru dalam polemik dalam mementukan arah kebudayaan yang terjadi antara Lekra yang beraliran realisme sosialis dan Manifes Kebudayaan yang beraliran humanisme universal. Lesbumi menolak jargon “politik adalah panglima” yang menjadi motor penggerak aktivitas Lekra, dan semboyan “seni untuk seni” (l’ art pour l’ art) yang menjadi elan vital Manifes Kebudayaan.

Oleh karena itu, buku ini sangat menarik sebab memaparkan upaya NU mencari relasi antara agama, seni, dan politik hingga Lesbumi resmi dibentuk. Sebagai organisasi kebudayaan di bawah naungan NU, Lesbumi telah melakukan kopromi politik dan agama dalam konteks “kemusliman” melalui pendefinisian kebudayaan “Islam”. Dalam konteks yang lebih luas, upaya ini merupakan wujud dari respon NU terhadap modernitas. Dari buku ini kita dapat melihat bahwa NU sebagai ormas tidak hanya berkecimpung dalam bidang sosial, politik, dan keagamaan, tetapi juga kebudayaan.

Lesbumi meski secara kelembagaan telah hilang namun, sebagai lembaga kesenian dan kebudayaan yang berada di bawah naungan NU, ia telah memberi sumbangan besar terhadap tumbuh dan berkembangnya kebudayaan Indonesia terkubur dalam ingatan yang terlupakan. Kehadiran buku ini sangat pantas untuk dibaca oleh berbagai kalangan terutama pengamat sejarah, politik, dan kebudayaan. Karena selama ini dalam perbincangan sejarah, politik, dan kebudayaan Lesbumi kurang disinggung kalau tidak mau dikatakan teracuhkan peranannya dalam pertumbuhan dan perkembangan sejarah seni dan kebudayaan Indonesia.

Selasa, 01 Februari 2011 - 07:37:06 WIB
Pagelaran Cheng Ho Lesbumi PBNU
Diposting oleh : Redaksi
Jakarta.promosinews - Dalam Hari lahirnya PBNU yang ke 85 mencoba melakukan sesuatu yang lain dari biasanya, kali ini PBNU dan LESBUMI mencoba menggelar pagelaran Cheng Ho yang mengisahkan awal masuknya Islam di Bumi Nusantara, Gedung PBNU, Kramat Jakarta Pusat, Kamis (27/11).

Cheng Ho merupakan tokoh besar dan memiliki peran penting dalam proses Islamisasi di Nusantara. Dalam hal ini Cheng Ho dalam penyebaran dakwah Islamnya dilakukan dengan mengembara dengan mengelilingi seluruh Nusantara, dari hasil pengembaraan tersebut Cheng Ho akhirnya mendapatkan ilham dalam merubah strategi berdakwah. “Cheng Ho sendiri mempunyai sekretaris yang bernama Haji Ma Huan, dalam catatan Haji Ma Huan terjadi kevakuman proses Islamisasi di Nusantara selama lebih enam abad akibat dari kesalahan strategi dakwah,” kata DR. Ngatawi Al-Zastrouw ketua LESBUMI PBNU.

Kalau berdasarkan bukti sejarah, Islam masuk Indonesia pada abad ke 7, yang dibuktikan dengan batu nisan Fatimah Binti Maemun di Gresik. Namun, Islam baru dapat diterima dikalangan masyarakat Nusantara pada abad ke 15 inipun pada zaman Wali Songo. “Akhirnya Cheng Ho dalam upaya mengembangkan Islam mengambil langkah untuk meninggalkan anak buahnya untuk melakukan dakwah Islam dengan cara pendekatan cultural,” jelasnya.

Di Semarang dia meninggalkan seorang ulama Wang Jing Hong, di Kerawang Syekh Quro, Sunda Kelapa Soei Soe dan masih ada beberapa tempat lagi ulama-ulama yang di tinggalkan Cheng HO. Inilah yang kemudian menjadi cikal bakal gerakan Islam cultural yang dikembangkan oleh Wali Songo.

Sementara itu Sutradara Siti Artati menambahkan, Nahdlatul Ulama (NU) adalah organisasi keIslaman yang menggunakan kebudayaan dan tradisi sebagai sarana dakwah Islamiyah, dalam hal ini ada kesamaan strategi dakwah yang dilakukan NU dan Cheng Ho. Dalam hal ini Lesbumi PBNU mempunyai pemikiran untuk dijadikan pijakan dalam penyelenggaraan pagelaran Cheng Ho. “Pagelaran ini bermaksud sebagai kegiatan untuk memperingati Hari Lahir NU ke 85, NU sendiri berharap melalui pagelaran ini, NU dapat memperkokoh gerakan cultural dalam menjalankan fungsinya sebagai ormas keagamaan,” katanya.

Pagelaran Cheng Ho sendiri dilaksanakan di gedung Teater Kecil Taman Ismail Marzuki TIM) pada tanggal 29 dan 30 Januari 2011. Dalam pagelaran ini didukung oleh artis ibukota diantaranya, Ray Sahetapy, Sultan Saladin, Rieke Dyah Pitaloka, Dorman Borisman, Ki Enthus Susmono, Fuad Idris dan masih banyak lagi. Yang menjadi sutradara dalam pagelaran Cheng Ho sendiri Siti Artati, yang mana seorang dosen teater dan tari dari IKJsekaligus pengurus LESBUMI PBNU. Dibalik semua itu acara tersebut didukung oleh penata musik dari Koh Amin dan Ki Enthus Susmono.

Pagelaran natinya akan sedikit berbeda nuansa yang disuguhkan, karena memadukan antara unsur teater modern dengan seni tradisi khususnya wayang. Semata-mata pagelaran ini dapat lebih menarik dan juga mencari format rekonstruksi budaya yang bisa memadukan antara seni modern dan seni tradisi, tutup Ki Enthus Susmono.Roby)

07 Februari 2011

LAKSAMANA Cheng Ho turun ke tanah Sumatera. Ia disambut sebuah pesta. Ia memainkan seruling. Lagunya: Butet. Inilah pentas drama Cheng Ho yang diselenggarakan Lesbumi di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pekan lalu. Lembaga kebudayaan NU ini ingin menunjukkan bagaimana pentingnya pengaruh Cheng Ho di Nusantara.

Saat pertama memasuki perairan Palembang, dikisahkan Cheng Ho dikuntit oleh perompak dari Cina bernama Chen Shuji. Cheng Ho yang diperankan Ray Sahetapy menangkapnya. Aktor Jepang, Suzuki Noboyuki, memerankan Shuji. Bahasa Indonesianya beraksen aneh. Tapi justru adegan dialog antara Ray dan Noboyuki cukup kuat.

Ray Sahetapy tampangnya sama sekali tidak mirip bangsawan Tiongkok. Aktor senior ini lama tidak berakting di panggung. Para pencinta teater mungkin menginginkan keaktoran Ray tumpah malam itu. Namun ternyata porsi permainannya hanya beberapa adegan.

Cheng Ho sejatinya tidak pernah menetap di tanah Nusantara. Ia hanya turun sebentar-sebentar. Namun ia meninggalkan para pengikutnya. Banyak cerita yang bisa digali di sini. Dengan aktor seperti Ray, Dorman Borisman, Sultan Shaladin, Rieke Dyah Pitaloka, serta supervisor Alex Komang, mestinya Lesbumi berani menyajikan tafsir sejarah yang lain.

Namun terlihat Lesbumi mengelak untuk serius. Pentas disajikan sebagai sebuah gado-gado humor. Pertunjukan ini dicampur unsur potehi yang dimainkan dalang edan Ki Enthus Susmono. Ia diberi porsi lama oleh tim sutradara: Agus Smoke, Artati, dan Suhandi.

Pentas dimulai dengan Enthus memainkan dua boneka menceritakan dua perwira Cheng Ho yang bosan berada di kapal dan terjadi perkelahian. Tangan Enthus demikian cekatan. Bonekanya seolah mahir memamerkan silat tangan kosong dan silat pedang. Enthus seolah mewarisi keterampilan dalang tua potehi Semarang seperti Thio Tiong Gie. Persoalannya, adegan Enthus ini terlalu lama. Orang bisa mengira ini pertunjukan solonya.

Kemudian pentas diisi selang-seling antara drama dan potehi. Ini strategi dramaturgi yang menarik bila saja sutradara ketat mengatur tempo. Lagi-lagi yang menjadi soal terlihat Enthus sering menonjol daripada dramanya. Adegan wayang potehi yang seharusnya menjadi ilustrasi malah menjadi bagian yang utama.

Padahal ada adegan-adegan drama yang bisa dikembangkan. Misalnya bagaimana paranoidnya para penguasa Dinasti Ming terhadap kudeta. Hingga banyak lelaki sedari kecil dikebiri. Termasuk Cheng Ho. Ia seorang kasim.

Kaisar Yongle dimainkan oleh Dorman Borisman. Inilah kaisar Dinasti Ming yang mengirim muhibah Cheng Ho. Dalam sejarah Dinasti Ming dianggap membebaskan rakyat Cina dari kolonisasi Dinasti Yuan (Mongol). Namun ternyata Yongle juga tiran yang memenggal sejarawan Fang Xiaro (Budi Tompel) dan pengikutnya yang tak mau menuliskan sejarah versinya. Adegan pemancungan ini ditampilkan dalam format potehi.

Di sini keliaran Enthus memuncak. Ia memainkan wayang potehi yang kepalanya bisa copot atau wayang yang bisa merokok. Ia mengeluarkan wayang bersosok Obama, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Rhoma Irama, yang ikut menyaksikan pemancungan. Terus terang sableng. Tapi sungguh melebar dari fokus.

Dikisahkan tatkala Cheng Ho mendekati perairan Jawa, ia mendengar terjadi perang saudara antara Blambangan dan Majapahit. "Kerahkan 300 orang ke Blambangan. Cari tahu mengapa mereka bertikai dengan Majapahit!" perintah Cheng Ho dari atas kapal. Ia meminta pasukannya tidak bersenjata. Dan di daratan terjadi salah paham. Pasukan Majapahit menyerang pasukan Cheng Ho lantaran dikira membantu Blambangan.

Tidak diceritakan bagaimana kesudahannya. Sebuah versi mengatakan 100 lebih prajurit Cheng Ho mati, tapi Cheng Ho dan juga Kaisar Ming tidak membalas. Itu berbeda dengan saat Kartanegara memotong kuping seorang utusan Mongol. Penguasa Yuan marah dan mengirim kapal untuk menghukum Kartanegara.

Drama tidak sampai ke situ. Walhasil, biografi Cheng Ho hanya sekilas-sekilas. "Siapkan sekoci. Salam Nusantara!" Saat Cheng Ho meniup seruling lagu Butet, sebetulnya itu adegan yang hangat. Tapi, begitu pulang, yang terkenang penonton bisa jadi hanya kegilaan Enthus.

Seno Joko Suyono


Page 2