Hadits yang menjelaskan bahwa zakat fitrah bisa menjadi sedekah biasa adalah riwayat

Oleh: Firqah Annajiyah Mansyuroh*

Pada bulan Ramadan, ada zakat khusus yang harus dikeluarkan oleh umat Muslim yang berpuasa dengan tujuan membersihkan mereka dari ucapan dan perbuatan yang kotor, yaitu zakat fitrah. Sebagaimana diwayatkan dari Ibnu Abbas, “Nabi Muhammad mewajibkan zakat fitrah sebagai penyuci orang yang berpuasa dari kata-kata tak berguna dan kotor, serta sebagai makanan bagi orang-orang miskin. Barangsiapa mengeluarkan (zakat itu) sebelum salat id maka itu adalah zakat yang diterima. Bila ia mengeluarkannya setelah salat id maka menjadi sedekah biasa” (H.R. Abu Dawud).

Zakat fitrah sesuai yang ada di dalam nash hadis menetapkan makanan tertentu sebagai ‘bayaran’, yaitu kurma kering, sya’ir (gandum halus), kurma basah, dan susu kering yang tidak dibuang buihnya. Sebagian riwayat menetapkan tentang gandum, dan sebagian lagi biji-bijian. Mazhab Maliki dan Syafi’i berpendapat bahwa jenis makanan tersebut hanyalah contoh dari makanan pokok yang ada di Arab pada masa itu, sehingga wajib bagi si Muslim mengeluarkan zakat fitrah dari makanan pokok negerinya.

Badan Amil Zakat Nasional Indonesia menjelaskan dalam situs web resmi nya bahwa besaran zakat fitrah ditunaikan dalam bentuk beras atau makanan pokok seberat 2,5 kg atau 3,5 liter per jiwa. Kualitas beras atau makanan pokok harus sesuai dengan kualitas beras atau makanan pokok yang dikonsumsi sehari-hari. Namun beras atau makanan pokok tersebut dapat diganti dalam bentuk uang senilai 2,5 kg atau 3,5 liter beras.

Namun ada perbedaan pendapat di kalangan fuqaha dalam masalah penunaian zakat fitrah dengan harga barang zakat (uang). Kekhawatiran mereka yang tidak memperkenankan hal ini adalah karena ditakutkan bertentangan dengan sunah Rasullah S.A.W. yang telah secara jelas menyebutkan berupa barang yakni makanan pokok. Jumhur ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah merupakan yang secara keras menentang pergantian zakat fitrah menjadi uang. Namun Imam Abu Hanifah, Hasan Al-Bisri, Sufyan Ats-Tsauri, bahkan Umar bin Abdul Aziz, Imam Al-Bukhari, termasuk orang-orang yang menyetujui pembayaran dengan harga dan bukan dengan barangnya langsung.

Jika kita coba tilik lebih jauh, maka mereka yang memperbolehkan sebenarnya memiliki dalil serta pendapat yang logis dan dapat diterima bahkan lebih utama untuk dilaksanakan. Di antara alasan yang memperkuat pendapat ini adalah sabda Rasulullah S.A.W. “cukupkanlah orang-orang miskin ini pada hari raya, jangan sampai meminta-minta.” (H.R. Al-Baihaqi dan Al-Daruquthni). Mencukupkan kebutuhan agar orang miskin dapat berhari raya dengan layak, menjadi lebih maslahat dan lebih lapang jika diberikan uang seharga bahan makanan pokok ketimbang memberikan makanan pokoknya karena keperluan hari raya tidak hanya berupa nasi

Ini karena mereka cenderung akan menjual makanan pokok yang diberikan karena kebutuhan mereka yang lain tidak terpenuhi. Ketika mereka menerima beras, biasanya beras tersebut sudah tercampur kualitasnya karena perbedaan jenis beras yang dimakan oleh orang-orang yang mengeluarkan zakat fitrah sehingga saat mereka ingin menjual kembali, beras tersebut mengalami penurunan harga dari harga sebenarnya. Belum lagi perbedaan beras yang dimakan, contohnya beras merah yang dimakan oleh para penderita penyakit gula. Mereka yang tidak terbiasa memakan beras merah tidak akan merasa bahagia mendapatkan zakat fitrah berupa beras merah sehingga tidak ada kemaslahatan jika memberikan secara langsung apa yang disebut oleh BAZNAS ‘apa yang kita makan sehari-hari’.

Pemberian dengan uang ini akan mempermudah terlebih di era industri sekarang, di mana orang tidak berjual-beli kecuali dengan uang. Menurut Yusuf Al-Qordhawi dalam bukunya Hukum Zakat, sebab di zaman Rasulullah menggunakan bahan makanan adalah jarangnya mata uang di Arab ketika itu, sehingga dengan memberikan makanan akan mempermudah bagi orang banyak. Beliau juga menjelaskan tingkat keutamaan itu bergantung pada kemanfaatan bagi si penerima. Apabila makanan lebih bermanfaat baginya, maka tentu menyerahkan makanan akan lebih baik, seperti dalam keadaan panceklik dan kelaparan. Namun apabila dengan uang lebih banyak manfaatnya, maka menyerahkan uang akan lebih utama.

Dalam perkara ini memperhatikan kemanfaatan keluarga penerima zakat secara keseluruhan merupakan sesuatu yang lebih mendekati kepada kontekstualitas ‘cukupkanlah orang-orang miskin ini pada hari raya, jangan sampai meminta-minta’. Memberi kecukupan kepada fakir dan miskin dalam zakat fitrah dapat terwujud dengan memberikan uang. Memberikan uang ketimbang barang dalam zakat fitrah berkesesuaian dengan tujuan hukum menurut teori utilitas Hukum bertujuan untuk menjamin adanya kemanfaatan atau kebahagiaan sebanyak-banyaknya pada orang sebanyak-banyaknya. Sebagaimana tujuan Hukum Islam adalah kebahagiaan hidup manusia dengan jalan mengambil segala yang manfaat dan mencegah atau menolak segala yang mudarat.

Penarikan kesimpulan hukum seperti ini tidak menjadi kendala karena pada dasarnya ulama yang membolehkan membayar zakat fitrah dengan jenis makanan yang tidak disebutkan di dalam hadis (makanan pokok suatu negeri) adalah hasil ijtihad atas nash, bukan nash itu sendiri. Begitu juga kebolehan membayar zakat fitrah dengan uang pun adalah hasil ijtihad yang sah dan memenuhi syarat.

Dengan adanya kebolehan ini maka pembayaran zakat dengan hanya transfer melalui jasa perbankan (sms banking, mobile banking, ATM, atau internet banking) atau melalui aplikasi online pun dinilai sah. Sebab berbeda dengan wakaf, jual-beli, maupun hutang piutang, zakat tidak memerlukan ijab-kabul langsung dari muzakki kepada mustahik namun cukup menyerahkan kepada amil zakat yang kemudian oleh lembaga amil zakat dikelola untuk penyerahan dan pemberdayaan kepada mereka yang wajib menerima zakat. Bahkan cara modern seperti ini dianggap lebih tepat sasaran dengan alasan pertama, kemudahan akses pembayaran zakat sehingga para muzakki lebih ringan untuk mengeluarkan harta zakatnya; kedua, karena melalui rekening khusus zakat maka audit kepada pihak lembaga amil menjadi mudah dan terpantau dengan baik; ketiga, zakat menjadi salah satu instrument pemberdayaan dan bukan hanya sebatas penggugur kewajiban semata; dan tidak kalah pentingnya, yang terakhir, bagi umat Islam yang kesulitan menentukan nominal zakat yang harus dikeluarkan, dapat memanfaatkan fasilitas aplikasi online Kalkulator Zakat, fitur ini membantu menghitung jumlah zakat yang harus ditunaikan, baik itu untuk zakat profesi, zakata maal, zakat saham, dan zakat perdagangan.

Dari sisi inilah yang menjadikan syari’at walaupun teksnya terbatas, namun dapat beradaptasi dengan semua lingkungan dan abadi di sepanjang zaman. Allah sendiri dalam menurunkan syari’at hanya untuk memberikan kemaslahatan bagi semua makhluk. Imam Al-Syathibi dalam al-Muwafaqat, mengatakan ‘sesungguhnya diturunkannya syari’at bertujuan untuk kebaikan manusia di dunia dan akhirat’. Dengan mempertimbangkan keadaan umat masa sekarang yang cenderung menyimpan uang, maka mengubah ‘illat zakat fitrah dari hanya makanan menjadi uang akan lebih memberi maslahat kepada masyarakat luas. Memberi pilihan kepada umat untuk boleh membayar zakat fitrah dengan makanan atau uang seharga makanan, akan lebih mencukupkan dan lebih memudahkan daripada membatasi pembayarannya hanya dengan makanan pokok saja. Kemudian membayarkannya secara modern melalui aplikasi online zakat akan memudahkan umat Islam dalam membayar zakat dan menjadikan zakat tepat sasaran. Karena sesungguhnya ajaran Islam selamanya akan terus berdialog dan berpadu mesra dengan kondisi lingkungan dan zaman di mana ia hidup. Wallahua’lam.

*Profil Penulis

Nama lengkap Firqah Annajiyah Mansyuroh, sering disapa dengan nama Iqoh. Lahir di Banjarmasin, 23 September 1991. Penulis adalah anak pertama dari empat bersaudara yang menekankan pendidikan keagamaan. Pembaca dapat menghubungi dan berkonsultasi dengan penulis via email: [email protected] atau melalui instagram @firqohsahlan.

Penulis adalah alumni Sekolah Tinggi Ekonomi Islam (STEI) Tazkia Bogor dan Pascasarjana UIN Antasari Banjarmasin yang berhasil mendapatkan predikat wisudawan terbaik saat lulus. Sebelumnya, ia menempuh pendidikan di Pondok Pesantren Terpadu Al-Kahfi Bogor Jawa Barat. Saat ini penulis adalah seorang dosen tidak tetap di UIN Antasari sambil menjalani pendidikan S3 nya di program doctoral Ilmu Syariah UIN Antasari Banjarmasin dengan beasiswa penuh.

Thesisnya yang berjudul Sharia Law of Tax Amnesty in Perspective of the South Kalimantan Muslim Economists dapat dilihat di jurnal dengan DOI: //dx.doi.org/10.18592/sy.v18i2.2220. Sedangkan paper Peluang dan Tantangan Bisnis Hotel Syariah pada Masyarakat Kosmopolitan yang dipresentasikannya pada seminar Internasional bisa dibaca di  //dx.doi.org/10.18592/at-taradhi.v9i2.2511.

Adapun kegiatan sosial yang aktif dilakukan adalah sebagai anggota dari Relawan Nusantara cabang Banjarmasin dan juru bicara Gerakan Milenial Indonesia cabang Kalimantan Selatan. Selain itu penulis juga aktif menjadi pembicara di beberapa kajian mengenai Ekonomi Syariah serta kajian-kajian kewanitaan selain kesibukannya sebagai ibu rumahtangga.

Lihat Foto

KOMPAS.COM/DANI JULIUS

Ratusan tukang becak antre memperoleh sedekah yang berasal dari zakat dan infak para ASN Kulon Progo, DI Yogyakarta. Masing-masing tukang becak beroleh uang tunai Rp 200.000. Para tukang becak mengaku terbantu di tengah sepinya penumpang pada masa pandemi Covid-19.

KOMPAS.com - Di antara kewajiban umat Islam di bulan Ramadhan selain berpuasa adalah mengeluarkan zakat fitrah.

Zakat fitrah merupakan zakat yang wajib dikeluarkan oleh umat Islam, baik laki-laki, perempuan, dewasa, maupun anak-anak sebagai bentuk santunan kepada fakir miskin.

Kewajiban zakat tersebut tertera dalam hadis berikut:

"Rasulullah SAW telah mewajibkan zakat Fitrah sebanyak satu sha kurma atau gandum kepada hamba sahaya, orang merdeka, laki-laki dan wanita, anak-anak dan orang dewasa. Ia menyuruh menunaikannya sebelum orang-orang keluar untuk shalat Idul Fitri," (HR Bukhari dan Muslim).

Baca juga: Berikut Ciri-ciri Datangnya Malam Lailatul Qadar

Dalam Fathul Qarib, Muhammad bin Qasim al-Ghazi mengatakan, ada tiga kondisi yang mengharuskan seseorang untuk membayar zakat fitrah.

Pertama, beragama Islam. Kedua, menjumpai waktu wajibnya zakat fitrah, yaitu akhir bulan Ramadhan dan awal dari bulan Syawal. Ketiga, memiliki makanan pokok di luar dari kebutuhannya adan keluarganya saat hari raya.

Zakat Fitri dikeluarkan sebagai penyuci bagi orang yang berpuasa dari hal-hal yang menodai puasa, seperti dalam hadis berikut:

"Dari Ibnu Abbas, Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitrah sebagai penyuci bagi orang yang berpuasa dari kata-kata tak berguna dan kotor, serta sebagai makanan bagi orang-orang miskin. Barangsiapa mengeluarkannya sebelum shalat Idul Fitri, maka itu adalah zakat yang diterima. Bila ia mengeluarkannya setelah shalat Idul Fitri, maka itu menjadi sedekah biasa," (HR Abu Dawud dan Ibnu Majah).

Hadis di atas juga menjelaskan bahwa batas maksimal untuk mengeluarkan zakat adalah sebelum shalat Idul Fitri.

Baca juga: Bagaimana Hukum Menggosok Gigi Ketika Puasa?

Berupa makanan pokok

Lihat Foto

shutterstock

Besaran zakat fitrah 2020

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA