Jelaskan secara singkat apa yang menandai berakhirnya kekuasaan Belanda di Indonesia dan mulainya kekuasaan Jepang di Indonesia?

Halo Sobat SMP! Seperti yang sudah kalian ketahui, bangsa kita telah tertindas cukup lama akibat kolonialisme yang dilakukan oleh bangsa Barat. Akibatnya, muncullah perlawanan-perlawanan dari berbagai daerah di Nusantara seperti Sultan Hasanuddin di Makassar, Teuku Umar di Aceh, Sultan Agung Tirtayasa di Banten, Pattimura di Maluku, dan masih lagi.

Namun, perlawanan dari daerah-daerah tersebut terbilang masih belum bisa mengusir penjajah dari Tanah Air kita. Pasalnya, kekuatan kita saat itu masih terpecah-belah akibat hanya berjuang untuk daerahnya masing-masing. Politik adu domba yang dilakukan oleh pemerintahan Hindia-Belanda juga menambah parah keadaan persatuan kala itu.

Penindasan yang dilakukan oleh para kompeni berangsur-angsur mulai berkurang. Berkat Kebijakan Politik Etis atau Politik Balas Budi yang dilakukan oleh pemerintah Hindia-Belanda, banyak lahir anak-anak bumiputera yang memiliki wawasan dan pemikiran untuk mempersatukan bangsa ini.

Hingga pada tahun 1908, lahirnya sebuah organisasi yang menjadi pemrakarsa pergerakan nasional untuk meraih kemerdekaan. Organisasi tersebut adalah Boedi Oetomo, sebuah wadah bagi anak-anak STOVIA untuk saling bertukar pikiran dan ide.

Boedi Oetomo merupakan sebuah organisasi pelajar yang didirikan oleh dr. Sutomo dan para mahasiswa STOVIA. Organisasi ini didirikan di Jakarta pada 20 Mei 1908. Namun organisasi Boedi Oetomo bukan bersifat politik, melainkan hanya bersifat sosial, ekonomi, kebudayaan, dan pendidikan.

Meskipun tidak terjun ke bidang politik, Boedi Oetomo cukup menjadi pemantik semangat perjuangan kemerdekaan bagi anak-anak bangsa lainnya. Hal tersebut terbukti dengan lahirnya organisasi-organisasi lain yang terjun di bidang politik sepeti Sarekat Islam, Indische Partij, Muhammadiyah dan masih banyak lagi.

Selain menjadi pemantik api perjuangan, lahirnya Boedi Oetomo juga menandai berakhirnya masa perjuangan yang bersifat kedaerahan dan mulai menuju era perjuangan yang bersifat nasional. Perlawanan dengan fisik pun berangsur-angsur beralih ke perlawanan secara diplomatis.

Namun, apakah Sobat SMP tahu apa yang menjadi faktor pemicu dimulainya pergerakan nasional ini? Ya, ada dua jenis faktor yang membuat pergerakan nasional ini dimulai, yaitu faktor dari dalam negeri dan faktor dari luar negeri. Yuk simak penjelasan selengkapnya!

Faktor ini berasal dari hati dan sanubari rakyat Indonesia itu sendiri dalam usaha membebaskan diri dari belenggu kolonialisme yang dilakukan oleh para penjajah. Beberapa contohnya seperti Adanya tekanan dan penderitaan yang terus-menerus akibat penjajahan, adanya rasa kesadaran nasional dan harga diri bangsa, serta rasa senasib-sepenanggungan yang dirasakan bersama sehingga timbul semangat bersatu membentuk negara.

Faktor dari luar negeri pengaruhnya tidak sekuat faktor dalam negeri. Namun, meski begitu tetap saja terdapat hal-hal yang mendukung munculnya pergerakan nasional. Beberapa di antaranya seperti kebijakan Politik Etis yang membuat anak-anak bumiputera mengenyam pendidikan, munculnya paham liberalisme dan hak asasi manusia pascakemerdekaan Amerika dan Revolusi Prancis, kemenangan Jepang atas Rusia di tahun 1905 yang membangkitkan rasa percaya diri bangsa Asia-Afrika untuk lepas dari penjajahan bangsa Barat, dan masih banyak lagi.

Setelah lahirnya era pergerakan nasional, semangat juang putra dan putri bangsa semakin meningkat tajam. Perlawanan-perlawanan secara diplomatis terus dilakukan demi satu tujuan, yakni INDONESIA MERDEKA!

Penulis: Pengelola Web Direktorat SMP

Revolusi Nasional IndonesiaBagian dari Pasca Perang Dunia Kedua
Searah jarum jam dari pojok kanan:

  • Keadaan mobil milik Brigadir Mallaby yang terbakar, dimana ia dibunuh pada 30 Oktober 1945 saat Pertempuran Surabaya
  • Dua tentara Indonesia berlari ke sebuah kampung di Bandung yang terdapat beberapa rumah terbakar
  • Delegasi dari Indonesia dan Belanda kembali lagi ke Linggajati untuk mengadakan Perundingan Linggajati
  • Padang setelah Agresi Militer Belanda II
  • Soekarno dan Mohammad Hatta sebelum dibuang ke Berastagi, Sumatra Utara
  • Ratu Juliana menandatangani penyerahan kedaulatan Indonesia di Ridderzaal

TanggalLokasiHasil
17 Agustus 1945 – 27 Desember 1949
Indonesia
Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia
Pihak terlibat

Republik Indonesia

  • PDRI
  • BKR/TKR/TRI/TNI
  • Korps Brigade Mobil

Relawan Tentara Kekaisaran Jepang[1][2]
(sejak tahun 1945)

Desertir Tentara India[3] (sejak tahun 1945)

Didukung oleh:

 Uni Soviet[4] (secara diplomatis)

 Britania Raya (secara diplomatis setelah tahun 1946)

 Australia[5] (setelah tahun 1947)

 Selandia Baru[6] (setelah tahun 1947)

 India[7] (setelah tahun 1947)

 Amerika Serikat[8](setelah tahun 1949)

 Filipina[9] (setelah tahun 1949)

 Belanda (sejak tahun 1946)

  •  Hindia Belanda
    • KNIL
    • NICA
  • "Negara" bentukan Belanda
    • Negara Indonesia Timur
    • Dayak Besar
    • Negara Pasundan
    • Minahasa
  • Kesultanan Pontianak
  • Karibia Belanda
  • Angkatan Perang Ratu Adil
  • Pao An Tui (保案队)

 Britania Raya (hingga tahun 1946)

  • Kemaharajaan Britania (hingga tahun 1946)
  • Negeri-Negeri Selat (hingga tahun 1946)

 Kekaisaran Jepang (hingga tahun 1946)

Konflik internal:

Darul Islam

Republik Soviet IndonesiaTokoh dan pemimpin
Soekarno
Mohammad Hatta
Soedirman
Oerip Soemohardjo
Soetan Sjahrir
Hamengkubuwana IX
Pakubuwana XII
A. H. Nasution
Sjafruddin Prawiranegara
Gatot Subroto
Bambang Soegeng
Soetomo
Moehammad Jasin
Soeharto
Amir Sjarifuddin 

