Hewan apa yg raja hutan?

BAHASA itu lincah bak angin. Ia dapat digunakan untuk kepentingan apa pun dan mewakili semua ide manusia. Ia pun dapat dirangkaikan sesuka hati, tanpa batasan. Bebas.

Kali ini bahasa teruntai dalam fabel. Ia digunakan dalam tokoh binatang: raja hutan. Sejatinya raja disandangkan dalam hakikat manusia: seorang pemimpin, berkuasa, dan berkewenangan. Raja terbiasa juga dengan kehormatan dan martabat mulia. Ia disanjung dan dipuja. Itulah raja dalam dunia manusia.

Bagaimana raja dalam dunia binatang? Referensinya jauh berbeda. Dia penguasa hutan. Biasanya dia ditakuti dan dihindari. Terkadang raja hutan tidak melindungi rakyatnya. Justru dia memangsa rakyat sendiri. Dengan sesuka hati ia rakus menelan binatang lain. Bila raja hutan menginginkan daging ayam, ia akan menerkam ayam. Dia pun akan berkedok seperti ayam. Bila menyukai daging kambing, raja hutan akan mengembik dan menyamar di antara kambing. Raja hutan ini cerdik, licik, dan picik. Namun, ingatlah dia penguasa.

Tamsil raja hutan ialah kekuatan. Ia diangkat berkat tenaga yang luar biasa. Tidak ada pemilihan, tetapi justru ada penobatan. Kondisi ini digariskan dalam tokoh singa. Hewan buas ini dijadikan rujukan dalam keserakaan dalam kekuasaan.

Dalam bahasa sastra, semua tokoh cerita ialah rekaan yang bertemali dalam imajinasi. Bahasa sebagai media menjadi liar dalam mewakili ide yang kuat. Mendampingkan kata raja dengan kata hutan memunculkan pelabelan dalam cerita binatang. Tokoh-tokoh fabel itu diciptakan agar memunculkan kesan yang dimiripkan dengan karakter manusia kekinian.

Dalam konstruksi raja hutan, semuanya seakan berkebalikan. Raja yang mewakili derajat kehormatan dalam kenyataan, justru dilabelkan pada kerakusan. Penggabungan kata seperti ini merupakan keserampangan dalam menjodohkan kata. Mestinya raja yang terhormat tidak direndahkan dalam tamsil. Dia tetap dipuja.

Penggabungan seperti raja hutan sering kali terjadi. Hal itu muncul karena bahasa menjadi ruang ekspresi. Sebut saja, gabungan kata ratu ekstasi, bintang porno, mencuri gol, dan raja copet. Deretan frasa ini mewakili bahwa ide pemakai bahasa tidak terkendali. Semua itu muncul dan bertebaran menjadi diksi.

Ratu ekstasi merupakan pelabelan gender: perempuan. Kemunculan gabungan kata ini mewakili konsep makna yang berkonotasi. Dia dihadirkan sebagai penegas bahwa perdagangan barang haram itu bukan hanya oleh lelaki. Akan tetapi, sepertinya raja hutan, konstruksi ratu ekstasi juga membelokkan kehormatan dalam makna kehinaan.

erangkai lagi dengan bintang porno. Kata bintang sejatinya apresiasi kebaikan: dalam kecerdasan dan kepintaran. Rasanya tidak lupa dengan frasa bintang kelas, bintang lapangan, dan bintang fi lm. Semua konstruksi itu berkonotasi positif. Hal ini tidak lain karena bintang di langit merefl eksikan keindahan. Akan tetapi, ketika bintang dibelokkan ke kata porno, dia akan kehilangan jati diri. Karena itu, tokoh yang dilebihi dengan sebutan ini pun akan terstigma negatif.

Semantis tamsil-tamsil di atas dapat dirunut sebagai konstruksi bahasa yang kreatif. Akan tetapi, penyambungan ini menjauhkan lema denotatif, yang akhirnya menjadi konotatif negatif. Kata raja, ratu, dan bintang yang bermakna kebaikan justru menjauh setelah dilekatkan dengan kata hutan, ekstasi, dan porno. Menjadi pertanyaan, kenapa gejala bahasa seperti ini terjadi?

Bidasan Bahasa Intermezo

Video

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA