Jelaskan kesalahan yang sering terjadi ketika menentukan topik dalam penelitian sejarah

1.      Kesalahan Pemilihan Topik

Memilih  topik adalah pekerjaan pertama sejarawan, sebab tanpa topik, pekerjaan selanjutnya tidak akan bias dikerjakan. Akan tetapi, dalam pemilihan topic sejarawan harus hati-hati, tidak hanya senang secara emasional atau intelektual. Ada beberapa kemungkinan kesalahan.(1)

a.       Kesalahan Baconian

Kesalahan bermula dari pendapat yang benar, ialah bahwa sejarah itu ilmu empiris. Akibatnya, orang menyimpulkan bahwa satu- satunya metode yang tepat adalah induksi, yaitu dari pengetahuan tentang hal-hal khusus akan dapat disimpulkan pengetahuan umum persis seperti cara kerja ilmu alam.

Seorang sejarawan disebut melakukan kesalahan baconian bila ia beranggapan bahwa tanpa teori, konsep, ide, paradigma, praduga, hipotesis, atau generalisasi lainnya, penelitian sejarah dapat dikerjakan.

b.      Kesalahan terlalu banyak pertanyaan.

Dalam melakukan suatu penelitian, beberapa hal tidak boleh ditanyakan sekaligus.  Pertanyaan yang terlalu banyak membuat fokus pertanyaan akan hilang. Akibatnya, sejarah yang ditulis hanya akan mengemukakan kebenaran yang sudah diketahui.

Kesalahan ini biasa terjadi (1) kalau sejarah menanyakan lebih dari dua pertanyaan sekaligus, (2) sejarawan menanyakan satu masalah tetapi jawaban atas pertanyaan itu menimbulakan pertanyaan, dan (3) pertanyaan itu terlalu kompleks.

c.       Kesalahan pertanyaan yang bersifat dikotomi

Pandangan  sejarah yang hitam putih atau seolah-olah sejarah hanya memiliki dua kemungkinan. Dengan ini, seakan-akan sejarawan bertugas mengadili, padahal seorang sejarawan bertugas untuk melukiskan peristiwa sebagaimana hal itu benar-benar terjadi.

d.      Kesalahan metafisik

Termasuk kesalahan metafisik ialah topik-topik filsafat, moral, dan teologi. Bukanlah tugas sebagai ilmu empiris, untuk membahas persoalan metafisik. Dalam penelitiannya sendiri harus bersifat rasional dan empiris, sesuai

(1) Kuntawijoyo. Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Yayasan Benteng Budaya, 1995), h.130

dengan wacan ilmu, supaya tidak melakukan moralisasi.

e.       Kesalahan topik fiktif

Fiktif bukanlah topik sejarah. Karena tidak ada pengandaiaan. Benar memang ada pembukaan jalan kereta api semarang-vorstenlanden(1872).

2.      Kesalahan Pengumpulan Sumber

a.       Kesalahan Holisme

Kesalahan Holisme adalah kesalahan yang terjadi karena sejarawan memilih satu bagian penting dan dianggap bagian itu mewakili seluruhnya. Contoh: Seorang sejarawan menetapkan suatu kejadian masalah konflik di Aceh sama halnya masalah konflik di Jawa,Kalimantan, dan lain-lain. Karena di setiap konflik suatu daerah pasti tidak sama permasalahannya dengan daerah yang lain. Contoh: Para sejarawan mengira bahwa masalah konflik di Aceh sama halnya dengan masalah konflik di Jawa. Padahal tidak, konflik di Aceh disebabkan karena ketidak adilan pemerintah pusat terhadap rakyat Aceh, sedangkan di jawa permasalahannya lain.(2)

b.      Kesalahan Pramatis

Kesalahan Pramatis terjadi karena sumber yang dipilih untuk tujuan tertentu. Pengumpulan sumber ini sering tidak utuh, yang dimaksud tidak utuh adalah biar tidak  Nampak kejelekan/kebaikan yang besar sehingga orang mengira di dalam suatu sejarah itu di anggap benar.

c.       Kesalahan Ad Hominem

Kesalahan Ad Hominem terjadi karena dalam pengumpulan data sejarah peneliti memilih orang, otoritas, profesi, pangkat atau jabatan tertentu. Untuk mengindarinya perlu di lakukan pengumpulan data dari 3 sumber, yaitu sumber pertama, pihak yang berkaitan dengan peristiwa, sumber kedua, pihak yang saling bertentangan, dan sumber ketiga,  sanksi mata yang tidak terlibat sama sekali.

d.      Kesalahan kuantitatif

Kesalahan kuantitatif sering terjadi karena orang lebih percaya pada dokumen angka-angka daripada testimony biasa. Padahal, alangkah mudahnya orang menipu dengan statistik.

e.       Kesalahan estetis

Sebenarnya  jenis kesalahan ini sama dengan kesalahan pragmatis. Kesalahan estetis dapat terjadi bila sejarawan hanya memilih sumber-sumber sejarah yang sekiranya mempuunyai efek estetis.

(2) http://arief306al-mumtaz.blogspot.com/2013/05/kesalahan-pengumpulan-sumber-informasi.html

3.      Kesalahan Verifikasi

Tidak ada sejarawan mengaku tahu keseluruhan. Seperti ilmuan lainnnya, sejarawan hanya mengetahui sepotong kebenarannya. Tetapi, pengetahuan sejarawan itu sering terganggu oleh isu tentang relativisme sejarah. Relativisme itu hal yang baik untu seni dan sastra, bahkan suatu keharusan, tetapi menjadikan orang ragu terhadap kemampuan dan metode sejarah dalam mencapai objektivitas. Sejarawan harus berusaha mengemukakan objektivitas diantaranya dengan sungguh-sungguh menerapkkan kritik sejarah dan menghindari kesalahan.

a.       Kesalahan pars pro toto.

Kesalahan ini terjadi karena ada anggapan bahwa bukti yang hanya berlaku untuk keseluruhan. Misalnya dalam karya “Habis Gelap Terbitlah Terang, Kartini mengeluh bahwa wanita Jawa selalu dipingit. Keluhan in sebenarnya hanya terbukti untuk anak-anak gadis bangsawan. Hal ini tidak dialami oleh anak-anak gadis desa dan pesantren.

b.      Kesalahan totem pro porte.

Kesalahan ini adalah kebalikan dari kesalahan pars pro toto. Sejarawan mengemukakan keseluruhannya, padahal yang dimaksudkan adalah bukti untuk sebagian. Misalnya, semua orang yang bersekolah di negeri Belanda digambarkan seolah-olah menjadi orang barat yang berpikir dan berbicara seperti orang Belanda. Padahal Sosrokartono kemudian menjadi mistikus.

c.       Kesalahan menganggap pendapat umum sebagai fakta.

Sejarawan  sering menganggap pendapat umum sebagai fakta. Hal ini sering terjadi. Misalnya, orang Cina dianggap pandai berdagang. Anggapan ini mendorong berdirinya koperasi-koperasi Syariat Islam padahal ada juga orang Cian yang menjadi pembantu rumah tangga.

d.      Kesalahan menganggap pendapat pribadi sebagai fakta

Kesalahan ini terjadi ketika sejarawan melihat pendapat dan kesenangan pribadi berlaku umum dan sebagai fakta sejarah.

e.       Kesalahan perincian angka yang presis

Banyak data tradisional yang kemungkinan diperinci angkanya. Usaha memberikan perincian hanya akan menimbulkan pertanyaan.

f.       Kesalahan bukti yang spekulatif

Dalam sejarah, sebagai ilmu yang empiris, tidak boleh ada bukti yang diluar jangkauaan sejarah. Kalau tidak ada bukti sejarah, sejarawan harus berani mengakui bahwa itu berada diluar luar jangkauan ilmu sejarah. Apa yang tidak dapat diverifikasikan oleh ilmu sejarah, sejarawan tidak biasa berbicara.

4.      Kesalahan Interprestasi

Dalam usaha memberikan penjelasan sejarah, sering sejarawan bahwa ia terikat ooleh logika yang telah diterima oleh semua ilmu. Kemampuan mengumpulkan sumber harus disertai dengan kemampuan penjelasan.

a.       Kesalahan tidak membedakan alasan sebab, kondisi, dan motivasi

Alasan terjadi dekat dengan peristiwa, sebab terjadi lebih dekat lagi. Kondisi menjadi latar belakang peristiwa, sedangkan motivasi adalah tujuan peristiwa. Lengsernya Presiden Soeharto dengan alasan: kemiskinan sebab: kkn, kondisi: otoriter, motivasi: demokrasi.

b.      Kesalahan post hoc, propter hoc

Penempatan peristiwa dalam urutan cerita mana yang lebih dulu secara factual. Kapan kerusuhan itu terjadi, sebelum atau sesudah Soeharto lengser.

c.       Kesalahan reduksionisme

Kesalahan ini sering dikerjakan oleh sejarawan yang berideologi, yaitu bila sejarawan menyederhanakan gejala yang sebenarnya kompleks. Masalah kemiskinan di Indonesia bukan hanya karena tanah garapannya sempit.

d.      Kesalahan pluralisme yang berlebihan

Karena masalahnya yang kompleks, sejarawan malah takut menjelaskan masalah yang dominan. Menurutnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan SBY-JK sangat kompeks, tetapi sejarawan tidak dapat menjelaskan salah satu factor yang dominan.(3)

5.      Kesalahan Penulisan

a.       Kesalahan narasi.

Kesalahan narasi artinya kesalahan yang terjadi dalam penyajian, yang meliputi kesalahan periodisasi, kesalahan didaktis, dan kesalahan pembahasan. Kesalahan periodisasi terjadi ketika sejarawan memandang periode sebagai waktu yang pasti. Misalnya, zaman kuno Indonesia tidak berakhir pada tahun 1499, walaupun dikatakan demikian karena jauh sebelumnya sudah berdiri kerajaan Islam. Kesalahan didaktis terjadi ketika sejarawan menggunakan historiografi untuk mengajarkan suatu nilai, padahal penulisan sejarah sendiri harus murni berbentuk ilmiah. Kesalahan pembahasan terjadi karena pembahasan disajikan dengan bahasa yang emosional dan nonsuquitur (kalimat yang dipakai bukan merupakan konsekuensi kalimat sebelumnya).(4)

b.      Kesalahan argumen.

Kesalahan argumen terjadi ketika sejarawan menguraikan gagasannya. Kesalahan ini dapat berupa kesalahan konseptual dan dapat pula berupa kesalahan

(3) W. Pranoto, Suhartono. Teori dan Metodologi Sejarah, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), h.61

(4) http://kanzayu.blogspot.com/2012/05/langkah-langkah-dalam-penelitian.html

subtansial. Kesalahan konseptual dapat terjadi jika sejarawan mengguankan istilah yang mempunyai dua atau lebih makan (ambigu). Akibatnya, pembaca dapat terkecoh. Misalnya, kata “mau” dapat berarti progress dan dapat pula berarti kelonggaran moral masyarakat. Kesalahan subtantif terjadi apabila sejarawan mengemukakan argument yang tida relavan atau tidak rasional. Misalnya, argument yang berbunyi “demi Tuhan, saya tidak melakukan tindakan korupsi”. Argument seperti ini membuat pendengar tidak berani lagi mempertanyakannya.

c.       Kesalahan generalisasi

Kesalahan generalisasi terbagi terbagi menjadi dua yaitu generalisasi yang tudak representatif dan generalisasi sebagai kepastian. generalisasi yang tudak representative, misalnya ketika terlihat ketika seorang sejarawan yang berbicara tentang Yogyakarta dimana sultannya menerima proklamasi. Sejarawan tersebut menyimpulkan bahwa semua penguasa tradisional mendukung proklamasi. Generalisasi sebagai kepastian melihat bahwa generalisasi sejarah adalah hokum universal yang berlaku disemua tempat dan waktu. Misalnya, terlihat ketika setelah mempelajari Peristiwa Tiga Daerah, seorang sejarawan menyimpulkan bahwa penguasa-penguasa colonial pasti bertindak sewenang-wenang terhadap orang kecil. Dalam hal ini, terdapat kesalahan karena kesimpulannya itu belum tentu terjadi di tempat lain. Sejarawan yang baik adalah sejarawan yang memandang dan meneliti peristiwa melalui sudut pandang yang objektif. Ia menempatkan kebenaran peristiwa sebagai suatu hal yang utama disbanding hal lainnya.


Page 2