Tan Malaka 

H. Perdanakusuma 
R. E. Martadinata
Wilhelmina (hingga tahun 1948)
Juliana (sejak tahun 1948)
Hubertus van Mook
Simon Spoor
Willem Franken
Louis Mountbatten
Philip Christison
Brigadir Mallaby 
Raymond Westerling
Tjokorda Gde Raka Soekawati
Sultan Hamid II
Loa Sek Hie
A.K. Widjojoatmodjo
Julius TahijaKekuatan BKR/TKR/TRI/TNI:
183.000
Laskar rakyat:
diperkirakan 60,000
Relawan Muda: 100,000
Relawan Jepang: 903
Desertir India: 600 Tentara Kerajaan Belanda:
20,000 - 180,000 orang
KNIL:
60,000
Inggris:
45,000
Jepang:
35,000Korban 97,421 rakyat sipil dan pejuang Indonesia tewas[10]
531 Relawan Jepang tewas
525 Desertir India tewas

2000+ tentara Inggris tewas 1,057 tentara Jepang tewas 3,144 tentara Hindia Belanda tewas

3,084 tentara Kerajaan Belanda tewas

Bagian dari seri mengenai

Sejarah Indonesia

Prasejarah

Manusia Jawa 1.000.000 BP
Manusia Flores 94.000–12.000 BP
Bencana alam Toba 75.000 BP
Kebudayaan Buni 400 SM

Kerajaan Hindu-Buddha

Kerajaan Kutai 400–1635
Kerajaan Tarumanagara 450–900
Kerajaan Kalingga 594–782
Kerajaan Melayu 671–1375
Kerajaan Sriwijaya 671–1183
Kerajaan Sunda 662–1579
Kerajaan Galuh 669–1482
Kerajaan Mataram 716–1016
Kerajaan Bali 914–1908
Kerajaan Kahuripan 1019–1045
Kerajaan Janggala 1045–1136
Kerajaan Kadiri 1045–1221
Kerajaan Singasari 1222–1292
Kerajaan Majapahit 1293–1478

Kerajaan Islam

Penyebaran Islam 800–1600
Kesultanan Peureulak 840–1292
Kerajaan Aru 1225–1613
Kesultanan Ternate 1257–1914
Kesultanan Samudera Pasai 1267–1521
Kesultanan Gorontalo 1300–1878
Kesultanan Gowa 1320–1905
Kerajaan Pagaruyung 1347–1833
Kerajaan Kaimana 1309–1963
Kesultanan Brunei 1368–1888
Kesultanan Melaka 1405–1511
Kesultanan Sulu 1405–1851
Kesultanan Cirebon 1445–1677
Kesultanan Demak 1475–1554
Kesultanan Bolango 1482–1862
Kesultanan Aceh 1496–1903
Kesultanan Banten 1526–1813
Kesultanan Banjar 1526–1860
Kerajaan Kalinyamat 1527–1599
Kesultanan Johor 1528–1877
Kesultanan Pajang 1568–1586
Kesultanan Mataram 1586–1755
Kerajaan Fatagar 1600–1963
Kesultanan Bima 1620–1958
Kesultanan Sumbawa 1674–1958
Kesultanan Kasepuhan 1679–1815
Kesultanan Kanoman 1679–1815
Kesultanan Siak 1723–1945
Kesunanan Surakarta 1745–1946
Kesultanan Yogyakarta 1755–1945
Kesultanan Kacirebonan 1808–1815
Kesultanan Deli 1814–1946
Kesultanan Lingga 1824–1911

Kerajaan Kristen

Kerajaan Bolaang Mongondow 1320–1950
Kerajaan Larantuka 1515–1904
Kerajaan Siau 1510–1956
Kerajaan Sikka
Kerajaan Manado 1500–1670
Kerajaan Tagulandang 1570–1942

Kolonialisme Eropa

Portugis 1512–1850
VOC 1602–1800
Jeda kekuasaan Prancis dan Britania 1806–1815
Hindia Belanda 1800–1949

Kemunculan Indonesia

Kebangkitan Nasional 1908–1942
Pendudukan Jepang 1942–1945
Revolusi Nasional 1945–1949

Kemerdekaan

Hari Patriotik 23 Januari 1942 1942
Revolusi Nasional Indonesia 1945–1949
Masa Kemerdekaan 1945–1949
Republik Indonesia Serikat 1949–1950
Demokrasi liberal 1950–1957
Demokrasi terpimpin 1957–1965
Transisi 1965–1966
Orde Baru 1966–1998
Reformasi 1998–sekarang

Menurut topik

  • Arkeologi
  • Mata uang
  • Ekonomi
  • Militer

Garis waktu
 Portal Indonesia

  • l
  • b
  • s

Revolusi Nasional Indonesia adalah sebuah konflik bersenjata dan pertentangan diplomasi antara Republik Indonesia yang baru lahir melawan Kerajaan Belanda yang dibantu oleh pihak Sekutu, diwakili oleh Inggris. Rangkaian peristiwa ini terjadi mulai dari proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 hingga pengakuan kemerdekaan Indonesia oleh Kerajaan Belanda pada 27 Desember 1949. Meskipun demikian, gerakan revolusi itu sendiri telah dimulai pada tahun 1908, yang saat ini diperingati sebagai tahun dimulainya kebangkitan nasional Indonesia.

Selama sekitar empat tahun, beberapa peristiwa berdarah terjadi secara sporadis. Selain itu, terdapat pula pertikaian politik serta dua intervensi internasional. Dalam peristiwa ini, pasukan Belanda hanya mampu menguasai kota-kota besar di pulau Jawa dan Sumatra, tetapi gagal mengambil alih kendali di desa dan daerah pinggiran. Karena sengitnya perlawanan bersenjata serta perjuangan diplomatik, Belanda berhasil dibuat tertekan untuk mengakui kemerdekaan Indonesia.[11]

Revolusi ini berujung pada berakhirnya pemerintahan kolonial Hindia Belanda dan mengakibatkan perubahan struktur sosial di Indonesia; kekuasaan raja-raja mulai dikurangi atau dihilangkan. Peristiwa ini dikenal dengan "revolusi sosial", yang terjadi di beberapa bagian di pulau Sumatra.

Latar belakang

Pergerakan nasionalis untuk mendukung kemerdekaan Indonesia dari Kerajaan Belanda, seperti Budi Utomo, Partai Nasional Indonesia, Sarekat Islam dan Partai Komunis Indonesia tumbuh dengan cepat di pertengahan abad ke-20. Budi Utomo, Sarekat Islam dan gerakan nasional lainnya memprakarsai strategi kerja sama dengan mengirim wakil mereka ke Volksraad (dewan rakyat) dengan harapan Indonesia akan diberikan hak memerintah diri sendiri tanpa campur tangan Kerajaan Belanda.[12] Sedangkan gerakan nasionalis lainnya memilih cara nonkooperatif dengan menuntut kebebasan pemerintahan Indonesia sendiri dari Belanda. Pemimpin gerakan nonkooperatif ini adalah Soekarno dan Mohammad Hatta, dua orang mahasiswa nasionalis yang kelak menjadi presiden dan wakil presiden pertama.[13] Pergerakan ini dimudahkan dengan adanya kebijakan Politik Etis yang dijalankan oleh Belanda.

Pendudukan Indonesia oleh Jepang selama tiga setengah tahun masa Perang Dunia Kedua merupakan faktor penting untuk revolusi berikutnya. Belanda hanya memiliki sedikit kemampuan untuk mempertahankan penjajahan di Hindia Belanda. Hanya dalam waktu tiga bulan, Jepang berhasil menguasai Sumatra. Jepang kemudian berusaha untuk mengambil hati kaum nasionalis dengan menjanjikan kemerdekaan untuk Indonesia dan mengizinkan penggunaan bahasa Indonesia di ruang publik. Ini menimbulkan lahirnya organisasi-organisasi perjuangan di seluruh negeri.[14]

Ketika Jepang berada di ambang kekalahan perang, Belanda kembali untuk merebut kembali bekas koloni mereka. Pada 7 September 1944, Perdana Menteri Jepang Kuniaki Koiso menjanjikan kemerdekaan kepada Indonesia, walaupun tidak menetapkan tanggal resmi.[15]

Proklamasi kemerdekaan

PROKLAMASI

Kami bangsa Indonesia dengan ini menjatakan kemerdekaan Indonesia. Hal - hal jang mengenai pemindahan kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan dengan tjara saksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja. Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen '45 Atas nama bangsa Indonesia. Soekarno/Hatta.

Pada akhir bulan Agustus 1945, pemerintahan republikan telah berdiri di Jakarta. Kabinet Presidensial dibentuk, dengan Soekarno sendiri sebagai ketuanya. Hingga pemilihan umum digelar, Komite Nasional Indonesia Pusat dibentuk untuk membantu Presiden dan bertindak hampir sebagai badan legislatif. Komite serupa juga dibentuk di tingkat provinsi dan kabupaten. Mendengar berita pembentukan pemerintah pusat di Jakarta, beberapa raja menyatakan menggabungkan diri dengan Indonesia. Sementara beberapa lainnya belum menyatakan sikap atau menolak mentah-mentah, terutama yang pernah didukung oleh pemerintah Belanda.[16]

Pengibaran bendera Merah Putih setelah pembacaan naskah proklamasi pada 17 Agustus 1945

.

Khawatir Belanda akan berusaha merebut kembali kekuasaan di Indonesia, pemerintah yang baru dibentuk tersebut dengan cepat menyelesaikan persoalan administrasi. Saat itu, pemerintahan masih sangat terpusat di pulau Jawa, sementara kontak ke luar pulau masih sangat sedikit.[17] [18] Pada 14 November 1945, Sutan Sjahrir menjadi perdana menteri pertama mengetuai kabinet Sjahrir I.

Beberapa minggu setelah Jepang menyerah, Giyugun dan Heiho dibubarkan oleh pemerintah Jepang. Struktur komando dan keanggotaan PETA dan Heiho pun hilang. Karena itu, pasukan republikan yang mulai tumbuh di bulan September, tetapi lebih banyak berupa kelompok-kelompok kecil milisi pemuda yang tidak terlatih, yang biasanya dipimpin oleh seorang pemimpin karismatik.[16] Ketiadaan struktur militer yang patuh pada pemerintah pusat menjadi masalah utama revolusi kala itu.[11] Dalam masa awal pembentukan struktur militer, perwira Indonesia yang dilatih Jepang mendapat pangkat yang lebih tinggi dibanding perwira yang dilatih oleh Belanda. Pada 12 November 1945, dalam sebuah konferensi antar panglima-panglima divisi militer di Yogyakarta seorang mantan guru sekolah berumur 30 tahun bernama Sudirman terpilih menjadi panglima Tentara Keamanan Rakyat, bergelar "Panglima Besar".[19]

Sistem presidensial menuju parlementer

Pernyataan van Mook untuk tidak berunding dengan Soekarno adalah salah satu faktor yang memicu perubahan sistem pemerintahan dari presidensial menjadi parlementer. Gelagat ini sudah terbaca oleh pihak Republik Indonesia, karena itu sehari sebelum kedatangan Sekutu, tanggal 14 November 1945, Soekarno sebagai kepala pemerintahan republik diganti oleh Sutan Sjahrir yang seorang sosialis dianggap sebagai figur yang tepat untuk dijadikan ujung tombak diplomatik, bertepatan dengan naik daunnya partai sosialis di Belanda.

Terjadinya perubahan besar dalam sistem pemerintahan Republik Indonesia (dari sistem Presidensiil menjadi sistem Parlementer) memungkinkan perundingan antara pihak RI dan Belanda. Dalam pandangan Inggris dan Belanda, Sutan Sjahrir dinilai sebagai seorang moderat, seorang intelek, dan seorang yang telah berperang selama pemerintahan Jepang.

Ketika Syahrir mengumumkan kabinetnya, 15 November 1945, Letnan Gubernur Jendral van Mook mengirim kawat kepada Menteri Urusan Tanah Jajahan (Minister of Overseas Territories, Overzeese Gebiedsdelen), J.H.A. Logemann, yang berkantor di Den Haag: "Mereka sendiri [Sjahrir dan Kabinetnya] dan bukan Soekarno yang bertanggung jawab atas jalannya keadaan". Logemann sendiri berbicara pada siaran radio BBC tanggal 28 November 1945, "Mereka bukan kolaborator seperti Soekarno, presiden mereka, kita tidak akan pernah dapat berurusan dengan Dr Soekarno, kita akan berunding dengan Sjahrir". Tanggal 6 Maret 1946 kepada van Mook, Logemann bahkan menulis bahwa Soekarno adalah persona non grata.

Pihak Republik Indonesia memiliki alasan politis untuk mengubah sistem pemerintahan dari Presidensiil menjadi Parlementer, karena seminggu sebelum perubahan pemerintahan itu, Den Haag mengumumkan dasar rencananya. Ir Soekarno menolak hal ini, sebaliknya Sjahrir mengumumkan pada tanggal 4 Desember 1945 bahwa pemerintahnya menerima tawaran ini dengan syarat pengakuan Belanda atas Republik Indonesia.

Republik di Yogyakarta

Artikel utama: Sejarah Indonesia (1945–1949)

Menjelang berakhirnya tahun 1945, situasi keamanan ibu kota Jakarta (saat itu masih disebut Batavia) makin memburuk dengan terjadinya saling serang antara kelompok pro-kemerdekaan dan kelompok pro-Belanda. Ketua Komisi Nasional Jakarta, Mr. Mohammad Roem mendapat serangan fisik. Demikian pula, Perdana Menteri Syahrir dan Menteri Penerangan Mr. Amir Sjarifuddin juga nyaris dibunuh simpatisan Belanda (NICA).[20] Karena itu pada tanggal 1 Januari 1946, Presiden Soekarno memberikan perintah rahasia kepada Balai Yasa Manggarai untuk segera menyiapkan rangkaian kereta api demi menyelamatkan para petinggi negara. Pada tanggal 3 Januari 1946 diputuskan bahwa Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Hatta beserta beberapa menteri/staf dan keluarganya meninggalkan Jakarta dan pindah ke Yogyakarta sekaligus pula memindahkan ibu kota; meninggalkan Perdana Menteri Sutan Syahrir dan kelompok yang bernegosiasi dengan Belanda di Jakarta.[21] Perpindahan dilakukan menggunakan kereta api berjadwal khusus, sehingga disebut sebagai KLB (Kereta Luar Biasa).

Perjalanan KLB ini menggunakan lokomotif uap nomor C2849 bertipe C28 buatan pabrik Henschel, Jerman, dengan rangkaian kereta inspeksi yang biasa digunakan untuk Gubernur Jenderal Hindia Belanda, yang disediakan oleh Djawatan Kereta Api (DKA).[20][22] Rangakaian terdiri dari delapan kereta, mencakup satu kereta bagasi, dua kereta penumpang kelas 1 dan 2, satu kereta makan, satu kereta tidur kelas 1, satu kereta tidur kelas 2, satu kereta inspeksi untuk presiden, dan satu kereta inspeksi untuk wakil presiden.[20] Masinis adalah Kusen, juruapi (stoker) Murtado dan Suad, serta pelayan KA Sapei.[20] Perjalanan diawali sore hari, dengan KLB langsir dari Stasiun Manggarai menuju Halte Pegangsaan (sekarang sudah dibongkar) dan kereta api berhenti tepat di belakang kediaman resmi presiden di Jalan Pegangsaan Timur 56.[20] Setelah lima belas menit embarkasi, KLB berangkat ke Stasiun Manggarai dan memasuki jalur 6. Kereta api melanjutkan perjalanan ke Jatinegara dengan kecepatan 25 km per jam. KLB berhenti di Stasiun Jatinegara menunggu signal aman dari Stasiun Klender. Menjelang pukul 19 KLB melanjutkan perjalanan dengan lampu dimatikan dan kecepatan lambat agar tidak menarik perhatian pencegat kereta api yang marak di wilayah itu.[20] Barikade gerbong kosong juga diletakkan untuk menutupi jalur rel dari jalan raya yang sejajar di sebelahnya.

Selepas Setasiun Klender, lampu KLB dinyalakan kembali dan kereta api melaju dengan kecepatan maksimum 90 km per jam. Pada pukul 20 KLB berhenti di Stasiun Cikampek. Pada pukul 01 tanggal 4 Januari 1946 KLB berheti di Stasiun Purwokerto, dan kemudian melanjutkan perjalanan hingga tiba pada pukul 07 di Stasiun Yogyakarta.[20]

Euforia revolusi

Lihat pula: Bersiap

Tan Malaka, salah satu pejuang revolusi yang berjuang bersama gerakan bawah tanah.

Sebelum berita tentang, proklamasi kemerdekaan Indonesia menyebar ke pulau-pulau lain, banyak masyarakat Indonesia yang jauh dari ibu kota Jakarta tidak percaya. Saat berita mulai menyebar, banyak dari orang Indonesia datang untuk menyatakan diri mereka sebagai pro-republik, dan suasana revolusi menyapu seluruh negeri. [23] Kekuatan luar di dalam negeri telah menyingkir, seminggu sebelum tentara Sekutu masuk ke Indonesia, dan Belanda telah mulai melemah kekuatannya dikarenakan perang. Di sisi lain, pasukan Jepang, sesuai dengan ketentuan diminta untuk menyerah dan meletakkan senjata, dan juga menjaga ketertiban umum.

kevakuman kekuasaan selama berminggu-minggu setelah Jepang menyerah menciptakan suasana ketidakpastian di dalam politik Indonesia saat itu, tetapi hal ini menjadi suatu kesempatan bagi rakyat.[24] Banyak pemuda Indonesia bergabung dengan kelompok perjuangan pro-republik dan laskar-laskar. Laskar-laskar yang paling terorganisir antara lain kelompok PETA dan Heiho yang dibentuk oleh Jepang. Namun pada saat itu laskar-laskar rakyat berdiri sendiri dan koordinasi perjuangan cukup kacau. Pada minggu-minggu pertama, tentara Jepang menarik diri dari daerah perkotaan untuk menghindari konfrontasi dengan rakyat.[25]

Pada bulan September 1945, pemerintah republik yang dibantu laskar rakyat telah mengambil alih kendali atas infrastruktur-infrastruktur utama, termasuk stasiun kereta api dan trem di kota-kota besar di Jawa.[25] Untuk menyebarkan pesan-pesan revolusioner, para pemuda mendirikan stasiun radio dan koran, serta grafiti yang penuh dengan sentimen nasionalis. Di sebagian besar pulau-pulau di Indonesia, komite perjuangan dan laskar-laskar milisi dibentuk.[26] Koran kaum republik dan jurnal-jurnal perjuangan terbit di Jakarta, Yogyakarta dan Surakarta, yang betujuan memupuk generasi penulis yang dikenal sebagai Angkatan 45.[25]

Para pemimpin republik berjuang untuk menyatukan sentimen yang menyebar di masyarakat, karena ada beberapa kelompok yang menginginkan revolusi fisik, dan yang lain lebih memilih menggunakan cara pendekatan damai. Beberapa pemimpin seperti Tan Malaka dan pemimpin kiri lainnya menyebarkan gagasan bahwa revolusi harus dipimpin oleh para pemuda. Soekarno dan Hatta, sebaliknya, lebih tertarik dalam perencanaan sebuah pemerintahan dan lembaga-lembaga negara untuk mencapai kemerdekaan melalui diplomasi.[26] Massa pro-revolusi melakukan demonstrasi di di kota-kota besar, salah satunya dipimpin Tan Malaka di Jakarta dan diikuti lebih dari 200,000 orang. Tetapi aksi ini yang akhirnya berhasil dipadamkan oleh Soekarno-Hatta, karna mengkhawatirkan pecahnya aksi-aksi kekerasan.

Pada September 1945, banyak pemuda Indonesia yang menyatakan diri "siap mati untuk kemerdekaan 100%" karna tidak dapat menahan kesabaran mereka. Pada saat itu, penculikan kaum "nonpribumi" - interniran Belanda, orang-orang Eurasia, Maluku dan Tionghoa - sangat umum terjadi, karena mereka dianggap sebagai mata-mata. Kekerasan menyebar dari seluruh negeri, sementara pemerintah pusat di Jakarta terus menyerukan kepada para pemuda agar dapat tenang. Namun, pemuda yang mendukung perjuangan bersenjata memandang pimpinan yang lebih tua sebagai para "pengkhianat revolusi", yang pada akhirnya sering menyebabkan meletusnya konflik internal di kalangan masyarakat sipil.[27]

Kedatangan Sekutu dan NICA

Seorang prajurit dari resimen bersenjata asal India menyita sebuah tank milik kaum nasionalis, yang tertinggal setelah pertempuran di Surabaya.

Pihak Belanda menuduh Soekarno dan Hatta berkolaborasi dengan Jepang dan mencela bahwa kemerdekaan Indonesia merupakan hasil dari fasisme Jepang. Pemerintahan Hindia Belanda telah menerima sepuluh juta dolar dari Amerika Serikat untuk mendanai usaha pengembalian Indonesia sebagai jajahan mereka kembali.[28]

Meskipun begitu, situasi Belanda pada saat itu lemah setelah diamuk Perang Dunia Kedua di Eropa dan baru bisa mengatur kembali militernya pada awal 1946. Jepang dan kekuatan sekutu lainnya enggan menjadi pelaksana tugas pemerintahan di Indonesia.[26] Sementara Amerika Serikat sedang fokus bertempur di kepulauan Jepang, Indonesia diletakkan di bawah kendali seorang laksamana dari Angkatan Laut Britania Raya, Laksamana Earl Louis Mountbatten, Panglima Tertinggi Sekutu untuk Komando Asia Tenggara. Enklaf-enklaf Sekutu muncul di Kalimantan, Morotai, dan beberapa bagian di Irian Jaya; para pegawai sipil Belanda telah kembali ke daerah-daerah tersebut.[18] Di area yang dikuasa angkatan laut Jepang, kedatangan pasukan Sekutu segera saja menghentikan aksi-aksi revolusioner, dimana tentara Australia (diikuti pasukan Belanda dan pegawai-pegawai sipilnya), dengan cepat menguasai daerah-daerah yang sebelumnya dikuasai Jepang, kecuali Bali dan Lombok.[29] Karena tidak adanya perlawanan berarti, dua divisi tentara Australia dengan mudah menguasai beberapa daerah di bagian Timur Indonesia.

Inggris ditugaskan untuk mengatur kembali jalannya pemerintahan sipil di Jawa. Belanda mengambil kesempatan ini untuk menegakkan kembali pemerintahan kolonial lewat NICA dan terus mengklaim kedaulatan atas Indonesia.[26]. Meskipun begitu, tentara Persemakmuran belum mendarat di Jawa sampai September 1945. Tugas mendesak Lord Mountbatten adalah pemulangan 300,000 orang Jepang dan membebaskan para tawanan perang. Ia tidak ingin (dan tidak berdaya) untuk memperjuangakan pengembalian Indonesia pada Belanda.[30]. Tentara Inggris pertama kali mendarat di Medan, Padang, Palembang, Semarang dan Surabaya pada bulan Oktober. Dalam usaha menghindari bentrokan dengan orang-orang Indonesia, komandan pasukan Inggris Letjen Sir Philip Christison, mengirim para prajurit Belanda yang dibebaskan ke Indonesia Timur, dimana pendudukan kembali Belanda berlangsung mulus.[29]. Tensi memuncak saat tentara Inggris memasuki Jawa dan Sumatra; bentrokan pecah antara kaum republikan melawan para "musuh negara", seperti tawanan Belanda, KNIL, orang Tionghoa, orang-orang Indo dan warga sipil Jepang.[29]

Terdapat berbagai pertempuran yang terjadi pada saat masuknya Sekutu dan NICA ke Indonesia, yang saat itu baru menyatakan kemerdekaannya. Pertempuran yang terjadi di antaranya adalah:

  1. Pertempuran Bojong Kokosan, di Bojong Kokosan, Sukabumi pada 9 Desember 1945, dipimpin Letkol (TKR) Eddie Sukardi.
  2. Pertempuran Lima Hari, di Semarang pada 15-19 Oktober 1945 (melawan Jepang).
  3. Peristiwa 10 November, di daerah Surabaya pada 10 November 1945, dipimpin Kolonel (TKR) Sungkono.
  4. Pertempuran Medan Area, di daerah Medan dan sekitarnya pada 10 Desember 1945-10 Agustus 1946, dipimpin oleh Kolonel (TKR) Achmad Tahir.
  5. Palagan Ambarawa, di daerah Ambarawa, Semarang pada 12-15 Desember 1945, dipimpin Kolonel (TKR) Sudirman.
  6. Pertempuran Lengkong, di daerah Lengkong, Serpong pada 25 Januari 1946, dipimpin oleh Mayor (TKR) Daan Mogot.
  7. Bandung Lautan Api, di daerah Bandung pada 23 Maret 1946, atas perintah Kolonel (TRI) A.H. Nasution.
  8. Pertempuran Selat Bali, di Selat Bali pada April, dipimpin oleh Kapten Laut (TRI) Markadi.
  9. Pertempuran Margarana, di Margarana, Tabanan, Bali pada 20 November 1946, dipimpin oleh Letkol (TRI) I Gusti Ngurah Rai.
  10. Pembantaian Westerling, di Sulawesi Selatan pada 11 Desember 1946-10 Februari 1947, akibat dari perburuan terhadap Wolter Monginsidi.
  11. Pertempuran Lima Hari Lima Malam, di Palembang pada 1-5 Januari 1947, dipimpin oleh Kolonel (TRI) Bambang Utojo.
  12. Pertempuran Laut Cirebon, di Cirebon pada 7 Januari 1947, dipimpin oleh Kapten Laut (TRI) Samadikun.
  13. Pertempuran Laut Sibolga, di Sibolga pada 12 Mei 1947, dipimpin oleh Letnan II Laut (TRI) Oswald Siahaan.
  14. Agresi Militer I pada 21 Juli-5 Agustus 1947.
  15. Pembantaian Rawagede di Rawagede, Karawang pada 9 Desember 1947, akibat dari perburuan terhadap Kapten (TNI) Lukas Kustarjo.
  16. Agresi Militer II pada 19–20 Desember 1948.
  17. Serangan Umum 1 Maret 1949, di Yogyakarta pada 1 Maret 1949, dipimpin oleh Letkol (TNI) Suharto.
  18. Serangan Umum Surakarta, di Surakarta pada 7-10 Agustus 1949, dipimpin oleh Letkol (TNI) Slamet Rijadi.

Revolusi sosial

Revolusi sosial yang terjadi setelah proklamasi berupa penentangan terhadap pranata sosial Indonesia yang terlanjur terbentuk pada masa penjajahan Belanda, dan terkadang juga merupakan hasil kebencian terhadap kebijakan pada masa penjajahan Jepang. Di seluruh negara, masyarakat bangkit melawan kekuasaan aristokrasi dan kepala daerah dan mencoba untuk mendorong penguasaan lahan dan sumber daya alam atas nama rakyat. Kebanyakan revolusi sosial ini berakhir dalam waktu singkat, dan dalam kebanyakan kasus gagal terjadi.

Kultur kekerasan dalam konflik yang dalam memecah belah negara ini saat dalam pengusaan Belanda sering kali terulang di paruh akhir abad keduapuluh. Istilah revolusi sosial banyak digunakan untuk aktivitas berdarah yang dilakukan kalangan kiri yang melibatkan baik niat altruistik, untuk mengatur revolusi sosial sebenarnya, dengan ekspresi balas dendam, kebencian, dan pemaksaan kekuasaan. Kekerasan adalah salah satu dari sekian banyak hal yang dipelajari rakyat selama masa penjajahan Jepang, dan tokoh-tokoh yang diidentifikasi sebagai tokoh feodal, antara lain para raja, bupati, atau kadang sekadar orang-orang kaya, sering kali menjadi sasaran penyerangan, kadang disertai pemenggalan, serta pemerkosaan juga sering menjadi senjata untuk melawan wanita-wanita feodal. Di daerah pesisir Sumatra dan Kalimantan yang dikuasai kesultanan, misalnya, para sultan dan mereka yang mendapat kekuasaan dari Belanda, langsung mendapat serangan begitu pemerintahan Jepang angkat kaki. Penguasa sekuler Aceh, yang menjadi basis kekuasaan Belanda, turut dieksekusi, meskipun kenyataannya kebanyakan daerah kekuasaan kesultanan di Indonesia telah kembali jatuh ke tangan Belanda.

Kebanyakan orang Indonesia pada masa ini hidup dalam ketakutan dan kebimbangan, hal ini terutama terjadi pada populasi yang mendukung kekuasaan Belanda atau mereka yang hidup di bawah kontrol Belanda. Teriakan kemerdekaan yang begitu populer, "Merdeka ataoe mati!" sering kali menjadi pembenaran untuk pembunuhan yang terjadi di daerah kekuasaan Republik. Para pedagang sering kali mengalami situasi sulit ini. Di satu sisi, mereka ditekan oleh pihak Republik untuk memboikot semua ekspor ke Belanda, sementara di sisi lain polisi Belanda juga tidak mengenal ampun bagi para penyelundup yang justru menjadi tumpuan ekonomi pihak Republik. Di beberapa wilayah, istilah "kedaulatan rakyat" yang diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945 dan sering digunakan para pemuda untuk menuntut kebijakan proaktif dari para pemimpin, sering kali berakhir tidak hanya menjadi tuntutan atas komoditas gratis, tetapi juga perampokan dan pemerasan. Pedagang Tionghoa, khususnya, sering kali diminta untuk memberikan harga murah dengan ancaman pembunuhan.

Upaya pertama diplomasi

Perundingan Linggarjati

Artikel utama: Perundingan Linggarjati

Bulan Agustus pemerintah Belanda melakukan usaha lain untuk memecah halangan dengan menunjuk tiga orang Komisi Jendral datang ke Jawa dan membantu Van Mook dalam perundingan baru dengan wakil-wakil republik itu. Konferensi antara dua belah pihak diadakan di bulan Oktober dan November di bawah pimpinan yang netral seorang komisi khusus Inggris, Lord Killearn. Bertempat di bukit Linggarjati dekat Cirebon. Setelah mengalami tekanan berat -terutama Inggris- dari luar negeri, dicapailah suatu persetujuan tanggal 15 November 1946 yang pokok pokoknya sebagai berikut:[31]

  1. Belanda mengakui secara de facto Republik Indonesia dengan wilayah kekuasaan yang meliputi Sumatra, Jawa dan Madura. Belanda harus meninggalkan wilayah de facto paling lambat 1 Januari 1949,
  2. Republik Indonesia dan Belanda akan bekerja sama dalam membentuk Negara Indonesia Serikat, dengan nama Republik Indonesia Serikat, yang salah satu bagiannya adalah Republik Indonesia
  3. Republik Indonesia Serikat dan Belanda akan membentuk Uni Indonesia - Belanda dengan Ratu Belanda sebagai ketuanya.

Untuk ini Kalimantan dan Timur Raya akan menjadi komponennya. Sebuah Majelis Konstituante didirikan, yang terdiri dari wakil-wakil yang dipilih secara demokratis dan bagian-bagian komponen lain. Indonesia Serikat pada gilirannya menjadi bagian Uni Indonesia-Belanda bersama dengan Belanda, Suriname dan Curasao. Hal ini akan memajukan kepentingan bersama dalam hubungan luar negeri, pertahanan, keuangan dan masalah ekonomi serta kebudayaan. Indonesia Serikat akan mengajukan diri sebagai anggota PBB. Akhirnya setiap perselisihan yang timbul dari persetujuan ini akan diselesaikan lewat arbitrase.

Kedua delegasi pulang ke Jakarta, dan Soekarno-Hatta kembali ke pedalaman dua hari kemudian, pada tanggal 15 November 1946, di rumah Sjahrir di Jakarta, berlangsung pemarafan secara resmi Perundingan Linggarjati. Sebenarnya Soekarno yang tampil sebagai kekuasaan yang memungkinkan tercapainya persetujuan, namun, Sjahrir yang diidentifikasikan dengan rancangan, dan yang bertanggung jawab bila ada yang tidak beres.

Agresi Militer Belanda I

Artikel utama: Agresi Militer Belanda I

Deretan tentara Belanda saat Operasi Product

Pada tengah malam 20 Juli 1947, Belanda meluncurkan serangan militer yang disebut sebagai Agresi Militer Belanda I (Operatie Product), dengan tujuan utama menghancurkan kekuatan republikan. Aksi militer ini melanggar perjanjian Linggarjati, dan dianggap pemerintah belanda sebagai aksi polisionil untuk penertiban dan penegakkan hukum. Pasukan Belanda berhasil memukul pasukan Republikan dari Sumatra serta Jawa Barat dan Jawa Timur. Republikan kemudian memindahkan pusatnya ke Yogyakarta. Pasukan Belanda juga menguasai perkebunan di Sumatra, instalasi minyak dan batu bara, serta pelabuhan-pelabuhan besar di Jawa.

Negara-negara lain bereaksi negatif terhadap aksi Belanda ini. Australia, India, Uni Soviet, dan Amerika Serikat segera mendukung Indonesia. Di Australia, misalnya, kapal berbendera Belanda diboikot mulai bulan September 1945. Dewan keamanan PBB mulai bertindak aktif dengan membentuk Komisi Tiga Negara untuk mendorong negosiasi. PBB kemudian mengeluarkan resolusi untuk gencatan senjata. Pada saat aksi militer ini terjadi, tepatnya pada 9 Desember 1947, Pasukan Belanda membantai banyak warga sipil di Desa Rawagede (saat ini wilayah Balongsari di Karawang, Jawa Barat.

Konflik internal

Pemberontakan Komunis

Artikel utama: Peristiwa Madiun

Pada 18 September 1948 Republik Soviet Indonesia diproklamasikan di Madiun[32] oleh anggota PKI yang berniat menjalankan sebuah pusat pembangkangan atas kepemimpinan Soekarno Hatta, yang dianggap budak Jepang dan Amerika. Pertempuran antara TNI dan PKI ini, tetap dimenangkan pihak TNI dalam beberapa minggu, dan pemimpinnya, Muso, terbunuh. RM Suryo, Gubernur Jawa Timur pada masa itu, beberapa petugas kepolisian, dan pemimpin relijius gugur di tangan pemberontak. Kemenangan ini menghilangkan gangguan konsentrasi atas perjuangan revolusi nasional dan memperkuat simpati Amerika yang awalnya hanya berupa perasaan senasib dalam bentuk anti kolonialisme, menjadi dukungan diplomatik. Di dunia internasional, pihak Republik Indonesia mengukuhkan sikap anti komunis dan menjadi calon sekutu potensial di awal era perang dingin antara Amerika Serikat dan blok Soviet.[33]

Pemberontakan Darul Islam

Lihat pula: Negara Islam Indonesia

Pemerintah berencana membubarkan Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) dan anggotanya disalurkan ke masyarakat. Tenyata Kahar Muzakkar menuntut agar Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan dan kesatuan gerilya lainnya dimasukkan dalam satu brigade yang disebut Brigade Hasanuddin di bawah pimpinanya.

Tuntutan itu ditolak karena banyak di antara mereka yang tidak memenuhi syarat untuk dinas militer. Pemerintah mengambil kebijaksanaan menyalurkan bekas gerilyawan itu ke Corps Tjadangan Nasional (CTN). Pada saat dilantik sebagai Pejabat Wakil Panglima Tentara dan Tetorium VII, Kahar Muzakkar beserta para pengikutnya melarikan diri ke hutan dengan membawa persenjataan lengkap dan mengadakan pengacauan. Kahar Muzakkar mengubah nama pasukannya menjadi Tentara Islam Indonesia dan menyatakan sebagai bagian dari DI/TII Kartosuwiryo pada tanggal 7 Agustus 1953.

Awalnya TNI tidak merespon karena sedang berkonsentrasi melawan agresi Belanda. Namun setelah seluruh teritori kembali disatukan pada 1950, maka pemerintah Republik Indonesia mulai menganggap Darul Islam sebagai ancaman, terutama setelah beberapa provinsi lainnya menyatakan bergabung dalam Darul Islam. Perlawanan ini berhasil dipadamkan mulai tahun 1962, dan tanggal 3 Februari 1965, Kahar Muzakkar tertembak mati oleh pasukan TNI dalam sebuah baku tembak.

Dampak

Wakil Presiden Indonesia, Hatta dan Ratu Belanda, Juliana menandatangani kedaulatan Indonesia di Den Haag, Belanda

Walaupun tidak ada data akurat mengenai perhitungan dari berapa banyak penduduk Indonesia yang meninggal dalam gerakan revolusi Indonesia. Perkiraan yang meninggal dalam peperangan untuk kemerdekaan Indonesia berkisar dari 45.000 sampai 100.000 jiwa, dan rakyat sipil diperkirakan meninggal dalam kisaran 25.000 atau mungkin mencapai angka 100.000 jiwa. Selain itu, tentara Inggris yang berjumlah 1200 diperkirakan dibunuh dan hilang di Jawa dan Sumatra antara tahun 1945-1946, kebanyakan merupakan prajurit India. Sedangkan untuk Belanda lebih dari 5000 tentaranya kehilangan nyawa mereka di Indonesia. Lebih banyak lagi tentara Jepang gugur, di Bandung sendiri tentara Jepang yang meninggal dalam peperangan sebanyak 1057 jiwa, dalam faktanya hanya setengahnya yang gugur dalam peperangan, sementara yang lainnya tewas diamuk oleh rakyat Indonesia lainnya. Puluhan ribu orang Tionghoa dan masyarakat asing lainnya di bunuh atau terpaksa kehilangan tempat tinggalnya di Indonesia, walaupun dalam kenyataannya masyarakat Tionghoa yang tinggal di Indonesia mendukung gerakan revolusi Indonesia untuk mendapatkan kemerdekaan. Selain itu, lebih dari tujuh juta jiwa mengungsi di Sumatra dan Jawa.[34]

Gerakan revolusi nasional Indonesia ini memberikan efek langsung pada kondisi ekonomi, sosial dan budaya Indonesia itu sendiri, di antaranya kekurangan bahan makanan, dan bahan bakar. Ada dua efek dalam ekonomi yang ditimbulkan oleh gerakan nasional Indonesia yang berdampak langsung dengan ekonomi Kerajaan Belanda dan Indonesia, keduanya kembali untuk membangun ekonomi mereka secara berkelanjutan setelah Perang Dunia II dan gerakan revolusi Indonesia. Republik Indonesia mengatur kembali setiap hal yang dibutuhkan oleh rakyat Indonesia yang awalnya diblokade oleh Belanda.

Catatan kaki

  1. ^ Tjandraningsih, Christine (9 September 2009). "Japanese recounts role fighting to free Indonesia". Kyodo News. Diakses tanggal 24 Maret 2020. 
  2. ^ Greenless, Donald (15 Agustus 2005). "Occupation Helped Put Indonesia On the Path To Independence". The New York Times. Diakses tanggal 2 November 2020. 
  3. ^ Isnaeni, Hendri F. (14 Juli 2018). "Alasan Pembelotan Tentara India". Historia. Diakses tanggal 2 November 2020. 
  4. ^ Efimova, Larisa M (2001). "New evidence on the establishment of Soviet-Indonesian diplomatic relations (1949-53)". Indonesia and the Malay World. 29 (85): 215–233. doi:10.1080/13639810120102076.  Parameter |s2cid= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
  5. ^ "Australia & Indonesia's Independence:The Transfer Of Sovereignty: Documents 1949". Minister for Foreign Affairs. Diarsipkan dari versi asli tanggal 29 October 2013. Diakses tanggal 11 May 2013.  Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)
  6. ^ Michael Green, 147–49
  7. ^ Foreign Policy of India: Text of Documents 1947–59 (p. 54)
  8. ^ Gouda, Frances (2002). American visions of the Netherlands East Indies/Indonesia : US foreign policy and Indonesian nationalism, 1920–1949. Thijs Brocades Zaalberg. Amsterdam: Amsterdam University Press. ISBN 1-4175-2156-2. OCLC 55842798. 
  9. ^ "3 The Philippine View of Indonesian Independence". 
  10. ^ //www.groene.nl/artikel/wie-telt-de-indonesische-doden
  11. ^ a b Friend 2003, hlm. 35.
  12. ^ Vandenbosch 1931, hlm. 1051-1069.
  13. ^ Kahin, Hatta 1980.
  14. ^ Vickers 2005, hlm. 85.
  15. ^ Ricklefs 1993, hlm. 207.
  16. ^ a b Ricklefs 1993, hlm. 214.
  17. ^ Friend 2003, hlm. 33.
  18. ^ a b Ricklefs 1993, hlm. 215.
  19. ^ Reid 1974, hlm. 78.
  20. ^ a b c d e f g Pamflet PT KAI menyambut ulang tahun PT KAI 2015, dipampangkan di Stasiun Yogyakarta
  21. ^ "War for Independence: 1945 to 1950" (dalam bahasa Inggris). gimonca.com. Diakses tanggal 29 Agustus 2020. 
  22. ^ "Bhayangkara Pewaris Gajah Mada, Kilas-balik sejarah POLRI" (dalam bahasa Inggris). adnanputra.com. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2007-09-30. Diakses tanggal 29 Agustus 2020. 
  23. ^ Ricklefs 1993, hlm. 214-215.
  24. ^ Friend 2003, hlm. 32.
  25. ^ a b c Ricklefs 1993, hlm. 215-216.
  26. ^ a b c d Vickers 2005, hlm. 97.
  27. ^ Reid 1974, hlm. 49.
  28. ^ Charles Bidien (5 Desember 1945). "Independence the Issue". Far Eastern Survey (dalam bahasa Inggris). 14 (24): 345–348.  Parameter |access-date= membutuhkan |url= (bantuan)
  29. ^ a b c Ricklefs 1993, hlm. 216.
  30. ^ Vickers 2005, hlm. 99.
  31. ^ "Perjanjian Linggarjati: Latar Belakang, Isi, dan Dampaknya". 
  32. ^ "Madiun, Negara Republik Soviet Indonesia". 
  33. ^ Ricklefs (1991), page 230
  34. ^ "Combination of footage and stories of Dutch war veterans.’ "Tom Verheul". 1995. diakses pada 10 November 2013

Lihat juga

  • Laskar Rakyat Djakarta Raya
  • Peristiwa 19 November, tahun 1945 di Kolaka

Referensi

  • Amry Vandenbosch (1931). "Nationalism in Netherlands East India". Pacific Affairs. Pacific Affairs, University of British Columbia. 4 (12): 1051–1069. JSTOR 2750579. 
  • George Mc.T Kahin (1980). "In Memoriam: Mohammad Hatta (1902–1980)". Indonesia. Southeast Asia Program Publications at Cornell University. 20 (20): 113–120. doi:10.2307/3350997. JSTOR 3350997. 
  • Anderson, Ben (1972). Java in a Time of Revolution: Occupation and Resistance, 1944–1946. Ithaca, N.Y.: Cornell University Press. ISBN 0-8014-0687-0. 
  • Cribb, Robert (1991). Gangster and Revolutionaries: The Jakarta People's Militia and the Indonesian Revolution 1945–1949. Sydney, Australia: ASSA Southeast Asian Publications Series – Allen and Unwin. ISBN 0-04-301296-5. 
  • Drooglever, P. J. (1999). Guide to the Archives on Relations between the Netherlands and Indonesia 1945–1963. The Hague, Belanda: ING Research Guide.  Parameter |coauthors= yang tidak diketahui mengabaikan (|author= yang disarankan) (bantuan)
  • Frederick, William H. (1989). Visions and Heat: The Making of the Indonesian Revolution. Athens, Ohio: Ohio University Press. ISBN 0-8214-0906-9. 
  • George, Margaret (1980). Australia and the Indonesian Revolution. Melbourne University Press. ISBN 0-522-84209-7. 
  • Heijboer, Pierre (1979). De Politionale Acties. Haarlem: Fibula van Dishoeck. 
  • Gde Agung, Ida Anak Agung (1996). From the Formation of the State of East Indonesia Towards the Establishment of the United States of Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. ISBN 979-461-216-2. 
  • Jong, Dr. L. de (1988). Het Koninkrijk der Nederlanden in de Tweede Wereldoorlog. Gravenhage. 
  • Kahin, Audrey (1995). Regional Dynamics of the Indonesian Revolution. University of Hawaii Press. ISBN 0-8248-0982-3. 
  • Kahin, George McTurnan (1952) [1951]. "Nationalism and Revolution in Indonesia". Ithaca, NY: Cornell University Press. ISBN 0-8014-9108-8. OCLC 406170. 
  • Lucas, A. (1991). One Soul One Struggle. Region and Revolution in Indonesia. St. Leonards, Australia: Allen & Unwin. ISBN 0-04-442249-0. 
  • McMillan, Richard. The British Occupation of Indonesia 1945–1946. New York: Routledge. ISBN 0-415-35551-6. 
  • Payne, Robert (1947). The Revolt In Asia. New York: John Day. 
  • Poeze, Harry A. (2007). Verguisd en vergeten. Tan Malaka, de linkse beweging en de Indonesische Revolutie 1945–1949. KITLV. hlm. 2200. ISBN 978-90-6718-258-4. 
  • Taylor, Alastair M. (1960). Indonesian Independence and the United Nations. London: Stevens & Sons Ltd. ASIN B0007ECTIA. 
  • Yong Mun Cheong (2004). The Indonesian Revolution and the Singapore Connection, 1945–1949. Leiden: KITLV Press. ISBN 90-6718-206-0. 
  • Friend, Theodore (2003). Indonesian Destinies. The Belknap Press of Harvard University Press. ISBN 0-674-01834-6. 
  • Kahin, George McTurnan (2003). Southeast Asia: A Testament. London: Routledge Curzon. ISBN 0-415-29975-6.  Parameter |coauthors= yang tidak diketahui mengabaikan (|author= yang disarankan) (bantuan)
  • Reid, Anthony (1974). "The Indonesian National Revolution 1945–1950". Melbourne: Longman Pty Ltd. ISBN 0-582-71046-4. 
  • Ricklefs, M.C. (1993). A History of Modern Indonesia since 1300. San Francisco: Stanford University Press. 
  • Vickers, Adrian (2005). A History of Modern Indonesia. New York: Cambridge University Press. hlm. 85–112. ISBN 0-521-54262-6. 

Pranala luar

Wikimedia Commons memiliki media mengenai Indonesian Revolution.

  • Parallel and Divergent Aspects of British Rule in the Raj, French Rule in Indochina, Dutch Rule in the Netherlands East Indies (Indonesia), and American Rule in the Philippines.
  • Radio address by Queen Wilhelmina on 7 December 1942.
  • Dutch Proposals for Indonesian Settlement 6 November 1945.
  • Dutch Proposals for Indonesian Settlement 10 Feb 1946.
  • Text of the Linggadjati Agreement 10 Feb 1946.
  • The Renville Political Principles 17 January 1948.

Diperoleh dari "//id.wikipedia.org/w/index.php?title=Revolusi_Nasional_Indonesia&oldid=21929344"

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA