Hadits tentang larangan merusak lingkungan

Islam sebagai agama rahmatan lil-‘alamin sangat memperhatikan penyelamatan dan pemeliharaan lingkungan serta melarang berbuat kerusakan di muka bumi ini yang akibatnya bisa fatal bagi kehidupan manusia itu sendiri. Berikut ini akan dibahas tentang ayat-ayat Alquran tentang penyelamatan lingkungan, yang tentu saja bukan hanya ditujukan untuk perempuan saja melainkan untuk kedua jenis kelamin: laki-laki dan perempuan.

Yang pertama adalah Al-Qur’an Surat Shad (38): 27-28 berikut ini yang menerangkan bahwa Allah menciptakan bumi, langit dan di antara keduanya dengan baik. Penciptaan alam semesta ini telah didesain sedemikian rupa agar manusia dapat memanfaatkan dan menikmatinya secara maksimum. Hanya orang-orang yang kufur (mengingkari) nikmat Allah sajalah yang berburuk sangka terhadap apa yang diciptakan oleh Allah sehingga Allah marah dan menyumpah mereka masuk ke dalam neraka. Sementara mereka yang beriman dan beramal saleh atau orang-orang yang bertakwa akan diperlakukan secara berbeda dari mereka yang kufur. Yaitu mereka akan masuk surga yang nyaman, sebagai bentuk ke-Mahaadilan Allah.

وَمَا خَلَقْنَا السَّمَاءَ وَالأرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا بَاطِلا ذَلِكَ ظَنُّ الَّذِينَ كَفَرُوا فَوَيْلٌ لِلَّذِينَ كَفَرُوا مِنَ النَّارِ (27) أَمْ نَجْعَلُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ كَالْمُفْسِدِينَ فِي الأرْضِ أَمْ نَجْعَلُ الْمُتَّقِينَ كَالْفُجَّارِ (28)

”… dan Kami tidak menciptakan tangit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya tanpa hikmah. yang demikian itu adalah anggapan orang-orang kafir, Maka celakalah orang-orang kafir itu karena mereka akan masuk neraka. Patutkah Kami menganggap orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh sama dengan orang-­orang yang berbuat kerusakan di muka bumi? Patutkah (pula) Kami menganggap orang- orang yang bertakwa sama dengan orang-orang yang berbuat maksiat?” ( QS. Shad 27-28 )

Dari ayat tersebut di atas dapat diambil pelajaran bahwa hendaknya kita berbaik sangka, tidak berburuk sangka kepada Allah, atas segala yang diciptakan-Nya di muka bumi ini. Yaitu bahwa Allah telah menciptakan alam ini untuk kenyamanan dan kesejahteraan manusia. Sehingga kita hendaknya beriman kepada Allah dan berbuat baik di muka bumi ini. Berbuat baik disini contohnya adalah dengan menanam pohon, menikmati hasilnya dan tidak rakus mengeksploitasi alam secara berlebihan.

Selain itu, hendaknya kita tidak berburuk sangka terhadap Allah atas apa yang diciptakan-Nya. Jika ada yang berburuk sangka terhadap Allah atas apa yang diciptakan­-Nya, maka Allah akan murka dan mengkategorikan orang tersebut sebagai orang yang kufur, yang balasannya adalah masuk neraka. Naudzubillahi min dzalik.

Selanjutnya ayat Alquran Surat Al-Baqarah (2): 60 berikut ini juga menekankan bahwa Allah memberikan rezeki kepada semua manusia dan melarang manusia berbuat kerusakan di muka bumi ini:

إِذِ اسْتَسْقَىٰ مُوسَىٰ لِقَوْمِهِ فَقُلْنَا اضْرِب بِّعَصَاكَ الْحَجَرَ ۖ فَانفَجَرَتْ مِنْهُ اثْنَتَا عَشْرَةَ عَيْنًا ۖ قَدْ عَلِمَ كُلُّ أُنَاسٍ مَّشْرَبَهُمْ ۖ كُلُوا وَاشْرَبُوا مِن رِّزْقِ اللَّـهِ وَلَا تَعْثَوْا فِي الْأَرْضِ مُفْسِدِينَ (٦٠)

“…dan (ingatlah) ketika Musa memohon air untuk kaumnya, lalu Kami berfirman: “Pukullah batu itu dengan tongkatmu,” lalu memancarlah daripadanya dua belas mata air. sungguh tiap-tiap suku telah mengetahui tempat minumnya (masing-masing). Makan dan minumlah rezeki (yang diberikan) Allah, dan janganlah kamu berkeliaran di muka bumi dengan berbuat kerusakan….” (QS. Al Baqarah : 60)

 Dari ayat di atas dapat diketahui bahwa Allah memberikan rezeki kepada manusia yang disediakan-Nya di bumi ini. Manusia hanya tinggal mencari tahu bagaimana memanfaatkan apa yang ada di muka bumi ini untuk memenuhi keperluannya dengan catatan bahwa manusia tidak merusaknya, hanya memanfaatkan dengan memeliharanya.

Selain ayat di atas, penekanan tentang larangan berbuat kerusakan di muka bumi dan kepastian bahwa Allah akan memberikan rezeki kepada manusia yang berbuat baik dan bersyukur di muka bumi ini dijelaskan dalam Alquran Surat Al-A’raf (7): 56-58 yang artinya sebagai berikut :

وَلاَ تُفْسِدُواْ فِي الأَرْضِ بَعْدَ إِصْلاَحِهَا وَادْعُوهُ خَوْفاً وَطَمَعاً إِنَّ رَحْمَتَ اللّهِ قَرِيبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِين (56) وَهُوَ الَّذِي يُرْسِلُ الرِّيَاحَ بُشْراً بَيْنَ يَدَيْ رَحْمَتِهِ حَتَّى إِذَا أَقَلَّتْ سَحَاباً ثِقَالاً سُقْنَاهُ لِبَلَدٍ مَّيِّتٍ فَأَنزَلْنَا بِهِ الْمَاء فَأَخْرَجْنَا بِهِ مِن كُلِّ الثَّمَرَاتِ كَذَلِكَ نُخْرِجُ الْموْتَى لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُون (57) وَالْبَلَدُ الطَّيِّبُ يَخْرُجُ نَبَاتُهُ بِإِذْنِ رَبِّهِ وَالَّذِي خَبُثَ لاَ يَخْرُجُ إِلاَّ نَكِداً كَذَلِكَ نُصَرِّفُ الآيَاتِ لِقَوْمٍ يَشْكُرُون (58)

“ Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah Amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik. Dan Dialah yang meniupkan angin sebagai pembawa berita gembira sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan); hingga apabila angin itu telah membawa awan mendung, Kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu Kami turunkan hujan di daerah itu, Maka Kami keluarkan dengan sebab hujan itu pelbagai macam buah-buahan. Seperti itulah Kami membangkitkan orang-orang yang telah mati, Mudah-mudahan kamu mengambil pelajaran. Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan seizin Allah; dan tanah yang tidak subur, tanaman-tanamannya hanya tumbuh merana. Demikianlah Kami mengulangi tanda-tanda kebesaran (Kami) bagi orang-orang yang bersyukur.” (QS Al A’raf 56-58)

Dari ayat tersebut di atas, dapat dipahami bahwa Allah memperhatikan kesejahteraan manusia di muka bumi ini dengan, misalnya diturunkannya hujan, yang memungkinkan pepohonan tumbuh dan menghasilkan buah yang bisa dinikmati manusia. Dengan ini semua, diharapkan manusia dapat bersyukur dan berdoa dengan penuh harap kepada Allah, senantiasa memelihara karunia Allah dan tidak berbuat kerusakan.

Contoh berbuat kerusakan pada masa sekarang, misalnya dengan tidak mematikan listrik ketika tidak menggunakannya (mubazir), tidak menutup keran saat keluar dari kamar mandi sehingga kemudian air terbuang begitu saja, padahal untuk mengeluarkan air dari keran itu sendiri membutuhkan energi listrik, mengemas barang dengan terlalu banyak bungkus (overwrap) sehingga memperbanyak sampah yang penghancurannya membutuhkan waktu ratusan tahun, memilih menggunakan transportasi pribadi ketika sebenarnya akan lebih menghemat energi dan uang jika menggunakan transportasi umum serta yang lebih besar lagi dampaknya bagi banyak orang yaitu menebang pepohonan di hutan tanpa diimbangi dengan penanamannya kembali atau melakukan pengeboran tanpa memperhatikan dampaknya terhadap masyarakat di sekitarnya, seperti yang terjadi pada kasus sebuah perusahaan yang melakukan pengeboran di Jawa Timur. Keinginan untuk mendapatkan keuntungan pribadi yang berlimpah mengakibatkan seseorang tidak berfikir panjang tentang dampak lingkungan yang diakibatkan jika penebangan pohon besar-besaran dan pengeboran tersebut dilakukan.

Penekanan larangan merusak dan mengeksploitasi alam tanpa memperhatikan pemeliharaannya juga dinyatakan dalam Alquran Surat Ar-Rum (30): 41-42 berikut ini:

ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ (41)  قُلْ سِيرُوا فِي الْأَرْضِ فَانْظُرُوا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الَّذِينَ مِنْ قَبْلُ ۚ كَانَ أَكْثَرُهُمْ مُشْرِكِينَ (42)

“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). Katakanlah: “Adakanlah perjalanan di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang terdahulu. kebanyakan dari mereka itu adalah orang-orang yang mempersekutukan (Allah).” (QS. Ar Rum 41-42)

Ayat tersebut dengan jelas menyatakan bahwa segala kerusakan di muka bumi ini adalah akibat ulah manusia yang akibatnya akan kembali kepada manusia itu sendiri. Misalnya, sekarang manusia sudah bisa merasakan cuaca yang semakin panas akibat penggunaan sumber alam yang berlebihan seperti listrik untuk lemari pendingin (kulkas) atau pendingin ruangan (Air Conditioner/AC), yang dibiarkan menyala siang dan malam, entah digunakan atau tidak. Belum lagi penggunaan bahan bakar minyak untuk industri dan transportasi yang mengeluarkan asap polusi sehingga dapat mempertipis lapisan ozon yang menyelimuti bumi. Itu semua dapat meningkatkan suhu udara di luar ruangan dan melelehnya es di kutub utara dan selatan sehingga tingkat air laut meninggi yang pada jangka waktu yang panjang bisa menenggelamkan sebagian pulau-pulau yang ada di bumi. Itu semua adalah karena ulah keserakahan manusia.

Jika tidak segera dihentikan, maka akibat dari kerusakan tersebut akan dirasakan semua penghuni bumi tanpa kecuali. Contoh kecil bencana alam tersebut pada masa sekarang adalah adanya bencana banjir di Jakarta pada tiga belas tahun terakhir ini yang tidak pandang bulu menimpa siapa saja. Oleh karena itu, semua manusia, hendaknya memikirkan bagaimana langkah penanggulangan penyelamatan lingkungan tersebut, bukan hanya mengandalkan usaha pemerintah. Sekeras apa pun pemerintah berusaha dan memikirkan solusinya, tidak akan terlaksana tanpa dukungan masyarakat, yang misalnya tetap membuang sampah ke sungai atau menggunakan plastik secara berlebihan.

Baca Juga:

Tafsir Alquran 1: Perempuan dan Pemeliharaan Lingkungan

Tafsir Alquran 3: Langkah Penyelamatan Alam

Kebanyakan manusia yang hidup di jaman sekarang ini, menjadikan barometer dalam menilai hal-hal yang terjadi di sekitarnya dengan perkara-perkara lahir yang nampak dalam pandangan mereka, sebagai akibat dari kuatnya dominasi hawa nafsu dan kecintaan terhadapa dunia dalam diri mereka.

Mereka lalai dari memahami hakekat semua kejadian tersebut, karena mereka tidak memiliki keyakinan yang kokoh terhadap perkara-perkara yang gaib (tidak nampak) dan lupa pada kehidupan abadi di akhirat nanti.

Allah Ta’ala berfirman:

{يَعْلَمُونَ ظَاهِرًا مِنَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَهُمْ عَنِ الآخِرَةِ هُمْ غَافِلُونَ}

“Mereka hanya mengetahui yang lahir (nampak) dari kehidupan dunia; sedang mereka tentang (kehidupan) akhirat adalah lalai” (QS ar-Ruum:7).

