Faktor gender dan bermain

PERAN GENDER TERHADAP PRILAKU ANAK

PENDAHULUAN

Terdapat tiga hal yang mempengaruhi perkembangan gender, yaitu pengaruh biologis, sosial, dan kognitif. Pertama, pengaruh biologis dipahami melalui faktor-faktor biologis dari keturunan. Kedua, pengaruh sosial dipahami melalui faktor-faktor yang muncul dari interaksi antara seorang anak terhadap lingkungnnya, baik dalam keluarga, budaya, masyarakat, media maupun sekolah. Ketiga, pengaruh kognitif yang dipahami bahwa pembagian gender anak terjadi setelah anak berfikir bahwa dirinya laki-laki atau perempuan, setelah mereka secara konsisten menyadari bahwa dirinya laki-laki atau perempuan dengan memilih aktivitas, objek, dan sikap yang konsisten dengan label ini.

Setelah mengatahui klasifikasi tersebut maka kita dapat menyimpulkan bahwa pengaruh keluarga diklasifikasikan sebagai pengaruh sosial terhadap gender. Membahas mengenai peran sosial tidak lepas dari interaksi individu dengan individu, individu maupun dengan masyarakat, individu dengan budaya, individu dengan sekolah, serta individu dengan media.

Peran orang tua terhadap perkembangan gender adalah awal yang penting dalam suatu komunitas karena merupakan lingkup terkecil dan terdekat dalam suatu hubungan interpersonal. Peran ini akan menjadi pola yang membentuk karakter sebuah individu terhadap perkembangan gendernya. Prilaku orang tua terhadap anak mereka akan menjadi konstruksi identitas yang terekam dalam diri seorang anak.

SIKAP ORANG TUA

Setelah dinyatakan laki-laki atau perempuan saat persalinan semua orang, mulai dari orang tua, saudara, bahkan orang lain, akan memperlakukan bayi tersebut dengan cara berbeda. Orang akan merespon dia dengan cara berbeda ketika menganggap dia perempuan dan bukan laki-laki. Sederhananya, orang-orang yang menyangka si bayi adalah perempuan, maka akan berkomentar Lucunya.. Sedangkan jika ia laki-laki maka akan berkomentar nakalnya..

Menurut Parke dalam baik ayah maupun ibu punya peran psikologis penting dalam perkembangan gender anak (Santrock, 2007). Santrock (1996) menyatakan bahwa ibu biasanya memiliki tanggung jawab untuk mengasuh dan merawat secara fisik, sedangkan ayah bertanggung jawab dalam interaksi ketika bermain dan meyakinkan bahwa anak-anak mematuhi norma budaya yang berlaku. Menurut Scanzoli dan Scanzoni pria diharapkan melakukan peran yang bersifat instrumental yaitu beroientasi pada pekerjaan untuk memperoleh nafkah (task oriented), sedang wanita harus melakukan peran yang bersifat ekspresif, yaitu beroientasi pada emosi manusia serta hubungannya dengan orang lain (people oriented) (Ihromi, 2004).

Oleh karena itu anak laki-laki disosialisasikan untuk menjadi lebih aktif dan tegas, sedangkan anak perempuan lebih pasif dan tergantung. Hal ini disebabkan pria harus bersaing dalam masyarakat yang bekerja, sedangkan wanita menjadi istri dan ibu dalam keluarga. Karena secara biologis pria lebih kuat dari wanita, makanya biasanya anak laki-laki mendapatkan tugas yang lebih berat dan memerlukan tenaga yang besar, seperti berburu, menimba air, mencari kayu di hutan, mengembalakan ternak, sedang anak perempuan melakukan tugas-tugas kewanitaan seperti memasak, mengasuh anak, menyapu dan membersihkan rumah, mencuci baju, dan lain sebagainya. Oleh karena itu sering dikatakan bahwa pria lebih public oriented dan wanita lebih domestic oriented.

Sejak awal kehidupan secara biologis bayi laki-laki dan perempuan memang sudah berbeda. Orang tua ingin menunjukkan identitas anaknya sesuai dengan jenis kelaminnya, misalnya nama anak, permainan, pakaian, potongan rambut, dan sebagainya. Yang pasti berbeda antara laki-laki dan perempuan. Kalau anak perempuan diberikan pakaian dan perlengkapan berwarna merah jambu, sedang anak laki-laki biasanya diberi permainan seperti robot, pistol, dan sebagainya, yang melalui usaha ini semuanya membentuk peran-peran mengenai wanita yang berbeda dengan pria bukan secar biologis saja namun secara sosiologis, psikologis.

Orang tua dalam membedakan perlakuannya terhadap anak laki-laki dan anak perempuan dapat dijelaskan melalui tiga teori menurut Maccoby dan Jacklin dalam(Ihromi, 2004):

  1. Teori Imitasi

Mengenai identifikasi awal seorang anak terhadap anggota keluarga yang jenis kelaminnya sama, maka akan menirukan tingkah laku yang jenis kelaminnya sama dengannya, dengan menirukan tingkal laku orang dewasa. Anak akan mengidentifikasi dirinya dengan orang tuanya yang berjenis kelamin sama dengannya. Teori ini didukung juga oleh teori gender psikoanalisis yang dikemukakan oleh Freud bahwa anak usia pra sekolah mengembangkan ketertarikan seksual terhadap orang tua yang berjenis kelamin berbeda. Pada usia 5-6 tahun, anak menghentikan ketertarikan ini karena timbul kecemasan dalam dirinya, kemudian anak akan mengidentifikasi dirinya dan secara tidak sadar mengadobsi karakteristik orang tua tersebut (Santrock, 2007; Papalia,Old, Feldman, 2008).

  1. Self Socialization

Dalam teori ini anak akan berusaha mengembangkan konsep tentang dirinya (laki-laki atau perempuan), dan juga mengembangkan suatu pengertian tentang apa yang harus dilakukan bagi jenis kelamin yang bersangkutan.

  1. Teori Reinfocement

Menekankan penggunaan sanksi berupa hukuman atau penghargaan. Hal ini akan mendorong anak bertingkah laku sesuai dengan jenis kelaminnya. Sanksi yang diberikan oleh keluarga ataupun orang dewasa lainnya. Dengan sanksi anak didorong untuk bertingkah laku sesuai dengan jenis kelaminnya.

Perkembangan gender dipengaruhi juga oleh bagaimana anak memperoleh prilaku dan sikap maskulin atau feminim dari orang tua. Hal tersebut dapat berupa pemberian pujian atau hukuman pada si anak sesuai dengan gender. Sejalan dengan itu Bandura (Crain, 2007; Papalia, Old, Feldman, 2008) dalam teori kognisi sosial bahwa pada satu bagian, kita baru bisa mengimitasi orang lain jika merasa memperoleh penghargaan dari tindakan ini, dan sebagian lagi. Respon dipengaruhi juga oleh penguatan yang dialami sendiri, yaitu konsekwensi yang berkaitan dengan tindakan si model. Maksudnya, perkembangan gender anak-anak terjadi melalui observasi dan imitasi dan prilaku gender dan melalui proses pujian (reward) atau hukuman (punishment) yang di alami oleh anak untuk prilaku yang sesuai atau tidak sesuai dengan gender tertentu. Pernyataan ini diperkuat lagi oleh Bronfenbrenner dan Melvin Kohn bahwa ada 2 bentuk sosialisasi, antara lain sosialisasi yang berorientasi pada ketaatan yang disebut dengan sosialisasi dengan cara represif, dan yang berorientasi pada dilakukannya partisipasi (Ihromi, 2004).

Sosialisasi yang yang berbentuk represif menitikberatkan hukuman terhadap perilaku yang salah, dan sosialisasi berbentuk partisipatori memberikan imbalan untuk prilaku yang baik. Hukuman dan imbalan pada bentuk yang pertama sering bersifat material, sedang pada bentuk yang kedua lebih simbolis. Komunikasi orang tua dengan anak pada bentuk sosialisasi yang represif lebih sering berbentuk perintah dan melalui gerak-gerik saja (non verbal), berbeda dengan ciri komunikasi pada sosialisasi yang partisipatori lebih merupakan interaksi dua arah bersifat verbal. Sosialisasi dengan cara represif berpusat pada orang tua, sedang pada sosialisasi yang partisipatori berpusat pada anak, karena orang tua memperhatikan keperluan anak.

Paparan di atas merupakan peran orang tua yang secara normatif berlangsung. Perang ibu dan ayah secara bergantian dapat menekankan identitas gender dari si anak. Namun, masalah yang biasa muncul adalah bila anak mengikuti peran orang tua yang jenis kelaminnya berbeda dari dia dalam keluarga orang tua yang berperan tunggal (single parent). Misalnya, anak laki-laki yang mengambil peran ibunya sering bersikap seperti perempuan, dan sering tidak disukai oleh teman-temannya. Sedang anak perempuan yang bersikap seperti anak laki-laki sering dicemooh seperti tomboy oleh kawan-kawannya. Hal tersebut menuntut kejelian dari orang tua tersebut dalam mengembangkan potensi gender dari si anak. Ketidakseimbangan perlakukan single parent terhadap anak akan sangat mempengaruhi psikologis anak. Namun teori sosialization dari Scanzoni di atas dapat menjadi bentuk pembinaan yang dirasakan cukup tepat. Anak dituntun untuk mengembangkan konsep dirinya dan apa yang harus dilakukan bagi jenis kelaminnya. Pembentukan konsep diri dapat melalui pengefektifan peran lingkungan dan aspek lain seperti media dan pendidikan yang diberikan bagi anak sesuai dengan jenis kelaminnya.

PENUTUP

Akhir-akhir ini, pendapat bahwa orang tua adalah satu-satunya agen sosial penting dalam perkembangan peran gender, mengalami berbagai kritik. Kita tahu bahwa orang tua hanyalah salah dari sekian banyak sumber dari mana individu belajar mengenai peran gender. Budaya, lingkungan, dan media dalam mempengaruhi peran gender anak. Mersikupun begitu, kita harus tetap menganggap peran orang tua sebagai lingkungan terdekat sangat penting dalam perkembangan. Orang tua menjadi pelaku awal dalam menanamkan doktrinasi identitas gender dari anak mereka.

DAFTAR PUSTAKA

Santrock, 1996. Child Development. Dallas :The Mc Graw-Hill.

  1. Santrock, 2007. Perkembangan Anak Jilid 2, Jakarta : Erlangga.
  2. Vasta, Haith, Miller. 1999. Child Psychology. New York : Jhon Willey and sons Inc.
  3. Papalia, Olds, Feldman. 2008. Human Development. Singapore: The Mc Graw-Hill.
  4. Crain, William, 2007. Teori Perkembangan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
  5. Ihromi, TO. 2004. Bunga Rampai Sosiologi Keluarga. Jakarta : Yayasan Obor Indonesiaatau dapat di download pada situs. //books.google.co.id/books?id=0kZdp-HQ3y0C&pg=PA47&lpg=PA47&dq=pengaruh+keluarga+terhadap+perkembangan+gender+scanzon

File ini dapat di download di sini.

Video

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA