Jelaskan manfaat kerjasama di lingkungan Florida

JAKARTA – Dalam membantu mewujudkan pemerataan pembangunan yang dicanangkan oleh Pemerintah, Kementerian Perhubungan (Kemenhub) mengajak para saudagar atau pengusaha yang tergabung dalam Himpunan Pengusaha Nahdliyin (HPN) dari Nahdlatul Ulama (NU) untuk turut serta dalam kerjasama melalui program-program yang dimiliki seperti tol laut, kapal pelayaran rakyat (pelra), serta pendidikan vokasi. Demikian disampaikan Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi di depan Pengurus Nahdlatul Ulama (NU) dalam acara Sarasehan dengan tema "Pengembangan Ekonomi Umat dan Kemaritiman Indonesia" di Pondok Pesantren Luhur Al-Tsaqafah di Jalan Muh Kahfi II Ciganjur, Jakarta Selatan pada Kamis (6/4).

“Saya mengajak pengusaha dari NU untuk memanfaatkan tol laut, dengan tol laut mereka bisa mengirim barang dengan lebih cepat karena konektivitas antar pulau dan dapat menurunkan biaya transportasi atau biaya logistik. Nah tadi ada pengusaha tekstil yang selalu mengirim produknya ke Indonesia Timur bisa memanfaatkan tol laut,” jelas Menhub.

Dalam paparannya, Menhub mengatakan Kemenhub juga memberikan bantuan untuk pelayaran rakyat guna mendorong usaha masyarakat pada kapal-kapal tradisional yang mengangkut komoditas bahan pokok atau barang lainnya. Hal ini dapat dimanfaatkan oleh pengusaha NU untuk menciptakan lapangan pekerjaan seperti mendirikan koperasi.

“Pemerintah berniat memberikan upaya pengentasan terhadap potensi masyarakat baik di pusat maupun di daerah untuk berwiraswasta karena tidak mungkin semuanya dikerjakan oleh Pemerintah. Contohnya di Pelabuhan, dengan adanya pelayaran rakyat, mereka bisa membuat koperasi untuk mengelola kapal rakyat. Pasti akan menciptakan lapangan pekerjaan dengan potensi dan kemapuan yang mereka miliki,” kata Menhub.

Lebih lanjut Menhub menjelaskan potensi kerjasama lainnya melalui program Kemenhub adalah melalui transportasi online.

“Para pengusaha NU bisa membentuk koperasi dan kemudian membeli kendaraan untuk angkutan online. Koperasi itu biasanya membawahi beberapa orang (pengemudi). Dengan adanya koperasi akan lebih tertib karena terdaftar melalui dashboard dan akan terkontrol melalui koperasi. Jadi disatu sisi memberikan kesempatan bekerja banyak orang, juga memberikan kesempatan koperasi untuk berkembang, dan membantu Pemerintah dalam mengontrol,” terang Menhub.

Senada dengan Menhub Budi, Menko Maritim Luhut Binsar Panjaitan yang menjadi keynote speaker pada acara tersebut mengatakan bahwa dengan potensi 90 juta anggota, pemerintah akan mendorong NU, khususnya para pengusaha HPN untuk bisa bersinergi dengan pemerintah dalam meningkatkan perekonomian Indonesia.

"Bukan hanya NU tapi juga yang lainnya mempunyai kesempatan dan peluang yang sama untuk ikut serta dalam berbagai bisnis yang ada oleh Pemerintah. Sektor yang dilibatkan juga banyak meliputi perikanan, pertanian bahkan properti, perhubungan dan energi. Jadi semua merata," jelas Luhut.

Lebih lanjut Menhub juga menyampaikan bahwa potensi kerjasama Pemerintah dengan NU ini merupakan suatu langkah yang strategis.

"Saya pikir ini langkah yang bagus di mana Pemerintah mendapatkan dukungan dari para Nahdliyin dalam segi ekonomi. Kita juga bersedia untuk membina bukan saja terbatas di sektor perhubungan tapi juga sektor lainnya," kata Menhub.

Dialog ekonomi dan kemaritiman ini dihadiri oleh Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Said Aqil Siroj serta 200 pengusaha NU dan pengurus PBNU lainnya. (LFH/TH/BS/JAB)

Dalam kesempatan Menteri Infrastruktur Transportasi dan Pariwisata Jepang menyatakan dukungannya terhadap pencalonan kembali Indonesia sebagai anggota Dewan IMO, serta mendorong percepatan pembangunan MRT dan infrastruktur transportasi lainnya dalam skema kerjasama Indonesia - Jepang.

Dalam Pertemuan APEC tersebut juga itu juga sempat dilakukan pertemuan informal Menteri Perhubungan RI Freddy Numberi dengan Deputy Menteri Transportasi Russia, Andrey NEDOSEKOV.  Menteri Perhubungan RI menjelaskan tentang peluang investasi di Indonesia. Sementara Deputy Menteri Transporatsi Rusia, berkomitmen mendukung pembangunan infrastruktur perkeretaapian khususnya perkeretaapian di Kalimantan. (JAB)


 

KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT ADAT MALUKU

DALAM PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN  LINGKUNGAN HIDUP[1]

Oleh : Popi Tuhulele

Pendahuluan

Secara ekologis, manusia merupakan salah satu subsistem dalam ekosistem lingkungan hidup. Dengan demikian manusia adalah satu kesatuan terpadu dengan lingkungannya dan dianta-ranya terjalin suatu hubungan fungsional  yang  sedemikian rupa.Dalam hubungan fungsional tersebut  manusia tidak dapat dipisahkan dengan lingkungannya. Manusia akan selalu bergantungpada lingkungan yang sekaligus dipengaruhi dan mempengaruhi dan pada akhirnya akan mempengaruhi ekosistem secara keseluruhan.

Kini kelangsungan lingkungan hidup sedang berada di persimpangan dan  pihak yang selama ini  dianggap  mengakibatkan kerusakan lingkungan yang besar adalah masyarakat  adat/tradisional. Naman  dari hasil penelitian beberapa dekade ini terbukti pihak yang mengakibatkan kerusakan lingkungan dalam skala yang besar dan masif tidak dilakukan oleh masyarakat tradisional tetapi oleh industri besar dan negara yang kebijakanyannya tidak mengidahkan perlindungan  atas lingkungan.

Ridha Saleh, dalam bukunya “Ecocide: Politik Kejahatan lingkungan dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia” menyatakan bahwa gejala eksploitasi yang massif terhadap sumberdaya alam secara terbuka, menurut kenyataannya telah mengarah pada tindakan pengrusakan dan pemusnahan atas ekosistem sumber-sumber kehidupan dan lingkungan hidup akibat dari ecocide. Depresi ekologi saat ini lebih disebabkan oleh pengarahan pembangunan yang tidak memperhatikan kelangsungan lingkungan hidup dan masa depan generasi.[2]

Perkembangan kepedulian lingkungan pada masyarakat global dan kesadaran pemerintah indonesia atas keberadaan lingkungan sebagai penopang pembangunan negara, telah mendorong  pengembangan pengaturan hukum lingkungan. Dari konsep pengelolaan lingkungan hidup menuju Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup terdapat berbagai hal baru dalam pengaturan hukum lingkungan hidup Indonesia yang perlu dipahami bersama agar dapat menunjang pembangunan yang berkelanjutan.

Lingkungan hidup dipahami sebagai suatu  kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Selanjutnya  menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dijelaskan bahwa Pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup yang meliputi kebijaksanaan penataan, pemanfaatan, pengembangan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, dan pengendalian lingkungan hidup.

Ketentuan tersebut kemudian di tegaskan pada pasal 2 Undang-Undang  Nomor  32 Tahun  2009 menyatakan bahwa Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup meliputi perencanaan, pemanfaatan,  pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum dan selanjutnya dalam  Pasal 4   mengatur tentang  Ruang Lingkup Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup meliputi  perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan dan penegakan hukum.[3]

Pengelolaan lingkungan hidup yang diselenggarakan dengan asas tanggung jawab Negara, asas berkelanjutan dan asas manfaat bertujuan untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup, Adapun sasaran pengelolaan lingkungan hidup adalah :[4]

1.        Tercapainya keselarasan, keserasian dan keseimbangan antara manusia dan lingkungan hidup

2.        Terwujudnya manusia Indonesia sebagai insan lingkungan hidup yang memiliki sikap dan tindak melindungi dan membina lingkungan hidup

3.        Terjaminnya kepentingan generasi masa kini dan generasi masa depan

4.        Tercapainya kelestarian fungsi lingkungan hidup

5.        Terkendalinya pemanfaatan sumber daya secara bijaksana

6.        Terlindunginya Negara Kesatuan Republik Indonesia terhadap dampak usaha dan/atau kegiatan di luar wilayah Negara yang menyebabkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.

Pengelolaan lingkungan hidup bukan semata-mata menjadi tanggung jawab pemerintah, Swasta dan masyarakat juga sangat penting peran sertanya dalam melaksanakan  kebijaksanaan pengelolaan lingkungan hidup. Setiap orang mempunyai hak dan kewajiban berperan serta dalam rangka pengelolaan lingkungan hidup, sehingga dapat tercapai kelestarian fungsi lingkungan hidup.[5]

Maman Djumantri menyatakan Secara generic dapat dikatakan bahwa “pembangunan adalah proses pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan manusia agar hidup sejahtera lahir dan batin”. Terlepas dari bagaimana proses dan cara melaksanakannya, tujuan akhir pembangunan adalah kesejahteraan sosial (lahir maupun batin) bagi seluruh rakyat Indonesia. Jika pembangunan ditujukan untuk seluruh rakyat (bangsa) Indonesia, seyogya-nya menyertakan juga lapisan masyarakat tradisional atau masyarakat adat yang tersebar, terpencil dan marjinal. [6]

Kearifan Lokal  Masyarakat Adat dan Pengelolan Lingkungan Hidup

Guna memenuhi kebutuhan hidup manusia akan memanfaatkan apa yang tersedia di sekitar lingkungannya untuk itu manusia akan berusaha untuk beradaptasi agar melahirkan keseimbangan dan keteraturan dalam masyarakat dan lingkungan. salah satunya adalah di berlakukannya sistem-sistem pengendalian sosial yang berupa norma & hukum (adat) yang merupakan produk dari masyarakat tersebut. Dalam kelompok masyarakat tradisional indonesia atau dikenal dengan masyarakat adat dan norma/hukum yang berlaku di dalam masyarakat tradisional ini dikenal dengan hukum adat.

Menurut Van Apeldoorn perkataan adat semata-mata adalah peraturan tingkah laku, kaidah-kaidah yang meletakan kewajiban-kewajiban.[7]Peraturan tingkah laku yang dikatakan oleh Van Apeldoorn sebagai adat yang di anut oleh masyarakatnegeri diwariskan oleh nenek moyang atau datuk-datuk yang telah membentuk masyarakat negeri itu untuk  digunakan sebagai contoh  kehidupan bagi keturunan-keturunan mereka.[8]Selanjutnya pudjosewojo melihat adat sebagai tingkah laku yang oleh dan dalam satu masyarakat (sudah, sedang, akan diadakan) .[9]

Peraturan tingkah laku yang menjadi  adat istiadat dari suatu masyarakat adat ini dalam perkembanganya menjadi suatu norma hukum adat. Hukum adat untuk disebut hukum harus mengandung sanksi tertentu, baik berupa sanksi fisik maupun denda lainnya.

Menurut Soepomo,  hukum  adat  adalah hukum yang  hidup karena ia menjelmakan hukum yang nyata  dari masyarakat, ia terus-menerus tumbuh dan berkembang seperti hidup itu sendiri dan hukum adat berurat akar pada kebudayaan teradisional.[10] jadi hukum adat merupakan hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat adat karena tidak dapat dipisahkan dari keberadaan dan dinamika masyarakat adat.

Menurut Hazairin masyarakat hukum adat adalah kesatuan-kesatuan masyarakat yang mempunyai kelengkapan-kelengkapan untuk sanggup berdiri sendiri, yaitu mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa dan kesatuan lingkungan hidup berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi semua anggotanya…, bentuk hukum keluargannya (patrilineal,matrilineal, atau bilateral), semua anggotanya sama dalam hak dan kewajibannya.[11]

Salah satu peristiwa penting terkait dengan pengakuan dan penguatan masyarakat hukum adat berangkat dari hasil Earth Summit di Rio de Janeiro pada 1992 dengan dikeluarkannya Rio Declaration on Environment and Development (1992). Dalam Prinsip ke-22 dinyatakan bahwa masyarakat hukum adat mempunyai peranan penting dalam pengelolaan dan pembangunan lingkungan hidup karena pengetahuan dan praktik tradisional mereka. Oleh karenanya, negara harus mengenal dan mendukung penuh entitas, kebudayaan dan kepentingan mereka serta memberikan kesempatan untuk berpartisipasi aktif dalam pencapaian pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development).[12]

Keberadaan masyarakat hukum adat diakui eksisktensinya oleh negara dalam pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya”. Selanjutnya ketentuan ini juga memberikan batasan sebagai syarat adanya pengakuan dan penghormatan yakni selama masyarakat hukum adat masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat yang berlangsung secara terus menerus.

Kekayaan pengetahuan masyarakat adat  di Indonesia sudah berkembang dalam jangka waktu yang panjang sejalan dengan perkembangan peradaban manusia. Proses perkembangan tersebut memunculkan banyak pengetahuan dan tata nilai tradisional yang dihasilkan dari proses adaptasi dengan lingkungannya. Sesuai dengan kebutuhan dasar manusia, salah satu bentuk pengetahuan tradisional yang berkembang adalah pengetahuan dalam pemanfaatan lahan,baik sebagai tempat tinggal maupun tempat untuk mencari atau memproduksi bahan makanannya.[13]

Dalam kaitannya dengan pemanfaatan, penggunaan dan pengelolaan sumberdaya alam dan kelestarian lingkungan, masyarakat adat ini dengan pengetahuan lokalnya (indigenus knowledge), dengan kekuatan memegang hukum adatnya, kemampuan spiritualnya, dan religi yang dianutnya, ternyata lebih arif dibandingkan masyarakat lainnya.[14] Pengetahuan lokal yang dikenal sebagai kearifan lokal tumbuh dan berkembang didalam masyarakat sebagai pengetahuan yang di turunkan dari generasi kegenerasi sebagai bagian dari adaptasi terhadap lingkungannya.

Menurut Wahyu (2007) bahwa kearifan local, dalam terminology budaya, dapat diinterpretasikan sebagai pengetahuan local yang berasal dari budaya masyarakat, yang unik, mempunyai hubungan dengan alam dalam sejarah yang panjang, beradaptasi dengan system ekologi setempat, bersifat dinamis dan selalu terbuka dengan tambahan pengetahuan baru. Secara lebih spesifik, kearifan local dapat diartikan sebagai suatu pengetahuan local, yang unik yang berasal dari budaya atau masyarakat setempat, yang dapat dijadikan dasar pengambilan keputusan pada tingkat local dalam bidang pertanian, kesehatan, penyediaan makanan, pendidikan, pengelolaan sumberdaya alam dan beragam kegiatan lainnya di dalam komunitas-komunitas.  Selanjutnya Wahyu juga menyatakan bahwa kemampuan memaknai kearifan local oleh individu, masyarakat dan pemerintah yang diwujudkan dalam cara berpikir, gaya hidup dan kebijakan secara berkesinambungan dalam mengelola sumberdaya alam dan lingkungan dapat diharapkan untuk menghasilkan peningkatan berkehidupan yang berkualitas dalam masyarakat dan Negara.[15]

Pengakuan secara yuridis atas keberadaan masyarakat hukum adat dan kearifan lokalnya serta  hak-haknya dapat dilihat dalam  Pasal  1 ayat 30  Undang-Undang  Nomor 32 Tahun 2009 menyatakan bahwa  kearifan lokal  adalah  nilai-nilai  luhur yang berlaku dalam tatanan hidup masyarakat untuk antara lain melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari. Selanjutnya pada pasal 67 ayat (1b) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan menyatakan bahwa masyarakat hukum adat diakui keberadaanya berhak melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang.

 Pasal 6ayat (2) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan menyebutkan bahwa pengelolaan perikanan untuk kepentingan penangkapan ikan dan pembudidayaan ikan harus mempertimbangkan peran serta masyarakat.Dalam pasal 61 ayat (1 dan 2) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil,  Pemerintah mengakui, menghormati dan melindungi hak-hak masyarakat adat, masyarakat tradisionaldan kearifan lokal atas wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang telah dimanfaatkan secara turun temurun  dijadikan acuan dalam pengelolaan wilayah pesisr dan pulau-pulau kecil yang berkelanjutan.

Pengetahuan  masyarakat adat  dalam sistim pengelolaan sumber daya alam yang luar biasa (menunjukkan tingginya ilmu pengetahuan mereka) dan dekat sekali dengan alam. Maluku merupakan salah satu propinsi  Indonesia yang secara geografisnya memiliki wilayah laut yang lebih luas dari wilayah darat. Dengan jumlah pulau mencapai 976 buah pulau dan secara administratif terbagi atas 8 (delapan ) kabupaten kota. Dimana sebagaian besar penduduk  maluku  menyebar  dan tinggal di  pesisir sejumlah pulau besar dan kecil.[16]

Kehidupan masyarakat  Maluku yang  kaya  akan sumber daya  alam baik di laut maupun di darat masih  berlaku hukum adat  hal ini terlihat  dari  adanyaa kesatuan masyarakat yang teratur yang  mempunyai  penguasa  dan  menetap disuatu  wilayah tertentu  yang  dikenal dengan wilayah  petuanan  (ulayat). Kesatuan hukum adat masyarakat ini sejak dahulu sangat berpengaruh dalam berbagai aspek, baik pemerintahan, ekonomi terutama pengelolaandan perlindungan lingkungan hidup, hal ini terlihat dengan masih sangat bergantungnya masyarakat adat malukupada ketersediaan lingkungan,  kehidupan masyarakat yang masih bersifat komunal dan masih mempertahankan kearifan lokal yag didapatnya dari pengetahuan yang diturunkan secara turun temurun.

Dalam kenyataannya sistem pengelolaan  lingkungan secara tradisonal terbukti mempunyai nilai penting dalam  perlindungan dan pelestarian  lingkungan, termasuk dalam konteks sosial dan ekonomi  khususnya bagi masyarakat adat  maluku  yang kehidupannya sangat bergantung pada hasil-hasil  perikanan dan pertanian.Dalam kaitannya dengan pemanfaatan, penggunaan dan pengelolaan sumber daya  lingkungan dan perlindungan lingkungan, masyarakat adat ini dengan pengetahuan/ kearifan lokalnya , dengan kekuatan memegang hukum adatnya, kemampuan spiritualnya, dan religi yang dianutnya, ternyata lebih arif dibandingkan masyarakat lainnya.

Masyarakat adat  maluku  dengan kearifan lokalnya sebagai bagian dari struktur pemerintahan negara, harus diposisikan sebagai bagian integral dalam proses pembangunan. Artinya partisipasi aktif masyarakat adatharus direspons secara positif oleh pemerintah. Masyarakat adat harus diberikan kebebasan untuk berkreasi sesuai potensi yang dimiliki, sehingga ada keseimbangan. Kebijakan pembangunan harus terintegrasi dengan tetap berbasis pada masyarakat adat yang mempunyai hukum adat, sebagai bagian dari sistem hukum nasional yang patut diakui eksistensinya.

Kehidupan sosial dan budaya  masyarakat  maluku yang tidak terlepas dari hukum adat digunakan dalam upaya pengelolaan sumber daya alam guna memenuhi kebutuhan hidupnya sekaligus sebagai upaya pelestarian atas sumber daya hayati dan ekosistemnya. Salah satu  bentuk pengelolaan dan perlindungan atas lingkungan hidup oleh masyarakat adat maluku adalah sasi.

Sasi merupakan praktik-praktik pengelolaan dan perlindungan sumber daya alam   yang dilaksanakan masyarakat adat maluku dinilai selaras dengan prinsip pengelolaan lingkungan hidup yang lestari dan berkelanjutan. Sasi juga didukung oleh kebijakan adat  sebagai bentuk pengetahuan lokal  yang secara turun-temurun sudah mengatur bahwa pengelolaan dan pemanfaatan alam harus memperhatikan kelestarian sumber daya alam serta lingkungan.

Sasi sebagai pranata adat mengandung kekuatan hukum yang mengikat bagi masyarakat adat tesebut karena dalam penyelangaraan sasi mengandung ketentuan yang mengatur tentang larangan serta kebolehan bagi masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup dan perlindungannya. Keberlakuan hukum dalam sasi mengenal pembatasan wasktu berdasarkan jenis sumber daya alam yang diaturnya.Di Maluku  masyarakat adat yang tinggal pulau-pulau kecil maupun di wilayah pesisir memiliki sistem ‘sasi’ atau larangan memanen ataumengambil dari alam (di laut atau didarat)  sumber daya alam tertentu untuk waktu tertentu. Sasi sebagai upaya  perlindunganguna menjaga mutu dan populasi sumber daya alam hayati. Adanya larangan pengembilan hasil sebelum waktunya, maka akan terjadi peningkatan populasi sumber daya alam hayati.

Penerapan sasi diterapkan pada sumber daya alam di laut maupun didarat, di darat sasi diberlakukan pada tanaman dan buah-huahan yang dilarang untuk di panen setiap waktu,  ada waktu-waktu tertentu tanaman tersebut dilarang untuk di ambil dengan tujuan hasil yang di dapat lebih maksimal dan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat adat tersebut. Larangan dalam hukum sasi mulai berlaku sejak adanya upacara adat “tutup sasi” dan berakhinya hukum sasi saat upacara “buka sasi “ di lakukan .

Sasi yang dikenal masyarakat di pesisir Salah satunya adalah Sasi ikan lompa di Pulau Haruku kabupaten maluku tengah, terkenal sebagai satu acara tahunan yang unik bagi masyarakat di Pulau Haruku dan Ambon yang menunjukkan salah satu bentuk kearifan lokal dalam menjaga kelestarian lingkungan. Dengan ditetapkannya sasi atas spesies dan di wilayah tertentu oleh Kewang maka siapapun tidak berhak untuk mengambil spesies tersebut. Ketentuan ini memungkinkan adanya pengembang-biakan dan membesarnya si ikan lompa, untuk kemudian di panen ketika sasi dibuka lagi. [17]

Keunikan sasi di pulau haruku ini karena sasi ini merupakan perpaduan antara sasi laut dengan sasi kali (sungai). Hal ini disebabkan karena keunikan ikan lompa itu sendiri yang, dapat hidup baik di air laut maupun di air kali. Setiap hari, dari pukul 04.00 dinihari sampai pukul 18.30 petang, ikan ini tetap tinggal di dalam kali Learisa Kayeli sejauh kurang lebih 1500 meter dari muara. Pada malam hari barulah ikan-ikan ini ke luar ke laut lepas untuk mencari makan dan kembali lagi ke dalam kali pada subuh hari. Pada saat mulai memberlakukan masa sasi (tutup sasi), dilaksanakan upacara yang disebut panas sasi. Upacara ini dilakukan tiga kali dalam setahun, dimulai sejak benih ikan lompa sudah mulai terlihat.[18]

Sasi dalam penyelengaraanya di awasi oleh suatu lembaga adat yang di sebut kewang (semacam polisi adat di Maluku Tengah), kewang sebagai lembaga adat yang berakses secara langsung dengan wilayah adat (wilayah ulayat/petuanan) suatu masyarakat adat baik di darat maupun di laut. Pengawasan dan pengaman lembaga kewang menjamin terjaganya keseimbangan hubungan antara manusia dan lingkungan hidupnya dengan pemanfaatan sumber daya alam secara terkendali dan bijaksana .

Lain lagi bentuk pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup  Masyarakat Adat Aru (Maluku Tenggara), berperadaban yang ecocentrism, tercermin dalam eksploitasi sumberdaya pesisir dan laut sebagai mata-pencaharian utamanya dengan memanfaatkan pengetahuan dan kearifan lokal pada sebuah ekosistem pesisir dan kepulauan. Pada Musim Timur (Mei-Oktober) mereka bekerja di kebun membuat kanji dari sagu dan berburu, Pada Musim Barat (November-April) lebih terfokus pada sumberdaya laut seperti mengumpulkan Teripang dipesisir pantai yang sedang pasang ataupun berburu Hiu.[19]

Pengumpulan teripang oleh masyarakat adat Aru tidak mengunakan alat apapun tetapi memanfaatkan pengetahuan/kearaifan lokal (indigenous knowledge) mengenai kehidupan Tripang seperti habitat yang disukainya, bulan apa bereproduksi, pada cuaca bagaimana menampakkan diri dan sebagainya. Melalui pengetahuan lokal inilah komunitas lokal Aru mengorganisasikan kekuatannya mengelola sumberdaya alam yang satu ini secara lestari. Sebagai contoh: Di Musim Barat saat pasang naik merupakan saat yang tepat untuk “memanen”Tripang; tetapi dibatasi dari November sampai Maret saja karena Tripang (khususnya Tripang Putih dan Tripang Matahui) berproduksi pada bulan April. Masyarakat adat Aru sangat kuat memegang kepercayaan yang dianutnya yang berhubungan erat dengan mitologi.hal ini menjadi instrumen tangguh dalam menjaga kelestarian alam dan keberlanjutanya, karena alam dan seluruh isinya dianggap sebagi milik leluhurnya yang senantiasa memantau agar pengunaan sumber daya alam sehemat mungkin sekedar untuk memenuhi kebutuhan hidup dan memikirkan mereka yang akan hidup.[20]

 Kepala adat sebagi mediator antara leluhur dan anak cucunya pada waktu-waktu tertentu akan melakukan dialog, hasil dialog  tersebut berupa kesepakatan untuk hanya menagambil teripang yang berukuran besar dan ada masa larangan (restriction) untuk mengambil teripang atau yang dikenal dengan sasi teripang selama ± 3 (tiga) tahun, hal ini dimaksud agar memberikan kesempatan pada alam  untuk melakukan regenerasi. Jika hal ini dilanggar maka akan terjadi penyimpangan yang dimanifestasikan dengan bencana alam.[21]

Melihat bentuk pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup masyarakat adat Maluku dapat dikatakan bahwa tujuan utama dari sasi di Maluku  merupakan wujud dari kesadaran dan kearifan lokal masyarakat adat maluku dalam pengelolaan dan perlindungan serta pelestarian lingkungan hidup sebagai modal dasar. Dengan adanya sasi warga masyarakat adat tidak mengelola sumberdaya alamnya secara sembarangan sehingga sumber daya alam yang ada  dapat berdaya guna dan lestari demi kepentingan dan kesejahtraan masyarakat .

Keberadaan masyarakat adat sebagai bagian dari negara kesatuan republik Indonesia yang di akui hak-hak adat dan sistem hukumnya, termasuk sumber daya alam yang ada di wilayahnya. Untuk itu masyarakat adat perlu diberikan kesempatan untuk mengelola dan memanfaatkan suberdaya alam di wilayahnya sesuai dengn kearifan lokal yang dimilikinya.

Sasi sebagai kearifan lokal masyarakat adat maluku  merupakan modal dan model pengelolaan dan perlindungan lingkungan hidup di tingkat daerah terutama maluku dan   nasional, dimana Penggunaan sumber daya alam harus selaras, serasi, dan seimbang dengan fungsi lingkungan hidup. Sebagai konsekuensinya, kebijakan, rencana, dan/atau program pembangunan harus dijiwai oleh kewajiban melakukan pelestarian lingkungan hidup dan mewujudkan tujuan pembangunan berkelanjutan.

[1] Tulisan ini diterbitkan dalam sebuah buku KOMPILASI PEMIKIRAN TENTANG DINAMIKA HUKUM DALAM MASYARAKAT (Memperingati Dies Natalis ke -50 Universitas Pattimura Tahun 2013), 2013

[2]Anonim, Hak Rakyat atas Lingkungan Hidup, diakses pada tanggal 20 Maret 2013 dari http;//wodpress.com/ 2008/11/adat.jpg

[3]Lihat,  Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009  yang di undangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia  tahun 2009 Nomor 140

[4]Suhartini, Modul Pengeyaan Materi Pengelolaan Lingkungan Hidup,Universitas Negeri Yogyakarta, 2008, hal. 1

[6]H.Maman Djumantri, Ruang Untuk MasyarakatLokal Tradisional ( Masyarakat Adat ) yang Semakin Terpinggirkan, Hal 1

[7]Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Pradya Paramita, 1978,Jakarta hal 42                                      

[8]F.L. Cooley, Altar and Thone in Center ar Molukas Societies a Dissertation Presented to the Faculity on the Depertemen of Religion, Yale University. Hal 47

[9] Kusumadi pujosewojo, 1959, Pedoman pelajaran  Tata Hukum Indonesia, Universitas Indonesia, hal 43  

[10] Soepomo, 197,  Bab-bab Tentang Hukum Adat, Pradya Paramitha, Jakarta, Hal 8

[11] Soejono Soekanto,2012, Hukum Adat Indonesia,Rajawali Press, jakarta, hal 93

[12]Lihat Principle 22 dalam The Rio Declaration on Environment and Development.

[13]Kosmaryandi, N. 2005, Kajian Penggunaan Lahan Tradisional Minangkabau Berdasarkan Kondisi Tanahnya (Study of Minangkabau Traditional Landuse Based on Its Soil Condition). Media Konservasi. Vol. X. No. 2. Hal 77 – 81.

[14] H.Maman Djumantri, Op chit, Hal 2

[15] Abdul Mukti, Beberapa Kearifan Lokal Suku Dayak Dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam,2010 Brawijaya Malang, Hal 1

[16]Popi Tuhulele, 2009, Pembakuan Nama Pulau Indonesia Upaya Mempertahankan Konsep Negara, Kepulauan, Tesis padaUniversitas Gadjah Mada, hal 102

[17]Sandra Moniaga, Hak-hak Masyarakat Adat dan Masalah serta Kelestarian Lingkungan Hidup di Indonesia, Media Pemajuan Hak Asasi Manusia, No. 10/Tahun II/12 Juni 2002, Jakarta diakses pada http://www.huma.or.id

[19] H.Maman Djumantri, Op cit,, hal 3

[20] H. Maman Djumantri, Ibid