Faktor apa sajakah yang dapat mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan implementasi kebijakan publik?

KEBIJAKAN publik merupakan apapun yang dipilih pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan (Dye, 1981). Hal ini dapat disimpulkan menjadi 2 (dua) hal, pertama ada tujuan dan kedua ada tindakan. Setiap kebijakan publik yang telah dipilih pemerintah tentu harus bersifat objektif agar tujuan yang ingin dicapai tergambar jelas. Tentu selalu ada tindakan yang “mengiringi” dari semua kebijakan yang telah dipilih, baik itu tindakan politis, ekonomi, hukum, sosial, pendidikan dan lain sebagainya.

Harus diakui bahwa dalam setiap proses kebijakan publik selalu akan terbuka kemungkinan terjadinya perbedaan (gap) antara apa yang “diharapkan” oleh pembuat kebijakan dengan apa yang “nyatanya” dicapai sebagai hasil atau kinerja dari pelaksanaan kebijakan. Sederhananya adalah setiap kebijakan publik mengandung resiko untuk gagal.

Kegagalan kebijakan tentu terjadi karena 2 (dua) hal, pertama tidak terimplementasikan dan kedua implementasi yang tidak berhasil. Tidak terimplementasikan berarti bahwa suatu kebijakan tidak dilaksanakan sesuai dengan rencana, dimana ada kemungkinan terjadi bargaining politik, tidak menguasai permasalahan, tidak ada koordinasi dan lain sebagainya. Sementara itu implementasi yang tidak berhasil biasanya terjadi jika suatu kebijakan telah dilaksanakan sesuai dengan rencana, namun terjadi kondisi eksternal yang tidak menguntungkan seperti pergantian kekuasaan, perpindahan posisi dan lain sebagainya.

Menarik untuk dicermati bersama bahwa Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia saat ini tentu memiliki kebijakan-kebijakan yang dalam tanda kutip “bagus”, tetapi belum tentu baik, terlebih lagi dalam konteks implementasi. Perhatian besar dalam proses kebijakan publik seringkali hanya pada tataran “perumusan” kebijakan dengan menganggap bahwa sebuah kebijakan itu akan berjalan dengan sendirinya.
Adalah sebuah faktor yang paling penting bagi sebuah kebijakan adalah dalam tataran implementasi (penerapan) kebijakan tersebut, dimana ini menyangkut ranah permasalahan konflik, pelik dan isu mengenai siapa yang memperoleh apa dan mendapatkan apa (Wahab, 2017). Tentu hal ini sangat bergantung kepada para aktor yang teribat didalam proses penerapan sebuah kebijakan publik.

Dinamika Implementasi Kebijakan

Implementasi kebijakan sering dianggap sebagai bentuk pengoperasionalisasian atau penyelenggaraan aktivitas yang telah ditetapkan berdasarkan Undang-Undang dan menjadi kesepakatan bersama di antara beragam pemangku kepentingan (stakeholders), aktor, organisasi (publik atau privat), prosedur dan teknik yang digerakkan untuk bekerjasama guna menerapkan kebijakan kearah yang dikehendaki. Sederhananya adalah realita implementasi melibatkan berbagai pihak dan menyangkut kepada hubungan-hubungan keorganisasian yang kompleks.

Jika suatu kebijakan tidak tepat atau tidak dapat mengurangi masalah yang merupakan sasaran dari kebijakan, maka kebijakan itu mungkin akan mengalami kegagalan sekalipun kebijakan itu diimplementasikan dengan sangat baik. Sementara itu, suatu kebijakan yang telah direncanakan dengan sangat baik mungkin juga akan mengalami kegagalan jika kebijakan tersebut kurang di implementasikan dengan baik oleh para pelaksana kegiatan.

Hal ini berarti bahwa implementasi kebijakan merupakan salah satu variabel “penting” yang berpengaruh terhadap keberhasilan suatu kebijakan dalam memecahkan persoalan-persoalan publik. Dapat kita saksikan hingga hari ini beragam persoalan-persoalan kebijakan dan program-program pemerintah yang dapat dikatakan “kurang” berhasil dalam proses pelaksanaannya seperti ketidaktepatsasaran bantuan, BPJS, infrastruktur, kesenjangan pusat-daerah, kenaikan BBM dan lain sebagainya yang sangat memerlukan solusi yang sangat serius agar tujuan yang telah direncanakan dapat tercapai.

Jika sebuah kebijakan yang telah disusun mengalami kegagalan, maka pertanyaannya adalah apa yang telah dilakukan oleh para aktor pelaksana kebijakan? Beberapa hal yang mungkin mempengaruhi dapat dikatakan terjadi karena ada unsur “kepentingan” di dalamnya. Tentu ini sangat menjadi sebuah problem yang dilematis ketika masyarakat sangat berharap besar kepada para aktor pelaksana kebijakan agar mendapatkan sebuah hal yang bermanfaat. Dimana ini sangat erat kaitannya ketika masyarakat lah yang memiliki “kedaulatan” terbesar di dalam negara ini.

Jalan Kusut Kebijakan

Gow dan Morss (dalam Pasolong, 2013) menyatakan bahwa ada beberapa faktor yang menjadi hambatan dalam implementasi kebijakan, pertama adalah hambatan politik. Hambatan politik bisa saja tejadi ketika ada berbagai “kepentingan” para aktor didalamnya sehingga menjadikan kebijakan yang telah terencana menjadi tidak tepat sasaran.

Kedua, kelemahan institutsi. Institusi merupakan organisasi pelaksana penentu yang langsung bersentuhan dengan masyarakat. Hal ini berarti bahwa terdapat berbagai kegiatan baik itu sosialisasi kebijakan, pengetahuan kebijakan maupun pelaksanaan kebijakan itu sendiri. Tetapi terkadang hal ini menjadi hambatan ketika para pelaksana belum memahami sepenuhnya tentang kebijakan yang akan dilaksanakan.
Ketiga, ketidakmampuan sumber daya manusia. Ketidakmampuan sumber daya manusia pelaksana kebijakan dapat dikategorikan pada bidang teknis dan administratif yang kadang kala membuat masyarakat kebingungan ketika ada sebuah kebijakan-kebijakan yang baru, dimana ini sangat erat kaitannya dengan pemberitahuan kebijakan maupun program-program baru yang mana akan menimbulkan kekecewaan bagi masyarakat.

Keempat, perbedaan agenda tujuan aktor. Seringkali ketika kebijakan itu disusun, berbagai aktor kebijakan memiliki tujuan masing-masing untuk memenuhi kebijakan tersbeut, sehingga yang terjadi adalah bukan kebijakan yang tertuju kepada kepentingan masyarakat, tetapi “hanya” kepentingan berbagai aktor yang terlibat dalam penyusunan tersebut.

Hal inilah yang menjadikan sebuah kebijakan mengalami kegamangan dalam proses implementasinya, dimana proses implementasi kebijakan adalah bersifat interaktif dari proses kegiatan yang mendahuluinya, sehingga antara perumusan kebijakan dengan implementasinya saling memiliki keterkaitan satu sama lain yang tidak dapat dipisahkan.

Tentu pada kegiatan implementasi kebijakan masyarakat selalu mendukung akan program dan sasaran yang ingin dicapai oleh pemerintah, dimana hal ini sangat berkaitan dengan bagaimana pemerintah bekerja, tetapi hanya dengan satu alasan, asalkan memang benar-benar “untuk” kepentingan masyarakat luas seluruh Nusantara, bukan hanya kepentingan berbagai aktor pelaksana. Semoga hal ini tidak terjadi dalam pelaksanaan aturan (kebijakan) baru terkait jaminan biaya kesehatan bayi lahir berdasar Tajuk Banjarmasin Post (1/8/2018) yang menuai pro dan kontra ketika para pasien tidak mengetahui adanya perubahan peraturan ini. Wallahu a’lam bisshowab.

Rencana adalah 20% keberhasilan, implementasi adalah 60%, 20% sisanya adalah bagaimana kita mengendalikan implementasi.  Implementasi kebijakan adalah hal yang paling berat, karena disini masalah-masalah yang kadang tidak dijumpai dalam konsep, muncul di lapangan.  Selain itu, ancaman utama, adalah konsistensi implementasi (Nugroho, 2011).

Berbagai pendekatan dalam implementasi kebijakan, baik terkait dengan implementor, sumberdaya, lingkungan, metoda, permasalahan dan tingkat kemajemukan yang dihadapi di masyarakat.  Sumberdaya manusia sebagai implementor mempunyai peranan yang penting dalam pengendalian implementasi kebijakan publik.

Teori Donald S. Van Meter dan Carl E. Van Horn (1975)

Menurut Van Meter dan Van Horn (1975), ada enam  variabel yang mempengaruhi kinerja implementasi, yakni: (1) standar dan sasaran kebijakan; (2) sumberdaya; (3) komunikasi antar organisasi dan penguatan aktivitas; (4) karakteristik agen pelaksana; (5) disposisi implementor; (6) kondisi sosial, ekonomi dan politik.

1)      Standar dan sasaran kebijakan. Setiap kebijakan public harus mempunyai standard an suatu sasaran kebijakan jelas dan terukur.  Dengan ketentuan tersebut tujuannya dapat terwujudkan.  Dalam standard an sasaran kebijakan tidak jelas, sehingga tidak bias terjadi multi-interpretasi dan mudah menimbulkan kesalah-pahaman dan konflik di antara para agen implementasi.

2)      Sumberdaya. Dalam suatu implementasi kebijakan perlu dukungan sumberdaya, baik sumberdaya manusia (human resources) maupun sumberdaya materi (matrial  resources) dan sumberdaya metoda (method resources).  Dari ketiga sumberdaya tersebut, yang paling penting adalah sumberdaya manusia, karena disamping sebagai subjek implementasi kebijakan juga termasuk objek kebijakan publik.

3)      Hubungan antar organisasi. Dalam banyak program implementasi kebijakan, sebagai realitas dari program kebijakan perlu hubungan yang baik antar instansi yang terkait, yaitu dukungan komunikasi dan koordinasi.  Untuk itu, diperlukan koordinasi dan kerjasama antar instansi bagi keberhasilan suatu program tersebut.  Komunikasi dan koordinasi merupakan salah satu urat nadi dari sebuah organisasi agar program-programnya tersebut dapat direalisasikan dengan tujuan serta sasarannya.

4)      Karakteristik agen pelaksana.  Dalam suatu implementasi kebijakan agar mencapai keberhasilan maksimal harus diidentifikasikan dan diketahui karakteristik agen pelaksana yang mencakup struktur birokrasi, norma-norma, dan pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi, semua itu akan mempengaruhi implementasi suatu program kebijakan yang telah ditentukan.

5)      Disposisi implementor.  Dalam implementasi kebijakan sikap atau disposisi implementor ini dibedakan menjadi tiga hal, yaitu; (a) respons implementor terhadap kebijakan, yang terkait dengan kemauan implementor untuk melaksanakan kebijakan publik; (b) kondisi, yakni pemahaman terhadap kebijakan yang telah ditetapkan; dan (c) intens disposisi implementor, yakni preferensi nilai yang dimiliki tersebut.

6)      Kondisi lingkungan sosial, politik dan ekonomi. Variabel ini mencakup sumberdaya ekonomi lingkungan yang dapat mendukung keberhasilan implementasi kebijakan, sejauh mana kelompok-kelompok kepentingan memberikan dukungan bagi implementasi kebijakan; karakteristik para partisipan, yakni mendukung atau menolak; bagaimana sifat opini publik yang ada di lingkungan dan apakah elite politik mendukung implementasi kebijakan.

Teori George C. Edwards III (1980)

Model implementasi kebijakan menurut pandangan Edwards III (1980), dipengaruhi empat variabel, yakni; (1) komunikasi, (2) sumberdaya, (3) disposisi dan kemudian (4) struktur birokrasi.  Keempat variabel tersebut juga saling berhubungan satu sama lain.

1)      Komunikasi. Implemetasi kebijakan publik agar dapat mencapai keberhasilan, mensyaratkan agar implementor mengetahui apa yang harus dilakukan secara jelas.  Apa yang menjadi tujuan dan sasaran kebijakan harus diinformasikan kepada kelompok sasaran (target group) sehingga akan mengurangi distorsi implementasi.  Apabila penyampaian tujuan dan sasaran suatu kebijakan tidak jelas, tidak memberikan pemahaman atau bahkan tujuan dan sasaran kebijakan tidak diketahui sama sekali oleh kelompok sasaran, maka kemungkinan akan terjadi suatu penolakan atau resistensi dari kelompok sasaran yang bersangkutan.  Oleh karena itu diperlukan adanya tiga hal, yaitu; (1) penyaluran (transmisi) yang baik akan menghasilkan implementasi yang baik pula (kejelasan); (2) adanya kejelasan yang diterima oleh pelaksana kebijakan sehingga tidak membingungkan dalam pelaksanaan kebijakan, dan (3) adanya konsistensi yang diberikan dalam pelaksanaan kebijakan.  Jika yang dikomunikasikan berubah-ubah akan membingungkan dalam pelaksanaan kebijakan yang bersangkutan.

2)      Sumberdaya.  Dalam implementasi kebijakan harus ditunjang oleh sumberdaya baik sumberdaya manusia, materi dan metoda.  Sasaran, tujuan dan isi kebijakan walaupun sudah dikomunikasikan secara jelas dan konsisten, tetapi apabila implementor kekurangan sumberdaya untuk melaksanakan, implementasi tidak akan berjalan efektif dan efisien.  Tanpa sumberdaya, kebijakan hanya tinggal di kertas menjadi dokumen saja tidak diwujudkan untuk memberikan pemecahan masalah yang ada di masyarakat dan upaya memberikan pelayan pada masyarakat. Selanjutnya Wahab (2010), menjelaskan bahwa sumberdaya tersebut dapat berwujud sumberdaya manusia, yakni kompetensi implementor dan sumberdaya finansial.

3)      Disposisi.  Suatu disposisi dalam implementasi dan karakteristik, sikap yang dimiliki oleh implementor kebijakan, seperti komitmen, kejujuran, komunikatif, cerdik dan sifat demokratis.  Implementor baik harus memiliki disposisi yang baik, maka dia akan dapat menjalankan kebijakan dengan baik seperti apa yang diinginkan dan ditetapkan oleh pembuat kebijakan.  Implementasi kebijakan apabila memiliki sikap atau perspektif yang berbeda dengan pembuat kebijakan, maka proses implementasinya menjadi tidak efektif dan efisien. Wahab (2010), menjelaskan bahwa disposisi adalah watak dan karakteristik yang dimiliki oleh implementor, seperti komitmen, keejujuran, sifat demokratis.  Apabila implementor memiliki disposisi yang baik, maka dia akan menjalankan kebijakan dengan baik seperti apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan.

4)      Struktur birokrasi.  Organisasi, menyediakan peta sederhana untuk menunjukkan secara umum kegiatan-kegiatannya dan jarak dari puncak menunjukkan status relatifnya.  Garis-garis antara berbagai posisi-posisi itu dibingkai untuk menunjukkan interaksi formal yang diterapkan.  Kebanyakan peta organisasi bersifat hirarki yang menentukan hubungan antara atasan dan bawahan dan hubungan secara diagonal langsung organisasi melalui lima hal harus tergambar, yaitu; (1) jenjang hirarki jabatan-jabatan manajerial yang jelas sehingga terlihat “Siapa yang bertanggungjawab kepada siapa?”; (2) pelembagaan berbagai jenis kegiatan oprasional sehingga nyata jawaban terhadap pertanyaan “Siapa yang melakukan apa?”; (3) Berbagai saluran komunikasi yang terdapat dalam organisasi sebagai jawaban terhadap pertanyaan “Siapa yang berhubungan dengan siapa dan untuk kepentingan apa?”; (4) jaringan informasi yang dapat digunakan untuk berbagai kepentingan, baik yang sifatnya institusional maupun individual; (5) hubungan antara satu satuan kerja dengan berbagai satuan kerja yang lain.  Dalam implementasi kebijakan, struktur organisasi mempunyai peranan yang penting.  Salah satu dari aspek struktur organisasi adalah adanya prosedur operasi yang standar (standard operating procedures/SOP).  Fungsi dari SOP menjadi pedoman bagi setiap implementor dalam bertindak.  Struktur organisasi yang terlalu panjang akan cenderung melemahkan pengawasan dan menimbulkan red-tape, yakni birokrasi yang rumit dan kompleks.  Hal demikian pada gilirannya menyebabkan aktivitas organisasi tidak fleksibel.

Teori Marilee S. Grindle (1980)

Menurut Grindle (1980), bahwa keberhasilan implementasi kebijakan publik dipengaruhi oleh dua variabel yang fundamental, yakni isi kebijakan (content of policy) dan lingkungan implementasi (context of implementation).

1)      Variabel isi kebijakan.  Variabel isi kebijakan mencakup hal sebagai berikut, yaitu; (1) sejauh mana kepentingan kelompok sasaran atau target groups termuat dalam isi kebijakan publik; (2) jenis manfaat yang diterima oleh target group; (3) sejauh mana perubahan yang diinginkan oleh kebijakan.  Dalam suatu program yang bertujuan mengubah sikap dan perilaku kelompok sasaran relatif lebih sulit diimplementasikan daripada sekedar memberikan bantuan langsung tunai (BLT) kepada sekelompok masyarakat miskin; (4) apakah letak sebuah program sudah tepat; (5) apakah sebuah kebijakan telah menyebutkan implementornya dengan rinci; dan (6) sumberdaya yang disebutkan apakah sebuah program didukung oleh sumberdaya yang memadai.

2) Variabel lingkungan kebijakan.  Variabel lingkungan kebijakan mencakup hal-hal sebagai berikut; (1) seberapa besar kekuatan, kepentingan, dan strategi yang dimiliki oleh para aktor yang terlibat dalam implementasi kebijakan; (2) karakteristik institusi dan rezim yang sedang berkuasa; (3) tingkat kepatuhan dan responsivitas kelompok sasaran.

Teori Daniel A. Mazmanian dan Paul A. Sabatier (1983)

Menurut Mazmanian dan Sabatier (1983), ada tiga kelompok variabel yang mempengaruhi keberhasilan implementasi, yakni: (1) karakteristik dari masalah (tractability of the problems); (2) karakteristik kebijakan/undang-undang (ability of statute to structure implementation); (3) variabel lingkungan (nonstatutory variables affecting implementations).

Karakteristik masalah:

1)      Tingkat kesulitan teknis dari masalah yang bersangkutan. Di satu pihak ada beberapa masalah sosial secara teknis mudah dipecahkan, seperti kekurangan persediaan air minum bagi penduduk atau harga beras tiba-tiba naik.  Di pihak lain terdapat masalah-masalah sosial yang sulit dipecahkan, seperti kemiskinan, pengangguran, korupsi dan sebagainya.  Oleh karena itu, sifat masalah itu sendiri akan mempengaruhi mudah tidaknya suatu program diimplementasikan.

2)      Tingkat kemajemukan kelompok sasaran. Ini berarti bahwa suatu program relatif mudah diimplementasikan apabila kelompok sasarannya homogen. Sebaliknya, apabila kelompok sasarannya heterogen, maka implementasi program akan relatif lebih sulit, karena tingkat pemahaman setiap anggota kelompok sasaran program relatif berbeda.

3)      Proporsi kelompok sasaran terhadap total populasi. Sebuah program akan relatif sulit diimplementasikan apabila sasarannya mencakup semua populasi.  Sebaliknya, sebuah program relatif mudah diimplementasikan apabila kelompok sasarannya tidak terlalu besar.

4)      Cakupan perubahan perilaku yang diharapkan. Sebuah program yang bertujuan memberikan pengetahuan atau bersifat kognitif akan relatif mudah diimplementasikan daripada program yang bertujuan mengubah sikap dan perilaku masyarakat.  Sebagai contoh, implementasi Undang-Undang No. 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan sulit diimplementasikan karena menyangkut perubahan perilaku masyarakat dalam berlalu lintas.

Karakteristik kebijakan:

1)      Kejelasan isi kebijakan. Ini berarti semakin jelas dan rinci isi sebuah kebijakan akan mudah diimplementasikan karena implementor mudah memahami dan menterjemahkan dalam tindakan nyata. Sebaliknya, ketidakjelasan isi kebijakan merupakan potensi lahirnya distorsi dalam implementasi kebijakan.

2)      Seberapa jauh kebijakan tersebut memiliki dukungan teoritis. Kebijakan yang memiliki dasar teoritis memiliki sifat yang lebih mantap karena sudah teruji, walaupun beberapa lingkungan sosial tertentu perlu ada modifikasi.

3)      Besarnya alokasi sumberdaya finansial terhadap kebijakan tersebut. Sumberdaya keuangan adalah faktor krusial untuk setiap program sosial.  Setiap program juga memerlukan dukungan staf untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan administrasi dan teknis, serta memonitor program, yang semuanya itu perlu biaya.

4)      Seberapa besar adanya keterpautan dan dukungan antar berbagai institusi pelaksana. Kegagalan program sering disebabkan kurangnya koordinasi vertikal dan horizontal antar instansi yang terlibat dalam implementasi program.

5)      Kejelasan dan konsistensi aturan yang ada pada badan pelaksana.

6)      Tingkat komitmen aparat terhadap tujuan kebijakan.  Kasus korupsi yang terjadi di negara-negara dunia ketiga, khususnya Indonesia salah satu sebabnya adalah rendahnya tingkat komitmen aparat untuk melaksanakan tugas dan pekerjaan atau program-program

7)      Seberapa luas akses kelompok-kelompok luar untuk berpartisipasi dalam implementasi kebijakan. Suatu program yang memberikan peluang luas bagi masyarakat untuk terlibat, relatif mendapat dukungan daripada program yang tidak melibatkan masyarakat.  Masyarakat akan merasa terasing atau teralienasi apabila hanya menjadi penonton terhadap program yang ada di wilayahnya.

Lingkungan kebijakan:

1)      Kondisi sosial ekonomi masyarakat dan tingkat kemajuan teknologi. Masyarakat yang sudah terbuka dan terdidik relatif lebih mudah menerima program pembaruan dibanding dengan masyarakat yang masih tertutup dan tradisional. Demikian juga, kemajuan teknologi akan membantu dalam proses keberhasilan implementasi program, karena program-program tersebut dapat disosialisasikan dan diimplementasikan dengan bantuan teknologi modern.

2)      Dukungan publik terhadap suatu kebijakan. Kebijakan yang memberikan insentif biasanya mudah mendapatkan dukungan publik. Sebaliknya, kebijakan yang bersifat dis-insentif seperti kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) atau kenaikan pajak akan kurang mendapat dukungan publik.

3)      Sikap kelompok pemilih (constituency groups). Kelompok pemilih yang ada dalam masyarakat dapat mempengaruhi implementasi kebijakan melalui berbagai cara antara lain; (1) kelompok pemilih dapat melakukan intervensi terhadap keputusan yang dibuat badan-badan pelaksana melalui berbagai komentar dengan maksud mengubah keputusan; (2) kelompok pemilih dapat memiliki kemampuan untuk mempengaruhi badan-badan pelaksana secara tidak langsung melalui kritik yang dipublikasikan terhadap kinerja badan-badan pelaksana, dan membuat pernyataan yang ditujukan kepada badan legislatif.

4)      Tingkat komitmen dan ketrampilan dari aparat dan implementor. Pada akhirnya, komitmen aparat pelaksana untuk merealisasikan tujuan yang telah tertuang dalam kebijakan adalah variabel yang paling krusial.  Aparat badan pelaksana harus memiliki ketrampilan dalam membuat prioritas tujuan dan selanjutnya merealisasikan prioritas tujuan tersebut.

Sumber:

  • Nawawi, Ismail. 2009. Public Policy (Analisis, Strategi Advokasi Teori dan Praktek). Penerbit PMN. Surabaya.
  • Subarsono, AG. 2010. Analisis Kebijakan Publik (Konsep, Teori dan Aplikasi). Cetakan V Desember 2010. Penerbit Pustaka Pelajar. Yogyakarta 55167.

Video yang berhubungan

Postingan terbaru

LIHAT SEMUA