Jelaskan tiga upaya yang dapat dilakukan masyarakat dalam mewujudkan masyarakat adil dan makmur

Medan, 26 Oktober 2016
Keadilan dalam Konteks Perkembangan Paradigma Pembangunan (1)

Oleh:
Nurwino Wajib
TA. Pelatihan
OC 1 Provinsi Sumatera Utara
Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU)

Keadilan merupakan suatu hal yang abstrak. Guna mewujudkan suatu keadilan harus mengetahui apa arti keadilan itu seutuhnya. Untuk itu perlu dirumuskan definisi yang setidaknya mendekati, dan dapat memberi gambaran apa arti keadilan. Definisi mengenai keadilan sangat beragam, dapat ditunjukkan dari berbagai pendapat yang dikemukakan oleh para pakar di bidang hukum yang memberikan definisi berbeda-beda mengenai keadilan.

Keadilan, menurut filsuf termasyhur Aristoteles, dalam tulisannya Retorica membedakan keadilan dalam dua macam. Pertama, keadilan distributif atau justitia distributiva. Keadilan distributif adalah suatu keadilan yang memberikan kepada setiap orang didasarkan atas jasa-jasanya atau pembagian menurut haknya masing-masing. Keadilan distributif berperan dalam hubungan antara masyarakat dengan perorangan.

Kedua, keadilan kumulatif atau justitia cummulativa. Keadilan kumulatif adalah suatu keadilan yang diterima oleh masing-masing anggota tanpa mempedulikan jasa masing-masing. Keadilan ini didasarkan pada transaksi (sunallagamata) baik yang sukarela atau tidak. Keadilan ini terjadi pada lapangan hukum perdata, misalnya dalam perjanjian tukar-menukar.

Thomas Aquinas, seorang filsuf hukum alam, membedakan keadilan dalam dua kelompok. Pertama, keadilan umum (justitia generalis), yakni keadilan menurut kehendak undang-undang, yang harus ditunaikan demi kepentingan umum.

Kedua, keadilan khusus, yaitu keadilan atas dasar kesamaan atau proporsionalitas. Keadilan ini debedakan menjadi tiga kelompok, yaitu (1) keadilan distributif (justitia distributiva) , yang secara proporsional yang diterapkan dalam lapangan hukum publik secara umum, (2) keadilan kumulatif (justitia cummulativa), keadilan dengan mempersamakan antara prestasi dengan kontraprestasi, (3) keadilan vindikatif (justitia vindicativa), keadilan dalam hal menjatuhkan hukuman atau ganti kerugian dalam tindak pidana. Seseorang dianggap adil apabila ia dipidana badan atau denda sesuai dengan besarnya hukuman yang telah ditentukan atas tindak pidana yang dilakukannya.

Sedangkan Notohamidjojo (1973: 12) mengklasifikasikan keadilan menjadi dua, yaitu pertama,k eadilan kreatif (iustitia creativa); Keadilan keratif adalah keadilan yang memberikan kepada setiap orang untuk bebas menciptakan sesuatu sesuai dengan daya kreativitasnya. Kedua, keadilan protektif (iustitia protectiva); Keadilan protektif adalah keadilan yang memberikan pengayoman kepada setiap orang, yaitu perlindungan yang diperlukan dalam masyarakat.

Menurut John Raws (Priyono, 1993: 35), keadilan adalah ukuran yang harus diberikan guna mencapai keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan bersama. Ada tiga prinsip keadilan, yaitu (1) kebebasan yang sama yang sebesar-besarnya, (2) perbedaan, (3) persamaan yang adil atas kesempatan.

Pada kenyataannya, ketiga prinsip itu tidak dapat diwujudkan secara bersama-sama karena dapat terjadi prinsip yang satu berbenturan dengan prinsip yang lain. John Raws memprioritaskan bahwa prinsip kebebasan yang sama yang sebesar-besarnya secara leksikal berlaku terlebih dahulu dari pada prinsip kedua dan ketiga.

Dari beberapa pendapat para pakar di atas, masing-masing memiliki analisis yang kuat, dan yang pasti sejalan dengan keadilan dari sudut pandang bangsa Indonesia yang disebut juga keadilan sosial yang secara jelas dicantumkan dalam pancasila, sila ke-2 dan ke-5, serta UUD 1945. Keadilan adalah penilaian dengan memberikan kepada siapapun sesuai dengan apa yang menjadi haknya, yakni dengan bertindak proposional dan tidak melanggar hukum. Keadilan berkaitan erat dengan hak, dalam konsepsi bangsa Indonesia hak tidak dapat dipisahkan dengan kewajiban. Dalam konteks pembangunan bangsa Indonesia keadilan tidak bersifat sektoral tetapi meliputi ideologi, Ekpolesosbudhankam, untuk menciptakan masyarakat yang adil dan makmur. Adil dalam kemakmuran dan makmur dalam keadilan.

Keadilan dalam konteks perkembangan paradigma pembangunan dapat disampaikan bahwa salah satu tujuan pembangunan nasional adalah membentuk masyarakat yang sejahtera. Masyarakat yang sejahtera pada taraf awal pembangunan adalah suatu masyarakat yang kebutuhan pokoknya terpenuhi. Kebutuhan pokok itu mencakup pangan, sandang, papan, pendidikan dan kesehatan. Namun hal itu saja tidak cukup, karena masyarakat yang sejahtera harus pula berkeadilan.

Dengan makin majunya taraf kehidupan masyarakat, maka masyarakat yang sejahtera akan menikmati kemajuan hidup secara berkeadilan. Keseluruhan upaya itu harus membangun kemampuan dan kesempatan masyarakat untuk berperan serta dalam pembangunan sehingga masyarakat bukan hanya sebagai objek tetapi juga subjek pembangunan. Upaya membangun kemajuan, kemandirian dan kesejahteraan itu harus dicapai pula dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia.

Pada akhir tahun 2014, visi Indonesia yang ingin dicapai adalah Terwujudnya Indonesia yang sejahtera, demokratis, dan berkeadilan. Peningkatan kesejahteraan rakyat diupayakan melalui pembangunan ekonomi yang berlandaskan pada keunggulan daya saing, kekayaan sumber daya alam, sumber daya manusia dan budaya bangsa. Tujuan penting ini dikelola melalui kemajuan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Demokratisasi diarahkan untuk mewujudkan masyarakat, bangsa dan negara yang demokratis, berbudaya, bermartabat dan menjunjung tinggi kebebasan yang bertanggung jawab serta hak asasi manusia. Pembangunan dirancang secara adil dan merata dengan melibatkan seluruh masyarakat secara aktif, sehingga hasil pembangunan dapat dinikmati oleh seluruh bangsa Indonesia.

Pandangan-pandangan yang berkembang dalam teori-teori pembangunan terutama di bidang ekonomi memang mengalir makin deras ke arah manusia sebagai pusat perhatian dan sasaran sekaligus pelaku utama pembangunan (subjek dan objek sekaligus). Salah satu anggapan dari pengikut aliran teori pertumbuhan adalah bahwa hasil pertumbuhan akan dapat dinikmati masyarakat sampai di lapisan yang paling bawah. Namun, pengalaman pembangunan dari tahun 1945 sampai 1970-an menunjukkan bahwa yang terjadi adalah rakyat di lapisan bawah belum menikmati hasil pembangunan seperti yang diharapkan itu. Bahkan, di beberapa negara kesenjangan sosial ekonomi makin melebar. Hal ini disebabkan oleh karena meskipun pendapatan dan konsumsi makin meningkat, kelompok masyarakat yang sudah baik keadaannya dan lebih mampu, lebih dapat memanfaatkan kesempatan, antara lain karena posisinya yang menguntungkan (privileged), sehingga akan memperoleh hasil pembangunan.

Oleh karena itu, berkembang berbagai pemikiran untuk mencari alternatif lain terhadap paradigma yang semata-mata memberi penekanan kepada pertumbuhan. Maka berkembang kelompok pemikiran yang disebut sebagai paradigma pembangunan sosial yang tujuannya adalah untuk menyelenggarakan pembangunan yang lebih berkeadilan.

Masih dalam rangka mencari jawaban terhadap tantangan paradigma keadilan dalam pembangunan, berkembang pendekatan kebutuhan dasar manusia atau Basic Human Needs atau BHN (Streeten et al., 1981). Strategi BHN disusun guna menyediakan barang dan jasa dasar bagi masyarakat miskin, seperti makanan pokok, air dan sanitasi, perawatan kesehatan, pendidikan dasar, dan perumahan. Walaupun RWG and BHN mempunyai tujuan yang sama, keduanya berbeda dalam hal kebijaksanaan yang diambil. RWG menekankan pada peningkatan produktivitas dan daya beli masyarakat miskin, sedangkan BHN menekankan pada penyediaan public services disertai jaminan kepada masyarakat miskin agar dapat memperoleh pelayanan tersebut.

Dalam menganalisis berbagai paradigma yang mencari jalan ke arah pembangunan yang berkeadilan perlu juga kiranya dianalisis teori-teori pembangunan yang berpusat pada rakyat. Era pasca industri menghadapi kondisi-kondisi yang sangat berbeda dari kondisi-kondisi era industri dan menyajikan potensi-potensi baru yang penting guna memantapkan pertumbuhan dan kesejahteraan manusia, keadilan dan kelestarian pembangunan itu sendiri (Korten, 1984).

Logika yang dominan dari paradigma ini adalah suatu ekologi manusia yang seimbang, dengan sumber-sumber daya utama berupa sumber-sumber daya informasi dan prakarsa kreatif yang tak habis-habisnya, dan yang tujuan utamanya adalah pertumbuhan manusia yang didefinisikan sebagai perwujudan yang lebih tinggi dari potensi-potensi manusia. Paradigma ini memberi peran kepada individu bukan sebagai objek, melainkan sebagai pelaku yang menetapkan tujuan, mengendalikan sumber daya, dan mengarahkan proses yang mempengaruhi kehidupannya.

Pembangunan yang berpusat pada rakyat menghargai dan mempertimbangkan prakarsa rakyat dan kekhasan setempat. Paradigma yang terakhir, yang tidak dapat dilepaskan dari paradigma pembangunan sosial dan berbagai pandangan di dalamnya yang telah dibahas terdahulu, adalah paradigma pembangunan manusia. Menurut pendekatan ini, tujuan utama dari pembangunan adalah menciptakan suatu lingkungan yang memungkinkan masyarakatnya untuk menikmati kehidupan yang kreatif, sehat dan berumur panjang.

Walaupun sederhana, tujuan ini sering terlupakan oleh keinginan untuk meningkatkan akumulasi barang dan modal. Banyak pengalaman pembangunan menunjukkan bahwa kaitan antara pertumbuhan ekonomi dan pembangunan manusia tidaklah terjadi dengan sendirinya. Pengalaman- pengalaman tersebut mengingatkan bahwa pertumbuhan produksi dan pendapatan (wealth) hanya merupakan alat saja, sedangkan tujuan akhir pembangunan harus manusianya sendiri. Menurut pandangan ini tujuan pokok pembangunan adalah memperluas pilihan-pilihan manusia (Ul Haq, 1985). Bersambung.. [Sumut]

Editor: Nina Razad

Video

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA