Hubungan susu kambing dengan budaya setempat

BAGI sebagian orang, kopi mungkin sudah jadi gaya hidup. Bagi sebagian lagi, kopi bisa jadi malah menjadi semacam energi yang keberadaanya bersifat keharusan. Saking hebatnya, kopi pun dicitrakan sebagai simbol pergaulan. Sedemikian itulah kopi, hingga muncul bermacam sindiran ataupun ungkapan yang menggunakan kata kopi. Sebut saja untuk menunjuk orang yang kurang dengan sebutan 'kurang ngopi'.

Menariknya, boleh dibilang bahwa kopi termahal dan paling unik proses pembuatannya adalah kopi luwak asal Indonesia. Nama itu mengacu pada musang sawit asia (Paradoxurus hermaphroditus). Ternyata kopi luwak juga menyimpan sejarah kelam pada mulanya. Kopi Luwak lahir karena penasaran dari para petani kopi. Pada masa kolonial, petani pribumi dilarang memetik buah kopi untuk digunakan sendiri. Lalu, mereka mencari cara untuk mendapatkan biji kopi. Akhirnya mereka menemukan luwak yang memakan buah. Luwak itu ternyata tidak mencerna biji kopi dan mengeluarkan biji kopi bersama dengan kotorannya.

Para petani pun mulai mengumpulkan, membersihkan, dan mengolah biji kopi tersebut. Bisa jadi, cara itu ialah cara termahal dan bahkan salah satu metode pembuatan kopi yang paling kontroversial. Lalu, bagaimana sejarah kopi hingga menyebar hingga ke Indonesia? Itulah menariknya Pameran A History of Coffee or A Chalkboard Story di Erasmus Huis Jakarta pada 8-21 Januari 2018.

Di antara dua jenis kopi yang saat ini populer. Kopi arabika mendominasi sekitar 70% produksi global. Kopi arabika asli dataran tinggi Ethiopia, sedangkan kopi robusta menempati posisi berikutnya. Robusta berasal dari Afrika Barat. Kopi ini menguasai hampir 30% produksi yang sebagian besar dibudidayakan di Vietnam, Indonesia, Pantai Gading, dan Uganda.

Kopi dibudidayakan di lebih dari 50 negara di dunia. Brasil. Vietnam, dan Indonesia berada di peringkat ke-3 teratas. Uniknya, terdapat 1% produksi kopi dunia diisi jenis kopi lain, yakni kopi liberica asal Indonesia. Jenis ini lebih tahan terhadap jamur daripada jenis robusta.

Kambing menari

Menilik asal mula kopi, ada menariknya menyimak cerita tentang kambing menari. Alkisah, seorang penggembala kambing asal Ethiopia, bernama Kaldi, melihat kambingnya menjadi energik. Sedemikian energik, kambing itu seolah bisa 'menari'. Itu terjadi setelah si kambing makan buah kopi. Bahkan, selama berabad-abad, diyakini bahwa para biksu Ethiopia abad ke- 10 sudah mengunyah buah kopi sebagai stimulan.

Sementara itu, minum kopi dimulai dari masyarakat Arab dari Yaman. Merekalah yang pertama kali membuat minuman kopi dengan mendidihkan kacang dalam air. Mereka menyebutnya qahwa. Para sufi menggunakan minuman itu untuk tetap terjaga selama berjam-jam berdoa.

Pegunungan Yaman merupakan tempat yang ideal untuk penanaman kopi. Mocha menjadi pelabuhan utama perdagangan kopi. Pada 1414, minuman itu juga dikenal di Mekah, dan menyebar ke Mesir dan Afrika Utara. Pada abad ke-16, kedai kopi dibuka di Mekah, Kairo, dan Istanbul. Mereka langsung menjadi populer. setelah itu, mereka berkembang menjadi tempat untuk diskusi dan membahas politik.

Sementara itu, di Eropa Barat, kedai minum kopi menjadi sangat populer di akhir abad ke-17. Rumah kopi pertama muncul di Kota Venesia di Italia pada tahun 1629. Pada 1663, kedai kopi pertama di Belanda dibuka di Amsterdam. Kafetaria pertama di Wina didirikan pada 1683. Kafe ini juga menyajikan kopi pertama dengan krim susu. Kopi itulah yang kemudian dikenal sebagai Wiener Melang.

Paris pun turut mencatatkan sejarah kedai kopi. Kafe Procope dibuka pada 1686. Kafe itu sering dikunjungi oleh para pemikir besar Prancis seperti Voltaire, Rousseau, dan Denis Diderot.

Kopi di Eropa mungkin diminum pemikir-pemikir besar sembari mereka berdiskusi tentang keilmuan. Hampir mirip, di Indonesia pun terdapat pola seperti itu. Budayawan Bambang Asrini Widjanarko mengungkapkan bahwa pola masyarakat terbagi menjadi dua yakni, gemeinschaft dan gesellschaft.

Pertama, gemeinschaft atau paguyupan, yakni kondisi masyarakat yang suka berkumpul, berbagi, dan bersama. Menurut Bambang, kultur masyarakat Indonesia lebih dekat dengan pola paguyupan. Bukan hanya persoalan kopi, melainkan juga wadah lain, seperti bertamu ketetangga, nongkrong di warung, ataupun yang bersifat religius seperti tahlilan.

"Masyarakat kita disebut paguyupan karena suka berkumpul, sharing, untuk membicarakan apa pun, bahkan soal yang sangat pribadi," terangnya.

Pola sosialitas itulah yang kemudian membuat kopi menjadi lebih gampang diterima dalam masyarakat.

"Kopi adalah perekatnya. Kopi adalah bagian dari masyarakat yang cinta kebersamaan," tambahnya. Sementara itu, lawan dari gemeinschaft ialah gesselschaft atau patembayan. Sosialitas patembayan bertumpu pada anggota kelompok sosial berhubungan dengan dasar kepentingan.

Saat ini, menurut Bambang, terdapat pergeseran dari pola bersosial dari masyarakat Indonesia. Mereka yang awalnya memegang pola sosial payuban bergeser menjadi patembayan. Pola itu bisa terlihat dari gaya hidup masyarakat kekinian yang cenderung patembayan. Dulu minum kopi di kedai kopi bersama penikmat kopi lain sembari ngobrol hangat. Menjadi orang yang menikmati kopi dengan tujuan citra pribadi. "Dengan meminum kopi di kafe, mereka ingin menampakkan diri yang akan dilihat, dicitrakan. Bisa kopinya, tempatnya, pakaian yang dia pakai, gaya hidup, bahkan termasuk penghasilan," pungkas Bambang. (M-2)

Etnis.id - Akhir Februari 2020 ini, terjadi peristiwa pilu dari Kota Nabire, Papua, yaitu ditemukannya seorang pemuda dalam keadaan tewas dikeroyok oleh pemuda-pemuda setempat.

Identitas korban yang diketahui merupakan pendatang asal Sulawesi dan berprofesi sebagai supir truk ini, harus meregang nyawa karena dianggap telah menabrak babi saat mengendarai truknya.

Tetapi dalam artikel ini, saya tidak akan membahas lebih lanjut mengenai sengkarut perkara hukum, apalagi sampai membahas firasat yang dirasakan oleh keluarga dan kerabat terdekat dari korban jelang kejadian.

Peristiwa tersebut mempertegas bahwa babi memang bukan binatang sembarangan bagi masyarakat di Bumi Cendrawasih. Babi bisa menjadi pembawa suka cita, sekaligus menghadirkan perkara runyam di sana.

Bagi suku-suku di Papua, babi telah menjadi binatang yang tidak dapat dilepaskan dari sistem sosial dan budaya, terlebih bagi masyarakat yang mendiami wilayah pegunungan.

Jika kita mengunjungi tanah Papua, binatang yang memiliki perawakan tubuh gempal nan tambun ini dapat dengan mudah dijumpai sebagai binatang ternak dan peliharaan masyarakat. Mereka juga lazim dijumpai berkeliaran di lingkungan pemukiman, jalan-jalan kampung, pasar, hingga jalan raya yang dilalui kendaraan.

Meskipun lazim dijumpai berkeliaran di jalanan, tetapi para pengendara akan terlihat sangat berhati-hati agar jangan sampai menabraknya. Apabila seorang pengendara kedapatan menabrak seekor babi, maka masalah besar sudah pasti harus
dihadapi oleh sang pelaku.

Bagi para pelaku tabrak lari, babi akan dikenai kewajiban mengganti nominal uang sesuai dengan harga babi yang telah ditabraknya. Bukan main-main, nominal harga yang harus ditebus tersebut dapat tembus hingga puluhan juta rupiah.

Bayangkan saja, harga satu ekor babi dewasa ukuran besar bisa mencapai Rp30-50 juta rupiah, dengan harga tersebut sudah bisa membeli seekor sapi jenis limousin di pulau Jawa. Sedangkan jika yang ditabrak adalah babi betina, harga yang akan dikenakan adalah sebanyak jumlah puting susu dari babi tersebut. Satu putingnya dihargai Rp3 juta dan babi betina umumnya memiliki 10 hingga 14 puting susu, jadi dapat dihitung sendiri nominalnya.

Sebetulnya apa yang membuat babi di Papua memiliki kisaran harga yang sedemikian mahalnya? Padahal babi memiliki kemampuan berkembang biak yang jauh lebih cepat dan subur, serta pertumbuhan tubuhnya lebih lekas gemuk dibanding sapi atau kambing.

Salah satu jawabannya karena dalam sistem budaya masyarakat Papua, babi bukanlah sekadar binatang ternak biasa yang hanya dijadikan sumber pendapatan ekonomi keluarga. Mamalia omnivora ini memiliki makna simbolis yang penting di dalam adat dan tradisi masyarakat di pulau paling timur wilayah Indonesia.

Dalam sistem sosial budaya masyarakat Papua, daging babi selalu disajikan sebagai menu utama dalam jamuan di setiap acara dan pesta adat. Selain itu, babi juga dijadikan sebagai penanda status kemapanan serta kedudukan sosial dari pemiliknya (Suroto, 2014).

Dalam setiap hajatan adat dalam masyarakat pegunungan Papua, banyaknya jumlah babi yang dikurbankan, menjadi tolok ukur kemampuan sosial dan ekonomi masyarakat di daerah tersebut.

Tradisi menyantap daging babi bersama-sama, seperti yang dilihat dalam upacara bakar batu, menjadi simbol perekat ikatan sosial dan religi bagi masyarakat Papua secara luas. Pembagian jumlah potongan daging babi yang telah dimasak, juga menjadi penanda kedudukan suatu tokoh beserta klannya dalam sistem adat.

Mengandung nilai sakral

Dalam sistem adat masyarakat Papua, peran penting dari binatang bernama latin umum Sus Scrofa ini tidak terlepas dari nilai sakral yang telah dilekatkan padanya. Contohnya pada masyarakat Suku Dani yang akan menyembelih babi secara besar-besaran sebagai prasyarat upacara adat dan penyambutan tamu.

Pada pesta jamuan tersebut, tetua adat akan mengajak tamunya untuk bersama-sama menyantap bagian hati babi. Prosesi jamuan menyantap hati babi tersebut sekaligus menyimbolkan pengakuan telah terjalinnya hubungan persaudaraan dari hati ke hati antara masyarakat adat Suku Dani dengan tamunya. Selanjutnya, tamu tersebut akan dicipratkan darah babi oleh para tetua adat untuk memperteguh persaudaraan yang telah terjalin.

Bagi masyarakat Suku Yali, babi mempunyai arti dan nilai secara mitologis yang dapat digunakan sebagai alat pembayaran dalam sistem barter adat. Babi menjadi satu-satunya sumber pokok pemenuhan kebutuhan protein hewani bagi masyarakat Yali dan menjadi binatang peliharaan yang dikenal selain anjing.

Semakin banyak babi yang dimiliki oleh seorang pria, menggambarkan seberapa besar kekayaan dan tingginya status sosial dari pria tersebut. Hubungan persahabatan dan kekerabatan, hingga perihal mendapatkan istri, juga dapat dibeli
dengan pembayaran berupa tukar babi.

Dikarenakan seorang istri dapat dibeli dengan pertukaran babi, masyarakat Yali menyerahkan urusan perihal memelihara dan mengurus babi-babi tersebut kepada kaum perempuan. Kandang babi umumnya diletakkan di belakang pondokan tempat
kaum perempuan tinggal. Bahkan para perempuan suku Yali yang dengan senang hati dan tulus ikhlas untuk menimang-nimang bayi-bayi babi layaknya anak kandung sendiri, agar si babi dapat tumbuh lebih sehat.

Masyarakat suku Yali dan suku-suku di pegunungan Papua lainnya, lazim berbagi makanan pokok berupa ubi jalar kepada babi-babi peliharaan mereka. Hal tersebut membentuk pola Pig Centered (Golson & Gardner, dalam Suroto 2014), di mana babi menjadi binatang inti dalam kebudayaan mereka.

Lain lagi dengan masyarakat suku Arfak yang menjadikan babi sebagai simbol untuk mendamaikan kubu yang bersengketa secara adat. Menurut Mulyadi (2012), ‘babi perdamaian’ lazim digunakan untuk menyelesaikan sengketa terkait dengan perzinahan. Laki-laki yang berzinah dan berselingkuh akan menaruh serta mengikat
seekor babi di halaman rumahnya sebagai syarat untuk melakukan perdamaian.

Nantinya, suami dari perempuan yang telah dizinahi akan datang untuk membunuh dan memotong-motong babi tersebut. Perlakuan demikian memiliki simbol bahwa emosi dan amarah dari korban kepada si pelaku zinah, telah dilampiaskan kepada babi tersebut. Hal itu juga dilakukan agar tidak terjadi korban jiwa dari pihak manusia.

Berbeda dari masyarakat di pegunungan yang memelihara langsung babi-babi mereka, masyarakat di pesisir selatan Papua umumnya hanya berburu babi-babi liar dan kadangkala memelihara anak babi ketika induknya terbunuh.

Hal tersebut dapat dilihat dalam tradisi masyarakat suku Kamoro yang menjadikan ritual berburu babi sebagai simbol kedewasan saat berlangsungnya ritual inisiasi (Müller, 2011). Saat ritual inisiasi berlangsung, sekelompok lelaki yang mulai memasuki usia dewasa akan keluar kampung untuk memburu babi-babi liar di lokasi mereka menanam dan memanen pohon sagu.

Ukiran-ukiran kayu khas suku Kamoro juga dipersiapkan sebagai daya tarik magis untuk mengundang babi-babi liar mendekat. Apabila kelompok tersebut berhasil memburu babi dalam jumlah banyak, maka para perempuan akan menyambut mereka dengan riang gembira dan menyantapnya bersama-sama.

Secara garis besar, baik masyarakat yang tinggal di pegunungan maupun di pesisir, umumnya mereka tidak memotong dan menyantap daging babi secara reguler. Masyarakat suku-suku adat Papua jarang menyembelih babi hanya karena alasan ingin menikmati dagingnya dan membuat perut kenyang.

Babi hanya akan dipotong saat ada peristiwa tertentu atau saat berlangsungnya ritual adat penting, sehingga menyantap daging babi lebih terikat pada aspek sosial dan budaya ketimbang pemenuhan hasrat. Terkecuali jika babinya mengidap penyakit atau merupakan hasil curian yang mengharuskan dagingnya untuk disantap sesegera mungkin.

Berdasarkan pemaparan di atas, cukup dimaklumi bahwasanya binatang yang memiliki moncong paling panjang di antara binatang dari ordo Artiodactyla ini, dihargai sangat mahal di Bumi Cendrawasih. Terlebih bagi masyarakat adat tradisional Papua, babi menjadi satu-satunya mamalia ternak yang dikenal di sana.

Upaya pemerintah pusat untuk memperkenalkan alternatif binatang ternak lain seperti sapi dan kambing, masih belum menunjukkan hasil yang signifikan. Sehingga babi masih memonopoli konsep pengetahuan akan binatang ternak bagi masyarakat
adat di sana.

Asal-usul yang belum pasti

Sedemikian lekatnya kebudayaan masyarakat tradisional Papua dengan babi menimbulkan pertanyaan lanjutan, yaitu sejak kapan binatang tersebut mulai mendiami dan menyebar di seluruh tanah pulau Papua?

Tanah Papua yang dahulu tergabung dalam paparan Sahul, bergabung dengan benua Australia, umumnya hanya ditinggali oleh mamalia jenis marsupialia seperti kangguru pohon (wallaby) dan aneka kuskus.

Makanya para arkeolog banyak menggali asal-usul kehadiran mereka di Bumi Cendrawasih. Meski begitu, sampai saat ini para ahli masih belum satu kata menyoal asal-usul kehadiran babi di sana.

Arkeolog Hari Suroto menuturkan bahwa kehadiran manusia di tanah Papua sudah ada sejak 50.000 tahun lalu, akan tetapi binatang mamalia baru diintroduksi puluhan ribu tahun kemudian.

Teori mengenai waktu kehadiran babi di Papua juga beragam, ada yang menyebut 10.000 tahun lalu namun teori dengan bukti lain menyebut 6000 tahun yang lalu. Kesemuanya masih belum dapat dipastikan dan masih jadi bahan kajian lanjutan.
Akan tetapi, untuk saat ini para ilmuwan masih bersepakat mengenai asal-usul kehadiran babi yang dibagi ke dalam dua fase.

Pertama yaitu sekisar 6000 tahun lalu yang berarti babi telah hadir sebelum manusia Austronesia mendiami tanah Papua. Jenis babi di Papua sendiri disinyalir berasal dari hasil introduksi babi-babi hutan Sulawesi atau Sus Scrofa Celebensis, meskipun saat ini babi di Papua telah dianggap sebagai spesies indigenous dengan nama latin Sus Scrofa Papuensis.

Kemungkinan besar babi-babi dari pulau lain dahulu kala berhasil merintangi lautan dan sampai ke tanah Papua. Atau kemungkinan yang lain yaitu babi-babi tersebut dibawa oleh manusia-manusia penghuni tanah Papua, tetapi bukan manusia dari rumpun penutur Austronesia seperti yang kita kenal saat ini.

Fase kedua adalah persebaran babi secara besar-besaran sebagai binatang yang sudah didomestifikasi. Teori tersebut mengungkapkan bahwa kemungkinan besar babi-babi tersebut dibawa sendiri oleh orang-orang Papua, yang kita kenal saat ini, namun tempo waktunya masih belum terlampau lama.

Barangkali dahulu ada orang-orang Papua yang melakukan perjalan migrasi ke pulau-pulau lain seperti Halmahera, Alor, dan Timor, yang saat kembali ke Papua membawa serta babi-babi tersebut.

Editor: Almaliki

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA