Fungsi penggunaan bahan pengisi pada pembuatan bakso adalah

Adil, W. 2010. Gadung, Manfaat dan Perbanyakannya Secara In Vitro. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Vol.32 No.6

AOAC (Association of Official Analytical Chemists). 1995. Offical Methods of Analysis. 16th ed. AOAC Int.,Washington D.C

DSN (Dewan Standarisasi Nasional), 1995. Standar Nasioanal Indonesia (SNI) No. 01-3818-1995. Jakarta

Lamanta, I. L. (2020). Pemanfaatan Akar Eceng Gondok (Eocornia Crassipes) Sebagai Bahan Pengawet Telur Ayam Ras. Jambura Journal of Animal Science, 3(1), 46-53.

Manullang M, Theresia M, Irianto HE. 1995. Pengaruh konsentrasi tepung tapioka dan sodium tripolophosfat terhadap mutu dan daya awet kamaboko ikan pari kelapa (Trygon sephen). Buletin Teknologi dan Industri Pangan. 6(2):21-26.

Montolalu S, Lontaan N, Sakul S dan Mirah A Dp. 2013. Sifat Fisiko Kimia dan Mutu Organoleptik Bakso Broiler dengan Menggunakan Tepung Ubi Jalar (Ipomoea batatas L). Jurnal Zotek .Vol.32 No.5

Ngudiwaluyo, S dan Suharjito, 2003. Pengaruh Penggunaan Sodium Tripoly Phosfat terhadap daya simpan bakso sapi dalam berbagai suhu penyimpanan. http://www.pustaka.iptek.com. (13 April 2014)

Nurhayati E. 2009. Sifat Fisik dan Organoleptik Bakso Daging Domba pada Lama Postmortem dan Taraf Penambahan Tepung Tapioka yang Berbeda. Skripsi. Bogor: Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Purnomo, H. 1990. Kajian Mutu Bakso Daging Sapi, Bakso Urat dan Bakso Aci di Daerah Bogor. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor.

Rahayu, W.P. 2001. Penuntun Praktikum Penilaian Organoleptik. Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Rachman, A. B., Akazawa, T., & Ogawa, M. (2020). Olive Leaf Water Extract Protects Chicken Breast Sausages Against Quality Deterioration Induced by Frozen Storage. The Journal of Poultry Science, 0200032.

Rampengan, V.J. Pontoh dan D.T. Sembel., 1985. Dasar-dasar Pengawasan Mutu Pangan. Badan Kerjasama Perguruan Tinggi Negeri Indonesia Bagian Timur, Ujung Pandang.

Rukmana, Rahmat. 2001. Aneka Kripik Umbi. Kasinus, Yogyakarta.

Rokhayati, U. A., & Herijanto, S. (2021). Tingkat Keasinan Dan Uji Organoleptik Telur Ayam Ras Dengan Waktu Perendaman Yang Berbeda. Jambura Journal of Animal Science, 4(1), 41-45.

Setyaningsih. D, Apriyantono A dan Puspitasari M. 2010. Analisis Sensorik. IPB Press, Bogor.

Soekarto, E. 1985. Penilaian Organoleptik untuk Pangan dan Hasil Pertanian. Bhratara Karya Aksara, Jakata.

Bakso dibuat dari beberapa bahan baku seperti daging sapi, bahan pengisi, es, garam, bumbu, juga bahan tambahan seperti bahan pengawet, pemutih (TiO2), dan tawas (Al2(SO4)3). Fungsi TiO2 adalah untuk mencegah warna bakso menjadi gelap, semantara tawas digunakan untuk mengeraskan permukaan bakso dan memberi warna yangcerah. Daging sapi yang baik digunakan sebagai bahan baku bakso adalah daging yang masih dalam fase prerigor. Daging yang masih berada dalam fase prerigor umumnya diperoleh segera setelah pemotongan ternak tanpa mengalami proses penyimpanan, sehingga daging tersebut masih berupa daging segar.


Menurut Muchtadi dan Sugiyono (1989), daging prerigor memiliki water holding capacity (WHC) yang tinggi serta pH yang jauh diatas titik isoelektrik dari aktin dan miosin sehingga protein tersebut akan mengikat air lebih banyak dan permukaan daging akan terlihat kering. Daging segar atau prerigor akan menghasilkan produk yang baik karena adanya protein aktin dan miosin dalam bentuk bebas dan belum terbentuk ikatan aktomiosin antara keduanya (Sunarlim, 1992). Hal ini menyebabkan lebih banyaknya protein yang dapat terekstrak jika dibandingkan dengan daging rigor mortis dan post rigor.


Protein aktin dan miosin merupakan jenis protein yang larut dalam larutan garam dan juga berfungsi penting dalam pembentukan emulsi daging. Adanya kandungan protein terekstrak yang tinggi pada daging akan meningkatkan stabilitas adonan bakso. Protein daging juga berperan dalam meningkatkan water holding capacity, yaitu kemampuan daging dalam mempertahankan dan mengikat air selama pemasakan sehingga akan menurunkan cooking loss dan menghasilkan produk yang empuk dan juicy.


Bahan pengisi juga merupakan salah satu bahan baku yang digunakan untuk membuat bakso. Menurut Rust (1987), bahan pengisi yang digunakan pada proses produksi emulsi daging bertujuan untuk memperbaiki stabilitas emulsi, meningkatkan rendemen, memperbaiki daya iris, memperbaiki flavor, dan juga mengurangi biaya produksi. Bahan pengisi merupakan fraksi bukan daging dan mempunyai kandungan karbohidrat tinggi dan protein yang rendah. Hal ini menyebabkan bahan pengisi memiliki kemampuan mengikat air yang baik, tetapi tidak dapat mengemulsikan lemak (Sunarlim, 1992).


Tepung yang umum digunakan dalam pembuatan bakso adalah tepung tapioka, tepung gandum, tepung sagu atau tepung aren yang dapat digunakan secara terpisah maupun campuran dengan jumlah 10-100% atau lebih dari berat daging. Bakso yang bermutu baik memiliki kadar pati rendah (sekitar 15%), semakin banyak jumlah tepung yang ditambahkan, maka mutu bakso semakin rendah dan murah harganya.


Bahan pengisi pati dapat meningkatkan daya ikat air karena mampu menahan air selama proses pengolahan dan pemasakan. Bahan pengisi tersebut dapat mengabsorpsi air dua hingga tiga kali lipat dari berat semula, sehingga bobot adonan menjadi lebih besar. Kemampuan dari pati dalam menyerap air ini ditentukan oleh perbandingan amilosa dan amilopektin dalam pati tersebut. Semakin besar kandungan amilosa, maka pati semakin bersifat kering dan kurang lengket serta cenderung menyerap air lebih banyak (Sidik, 1990).


Garam dan MSG (monosodium glutamat) juga digunakan sebagai bahan dalam pembuatan bakso. Garam mempunyai fungsi sebagai pemberi citarasa produk, pelarut protein (aktin dan miosin) sehingga dapat menstabilkan emulsi daging, dan meningkatkan daya ikat air yang biasanya dikombinasikan dengan alkali fosfat (Sodium Tripolifosfat) (Sunarlim, 1992). Sedangkan monosodium glutamat dominan digunakan untuk memperkuat citarasa gurih pada produk.


Lawrie (1988), menjelaskan mekanisme garam dalam memperbaiki sifat fungsional produk daging dengan cara mengekstrak protein miofibrilar dari sel-sel otot selama perlakuan mekanis dan berinteraksi dengan protein otot selama pemanasan sehingga protein membentuk matriks yang kuat dan mampu menahan air bebas serta membentuk tekstur produk. Penambahan garam sebaiknya dilakukan dengan jumlah antara 2 - 4%, sementara penambahan MSG sekitar 0.25% dari berat daging. Menurut Sunarlim (1992), penambahan garam kurang dari 1.8% dapat menyebabkan rendahnya protein terlarut, sedangkan penambahan garam dengan konsentrasi terlalu tinggi dapat menyebabkan pengendapan protein (salting out) dan berakibat pada turunnya daya ikat. Penambahan sodium tripolifosfat dalam adonan bakso dapat mencegah terbentuknya permukaan kasar dan rekahan pada bakso. Penggunaan polifosfat sebanyak 0.3% dan garam sebanyak 2% dari berat daging, memberikan nilai penerimaan konsumen yang baik. Penambahan polifosfat yang lebih tinggi dapat menyebabkan rasa pahit.


Es umumnya juga ditambahkan dalam pembuatan bakso sebagai fase pendispersi seperti halnya fungsi air. Penambahan es atau air dingin pada pembentukan emulsi daging diantaranya adalah untuk melarutkan garam dan mendistribusikannya secara merata ke seluruh bagian massa daging, memudahkan ekstraksi protein serabut otot, membantu pembentukan emulsi, serta mempertahankan suhu adonan tetap rendah akibat pemanasan mekanis (Elviera, 1988). Fungsi pokok dari es sebenarnya adalah untuk mempertahankan suhu adonan. Hal ini disebabkan oleh adanya suhu optimum untuk ekstraksi protein serabut otot adalah 4-5oC, sedangkan suhu untuk mempertahankan kestabilan emulsi adonan sebaiknya tidak melebihi 20oC.


Pembuatan bakso pada prinsipnya terdiri dari penghancuran daging, penambahan bahan dan pembentukan adonan, pencetakan, dan pemasakan. Penghancuran daging dapat dilakukan dengan beberapa cara, diantaranya adalah pencacahan, pencincangan, ataupun penggilingan. Penghancuran daging tersebut bertujuan memperluas permukaan daging dan memecahkan dinding sel serabut otot, sehingga protein yang larut dalam garam (aktin dan miosin) lebih mudah terekstrak. Protein yang terekstrak tersebut memiliki kemampuan mengikat air yang lebih baik dibandingkan dengan myosin yang teragregat dalam daging. Hal ini disebabkan oleh adanya pemaparan sisi pengikatan pada myosin terhadap pelarut. Myosin secara total memiliki asam amino polar mencapai 38% dengan kandungan residu asam aspartat dan glutamat yang tinggi dimana setiap komponen tersebut dapat mengikat 6-7 molekul air (Varnam and Sutherland, 1995).



Pembentukan adonan dapat dilakukan dengan menggiling daging bersama garam dan es batu terlebih dahulu kemudian diikuti penambahan bahan lainnya (Sunarlim, 1992). Pemasakan bakso bertujuan membentuk struktur produk yang kompak, kenyal dan padat sebagai akibat koagulasi protein dan gelatinisasi pati.

Apakah fungsi STPP dalam pembuatan bakso?

a. Sodium tripolifosfat (Na5P3O10,STPP) yaitu bahan yang sering digunakan dalam proses pembuatan bakso yang berfungsi sebagai pengenyal bakso (Sunarlim, 1992).

Apa saja bahan dan alat yang dibutuhkan dalam membuat bakso?

Bahan baku utama untuk pembuatan bakso adalah daging, antara lain daging sapi, ayam, dan seafood. Selain itu perhatikan peralatan yang dibutuhkan untuk proses pembuatan bakso, cukup peralatan dapur. Seperti timbangan rumah tangga, pengaduk, wadah, ayakan, peniris, kompor, panci perebus, serok, dan food processor.

Apa bahan yang diperlukan dalam pembuatan bakso?

Bahan pentol bakso:.
Daging sapi ½ kg, giling..
Tepung kanji 50 g..
Telur 1 butir..
Lada bubuk ½ sdt..
Garam 1 sdt..
bawang putih 4 siung, haluskan..
Es batu 40 g, hancurkan..
Air 2 L..

Apa fungsi dari penggunaan garam kasar pada proses pembuatan bakso daging sapi?

Garam Kasar adalah Pengenyal Alami Bukan hanya teksturnya saja yang berbeda, ternyata fungsi garam kasar dalam campuran adonan bakso adalah untuk mengenyalkan. Garam kasar mengandung tinggi alkali sehingga mampu menjadi pengental alami bakso.