Sebagai contoh nyata dalam hal ini, memahami arti “kerusakan di muka bumi” yang sebenarnya. Sementara ini, banyak orang, tidak terkecuali kaum muslimin, yang mengartikan “kerusakan di muka bumi” hanya sebatas pada hal-hal yang nampak, seperti bencana alam, kebakaran, pengrusakan hutan, tersebarnya penyakit menular dan lain sebagainya.

Mereka melupakan kerusakan-kerusakan yang tidak kasat mata, padahal ini adalah kerusakan yang paling besar dan fatal akibatnya, bahkan kerusakan inilah yang menjadi sebab terjadinya kerusakan-kerusakan “lahir” di atas.

Arti “kerusakan di muka bumi” yang sebenarnya

Allah Ta’ala berfirman,

{ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ}

“Telah nampak kerusakan di darat dan di lautan disebabkan karena perbuatan tangan (maksiat)[1] manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS Ar Ruum:41).

Dalam ayat yang mulia ini Allah Ta’ala menyatakan bahwa semua kerusakan yang terjadi di muka bumi, dalam berbagai bentuknya, penyebab utamanya adalah perbuatan buruk dan maksiat yang dilakukan manusia. Maka ini menunjukkan bahwa perbuatan maksiat adalah inti “kerusakan” yang sebenarnya dan merupakan sumber utama kerusakan-kerusakan yang tampak di muka bumi.

Imam Abul ‘Aliyah ar-Riyaahi[2] berkata, “Barangsiapa yang bermaksiat kepada Allah di muka bumi maka (berarti) dia telah berbuat kerusakan padanya, karena perbaikan di muka bumi dan di langit (hanyalah dicapai) dengan ketaatan (kepada Allah Ta’ala)”[3].

Imam asy-Syaukaani ketika menafsirkan ayat di atas berkata, “(Dalam ayat ini) Allah menjelaskan bahwa perbuatan syirk dan maksiat adalah sebab timbulnya (berbagai) kerusakan di alam semesta”[4].

Dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman:

{وَمَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيبَةٍ فَبِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيكُمْ}

“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan (dosa)mu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)” (QS asy-Syuura:30).

Syaikh Abdurrahman as-Sa’di ketika menafsirkan ayat ini, beliau berkata, “Allah Ta’ala memberitakan bahwa semua musibah yang menimpa manusia, (baik) pada diri, harta maupun anak-anak mereka, serta pada apa yang mereka sukai, tidak lain sebabnya adalah perbuatan-perbuatan buruk (maksiat) yang pernah mereka lakukan…”[5].

Tidak terkecuali dalam hal ini, musibah dan “kerusakan” yang terjadi dalam rumah tangga, seperti tidak rukunnya hubungan antara suami dan istri, serta seringnya terjadi pertengkaran di antara mereka, penyebab utama semua ini adalah perbuatan maksiat yang dilakukan oleh sang suami atau istri.

Inilah makna yang diisyaratkan dalam ucapan salah seorang ulama salaf yang mengatakan, “Sungguh (ketika) aku bermaksiat kepada Allah, maka aku melihat (pengaruh buruk) perbuatan maksiat tersebut pada tingkah laku istriku…”[6].

Oleh sebab itu, Allah menamakan orang-orang munafik sebagai “orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi”, karena buruknya perbuatan maksiat yang mereka lakukan dalam menentang Allah Ta’ala dan rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Allah berfirman,

{وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لا تُفْسِدُوا فِي الأرْضِ قَالُوا إِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُونَ، أَلا إِنَّهُمْ هُمُ الْمُفْسِدُونَ وَلَكِنْ لا يَشْعُرُونَ}

“Dan bila dikatakan kepada mereka: “Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi,” mereka menjawab: “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan”. Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar” (QS al-Baqarah:11-12).

Syaikh Abdurrahman as-Sa’di berkata, “Melakukan maksiat di muka bumi (dinamakan) “berbuat kerusakan” karena perbuatan tersebut menyebabkan rusaknya apa yang ada di muka bumi, seperti biji-bijian, buah-buahan, pepohonan dan tumbuh-tumbuhan, karena terkena penyakit yang disebabkan perbuatan maksiat. Demikian juga karena melakukan perbaikan di muka bumi adalah dengan memakmurkan bumi dengan ketaatan dan keimanan kepada Allah, yang untuk tujuan inilah Allah menciptakan manusia dan menempatkan mereka di bumi, serta melimpahkan rezeki kepada mereka, agar mereka menjadikan (nikmat tersebut) sebagai penolong mereka untuk melaksanakan ketaatan dan ibadah kepada Allah, maka jika mereka melakukan perbuatan yang bertentangan dengan ketaatan kepada Allah (maksiat) berarti mereka telah mengusahakan (sesuatu yang menyebabkan) kerusakan dan kehancuran di muka bumi” [7].

Maka kematian orang-orang pelaku maksiat merupakan sebab utama berkurangnya kerusakan di muka bumi, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “(Kematian) seorang hamba yang fajir (banyak berbuat maksiat) akan menjadikan manusia, negeri, pepohonan dan binatang terlepas (terselamatkan dari kerusakan karena perbuatan maksiatnya)”[8].

Syirik dan bid’ah sebab terbesar kerusakan di muka bumi

Dikarenakan perbuatan syirik (menyekutukan Allah dalam beribadah) adalah dosa yang paling besar di sisi Allah, maka kerusakan yang ditimbulkan akibat perbuatan ini sangat besar, bahkan perbuatan inilah yang menjadi sebab utama kerusakan terbesar di muka bumi.

Imam Qatadah[9] dan as-Suddi berkata, “Kerusakan (yang sesungguhnya) adalah perbuatan syirik, dan inilah kerusakan yang paling besar” [10].

Demikian juga perbuatan bid’ah[11] dan semua seruan dakwah yang bertentangan dengan petunjuk Rasulullah r, pada hakekatnya merupakan sebab terbesar terjadinya kerusakan di muka bumi. Karena petunjuk dan kebenaran yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah satu-satunya aturan untuk memakmurkan dan mensejahterakan alam semesta, sehingga semua seruan agama yang bertentangan dengan petunjuk beliau adalah sebab utama terjadinya kerusakan di muka bumi.

Oleh karena itu, imam Abu Bakar Ibnu ‘Ayyasy Al Kuufi[12] ketika ditanya tentang makna firman Allah Ta’ala,

{وَلا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ بَعْدَ إِصْلاحِهَا}

“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya…”.

Beliau berkata: “Sesungguhnya Allah mengutus Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umat manusia, (sewaktu) mereka dalam keadaan rusak, maka Allah memperbaiki (keadaan) mereka dengan (petunjuk yang dibawa) Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga barangsiapa yang mengajak (manusia) kepada selain petunjuk yang dibawa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam maka dia termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi”[13].

Cara mengatasi dan memperbaiki kerusakan di muka bumi

Karena sebab utama terjadinya kerusakan di muka bumi adalah perbuatan maksiat dengan segala bentuknya, maka satu-satunya cara untuk memperbaiki kerusakan tersebut adalah dengan bertobat dengan taubat yang nasuh[14] dan kembali kepada Allah. Karena taubat yang nasuh akan menghilangkan semua pengaruh buruk perbuatan dosa yang pernah dilakuakan.

Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang yang telah bertobat (dengan sungguh-sungguh) dari perbuatan dosanya, adalah seperti orang yang tidak punya dosa (sama sekali)”[15].

Inilah makna yang diisyaratkan dalam firman Allah Ta’ala di atas,

{لِيُذِيقَهُمْ بَعْضَ الَّذِي عَمِلُوا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُونَ}

“…supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS Ar Ruum:41).

Artinya: agar mereka kembali (bertobat) dari perbuatan-perbuatan (maksiat) yang berdampak timbulnya kerusakan besar (dalam kehidupan mereka), sehingga (dengan tobat tersebut) akan baik dan sejahteralah semua keadaan mereka” [16].

Dalam hal ini, sahabat yang mulia, Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anha pernah mengucapkan dalam doanya: “Ya Allah, sesungguhnya tidak akan terjadi suatu malapetaka kecuali dengan (sebab) perbuatan dosa, dan tidak akan hilang malapetaka tersebut kecuali dengan taubat (yang sungguh-sungguh)…”[17].

Maka kembali kepada petunjuk Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mempelajari, memahami dan mengamalkannya adalah solusi untuk menghilangkan kerusakan di muka bumi dalam segala bentuknya, bahkan menggantikan kerusakan tersebut dengan kebaikan, kemaslahatan dan kesejahteraan. Karena memang agama Islam disyariatkan oleh Allah Ta’ala yang maha sempurna ilmu dan hikmah-Nya[18], untuk kebaikan dan kemaslahan hidup manusia. Allah Ta’ala berfirman,

{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اسْتَجِيبُوا لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمْ لِمَا يُحْيِيكُمْ}

“Hai orang-orang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul-Nya yang mengajak kamu kepada suatu yang memberi (kemaslahatan)[19] hidup bagimu” (QS al-Anfaal:24).

Imam Ibnul Qayyim – semoga Allah Ta’ala merahmatinya – berkata: “(Ayat ini menunjukkan) bahwa kehidupan yang bermanfaat hanyalah didapatkan dengan memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka barangsiapa yang tidak memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya maka dia tidak akan merasakan kehidupan (yang baik). Meskipun dia memiliki kehidupan (seperti) hewan yang juga dimiliki oleh binatang yang paling hina (sekalipun). Maka kehidupan baik yang hakiki adalah kehidupan seorang yang memenuhi seruan Allah dan Rasul-Nya secara lahir maupun batin”[20].

Dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman,

{وَلَوْ أَنَّ أَهْلَ الْقُرَى آَمَنُوا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكَاتٍ مِنَ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ وَلَكِنْ كَذَّبُوا فَأَخَذْنَاهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُون}

“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya” (QS al-A’raaf:96).

Artinya: Kalau saja mereka beriman dalam hati mereka dengan iman yang benar dan dibuktikan dengan amalan shaleh, serta merealisasikan ketakwaan kepada Allah I lahir dan batin dengan meninggalkan semua larangan-Nya, maka niscaya Allah akan membukakan bagi mereka (pintu-pintu) keberkahan di langit dan bumi, dengan menurunkan hujan deras (yang bermanfaat), dan menumbuhkan tanam-tanaman untuk kehidupan mereka dan hewan-hewan (ternak) mereka, (mereka hidup) dalam kebahagiaan dan rezki yang berlimpah, tanpa ada kepayahan, keletihan maupun penderitaan, akan tetapi mereka tidak beriman dan bertakwa maka Allah menyiksa mereka karena perbuatan (maksiat) mereka” [21].

Oleh karena itu, “orang-orang yang mengusahakan perbaikan di muka bumi” yang sebenarnya adalah orang-orang yang menyeru manusia kembali kepada petunjuk Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan mengajarkan dan menyebarkan ilmu tentang tauhid dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada manusia.

Mereka inilah orang-orang yang menyebabkan kemaslahatan dan kesejahteraan alam semesta beserta isinya, tidak terkecuali hewan-hewan di daratan maupun lautan ikut merasakan kebaikan tersebut, sehingga mereka senantiasa mendoakan kebaikan dari Allah untuk orang-orang tersebut, sebagai ungkapan rasa terima kasih kepada mereka[22].

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya orang yang berilmu (dan mengajarkan ilmunya kepada manusia) akan selalu dimohonkan pengampunan dosa baginya oleh semua makhluk yang ada di langit (para malaikat) dan di bumi, sampai-sampai (termasuk) ikan-ikan yang ada di lautan…”[23].

Sekaligus ini menunjukkan bahwa kematian orang-orang berilmu yang selalu mengajak manusia kepada petunjuk Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam merupakan pertanda akan munculnya malapetaka dan kerusakan besar dalam kehidupan manusia. Karena dengan wafatnya mereka, akan berkurang penyebaran ilmu tauhid dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di tengah-tengah manusia, yang ini merupakan sebab timbulnya kerusakan dan bencana dalam kehidupan.

Dalam hal ini, imam al-Hasan al-Bashri[24] pernah berkata: “Kematian orang yang berilmu merupakan kebocoran (kerusakan) dalam Islam yang tidak bisa ditambal (diperbaiki) oleh apapun selama siang dan malam masih terus berganti”[25].

Penutup

Semoga tulisan ini bermanfaat bagi kaum muslimin dalam mengajak mereka untuk selalu kembali kepada petunjuk Allah Ta’ala dan Rasul-Nya, yang itu merupakan sumber kebaikan dan kebahagiaan hidup yang hakiki bagi mereka.

وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين

Kota Kendari, 2 Rabi’ul awwal 1431 H

Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA

Artikel www.muslim.or.id

[1] Lihat “Tafsir Ibnu Katsir” (3/576).

[2] Beliau adalah Rufai’ bin Mihran ar-Riyaahi (wafat 90 H), seorang Tabi’in senior yang terpercaya dalam meriwayatkan hadits Rasulullah r , lihat “Taqriibut tahdziib” (hal. 162).

[3] Dinukil oleh imam Ibnu Katsir dalam tafsir beliau (3/576).

[4] Kitab “Fathul Qadiir” (5/475).

[5] Kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 759).

[6] Dinukil oleh Ibnul Qayyim dalam kitab “ad-Da-u wad dawaa'” (hal. 68).

[7] Kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 42).

[8] HSR al-Bukhari (6512) dan Muslim (no. 2245).

[9] Beliau adalah Qotadah bin Di’aamah As Saduusi Al Bashri (wafat setelah tahun 110 H), imam besar dari kalangan tabi’in yang sangat terpercaya dan kuat dalam meriwayatkan hadits Rasulullah r (lihat kitab “Taqriibut tahdziib”, hal. 409).

[10] Dinukil oleh imam al-Qurthubi dalam tafsir beliau (14/40).

[11] Yaitu mengada-adakan sesuatu yang baru dalam agama, yang tidak dicontohkan oleh Nabi r.

[12] Beliau adalah imam dari kalangan atba’ut tabi’in senior, seorang ahli ibadah dan terpercaya dalam meriwayatkan hadits Rsulullah r (wafat 194 H), lihat kitab “Taqriibut tahdziib” (hal. 576).

[13] “Tafsir Ibni abi Hatim Ar Raazi” (6/74) dan “Ad Durrul mantsuur” (3/477).

[14] Yaitu taubat yang benar dan sungguh-sungguh, sehingga menghapuskan dosa-dosa yang lalu. Lihat “Tafsir Ibnu Katsir” (8/168).

[15] HR Ibnu Majah (no. 4250) dan ath-Tahbraani dalam “al-Mu’jamul kabiir” (no. 10281) dan dinyatakan hasan oleh Ibnu Hajar dan syaikh al-Albani. Lihat “adh-Dha’iifah” (no. 615).

[16] Kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 643).

[17] Dinukil oleh imam Ibnu Hajar al-‘Asqalaani dalam “Fathul Baari” (3/443).

[18] Hikmah adalah menempatkan segala sesuatu tepat pada tempatnya, yang ini bersumber dari

kesempurnaan ilmu Allah I, lihat kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 131).

[19] Lihat “Tafsir Ibnu Katsir” (4/34).

[20] Kitab “al-Fawa-id” (hal. 121- cet. Muassasatu ummil qura’).

[21] Kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 298).

[22] Lihat kitab “Miftaahu daaris sa’aadah” (1/64) dan “Faidhul Qadiir” (4/268).

[23] HR at-Tirmidzi (no. 2682) dan Ibnu Majah (no. 223), dinyatakan shahih oleh syaikh al-Albani.

[24] Beliau adalah al-Hasan bin abil Hasan Yasar al-Bashri (wafat 110 H), seorang imam besar dan termasyhur dari kalangan tabi’in. Lihat kitab “Taqriibut tahdziib” (hal. 160).

[25] Diriwayatkan oleh imam Ad-Darimi dalam kitab “as-Sunan” (no. 324) dengan sanad yang shahih.

🔍 Berbakti Kepada Orang Tua Dalam Islam, Tanda Tanda Hati Yang Sakit, Abu Al Ghazali, Aku Tidak Takut

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA